Senin, 31 Desember 2007

ARSIP MAKALAH (2007) - Pilkada dan Tatanan Otonomi Daerah

PILKADA DAN TATANAN OTONOMI DAERAH

Oleh : Drs. A. Wahyurudhanto, M.Si

Ada fenomena baru dalam suasana demokrasi di Indonesia mulai tahun 2004, yakni rakyat Indonesia kini sudah tidak bisa diragukan lagi kedewasaan politiknya. Untuk memilih presiden dan wakil presiden, rakyat sudah bisa menentukan sendiri pilihannya. Setelah pemilihan presiden dan wakil presiden RI dilakukan, pada tahun 2005 bangsa Indonesia memulai era baru dalam pesta demokrasi dalam bentuk pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Pemilihan presiden dan wakil presiden telah menghasilkan sosok pemimpin baru, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kala. Sebuah pengalaman politik bagi bangsa Indonesia, karena inilah untuk pertama kalinya dilakukan pemilihan kepala negara secara langsung.

Yang menarik dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, adalah tidak terbuktinya isyu bahwa rakyat belum siap dalam berdemokrasi. Dilakukan dalam dua kali putaran, karena pada putaran pertama belum menghasilkan pemenang dengan hasil mayoritas, pemilu presiden dan wapres sama sekali tidak menimbulkan konflik yang berarti. Wacana sebelumnya bahwa pemilu presiden dan wapres akan menimbulkan peristiwa berdarah-darah ternyata tidak terbukti. Kesimpulan yang bisa kita ambil, bahwa ternyata rakyat telah mampu melakukan proses demokrasi secara personal dengan baik dan santun.
Mulai tahun 2005 perilaku santun rakyat diuji dalam pemilihan kepala daerah secara langsung. Inilah salah satu ekperimen baru bagi kancah perpolitikan di Indonesia, khususnya dalam dinamika politik lokal. Sebenarnya dalam konteks politik lokal, yang akan dilakukan oleh rakyat Indonesia ini bukan hal baru. Sudah seumur dengan berdirinya Indonesia, rakyat Indonesia sampai ujung pelosok sekali pun mempunyai pengalaman dalam memilih pemimpinnya secara langsung, yakni melalui pemilihan kepala desa (pilkades).
Hanya bedanya pada pemilihan kepala desa rakyat memilih calon-calon yang memang mencalonkan diri sendiri yang lazim disebut sebagai calon independen, sedangkan pada pemilihan kepala daerah, rakyat akan memilih calon yang dicalonkan oleh partai politik. Hal ini sesuai dengan ketentuan pada Pasal 56 ayat (2) UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan: Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Sisi inilah yang menarik dari aspek dinamika politik lokal. Pada pilkades dimana rakyat sudah terbiasa, calon yang dipilih adalah calon-calon independen, sehingga proses pencalonannya pun personal. Mereka mengajukan diri sendiri, kemudian melakukan kampanye sendiri, dan jika kalah maka hanya dirinya dan pendukungnya saja yang merasa kalah.
Berbeda dengan pilkada, karena calon harus diajukan oleh partai politik, maka ada proses awal sebelum seseorang dinyatakan dinyatakan sebagai peserta pilkada. Ada proses seleksi awal yang dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Pasal 59 UU No 32/2004 menyebutkan, pada ayat (1) Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Kemudian pada ayat (2) disebutkan: Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15 % (lima belas perses) dari jumlah kursi DPRD atau 15 % (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
Yang menarik dari ketentuan ini, tidak ada persyaratan bahwa calon harus anggota dari parpol yang mengajukan, sehingga siapa saja, asal dicalonkan oleh parpol yang memenuhi persyaratan seperti pada pasal 59 UU No 32/2004, bisa menjadi peserta Pilkada. Artinya, seseorang yang bukan pengurus parpol bersangkutan, atau bahkan bukan anggota parpol bersangkutan, sah-sah saja menjadi peserta Pilkada sepanjang diajukan oleh parpol tersebut. (lihat tabel gubernur/wakil gubernur terpilih 2006)
Pasal 59 ayat (5) huruf a UU No 32/2004 hanya menyebutkan, partai politik atau gabungan partai politik pada saat mendaftarkan pasangan calon wajib menyerahkan surat pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau pimpinan partai politik yang bergabung. Bunyi pasal itu diperjelas dengan penjelasan yang dimaksud dengan pimpinan parpol adalah ketua dan sekretaris parpol atau sebutan pimpinan lainnya sesuai dengan kewenangan berdasarkan anggaran dasar / anggaran rumah tangga parpol yang bersangkutan, sesuai dengan tingkat daerah pencalonannya.
Dengan adanya ketentuan tersebut, dan adanya penegasan sesuai dengan tingkat daerah pencalonannya, maka Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) selaku pelaksana Pilkada cukup berpatokan pada keputusan yang ditandatangani ketua dan sekretaris parpol di daerah, seperti DPW di tingkat propinsi atau DPC di tingkat kabupaten/kota, dan tidak perlu ada pengesahan dari DPP. Ini satu hal yang menarik, karena berarti tidak perlu ada rekomendasi DPP. Bila ada perbedaan pendapat antara DPP dengan DPW atau dengan DPC, bukan masalah bagi calon peserta Pilkada. Artinya, partai hanyalah cukup sebagai “kendaraan” bagi calon untuk melaju sebagai peserta Pilkada.
Dari sisi dinamika politik lokal, hal ini merupakan sesuatu yang menarik untuk dikaji, karena akan banyak potensi konflik muncul akibat ketentuan dan implementasi dari ketentuan tersebut. Konflik internal partai akan menjadi “bumbu” bagi hangatnya proses Pilkada. Pada tahun 2005 ini tercatat akan ada sebanyak 226 pemilihan kepala daerah secara langsung. Jika dibandingkan dengan 2005, pemilihan kepala daerah
Evolusi Pilkada
Berbicara mengenai pemilihan kepala daerah di Indonesia, kita melihat dari masa ke masa selalu ada perubahan yang evolusioner. Pada mulanya, penguasa lokal ditentukan dengan sistem dinasti (keluarga) secara turun temurun. Walau kini secara formal sistem dinasti sudah ditinggalkan, tetapi budaya “darah biru” masih tetap saja ada. Apalagi dengan adanya label putra daerah, faktor keturunan, ketokohan, masih menjadi hal yang dominan. Di Indonesia, wilayah yang masih secara formal menggunakan sistem dinasti adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dengan label keistimewaan, wilayah provinsi ini menerapkan dinasti kraton, yakni Sultan otomotis menjadi gubernur, dan Paku Alam menjadi wakil gubernur.
Pada masa Orde Baru, model pemilihan kepala daerah berbeda lagi. Masa inilah masa yang disebut sebagai masa “demokrasi seolah-olah”. Pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD, dengan pemilihan yang katanya disebut sebagai pemilihan yang “Luber”. Namun kenyataannya, siapa yang akan jadi pemenang sudah diatur terlebih dahulu. Sehingga pemilihan yang dilakukan secara tertutup oleh anggota DPRD sebenarnya hanyalah sebuah “sandiwara” saja. Pada proses ini akan ada calon yang disebut sebagai calon pendamping. Ikut dalam pemilihan kepala daerah, tetapi jauh-jauh hari sudah tahu akan kalah.
Namun begitu, tidak setiap orang bisa gampang menjadi kepada daerah. UU No 5 Tahun 1974, pada pasal 14 ayat (n), menyebutkan syarat calon kepala daerah harus mempunyai kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang cukup di bidang pemerintahan. Dan karena calon pimpinan daerah sudah diatur oleh rezim yang berkuasa saat itu, yang dikenal dengan singkatan ABG (ABRI, Birokrat, dan Golkar), karenanya kapabilitas calon kemudian diprasyaratkan. Ada batasan yang ketat bahwa calon bupati/wali kota atau gubernur haruslah mempunyai pengalaman di bidang pemerintahan setara eselon II.
Karena itu yang bisa masuk sebagai calon, selalu yang sudah bereselon II seperti Sekwilda, atau jika dari ABRI (tentara maupun polisi) minimal berpangkat Letnan Kolonel. Di luar ini akan sulit untuk masuk sebagai peserta pilkada. Karenanya, Orde Baru sering disebut sebagai bureaucratic government, yaitu sebuah pemerintahan yang dikendalikan oleh birokrasi, dan karena birokrasi di Indonesia dikendalikan oleh ABG, maka sumbernya selalu dari birokrat atau ABRI.
Yang menarik pada masa Orde Baru, selain ABG ada unsur lain yang justru lebih berpengaruh yaitu faktor C atau Cendana. Pengaruh dari Soeharto saat itu sangat kuat, sehingga semua bupati / wali kota maupun gubernur harus memperoleh restu dari Cendana. PPP dan PDI walau sebagai partai politik diakui keberadaannya hanya bisa menjadikan kadernya sebagai kepala daerah jika bernasib baik saja. Namun, daerah-daerah “subur” selalu diberikan pada ABRI (baca militer). Maka jangan heran gubernur di Pulau Jawa, termasuk DKI selalu jendral bintang dua, kecuali DIY yang mempunyai dasar istimewa. Bupati dan wali kota pun selalu jatah militer, kecuali daerah “kering” yang diberikan pada birokrat sipil. Polisi, yah, satu dua daerah masih dapat, namun tak bisa sebanyak yang didominasi militer.
Kondisi inilah yang menyebabkan para petinggi daerah lebih tunduk pada penguasa di Jakarta (baca: Presiden dan Mendagri) dari pada dengan rakyat di daerahnya. Pada masa ini proses pembelajaran politik berupa membangun partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas kepala daerah kepada masyarakat tidak terjadi. Masyarakat diposisikan pada obyek yang harus mengikuti apa yang dimaui oleh pusat.
Tahun 1988 kemudian menjadi masa bangkitnya demokrasi dan desentralisasi. Semenjak Orde Baru runtuh, tatanan politik di Indonesia berubah total. Kekuasaan yang tadinya terpusat pada ABG plus C menjadi cair. Kini kekuasaan justru terpencar ke parlemen, partai, swasta, masyarakat sipil, maupun preman. Apalagi UU No 22 tahun 1999 memberi kekuasaan yang sangat berlebih pada pada DPRD. Sehingga para wakil rakyat seperti menjadi penguasa baru. Kepala Daerah, terutama bupati dan wali kota kini tidak lagi bertanggung jawab pada pusat, namun secara horizontal kepada DPRD.
Maka yang berlangsung kemudian, peta politik di Indonesia telah bergeser dari yang tadinya bureaucratic government menjadi party government, executive heavy menjadi legislatine heavy dan floating mass menjadi mass society. Konfigurasi ini menjadikan iklim politik di Indonesia menjadi “aneh”. Aneh dalam arti yang terjadi bukan lagi etika politik yang berlangsung secara wajar, tetapi adalah bagaimana memaksakan irama politik untuk kepentingan-kepentingan sesaat. Yang terjadi bukanlah bagaimana memperjuangkan nilai-nilai ideal jangka panjang dalam kultur politik yang sehat, tetapi justru “atraksi-atraksi” demi memperjuangkan kepentingan individu dan kelompok.
Akibatnya aroma yang muncul pun menjadi tidak sedap. Intrik, manipulasi, konspirasi, money politics menjadikan aroma yang selalu menghiasi percaturan poliik saat itu. Partisipasi masyarakat juga tidak terbangun, karena semuanya dikendalikan oleh parlemen, yakni DPRD. Media massa pun kemudian selalu dihiasi dengan fakta-fakta berlangsungnya proses politik yang tidak sehat dan tidak beradab. Fakta yang kita temui, pilkada sering menghasilkan kepala daerah yang bermasalah. Mulai dari ijazah palsu, preman, pelaku kriminal, koruptor, sampai kepala daerah yang tidak mempunyai kapabilitas intelektual yang memadai.
Para bupati / wali kota seperti menjadi raja-raja kecil. Gubernur pun seperti menjadi boneka saja, seolah tidak dihiraukan lagi oleh para bupati dan wali kota. Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) yang harus dilakukan setiap tahun oleh bupati / wali kota untuk disampaikan pada DPRD bukan lagi menjadi instrumen untuk akuntabilitas, transparansi, dan evaluasi, namun telah berubah menjadi sarana “bargaining” bagi DPRD untuk meningkat posisinya dengan melakukan “serangan” terhadap eksekutif. Akibatnya, bupati / wali kota akan berusaha bagaimana caranya agar LPJ-nya bisa diterima DPRD, kalau perlu dengan cara membayar.
Kondisi inilah yang kemudian menjadikan rakyat semakin tidak percaya dengan para wakilnya di DPRD maupun dengan pimpinannya yang duduk di jajaran eksekutif. Ketidakpercayaan (distrust) dan kekecewaan masyarakat terhadap parpol, DPRD, dan proses Pilkada, sayangnya tidak berubah menjadi sebuah gerakan kolektif masyarakat lokal untuk menentang elite lokal secara serius. Ini berbeda dengan gelombang reformasi yang bisa secara kolektif menjadi sebuah gerakan untuk merubuhkan Orde Baru yang selama tiga dekade bisa bertahan di Indonesia.
Puncak dari persoalan ini akhirnya dicoba dengan sebuah momentum baru bagi kancah perpolitikan lokal di Indonesia. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005 mengenai Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah, merupakan tonggak baru penegakan kedaulatan rakyat daerah di Indonesia. Kedua produk perundangan tersebut memuat ketentuan mengenai pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung (selanjutnya lebih dikenal sebagai pilkada langsung).
Pilkada Langsung
Kini secara hukum sudah tersedia ruang bagi rakyat untuk langsung menunjukkan kedaulatan dalam memilih pemimpinnya. Aspirasi rakyat kini tidak bisa lagi dimanipulasi oleh para wakilnya di DPRD. Jika pada masa Orde Baru rakyat sering terkaget-kaget karena tiba-tiba muncul kepala daerah yang sebelumnya sama sekali tidak pernah dikenal, pada masa reformasi pra pilkada langsung rakyat juga sering dibuat kaget dengan calon yang tiba-tiba diusung oleh para angota DPRD.
UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 6 tahun 2005 boleh dikatakan adalah produk perundangan pertama dalam sejarah poltik Indonesia yang mengatur pilkada langsung. Memang sebelumnya sudah ada undang-undang yang mengintrodusir sistem pemilihan langsung, yakni UU No. 1/1957. Ketentuan pemilihan langsung tertuang dalam Pasal 23 dan penjelasannya. Pasal itu membutuhkan undang-undang pilkada langsung tersendiri, namun tidak ditindaklanjuti sampai dikeluarkannya ketentuan perundang-undangan baru yang menggantikannya, seperti Penetapan Presiden No. 6/1959, UU No. 18/1965, dan UU No. 4/1975 yang didasarkan pada UUD 1945.
Ada hal penting yang harus diperhatikan dalam proses pemilihan kepala daerah. Kepala daerah yang terpilih adalah pejabat politik tetapi juga pejabat publik. Sebagai pejabat publik nanti akan bertugas memimpin birokrasi untuk menjalankan roda pemerintahan. Fungsi-fungsi pemerintahan tersebut terbagi menjadi perlindungan, pelayanan publik, dan pembangunan (protective, public services, dan development). Sehingga dalam konteks struktur kekuasaan, kepala daerah adalah kepala eksekutif di daerah. Sebagai pejabat publik, kepala daerah menjalankan fungsi pengambilan kebijakan yang terkait langsung dengan kepentingan rakyat (publik), berdampak terhadap rakyat, dan dirasakan oleh rakyat. Oleh karenanya, kepala daerah harus dipilih oleh rakyat dan wajib mempertanggungjawabkan kepercayaan yang telah diberikan oleh rakyat.
Sebagai pejabat politik, karena mekanisme rekrutmen kepala daerah dilakukan dengan mekanisme politik, yaitu melalui pemilihan yang melibatkan elemen-elemen politik, seperti rakyat dan partai-partai politik. Pilkada juga merupakan rekrutmen politik, karena proses penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai peserta pilkada dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Tidak adanya calon independen semakin memperkuat aksioma bahwa pilkada adalah rekrutmen politik. UU No. 32/2004 memang menyatakan calon independen bisa saja menjadi peserta pilkada, seperti disebutkan pada Pasal 59 ayat (4) yakni : Dalam proses penetapan pasangan calon, partai politik atau gabungan partai politik memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat. Namun “kendaraan” yang bisa dipakai oleh peserta pilkada hanya melalui partai politik atau gabungan partai politik. Sehingga ketentuan ini sepertinya hanya untuk lips service saja.
Dari sisi ini kita bisa melihat bahwa dalam kehidupan politik di daerah, pilkada merupakan salah satu kegiatan yang nilainya ekuivalen dengan pemilihan anggota DPRD, yang nota bene merupakan wakil-wakil resmi partai politik. Ekuivalen tersebut ditunjukkan dengan kedudukan yang sejajar antara kepala daerah dan DPRD. Hubungan kemitraaan dijalankan dengan cara melaksanakan fungsi masing-masing, sehingga terbentuk mekanisme check and balances. Oleh sebab itu, pilkada sesungguhnya merupakan bagian dari sistem politik di daerah. Sehingga sistem pilkada pun juga merupakan bagian dari sistem politik di daerah. Terbukti, beberapa elite politik nasional yang duduk di DPR/DPRD menjadi calon kepala daerah baik di provinsi maupun kabupaten/kota. Misalnya saja Anthony Zeidra Abidin (DPR), Teras A Narang (DPR), Arianti Baramuli (DPD). Otonomi daerah telah memberikan daya tarik tersendiri bagi elite nasional untuk kembali ke daerahnya.
Melihat kenyataan ini memang ada baiknya UU Pilkada dibuat terpisah dari UU Pemerintahan Daerah, sehingga ruang perdebatan apakah pilkada merupakan domain pemilu atau tidak, menjadi jelas. Dengan adanya UU Pilkada yang terpisah dari UU Pemda, kesatuan pemilihan umum secara universal sebagai sebuah bagian dari sistem politik bisa dipertanggungjawabkan. Isyu pembentukan UU Pilkada sudah pasti akan mewarnai pembahasan paket UU politik tahun 2007. Dan sudah pasti berbagai kepentingan pun akan ikut menggelayuti. Apakah nanti akan menjadikan tatanan otonomi daerah semakin baik, kita tunggu pembahasannya pada tahun 2007 ini. (***)

Bahan bacaan :

Budi Setiyono, Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi, Pusat Kajian Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik, Universitas Diponegoro, Semarang, 2004.

Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia, Penerbit Pustaka Pelajar, 2005.

Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

Muhanto AQ, Potensi Konflik Sosial dalam Pelaksanaan Pilkada 2005, makalah dalam diskusi.

Sutoro Eko, Pilkada Secara Langsung: Konteks, Proses dan Implikasi, makalah dalam diskusi “Mendorong Partisipasi Publik dalam Proses Penyempurnaan UU No 22/1999 di DPR RI”, 12 Januari 2004.

Syamsudin Haris, Otda Menuju Resentralisasi, artikel di Media Indonesia, 22 Desember 2004.

Marbawi, Litbang Media Group, Evaluasi Pilkada 2006, Riak Kecil Warnai Pesta Lokal, tulisan di Media Indonesia, 15 Januari 2007.


*) Drs. A. Wahyurudhanto, M.Si, dosen pada Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, pengampu mata kuliah Administrasi Pemerintahan.
**) Disampaikan pada diskusi di PTIK, Februari 2007.

Senin, 12 November 2007

ARSIP ARTIKEL (2001) - Mesin Cuci dan Fenomena Politik

Selasa, 3 Juli 2001 Karangan Khas

Mesin Cuci dan Fenomena Politik

Oleh: Wahyurudhanto

UPAYA Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR RI yang menggolkan turunnyaanggaran pembelian mesin cuci Rp 3 miliar untuk anggota DPR, masih menjadipro-kontra. Cercaan bertubi-tubi datang dari masyarakat. Anggota dewandinilai tidak mempunyai sense of crisis. Di kalangan masyarakat bawah,komentar sinis pasti akan membuat para wakil rakyat itu panas telinganya.Belum lagi berbagai sindiran, komentar, kritik, yang disalurkan melaluimedia massa.

Mulai koran dengan lapisan pembaca kelas atas sampai kelasbawah. Semuanya membuat karikatur, pojok, atau kutipan komentar, yangintinya menyatakan tidak simpati dengan sikap dewan.Sampai-sampai, Indonesian Corruption Watch (ICW) melalui Teten Masduki,datang ke kantor DPR menghadiahkan papan penggilas cuci manual, lengkapdengan sabun cucinya. Suatu bentuk sindiran yang sangat vulgar. Bahkandalam pernyataannya, Teten menyebutkan DPR telah benar-benar kehilanganakal sehat (Suara Merdeka, 27/6).Apa yang bisa kita baca dalam kasus tersebut? Harus kita akui, gejolakmasyarakat yang timbul merupakan bentuk dari ketidakpercayaan kepadalegislatif kita.Kekecewaan ini melengkapi sikap sebelumnya, yang dalam banyak halmenunjukkan telah tidak adanya kepercayaan terhadap eksekutif.

Sehinggasampai muncul pendapat, di Indonesia telah terjadi governmentless state,negara tanpa pemerintahan.Kebijakan negara yang banyak menjadikan rakyat semakin susah membuatkepercayaan rakyat pada pemimpin negeri ini memudar. Dan kini pudarnyakepercayaan itu muncul pula pada wakilnya yang menjadi anggota DPR.Sehingga, yang terjadi saat ini, rakyat mencoba untuk survive,mempertahankan kelangsungan hidupnya tanpa mempunyai harapan bahwapemerintahan (melalui presiden, kabinet, dan anggota dewan) akan mampu danmau berjuang memperbaiki kesejahteraannya. Pertikaian di tingkat elitemembuat mereka menjadi muak.

DemokratisasiMengkaji fenomena politik yang muncul dari kasus mesin cuci, dankasus-kasus perilaku para eksekutif maupun legislatif (serta jajaranyudikatif tentunya), kita bisa melihat inilah biaya mahal yang harusdibayar dalam proses demokratisasi. Keresahan masyarakat yang merupakangejolak riil yang muncul karena sikap counter atas perilaku elite politiktersebut, merupakan indikator adanya tantangan terhadap kondisi politikyang sekarang terjadi di negeri ini.Ada pandangan umum, semakin modern suatu masyarakat, akan semakin komplekstuntutan mereka. Sehingga dibutuhkan suatu institusi yang tugasnyamengakomodasi kebutuhan masyarakat tersebut, yang dinamakan partaipolitik.

Sehingga kemudian muncul simpulan, fungsi utama partai politik ada dua.Pertama, mengumpulkan, mengorganisir, dan merumuskan aspirasi rakyat untukdiperhatikan oleh sistem politik. Kedua, menempatkan wakil-wakil yangdipandang cakap untuk mewujudkan aspirasi rakyat. (Riswandha Imawan, 1997)Hal inilah yang kemudian diartikan sebagai bentuk kedaulatan rakyat, yangdalam pemahaman politik disebut demokrasi. Yaitu kekuasaan yang diberikankepada pelaksana negara itu berasal dari rakyat. Dan kedaulatan rakyatmemang tidak bisa dilakukan langsung oleh rakyat, tentu melaluiorang-orang yang disepakati menjadi kanal dari aspirasi tersebut.Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai anggota dewan. Dan wakilrakyat ini yang bertugas merumuskan kebijakan-kebijakan yang nantinyadijalankan eksekutif. Di Indonesia tentu saja oleh presiden dankabinetnya.

Tetapi, realisme politik mengatakan, fakta sejarah dalam demokrasi modernsejak Revolusi Prancis mengembangkan suatu konsep demokrasi representatif.Sehingga rakyat tidak langsung membuat undang-undang, melainkan melaluiwakil-wakil yang mereka pilih. Inilah kemudian yang menyebabkankeputusan-keputusan yang paling penting pada kenyataannya diambil olehbeberapa orang saja.Sehingga dalam demokrasi representatif selalu akan ada unsur elitarisme.Karena itu, kontrol warga negara berlangsung melalui dua sarana, yaitusecara langsung melalui pemilihan wakilnya dan tidak langsung melaluiketerbukaan (publicity) pemerintahan. (Franz Magnis-Suseno, 1988)

Fakta PolitikDalam logika tersebut, pemilihan umum jelas-jelas dimaksudkan agar wargabisa menentukan partai mana yang akan ikut memerintah negara. Tetapi, adafakta politik pada umumnya para wakil rakyat dan partai-partai tidakterikat pada pesan-pesan yang diharapkan oleh pemilihnya.Dan yang terjadi di Indonesia, para wakil rakyat tidak mempunyaiketerikatan formal untuk melakukan tindakan-tindakan seperti yangdijanjikan sebelum pemilu. Inilah yang kemudian menimbulkan kekecewaanmasyarakat, seperti ditunjukkan dengan reaksi keras pada kasus mesin cucisaat ini.Kondisi di Indonesia saat ini memang dengan gamblang menunjukkan adanyafenomena politik tersebut, yaitu terjadi fakta wakil rakyat tidakaspiratif, sehingga menimbulkan reaksi negatif. Perilaku wakil rakyatmemang sekarang benar-benar diamati oleh rakyat. Melalui media massa,prinsip keterbukaan pemerintahan ini sedang ingin diperankan oleh warganegara.Segala hal yang dilakukan dalam proses pemerintahan, diamati oleh rakyat.

Pendapat umum yang terbentuk melalui media massa memang kemudian tidaksecara otomatis merupakan representasi dari pendapat masyarakat yang riil.Tetapi peran media dalam menekan terhadap jalannya proses pemerintahan,merupakan faktor penting dalam upaya keterbukaan yang merupakan prasyaratdemokratisasi. Dan inilah bukti dari adanya kedaulatan rakyat.

Memang kemudian akan terjadi friksi, antara kepentingan pemerintahan,dalam hal ini kepentingan penguasa, dan kepentingan masyarakat.Pendulum kekuasaan saat ini memang lebih condong ke legislatif, tidakseperti pada masa rezim Soeharto yang jelas-jelas menunjukkan kuatnyaeksistensi eksekutif. Namun, harus disadari, otoritas yang diberikanrakyat kepada pelaku pemerintahan tidak bebas dari kontrol.Yang harus dipahami, kewajiban politik para elite, baik itu eksekutifmaupun legislatif tidak bisa dalam kultur penguasa, harus dalam pemahamansebagai kanal bagi aspirasi dan kebutuhan rakyat, yang muaranyakesejahteraan sosial, seperti diamanatkan Pembukaan UUD 1945. Karenanegara bukanlah perkumpulan sukarela dan kewarganegaraan dalam keadaannormal merupakan masalah kelahiran dan geografis, jadi bukan masalahpilihan. (Carol G. Gould, 1993).

Sehingga reaksi atas mesin cuci harus ditanggapi sebagai fenomena politikyang serius. Karena reaksi tersebut merupakan penegasan, kewajiban politiktetap pada prinsip bahwa kedaulatan rakyat harus mempunyai proyeksi padakepuasan publik terhadap cara-cara demokrasi yang dilaksanakan. Karenademokrasi membutuhkan dukungan dari publik.Apabila dukungan tersebut hilang, bisa ada dua kemungkinan. Pertama akanadanya sikap defensif dari penguasa, sehingga melahirkan rezim otoritersebagai bentuk mempertahankan kekuasaan.Atau kemungkinan kedua, munculnya situasi chaos, karena adanya akumulasikekecewaan masyarakat yang tidak bisa tersublimasi secara baik melaluisaluran yang ada. Dan dua-duanya kontraproduktif bagi upaya demokratisasi,sehingga semakin menjauhkan rakyat dari harapan sejahtera. (33s)

- Wahyurudhanto, Litbang Redaksi Suara Merdeka, sedang mengikuti programS2 Administrasi Publik Undip