Wahyurudhanto
Situs Albertus Wahyurudhanto. Akrab dengan panggilan Wahyu, sejak 2003 sebagai dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian - PTIK, Jakarta. Menyelesaikan pendidikan S1: Ilmu Komunikasi, Fisip Undip (Drs), S2: Administrasi Publik, Undip (M.Si), S3: Ilmu Pemerintahan, Unpad (Dr). Sebelumnya, selama 18 tahun sebagai wartawan di Harian "Suara Merdeka" (SM), Semarang. Saat ini tinggal di Graha Cinere, Kota Depok (Selatan Jakarta); bersama Peni (istri), dan tiga anak (Anggit, Bisma, Cahyo).
Kamis, 05 Juli 2018
Minggu, 02 Juli 2017
Artikel : Polri Merawat Kebinekaaan
Polri Merawat Kebinekaan
Oleh
A Wahyurudhanto
HARI ini, 1 Juli 2017, insan
Bhayangkara, para polisi Indonesia merayakan HUTke-71. Ada pesan kuat mengapa
Hari Bhayangkara memilih 1 Juli 1946 sebagai hari bersejarah. Tanggal 1 Juli 1946
bukanlah hari kelahiran Polri, karena sejatinya polisi Indonesia ada sejak
negara ini diproklamirkan. Artinya sejak pemerintahan berjalan maka polisi
Indonesia eksis. Namun, saat itu polisi Indonesia masih dibawah Kementerian
Dalam Negeri.
Tanggal 1 Juli 1946 menjadi hari
penting, karena saat itulah pemerintah menetapkan Djawatan Kepolisian Negara
bertanggung- jawab langsung kepada Perana Menteri. Jadi, 1 Juli bukanlah hari
lahir Polri, tetapi hari dinyatakannya Polri sebagai Kepolisian Nasional. Inilah
yang saya maksud pesan kuat dari penetapan Hari Bhayangkara, bahwa Polri tidak
hanya berurusan mengamankan situasi dalam negeri, tetapi juga bertanggung jawab
atas keutuhan negeri ini, menjaga NKRI agar tetap kokoh berdiri, baik secara
moral maupun dalam pelaksanaan tugas pokoknya.
Jika kita melihat kondisi Indonesia
saat ini, secara umum terasa masih dalam kondisi kokoh, dengan semoboyan NKRI
harga mati tetap menggema. Tapi kalau mau jujur, dan melihat secara terbuka
keadaan sebenarnya, ada kerapuhan memprihatinkan. Sisa-sisa Pilkada DKI Jakarta
yang efeknya menyebar kemanamana masih terasa. Politik identitas yang dibangun
dalam rangka kepentingan politik yang berujung pada kekuasaan telah membuat
situasi arus bawah tidak solid. Fanatisme identitas yang dibangun oleh kekuatan
politik, baik itu dengan basis agama, etnis, fanatisme kedaerahan, atau
kelompok tertentu telah membuka mata kita bahwa ada persoalan di negeri ini
yang harus diselesaikan.
Tak bisa dipungkiri, Pilkada
serentak di satu sisi menunjukkan keberhasilan, berlangsungan aman dan lancar
tanpa gangguan kamtibmas signifikan. Namun pada sisi lain telah menimbulkan
ekses negatif yaitu berkembangnya politisasi identitas. Politisasi identitas
sejatinya adalah bibit intoleransi, karena jika tidak terkelola dengan baik
akan menuju pengkotak-kotakan warga. Jika secara masif tidak terkendali, hal
itu jelas akan menjadi sumber perpecahan warga yang akan memicu konflik sosial.
Konflik sosial yang masif, dan tidak bisa dikendalikan akan menjadi bola liar,
merupakan awal dari reruntuhan kesatuan dan persatuan yang telah diperjuangkan
para founding fathers negeri ini. Oleh karena itu, bagi bangsa Indonesia
merawat keragaman menjadi sangat penting. Inilah tugas kita bersama, dan Polri
dengan Hari Bhayangkara sebenarnya telah diingatkan, bahwa hal ini juga
merupakan bagian utama dari tugasnya.
Tidak Mudah
Tentu saja hal ini tidak mudah.
Apalagi persoalan yang dihadapi Polri saat ini sangatlah kompleks. Tidak hanya
menangani masalah kriminalitas, juga berbagai model kejahatan, dimana Polri
dituntut untuk selalu mampu mengatasinya. Belakangan ancaman teror tidak hanya
menyasar lingkungan masyarakat, tetapi sudah secara terang-terangan menjadikan
polisi sasaran utama. Kejadian terakhir, diserangnya markas penjagaan Polda
Sumatera Utara tepat pada Idul Fitri pekan lalu, yang menewaskan anggota yang
sedang berdinas merupakan bukti yang tidak bisa dibantah.
Memang selama ini masih muncul
kritik bahwa Polri institusi yang kaku, konservatif, bersikap bertahan, dan
pada sebagian anggota masih bersikap militeristik. Namun, seperti pernah
dinyatakan David H Bayley dalam bukunya Police for The Future (1994;
diterjemahkan oleh Kunarto, 1998), kondisi tersebut pada saat bersamaan, secara
lambat tapi pasti kepolisian mulai mengkritik dan menilai kembali hampir semua
yang mereka lakukan, tujuan dan misi, strategi-strategi inti, skala kepolisian,
struktur organisasi, praktik manajemen, budaya kerja, otonomi polisi, dan
budaya organisasi. Dalam implementasinya, Polri telah melakukan perbaikan. Ini
artinya kesadaran internal Polri untuk selalu memperbaiki diri, meningkatkan
pelayanan, meningkatkan profesionalisme, secara nyata telah dilakukan.
Dengan demikian, bagi Polri, di
tengah beban berat ini, dalam rangka mewujudkan “pesan“ penetapan 1 Juli
sebagai Hari Bhayangkara, menjaga kebhinnekaan merupakan misi yang harus
dijalankan. Keragaman bagi Bangsa Indonesia adalah keniscayaan. Mengutip pidato
Presiden Joko Widodo pada hari lahir Pancasila 1 Juni 2017: “Harus diingat
bahwa kodrat bangsa lndonesia adalah kodrat keberagaman. Takdir Tuhan untuk
kita adalah keberagaman. Dari Sabang sampai Merauke adalah keberagaman. Dari
Miangas sampai Rote adalah keberagaman. Berbagai etnis, berbagai bahasa lokal,
berbagai adat istiadat, berbagai agama, kepercayaan, serta golongan bersatu
padu membentuk lndonesia. ltulah Bhinneka tunggal ika kita, Indonesia.“
Bagi Polri, merawat kebhinnekaan
adalah keniscayaan. Tidak ada wilayah di bumi Indonesia yang tidak ada anggota
Polri. Dengan kewenangan yang dipunyai, peran luhur untuk menjadi perekat
bangsa bisa dilakukan oleh Polri, dengan pelibatan semua fungsi yang ada, oleh
seluruh jajaran yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu,
pelibatan seluruh anggota Polri melalui tugas pokoknya sebagai anggota Polri
dan perannya sebagai bagian dari komunitas warga, akan sangat berarti melalui
sikap ikut menjaga dan mengajak penyebaran “virus“ toleransi dalam rangka
merawat kebhinnekaan, untuk NKRI tetap kokoh berdiri. Selamat Hari Bhayangkara.
(21)
—
Dr A Wahyurudhanto MSi, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian PTIK,
Jakarta.
*** Tulisan ini sudah dimuat di Harian Suara Merdeka, 1 Juli 2017.
Artikel : Pemolisian dan Kinerja Polri
Pemolisian
dan Kinerja Polri
Berbicara mengenai
pemolisian sebagai terjemahan dari policing,
maka kita akan selalu fokus
pada pemberdayaan segenap komponen dan segala sumber daya yang dapat dilibatkan
dalam pelaksanaan tugas atau fungsi kepolisian. Dalam hal ini guna mendukung
penyelenggaraan fungsi kepolisian agar mendapatkan hasil yang lebih optimal.
Dengan demikian pemolisian akan berbicara mengenai berbagai hal-ikhwal tentang
kepolisian, yang berujung pada konteks bagaimana kinerja kepolisian mampu memberikan
peran yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Secara universal tugas polisi
yaitu melakukan perlindungan (to protect)
dan pelayanan (to serve). Di
Indonesia, hal ini ditanbah dengan unsur ”melayani”. Peran ini secara filosofis
sangatlah mendalam, karena melakukan perlindungan dan pelayanan adalah peran
hakiki untuk menempatkan manusia sebagai makhluk yang harus dijaga
kehormatannya. Sedangkan mengayomi, adalah peran yang hanya dapat dirasakan,
unsur kemistri kedekatannya akan lebih menyentuh kadar emosional.
Almarhum Profesor Satjipto Rahardjo pernah mengemukakan rumus unik panduan
polisi ketika menjalankan tugas. Menurutnya, keberhasilan tugas polisi
ditentukan dengan rumus “O 2 + H”. Unik memang, seperti rumus kimia saja.
Tetapi ketika dijelaskan bahwa maksud O 2 + H itu maksudnya adalah Otot, Otak
dan Hati Nurani, baru kita mafhum, apa yang menjadi pemikiran beliau. Menurut
Prof Tjip, polisi dalam pekerjaannya menghadapi berbagai risiko bahaya yang
besar. Dan kehadiran bahaya tersebut secara sosiologis mewarnai pekerjaan
polisi, bahkan mewarnai kepribadian
kerja dari polisi itu sendiri. Karena
itu wajar polisi disebut sebagai aparat hukum istimewa, karena posisinya yang
sedemikian rupa sehingga dekat dengan masyarakat. Interaksi antara masyarakat dengan polisi itu sangat intensif
sekali, sehingga menjadikan pekerjaan polisi agak khas dibanding aparat penegak
hukum yang lainnya seperti hakim dan jaksa. Tapi yang terjadi saat ini, justru
kedekatan tersebut ternyata bisa menjadi bumerang bagi polisi. Karena kedekatan
jika tidak diimbangi hati nurani akan menghasilkan tindakan kolutif.
Oleh karena itu, dikaitkan
dengan kinerja Polri saat ini, sangatlah tepat dengan arah kebijakan yang
diterapkan oleh Kapolri. Setelah dilantik sebagai Kapolri, Jenderal Polisi Tito
Karnavian mempunyai Program “Promoter” yaitu Profesional, Modern dan
Terpercaya. Profesional, maksudnya adakah meningkatkan kompetensi SDM Polri
yang semakin berkualitas melalui peningkatan kapasitas pendidikan dan
pelatihan, serta melakukan pola-pola pemolisian berdasarkan prosedur baku yang
sudah dipahami, dilaksanakan, dan dapat diukur keberhasilannya. Modern, yaitu melakukan
modernisasi dalam layanan publik yang didukung teknologi sehingga semakin mudah
dan cepat diakses oleh masyarakat, termasuk pemenuhan kebutuhan Almatsus dan
Alpakam yang makin modern. Serta terpercaya, yaitu melakukan reformasi internal
menuju Polri yang bersih dan bebas dari KKN, guna terwujudnya penegakan hukum
yang obyektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
Tentu saja untuk mencapai
keberhasilan program Promoter ini tidaklah mudah. Di sinilah berbagai aktivitas
yang berkaitan dengan pemolisian harus didisain sedemikian rupa, sehingga
langkah menuju pencapaian tersebut dapat efektif. Diperlukan pola pemolisian yang
tepat. Kondisi Indonesia dengan geografis yang spesifik, dengan penduduk yang
sangat plural, tentu saja membutuhkan penanganan secara khusus. Banyak
keberhasilan yang sudah dicapai oleh Polri. Pengungkakan tindak pidana terorisme,
bahkan prestasi yang terakhir (Desember 2016), adalah mampu mencegah rencana
teror bom, telah menunai pujian dan apresiasi dari banyak pihak. Belum lagi
keberhasilan dalam mencegah peredaran narkoba, serta inovasi-inovasi di bidang
lalu lintas. Pendeknya sederet preestasi bisa kita tunjukkan.
Tetapi yang masih
memperihatinkan, adalah kepercayaan masyarakat yang belum bisa total memberikan
dukungan pada eksistensi dan apresiasi positif atas kinerja Polri. Legitimasi
Polri masih kadang-kadang merosot. Banyak kejadian yang sebetulnya hanya
dilakukan oleh oknum Polri, atau kritik yang masif melalui media massa atau
media sosial oleh masyarakat, sering kali berdampak negatif pada organisasi.
Ini menunjukkan bahwa masih ada hal-hal yang bisa menjadi penghambat legitimasi
masyarakat terhafdapo kinerja Polri. Padahal, salah satu faktor dominan untuk
keberhasilan kinerja Polri adalah adanya kepercayaan yang tinggi dari
masyarakat, inilah faktor legitimasi. Jika legitimasi sudah kuat, maka jalan
untuk lebih meningkatkan kinerja akan semakin lempang. Di sinilah perumusan
kebijakan mengenai pemolisian yang konteks dengan situasi dan kondisi internal serta
eksternal Polri harus mampu diformulasikan, agar langkah-langkah yang dilakukan
Polri bisa selalu mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Legitimasi adalah
modal sosial yang sangat dominan dalam rangka menjadikan Polri semakin kokoh
untuk menjalankan tugas pokoknya. (*)
Dr. A. Wahyurudhanto, M.Si
Pemimpin
Redaksi “Jurnal Ilmu Ke;polisian”
** Tulisan ini sudah dimuat di Jurnal Ilmu Kepolisian, Edisi 087, Desember 2016
Langganan:
Postingan (Atom)