Senin, 12 November 2007

ARSIP ARTIKEL (2001) - Mesin Cuci dan Fenomena Politik

Selasa, 3 Juli 2001 Karangan Khas

Mesin Cuci dan Fenomena Politik

Oleh: Wahyurudhanto

UPAYA Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR RI yang menggolkan turunnyaanggaran pembelian mesin cuci Rp 3 miliar untuk anggota DPR, masih menjadipro-kontra. Cercaan bertubi-tubi datang dari masyarakat. Anggota dewandinilai tidak mempunyai sense of crisis. Di kalangan masyarakat bawah,komentar sinis pasti akan membuat para wakil rakyat itu panas telinganya.Belum lagi berbagai sindiran, komentar, kritik, yang disalurkan melaluimedia massa.

Mulai koran dengan lapisan pembaca kelas atas sampai kelasbawah. Semuanya membuat karikatur, pojok, atau kutipan komentar, yangintinya menyatakan tidak simpati dengan sikap dewan.Sampai-sampai, Indonesian Corruption Watch (ICW) melalui Teten Masduki,datang ke kantor DPR menghadiahkan papan penggilas cuci manual, lengkapdengan sabun cucinya. Suatu bentuk sindiran yang sangat vulgar. Bahkandalam pernyataannya, Teten menyebutkan DPR telah benar-benar kehilanganakal sehat (Suara Merdeka, 27/6).Apa yang bisa kita baca dalam kasus tersebut? Harus kita akui, gejolakmasyarakat yang timbul merupakan bentuk dari ketidakpercayaan kepadalegislatif kita.Kekecewaan ini melengkapi sikap sebelumnya, yang dalam banyak halmenunjukkan telah tidak adanya kepercayaan terhadap eksekutif.

Sehinggasampai muncul pendapat, di Indonesia telah terjadi governmentless state,negara tanpa pemerintahan.Kebijakan negara yang banyak menjadikan rakyat semakin susah membuatkepercayaan rakyat pada pemimpin negeri ini memudar. Dan kini pudarnyakepercayaan itu muncul pula pada wakilnya yang menjadi anggota DPR.Sehingga, yang terjadi saat ini, rakyat mencoba untuk survive,mempertahankan kelangsungan hidupnya tanpa mempunyai harapan bahwapemerintahan (melalui presiden, kabinet, dan anggota dewan) akan mampu danmau berjuang memperbaiki kesejahteraannya. Pertikaian di tingkat elitemembuat mereka menjadi muak.

DemokratisasiMengkaji fenomena politik yang muncul dari kasus mesin cuci, dankasus-kasus perilaku para eksekutif maupun legislatif (serta jajaranyudikatif tentunya), kita bisa melihat inilah biaya mahal yang harusdibayar dalam proses demokratisasi. Keresahan masyarakat yang merupakangejolak riil yang muncul karena sikap counter atas perilaku elite politiktersebut, merupakan indikator adanya tantangan terhadap kondisi politikyang sekarang terjadi di negeri ini.Ada pandangan umum, semakin modern suatu masyarakat, akan semakin komplekstuntutan mereka. Sehingga dibutuhkan suatu institusi yang tugasnyamengakomodasi kebutuhan masyarakat tersebut, yang dinamakan partaipolitik.

Sehingga kemudian muncul simpulan, fungsi utama partai politik ada dua.Pertama, mengumpulkan, mengorganisir, dan merumuskan aspirasi rakyat untukdiperhatikan oleh sistem politik. Kedua, menempatkan wakil-wakil yangdipandang cakap untuk mewujudkan aspirasi rakyat. (Riswandha Imawan, 1997)Hal inilah yang kemudian diartikan sebagai bentuk kedaulatan rakyat, yangdalam pemahaman politik disebut demokrasi. Yaitu kekuasaan yang diberikankepada pelaksana negara itu berasal dari rakyat. Dan kedaulatan rakyatmemang tidak bisa dilakukan langsung oleh rakyat, tentu melaluiorang-orang yang disepakati menjadi kanal dari aspirasi tersebut.Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai anggota dewan. Dan wakilrakyat ini yang bertugas merumuskan kebijakan-kebijakan yang nantinyadijalankan eksekutif. Di Indonesia tentu saja oleh presiden dankabinetnya.

Tetapi, realisme politik mengatakan, fakta sejarah dalam demokrasi modernsejak Revolusi Prancis mengembangkan suatu konsep demokrasi representatif.Sehingga rakyat tidak langsung membuat undang-undang, melainkan melaluiwakil-wakil yang mereka pilih. Inilah kemudian yang menyebabkankeputusan-keputusan yang paling penting pada kenyataannya diambil olehbeberapa orang saja.Sehingga dalam demokrasi representatif selalu akan ada unsur elitarisme.Karena itu, kontrol warga negara berlangsung melalui dua sarana, yaitusecara langsung melalui pemilihan wakilnya dan tidak langsung melaluiketerbukaan (publicity) pemerintahan. (Franz Magnis-Suseno, 1988)

Fakta PolitikDalam logika tersebut, pemilihan umum jelas-jelas dimaksudkan agar wargabisa menentukan partai mana yang akan ikut memerintah negara. Tetapi, adafakta politik pada umumnya para wakil rakyat dan partai-partai tidakterikat pada pesan-pesan yang diharapkan oleh pemilihnya.Dan yang terjadi di Indonesia, para wakil rakyat tidak mempunyaiketerikatan formal untuk melakukan tindakan-tindakan seperti yangdijanjikan sebelum pemilu. Inilah yang kemudian menimbulkan kekecewaanmasyarakat, seperti ditunjukkan dengan reaksi keras pada kasus mesin cucisaat ini.Kondisi di Indonesia saat ini memang dengan gamblang menunjukkan adanyafenomena politik tersebut, yaitu terjadi fakta wakil rakyat tidakaspiratif, sehingga menimbulkan reaksi negatif. Perilaku wakil rakyatmemang sekarang benar-benar diamati oleh rakyat. Melalui media massa,prinsip keterbukaan pemerintahan ini sedang ingin diperankan oleh warganegara.Segala hal yang dilakukan dalam proses pemerintahan, diamati oleh rakyat.

Pendapat umum yang terbentuk melalui media massa memang kemudian tidaksecara otomatis merupakan representasi dari pendapat masyarakat yang riil.Tetapi peran media dalam menekan terhadap jalannya proses pemerintahan,merupakan faktor penting dalam upaya keterbukaan yang merupakan prasyaratdemokratisasi. Dan inilah bukti dari adanya kedaulatan rakyat.

Memang kemudian akan terjadi friksi, antara kepentingan pemerintahan,dalam hal ini kepentingan penguasa, dan kepentingan masyarakat.Pendulum kekuasaan saat ini memang lebih condong ke legislatif, tidakseperti pada masa rezim Soeharto yang jelas-jelas menunjukkan kuatnyaeksistensi eksekutif. Namun, harus disadari, otoritas yang diberikanrakyat kepada pelaku pemerintahan tidak bebas dari kontrol.Yang harus dipahami, kewajiban politik para elite, baik itu eksekutifmaupun legislatif tidak bisa dalam kultur penguasa, harus dalam pemahamansebagai kanal bagi aspirasi dan kebutuhan rakyat, yang muaranyakesejahteraan sosial, seperti diamanatkan Pembukaan UUD 1945. Karenanegara bukanlah perkumpulan sukarela dan kewarganegaraan dalam keadaannormal merupakan masalah kelahiran dan geografis, jadi bukan masalahpilihan. (Carol G. Gould, 1993).

Sehingga reaksi atas mesin cuci harus ditanggapi sebagai fenomena politikyang serius. Karena reaksi tersebut merupakan penegasan, kewajiban politiktetap pada prinsip bahwa kedaulatan rakyat harus mempunyai proyeksi padakepuasan publik terhadap cara-cara demokrasi yang dilaksanakan. Karenademokrasi membutuhkan dukungan dari publik.Apabila dukungan tersebut hilang, bisa ada dua kemungkinan. Pertama akanadanya sikap defensif dari penguasa, sehingga melahirkan rezim otoritersebagai bentuk mempertahankan kekuasaan.Atau kemungkinan kedua, munculnya situasi chaos, karena adanya akumulasikekecewaan masyarakat yang tidak bisa tersublimasi secara baik melaluisaluran yang ada. Dan dua-duanya kontraproduktif bagi upaya demokratisasi,sehingga semakin menjauhkan rakyat dari harapan sejahtera. (33s)

- Wahyurudhanto, Litbang Redaksi Suara Merdeka, sedang mengikuti programS2 Administrasi Publik Undip