Senin, 15 November 2010

Artikel : "Gurita Gayus"

GURITA GAYUS
Oleh  A. WAHYURUDHANTO

Gayus HP Tambunan berulah lagi, dan media massa kembali menggegerkan tentang perilaku Gayus. Kali ini berita besar yang dibuatnya adalah “kecanggihannya” dalam menerobos tembok Rumah Tahanan Brimob, Kelapa Dua, Depok. Jika dihitung-hitung mulai kasus Gayus menyeruak, sudah puluhan orang jadi korban. Mulai dari yang berpangkat “kroco” sampai jenderal. Semua jalur penegak hukum sudah harus “menyumbangkan” korban atas kehebatan Gayus, mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, sampai Pengadilan. Bahkan di institusinya, perpajakan, juga ada yang bertumbangan.
Ada fenomena menarik dari kasus Gayus ini, bahwa semua yang ditumbangkannya selalu dengan fakta hukum tindak pidana korupsi. Pada kasus terakhir, Kadiv Humas Polri pun secara tegas menyebutkan bahwa hasil pemeriksaan pihaknya telah menetapkan sembilan tersangka dengan sangkaan melanggar Pasal 5 Ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam jumpa pers secara terbuka diungkapkan ratusan juta uang mengalir ke para penjaga rumah tahanan, dengan jumlah tertinggi tentu komandannya.
Sama seperti mereka yang akhirnya terjerat ke pengadilan karena kasus Gayus (atau yang hampir masuk seperti Jaksa Cirus), semuanya dengan sangkaan korupsi. Ini fakta fenomena yang tidak bisa terbantahkan. Dan jika kita simak lagi kasus-kasus yang berkaitan dengan Gayus, semuanya diawali dengan upaya implementasi “prosedur yang benar”, atau dengan kata lain awal mula kasus selalu bukan karena tindak pidana, karena selalu diawali dengan proses menerapkan prosedur tetap (Standar Operating Procedure). Pada penyalahgunaan penetapan pajak, yang dilakukan adalah menyesuaikan dengan aturan yang berlaku, pada penetapan pasal sangkaan di pengadilan yang dilakukan adalah menyesuaikan dengan pasal dalam KUHP, dan pada kasus terakhir yang dilakukan adalah izin berobat, yang memang secara prosedural ada aturannya, sehingga langkah-langkah aparat penegak hukum pada awalnya “didisain” tidak menyalahi aturan.
Cara berpikir ini tidak salah jika merujuk pada pendapat Max Weber mengenai birokratisasi, bahwa unsur prosedur adalah salah satu langkah dalam rangka efektifitas birokrasi. Budaya birokrasi Indonesia yang terpengaruh oleh alam Belanda sangat getol dengan menempatkan prosedur sebagai alasan yang dianggap paling masuk akal dan “tidak melanggar aturan” dalam rangka upaya penyalahgunaan jabatan. Lihat saja bagaimana para anggota DPR yang dengan tegap melancong ke luar negeri dengan alasan karena sudah dianggarkan dan direncanakan. Bahkan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam sebuah wawancara di majalah (Prisma, Juli 2010) secara terbuka membela koleganya Gubernur Kepri yang terkena kasus korupsi proyek pengadaan mobil pemadam kebakaran. “Dia cuma menyetujui untuk tidak melakukan tender, penunjukkan langsung. Jadi yang masuk penjara belum tentu semuanya maling,” begitu katanya.
Korupsi
Menelaah kasus Gayus, maka yang harus dijadikan pijakan adalah bahwa fenomena korupsi sudah tidak bisa lagi diselesaikan hanya sekedar retorika. Silang pendapat para pejabat dan pengamat di media massa, baik itu televisi, radio maupun media cetak hanya cukup menjadi “bumbu” kasus ini saja. Diskusi yang berkembang bagi publik hanya merupakan bagian dari infotainment saja. Tapi yang lebih penting adalah bagaimana mengkritisi hal ini sebagai “penyakit kanker” yang tidak boleh dibiarkan.
Merujuk pendapat Robert Klitgaard yang terkenal dengan sumbangan akademiknya dalam hal pemberantasan korupsi, menunjukkan bahwa pembiaran korupsi memang secara sengaja dilakukan di Indonesia. Atau dengan kata lain inilah budaya yang dilestarikan. Menurut Klitgaard (2002), Korupsi dapat disimbolkan sebagai C = (M + D – A). Artinya Korupsi (corruption) bisa terjadi jika monopoli (monopoly power) bertemu dengan kewenangan pejabat/birokrat (discretion by officials), namun tidak ada pengawasan (accountability). Dalam penelitiannya dinyatakan bahwa korupsi adalah kalkulasi kriminal, bukan pemuasan nafsu. Menurutnya pegawai akan terlibat dalam usaha korupsi ketika keuntungan korupsi yang mereka peroleh lebih besar dari sanksi jika ditangkap, dikali kemungkinan untuk ditangkap. Sanksi tersebut termasuk upah dan insentif lainnya yang mesti mereka korbankan jika mereka kehilangan pekerjaan, termasuk juga berat hukumnya. Peluang pegawai mengumpulkan korupsi adalah merupakan fungsi dari tingkat monopoli mereka terhadap jasa atau aktivitas, kewenangannya dalam menentukan siapa yang memperoleh besaran tertentu, dan tingkat akuntabilitas kegiatan mereka.
Senada dengan kasus Gayus dalam beberapa kali ulah yang dilakukan, ujung-ujungnya adalah “keberanian” dari para penegak hukum, yaitu pemegang kewenangan birokrasi dalam bermain-main dalam lingkar prosedural setelah melakukan “kalkulasi”. Dan Gayus dengan lincahnya bermain dalam pusaran tersebut. Maka penulis cenderung menyebut, inilah permainan “Gurita Gayus”. Pola-pola yang dipakai Gayus jelas bukan tanpa perhitungan. Dia jelas sudah mempertimbangkan dampak apa yang akan berkembang di seputaran aparat birokrasi yang diajaknya bermain. Maka tidak heran jika para analis pun mengkaitkan bahwa apa yang dilakukan Gayus ada hubungannya dengan soliditas kepemimpinan Polri. Apalagi ketidaksesuaian informasi ke publik yang disampaikan petinggi Polri terus diekspose media. Fakta ini menunjukkan bahwa sebenarnya masih ada rongga “abu-abu” dalam implementasi penegakan hukum. Dan inilah bukti bahwa tidak adanya akuntabilitas seperti yang disyaratkan Klitgaard memang terjadi dalam sistem birokrasi yang berlaku di Indonesia.
Solusi
Menyikapi hal ini, menurut hemat penulis jalan keluarnya tidak bisa lagi menggunakan regulasi formal. Harus ada keberanian dari lapisan elite pengambil kebijakan untuk mengambil sikap yang mungkin tidak populer. Kritik keras bahwa kasus ini akan berhenti hanya sampai tingkat Komisaris Polisi, juga menunjukkan bahwa tekanan publik –setidaknya lewat media -- sebenarnya cukup lugas. Pers memang berperan besar sebagai agen akuntabilitas. Namun seperti pernah dilontarkan oleh Ashadi Siregar (2001), pers hanyalah media yang memungkinkan fakta-fakta dari suatu lingkungan untuk direplikasi, sehingga orang dari lingkungannya yang sama dapat berkonfirmasi, dan orang dari lingkungannya lainnya akan berinformasi.
Karena itu akuntabilitas publik akan sangat tergantung dari bagaimana tranparansi pemerintahan bisa diwujudkan. Akuntabilitas akan hadir jika ada tranparansi dari yang diawasi. Legislatif berkepentingan agar akuntabilitas oleh publik mengawasi institusi eksekutif dan yudikatif. Begitu pula sebaliknya, eksekutif berkepentingan adanya akuntabilitas publik untuk mengawasi legislatif dan yudikatif. Tentunya yudikatif akan juga punya kepentingan yang sama. Semakin “telanjang” suatu intitusi, akan semakin jelas akuntabilitas berlangsung, karena di sana akan hadir transparansi.
Yang menjadi masalah, kalau semuanya sudah korup, maka yang akan terjadi transparansi publik akan selalu ditutup-tutupi, dan media hanya sekedar mengorek-orek untuk pemuas publik saja. Apalagi juga secara sistematis melalui rekayasa politik akuntabilitas sengaja disembunyikan, sudah pasti akuntabilitas tersebut tidak bisa hadir. Akibatnya “gayus-gayus” lainnya akan hadir, mungkin dengan gurita yang lebih “lincah” dan lebih “cerdas”. Fenomena gayus menyuap penjaga rumah tahanan tidak boleh dinilai sebagai hal sederhana, ini bukan hanya persoalan prosedural, tetapi berimplikasi serius pada proses good governance (kepemerintahan yang baik) secara lebih kompleks. (*)
A. WAHYURUDHANTO
Mahasiswa Program S-3, FISIP, Universitas Padjadjaran.

Minggu, 03 Oktober 2010

Polisi dan Dinamika Politik Lokal (File Artikel)

Polri dan Dinamika Politik Lokal

Menarik sekali judul di Harian Kompas tanggal 11 Februari 2009 yang merupakan berita tentang perkembangan kasus demonstrasi anarkis di Kantor DPRD Sumatera Utara yang menewaskan Ketua DPRD Sumut Abdul Azis Angkat. “Politisi di Belakang Aksi”, demikian judul berita tersebut yang merupakan simpulan atas kelanjutan proses penyidikan yang dilakukan oleh tim gabungan Poltabes Medan, Polda Sumut, dan Mabes Polri.
Demo tentang  pemekaran Propinsi Tapanuli tersebut ternyata telah menjadi bola liar. Di lingkungan internal Polri, akibat demo tersebut telah terjadi serentetan pencopotan pejabat, mulai Kapoltabes Medan, Inspektur Pengawasan Daerah Polda Sumut, Kepala Biro Operasi Polda Sumut, dan Direktur Intelkam Polda Sumut. Dan sebentar lagi, sesuai janji Kapolri, Kapolda Sumut juga akan dicopot. Belum lagi pejabat di tingkat Polsek dan Kasat yang penulis yakin juga akan mengikuti arus di atasnya, yaitu akan dicopot.
Pencopotan pejabat-pejabat teras di Poltabes Medan maupun di Polda Sumut menuai banyak komentar. Terakhir dalam rapat kerja Komisi III DPR dengan Kapolri Senin (9 Februari 2009) lalu, kritik tajam atas kebijakan Kapolri datang bertubi-tubi. Yang sangat menyolok adalah adanya pernyataan dari beberapa anggota Dewan, agar Polri jangan mempolitisasi kasus ini, karena beredar rumor bahwa kejadian ini menguntungkan “persaingan” sebagian elite  Polri untuk masuk ke posisi “mantap”. Bahkan muncul desakan agar pencopotan yang dilakukan oleh Kapolri jangan dikarenakan tekanan dari kelompok politik tertentu. Kapolri pun dengan tegas menjawab, bahwa kebijakannya ini didasarkan pada azas profesionalisme. Ditunjuknya dasar pencopotan adalah hasil pemeriksaaan yang dipimpin langsung oleh Irwasum Polri, bahwa telah terjadi kesalahan prosedur yaitu tidak disiplin dalam pelaksanaan prosedur tetap (protap) sesuai Peraturan Kepala Polri Nomor 16/2006 tentang pengendalian massa.
Yang menarik dalam perkembangan kasus ini, karena polisi akhirnya juga menahan tokoh-tokoh partai yang juga calon legislatif. Judul berita yang menyebutkan adanya peran politisi tersebutlah yang menarik, karena alasan yang dipakai polisi bahwa yang bersangkutan diduga kuat sebagai pengerah massa. Persoalan ini akan menjadi bahan diskusi yang akan terus berkembang karena ada pernyataan dari  Kepala Bidang Humas Polda Sumut bahwa bagi polisi yang terpenting adalah memeriksa mereka yang terlibat demonstrasi. “Kebetulan kebanyakan mereka berasal dari partai partai politik,” demikian pernyataannya seperti dikutip dalam berita tersebut.
Hak Menyampaikan Pendapat
Demonstrasi di DPRD Sumut tersebut tentu saja tidak akan berkembang menjadi bola liar jika  tidak makan korban. Kebetulan yang tewas adalah Ketua DPRD dan merupakan tokoh Partai Golkar Sumut, partai yang mempunyai basis memadai di propinsi Sumut. Walau hasil otopsi menunjukkan  bahwa yang bersangkutan meninggal karena serangan jantung, tetapi tentu saja alasan itu tidak dapat meredakan polemik yang berkepanjangan. Maka tuntutan agar polisi mengusut tuntas pun terus berkembang, sampai kemudian pencopotan demi pencopotan pejabat Polri setempat dilakukan oleh Kapolri.
Mengemukakan pendapat di depan umum merupakan hak bagi semua warga negara Indonesia. Landasan hukumnya jelas, yaitu UU Nomor 9 Tahun 1998. Apalagi setelah reformasi bergulir di Bumi Indonesia sejak Mei tahun 1998. Unjuk rasa merupakan hal yang biasa di Indonesia. Mulai dari mahasiswa sampai buruh, mulai kepala desa sampai rakyat jelata, pendeknya segala lapisan masyarakat sekarang mengenai demonstrasi dan tidak terkaget-kaget lagi ketika menyaksikan demonstrasi di mana-mana. Maka selain demo murni, ada juga demo pesanan. Juga selain ada demonstran “asli” ada juga demonstran bayaran.
Fenomena tersebut tentu saja pada akhirnya akan menyebabkan dampak yang bisa kontraproduktif. Adalah hal yang sudah kasat mata bahwa semua demonstrasi selalu bermuara pada kepentingan, baik kepentingan individu maupun kepentingan kelompok. Fenomena demo pesanan dan demonstran bayaran adalah efek dari upaya pencapaian kepentingan tersebut. Sehingga menjadi masuk akal ketika polisi menjaring tersangka dengan menggali informasi siapa figur dibalik demontrasi, siapa yang membiayai demo.
Akan tetapi jika merujuk pada UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Depan Umum, orang yang menggerakkan demonstrasi atau orang yang membiayai demonstrasi tidak bisa dipersalahkan. Pada bagian menimbang undang-undang tersebut pun sudah jelas-jelas ditegaskan, bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Disebutkan pula bahwa kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat., berbangsa, dan bernegara.
Sehingga jika kita melihat semangatnya, unjuk rasa adalah hak yang secara hakiki diyakini menjadi bagian penting dalam proses demokratisasi yang merupakan salah satu inti dari gerakan reformasi di Indonesia yang kini sudah berjalan sepuluh tahun lebih. Hak menyampaikan pendapat ini  ketika dilakukan oleh sekelompok individu tentu saja membutuhkan leader, yang sudah pasti akan menjadi penggeraknya. Kegiatan demontrasi juga tidak mungkin dilakukan secara gratis. Setidaknya pasti mereka yang melakukan aktivitas itu harus makan dan minum. Ini jelas butuh biaya. Jadi, jika ada yang membiayai tentu saja wajar.
Yang menjadi masalah ketika demontrasi tersebut berubah menjadi tindakan anarkis. Demonstrasi Propinsi Tapanuli oleh polisi dinyatakan ilegal, karena sesuai ketentuan seharusnya tiga hari sebelum aksi dilakukan sudah harus memberitahukan ke polisi, tetapi hal tersebut tidak dilakukan. Polisi yang tahu hal ini tidak membubarkan aksi, dengan alasan sikap menghormati karena unjuk rasa dilakukan sebagai bagian dari demokrasi. Karena itulah yang dilakukan adalah memberikan pelayanan keamanan.
Dari sini kita melihat bahwa polisi sebenarnya sudah melakukan track yang benar, bahwa dukungan atas berkembangnya demokratisasi harus diberikan apresiasi, terutama dalam memasuki era reformasi. Namun yang dilupakan, bahwa apresiasi tersebut bisa menimbulkan efek negatif ketika dalam pegelolaannya tidak berdasarkan pada rambu yang ada. Ketentuan yang ada pada undang-undang tentu saja sudah dengan berbagai pertimbangan. Walau polisi mempunyai kewenangan diskresi, namun ketika akibat yang muncul ternyata fatal, maka tanggung-jawab itu lalu menjadikan akibat baru. Kasus demo di DPRD Sumut menunjukkan kesalahan tersebut. Artinya bahwa unjuk rasa adalah hak, namun prosedur pun juga harus dilakukan, sehingga demokratisasi tidak dilakukan dengan membabi buta.
Dinamika Politik Lokal
Kasus demontrasi Provinsi Tapanuli yang berujung pada tindakan anarkis dan mengakibatkan tewasnya Ketua DPRD Sumut Abdul Azis Angkat memberikan banyak pelajaran bagi kita semua. Bagi polisi, tindakan diskresi kepolisian walau merupakan kewenangannya namun dalam implementasinya haruslah benar-benar mempertimbangkan kondisi riil di lapangan. Menyampaikan pendapat melalui unjuk rasa memang merupakan hak warga negara yang dilindungi undang-undang. Bagi Polri yang mempunyai semangat dalam tugas pokok dalam bentuk melindungi, mengayomi, dan melayani, kemudian melakukan implementasi dalam bentuk apresiasi terhadap demokratisasi boleh-boleh saja, dengan memberikan dukungan pada kegiatan unjuk rasa melalui pelayanan dalam hal keamanan. Namun deteksi dini ternyata menjadi masalah yang sangat penting. Protap yang sudah didisain untuk meminimalkan risiko-risiko terutama risiko kerawanan kamtibmas yang menjadi tugas polisi untuk menekannya, menjadi hal yang wajib dilakukan.
Ada hal penting yang bisa kita petik pada kejadian tersebut, yaitu  mengingatkan pada kita untuk selalu waspada, bahwa era otonomi daerah dengan segala aspek yang melingkupinya – seperti pilkada dan pemekaran wilayah – serta pemilihan umum yang dalam penentuan calon terpilih sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan suara terbanyak, akan mempunyai efek pada meningkatnya dinamika politik lokal. Dinamika ini akan bergerak dengan segala variasinya dan pada akhirnya akan menjadi “kubangan-kubangan” pusaran dinamika sosial.
Demonstrasi Provinsi Tapanuli merupakan salah satu bentuk “kubangan” tersebut., dimana dari sana akan mengemuka aktivitas unit-unit kekuatan sosial yang saling bergesekan. Jika kita simak lebih jauh bagaimana perkembangan dari daerah-daerah pemekaran, yang terjadi bukanlah munculnya inovasi-inovasi baru dalam rangka mensejahterakan masyarakat, tetapi justru “inovasi” elite setempat untuk menarik dana dari pusat. Akibatnya tujuan pemekaran yang diharapkan menjadi pemicu pertumbuhan akhirnya tidak tercapai.
Inilah pangkal dari bencana tersebut, gesekan yang justru menimbulkan konflik, karena yang terjadi adalah pertarungan untuk merebut sumber politik dan ekonomi. Kemenangan dalam perebutan ini menjadi penting bagi elite, karena inilah jalan masuk agar bisa memperoleh akses transformasi kekuasaan dari pusat. Inilah efek negatif dari otonomi daerah yang sekarang dikembangkan di Indonesia. Ketidaksiapan elite lokal untuk mandiri menyebabkan ketergantungan dengan pusat terus dibangun melalui upaya-upaya bangunan politik. Di sinilah kepentingan itu akan terus bertaut dengan dinamika politik lokal yang jelas akan memberikan kontribusi bagi gangguan kamtibmas.
Polri akan pada posisi harus bisa menjadi “moderator” bagi dinamika politik lokal melalui tugas pokoknya, yakni memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkah hukum, dan melindungi, mengayom, serta melayani. Inilah tugas yang tidak ringan. Unjuk rasa sebagai bentuk mengemukakan pendapat di muka umum akan terus ada sebagai upaya penggalangan oleh kelompok kepentingan tersebut. Elite lokal pada akhirnya akan terus memobilisasi masyarakat untuk kepentingannya. Temuan polisi bahwa ada peran politisi dalam aksi di DPRD Sumut merupakan bukti yang tak terbantahkan. Selain demo Provinsi Tapanuli, gesekan juga akan sering terjadi manakala para calon legislatif berusaha memobilisasi masyarakat untuk memberikan dukungan padanya.
Bagi Polri tugas ini akan membawa banyak resiko. Di satu pihak tuntutan untuk mampu mengawal proses demokratisasi, proses desentralisasi dalam otonomi daerah, serta mengawal pembelajaran politik bagi masyarakat wajib dilakukan, namun di lain pihak sorotan akan kinerja Polri pun tak akan pernah berhenti. Alih-alih jika tidak waspada, maka kejadian-kejadian yang tidak diinginkan bisa saja terjadi. Dan tentu saja jalan keluarnya tidak bisa hanya dengan mencopot pejabat Polri di wilayah tersebut. Karena jika ini sering dilakukan, juga tidak baik bagi proses membangun rasa percaya diri bagi mereka yang diberi tanggung jawab. Era otonomi daerah, dan sistem pemilu yang semakin terbuka akan terus membawa efek pada semakin dinamisnya gerakan-gerakan politik lokal, dan tugas Polri untuk menjaga dinamika tersebut tanpa harus kehilangan rasa percaya diri karena musibah-musibah yang tidak terduga. Kasus di Sumatera Utara adalah pelajaran yang sangat berharga.(*)

Sabtu, 11 September 2010

Resensi : Reformasi Kedua

Timbangan Buku

Melanjutkan Estafet Reformasi Melalui Reformasi Kedua

Judul Buku : REFORMASI KEDUA : Melanjutkan Estafet Reformasi

Penulis : Eko Prasojo

Penerbit : Salemba Humanika, Jakarta.

Tahun terbit : 2009

Tebal : xxvi + 232 halaman

Reformasi yang diprakarsai oleh para mahasiswa pada tahun 1998 pada awalnya mampu memberikan harapan pada banyak orang. Namun setelah lebih dari sepuluh tahun reformasi berlangsung harapan ternyata tinggal harapan. Kalau kita bernostalgia pada saat ini, rasanya seperti mimpi saja. Bayangkan saja, kekuasaan yang solid dan kokoh selama lebih dari 30 tahun, langsung runtuh berkat kekuatan moral dari para mahasiswa. Mesin politik Orde Baru dengan komando Presiden Soeharto, siapa yang berani memperhitungkan akan runtuh. Birokrasi yang dibuat sangat kuat, militer yang memberikan dukungan tanpa reserve, akhirnya toh runtuh juga. Tokoh reformis saat itu, Amin Rais mampu berdiri dengan gagah, bargaining positioning yang sangat-sangat di atas angin, benar-benar mengagumkan saat itu. Tetapi kini yang terjadi, rakyat dibuat kecewa, harapan yang ada tinggal berapa persen lagi, mungkin sulit memprediksinya. Amin Rais yang saat itu menjadi idola dengan ketokohannya juga akhirnya tidak mampu memberikan janji, setelah masuk dalam “mesin birokrasi” sebagai Ketua DPR/MPR.

Kini rakyat kembali mempertanyakan, benarkah reformasi telah berlangsung di Indonesia. Yang dirasakan justru masyarakat kecil merasa telah terjadi kemunduran. Kini bahkan muncul suara-suara, lebih enak pada jaman Pak Harto, lebih tentram, lebih sejahtera. Sekarang rakyat merasa semakin tercekik saja. Sementara buah reformasi telah melahirkan para nara pidana baru. Gubernur, Bupati, Walikota, Anggota DPR, satu-persatu masuk bui. Sampai-sampai muncul joke, kalau pada jaman Soekarno-Hatta, harus jadi tahanan dulu, baru dinilai “lulus” untuk jadi pemimpin. Tetapi sekarang terbalik, jadi pemimpin dulu, baru kemudian menikmati hidup di bui jadi nara pidana. Dunia memang terbalik-balik, begitu kata orang bijak.

Menghadapi kegetiran tersebut, terbit buku baru yang ditulis oleh ahli kebijakan publik, Profesor Eko Prasojo. Judulnya, “REFORMASI KEDUA : Melanjutkan stafet Reformasi. Buku ini seolah menjadi kanal untuk kegundahan publik yang merasa bahwa reformasi pada tahun 1998 telah gagal. Maka untuk melanjutkan estafet reformasi perlu ada reformasi kedua. Kegundahan penulis juga nampak dalam ungkapan yang ditulis pada pengantar. “Lebih dari 100 tahun kebangkitan nasional berlalu, lebih dari 63 tahun Indonesia merdeka, serta lebih dari satu dekade upaya reformasi digulirkan di Indonesia, tetapi negeri ini masih belum mencapai yang dicita-citakannya sebagai bangsa dan negara yang adil dan makmur,” begitu kalimat awal pada pengantar buku yang ditulis oleh Eko Prasojo, Guru Besar Ilmu Administrasi Publik, Fisip Universitas Indonesia dengan spesialisasi bidang Pemerintahan Daerah dan Reformasi Administrasi.

Indentifikasi Detail

Buku ini dengan tajam melakukan identifikasi situasi problematik pada tataran makro pemerintahan pusat dari aspek politik, hukum, dan administrasi. Analisis berfokus pada arah pertumbuhan pembangunan administrasi di Indonesia, pengaturan administrasi pemerintahan, dan peningkatan profesionalisme aparatur pelayanan publik. Menurut penulis inilah jalan baru reformasi administrasi di Indonesia. Dengan detail buku ini menyoroti praktik pemerintahan daerah saat ini yang sarat dengan inkonsistensi Pusat dalam menyelenggarakan otonomi daerah; inkompetensi Daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik di tingkat lokal; pemekaran daerah yang tak terbendung tanpa evaluasi kemajuan daerah hasil pemekaran; penyelenggaraan pilkada yang terlampu mahal secara finansial dan sosial; penerbitan peraturan daerah (perda) yang masif tanpa sinkronisasi; serta kerusakan dan eksploitasi sumber daya akibat penyalahgunaan kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam transaksi ekonomi-politik dengan pemilik modal domestik dan asing.

Penulis dengan latar belakang keilmuannya bisa secara tegas mengingatkan pembaca, bahwa reformasi berbeda dengan perubahan. Perubahan tidak selamanya menghasilkan perbaikan-perbaikan. Karena perubahan akan tetap terjadi, dan bisa jadi sama sekali tanpa ada pemecahan persoalan. Namun reformasi adalah perubahan yang merujuk pada upaya perubahan yang dikehendaki (intended change) dalam suatu kerangka kerja yang jelas dan terarah. Oleh karena itu prasyarat keberhasilan reformasi adalah eksistensi peta jalan (road map) menuju kondisi, status, dan tujuan yang ditetapkan sejak awal beserta indokator keberhasilannya. (hal. xv)

Buku ini mengungkapkan secara jujur fakta di Indonesia dengan menunjukkan sejarah negeri ini, bahwa birokrasi di Indonesia adalah warisan kolonial yang sarat dengan kepentingan kekuasaan. Sehingga struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang ada sangat diwarnai oleh orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara. Karena itu, struktur dan proses yang dibangun selama ini merupakan instrumen untuk mengatur dab mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugas memberikan pelayanan pada masyarakat. Kondisi ini sudah mengakar, sehingga reformasi tahun 1998 sampai saat ini dirasakan tidak memenuhi harapan. Inilah yang banyak dibahas dalam buku ini melalui fakta-fakta di lapangan serta kajian dari teori-teori yang sekarang berkembang.

Penulis buku ini memberikan perbandingan keberhasilan Cina dan Korea Selatan, dua negara yang saat ini tidak saja menjadi pesaing Jepang di Asia, tetapi juga pesaing negara-negara industri maju di Eropa dan Amerika. Di Cina, Deng Xiaoping pada tahun 1982 memproklamirkan reformasi administrasi sebagai tulang punggung kemajuan bangsa. Deng bukan hanya pidato, tapi pada tahun 1983, jumlah kementerian, departemen dan lembaga lain dipangkas dari 100 menjadi 61. Selain itu sebanyak 30.000 kader yang aktif di birokrasi dipensiunkan. Sementara Korea Selatan mengawali reformasi pada tahun 1980 dengan meletakkan sejumlah pilar reformasi administrasi, seperti peningkatan pelayanan, penegakan etika, kontrol dan pengawasan jalannya pemerintahan yang sangat ketat. Reformasi administrasi tersebut dilanjutkan oleh Rho Tae Woo pada tahun 1998-1993 dengan melakukan deregulasi dan simplikasi, restrukturisasi pemerintahan pusat, serta memperkuat komisi reformasi administrasi dan keterbukaan informasi publik. Hal ini terus berlanjut sampai pemerintahan Rho Moo Hyun pada tahun 2003 yang memfokuskan pada participatory goverment. Intinya reformasi di Cina dan Korsel berhasil karena ada arah yang jelas, dan rezim yang berkuasa mengarahkan tujuan dengan dukungan dari setiap komponen, sehingga program bisa berjalan berkesinambungan.

Berbeda dengan di Indonesia. Buku ini menunjuk minimnya komitmen politik dan kompetensi menjadi penyebab gagalnya reformasi birokrasi. Gonjang-ganjing reshuffle kabinet pada setiap masa pemerintahan merupakan bukti adanya friksi kekuasaan dan kepentingan yang sulit dihindari. Dari pengalaman reformasi birokrasi di berbagai negara, tercatat sedikitnya ada dua hal yang selalui dilakukan. Yang pertama adalah komitmen untuk melakukan reformasi birokrasi, dan kedua adalah komitmen untuk menegakkan hukum bagi setiap pelanggaran birokratis, mulai dari maladministrasi dan KKN. Dari tesis ini saja kita bisa melihat bagaimana kenyataannya di Indonesia.

Maka, reformasi kedua yang menyambung reformasi sebelumnya oleh buku ini ditunjukkan sebagai jawaban untuk mengatasi kebuntuan yang ada. Disimpulkan, reformasi pada fase berikut ini harus dijalankan secara tertata, sistemik, dan mengandalkan sinergi lintas-aspek dan lintas-elemen bangsa. Inilah yang menjadi muara utama dari buku ini. Secara umum buku ini memberikan pencerahan atas kesalahan yang sekarang sedang dilakukan. Sebagai catatan penutup atas resensi ini, pertama dari sisi teknis, buku ini tampilannya bisa diperbaiki sehingga lebih menunjukkan pada buku yang “serius”. Dari sisi esensi, akan lebih baik baik jika alur penulisan lebih diarahkan sesuai dengan yang penulis buku kemukakan sejak awal, yaitu pengelompokan pembahasan pada kelemahan aspek politik, hukum, dan administrasi publik. Baru kemudian kajian untuk penyelesaian dalam konteks Indonesia. Tetapi apapun buku ini membuat kita semakin terbuka, bahwa yang kita lakukan saat ini adalah salah, jadi sebenarnya masih ada waktu untuk memperbaiki, dan itulah yang oleh penulis buku disebut sebagai Reformasi Kedua.

(A. Wahyurudhanto; Dosen PTIK, Mahasiswa S3 Ilmu Sosial Universitas Padjajaran)

n Tulisan ini telah dimuat dalam Jurnal Kepolisian, Edisi 073 (Juni-Sept 2010).

Teorisme dan Deradikalisasi

Terorisme dan Deradikalisasi

The terrorists may be killed, But the void of the lost loved one is never filled.

Lavanya, nama seorang gadis dari Banglore, India yang baru berusia 12 tahun. Dia begitu terhentak perasaannya setelah melihat berita tragis di televisi atas aksi teroris di Kota Mumbay. Duka yang menyelimuti pikirannya itu kemudian ditorehkan dalam puisi ciptaannya yang berjudul “The city that never slept, slept” (Kota yang tak pernah tertidur, tertidur). Terorisme yang selalu menghantui membuat warga tak bisa menikmati tidurnya dengan nyenyak, itulah yang dalam pandangannya menjadikan kota juga tidak bisa memberikan kedamaian, selalu membuat orang terbangun, tak pernah tidur, begitu komentarnya. Dan dalam satu bait puisinya, dia menulis, “teroris mungkin terbunuh, namun kehilangan nyawa yang terkasihi takkan terganti”.

Suasana batin Lavanya kiranya juga terjadi pada masyarakat kita yang belakangan ini juga tidak bisa tidur karena ancaman teroris yang bertubi-tubi terjadi. Memasuki tahun 2000, aksi teror bom melanda bumi pertiwi. Dalam buku “Membongkar Jaringan Teroris” (Abdurrahman Pribadi dan Abun Rayyan, 2009), secara berani dinyatakan bahwa kran reformasi yang terbuka lebar telah meniscayakan segala bentuk gerakan, termasuk gerakan radikal dan fundamentalis yang dengan lugas telah mengepakkan sayapnya mencari pengaruh dan beraksi. Sejak teror bom Bali I tahun 2002, kemudian menyusul lahirlah berbagai aksi teror bom lainnya. Bom Bali II tahun 2004, kemudian bom Hotel JW Marriott I (2005), bom Kuningan di Kedubes Australia (2004), hingga bom Marriott II dan Ritz-Carlton (2005).

Polisi Indonesis tentu saja tertantang dengan situasi ini. Tindakan pada pelaku bom yang sudah di luar akal sehat bagaimanapun harus dibendung. Tugas pokok Polri yang menjadi tanggung jawab abdi Bhayangkara menjadi beban yang tidak ringan. Memelihara kamtibmas, menegakkan hukum, serta menjadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat menjadi motivasi utama anggota Polri untuk bertindak agar rasa aman yang didambakan masyarakat dapat terwujud. Kerja keras yang dilandasi dengan dedikasi, motivasi tinggi dan profesionalisme akhirnya membuahkan hasil. Dalam waktu yang relatif singkat pelaku peledakan bom di Hotel Marriott dan Ritz-Carlton dapat diketahui. Melalui serangkaian pelacakan, akhirnya pelakunya bisa dilumpuhkan, kendati harus dalam keadaan sudah tewas tertembak. Bahkan gembong teroris yang selama ini selalu dicari-cari, Noordin M Top berhasil pula tertembak mati dalam suatu penggerebekkan di Solo. Inilah prestasi Polri yang harus diberi acungan jempol. Masyarakat pun memberikan apresiasi dengan sangat antusias.

Namun, persis seperti yang ada dalam pikiran Lavanya, teroris mungkin terbunuh, namun kehilangan nyawa yang terkasihi takkan terganti. Inilah kegusaran hati banyak orang yang sulit dihilangkan. Pelaku teroris bom tak ubahnya sosok manusia yang telah mengalami kehilangan nurani. Karena ketidakpunyaan nurani tersebut, maka para teroris tega berbuat biadab dan menjadi predator bagi sesamanya. Mereka telah kehilangan akal sehat. Yang dilakukannya adalah tindakan yang hanya menuruti naluri agresivitas, tanpa memperhitungkan perasaan orang lain. Menciptakan suasana publik yang ketakutan justru menjadi bentuk kepuasannya.

Maka jika sekarang ini pemerintah menggalakkan deradikalisasi atau pelemahan terorisme, rasanya adalah hal yang masuk akal. Upaya ini merupakan cara untuk mencari solusi menangani pemberantasan terorisme melalui cara konvensional yang banyak menimbulkan kesan negatif oleh masyarakat, misalnya penggerebekan, penangkapan, sampai dengan penghentian aksi teror. Deradikalisasi terorisme merupakan upaya pencegahan dini, sehingga mematahkan potensi berkembangnya gerakan terorisme. Informasi yang jelas dan tepat pada masyarakat dipandang penting dalam rangka penguatan masyarakat, sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dalam pencegahan terorisme. Deradikalisasi terorisme merupakan upaya persuasif kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak tersesat dalam pemahaman yang salah, apalagi sampai berpartisipasi dalam kelompok teroris.

Namun, agaknya tidak cukup menyerahkan semua persoalan yang rumit dan kompleks ini kepada aparat keamanan semata. Dibutuhkan kesadaran kolektif semua komponen dan elemen masyarakat untuk menjadikan gerakan teror bom dan sejenisnya sebagai “musuh bersama”. Dengan cara semacam ini, ruang gerak kaum teroris kian menyempit hingga akhirnya mereka tak punya kekuatan untuk menjalankan skenario dan aksi-aksi brutalnya. Para teroris mungkin telah terbunuh, tetapi jangan lupa bahwa kader teroris masih akan terus ingin menunjukkan eksistensinya. Kewaspadaan haruslah terus dijaga, agar jangan sampai aksi teroris tetap berkembang. Kehilangan nyawa yang terkasihi tak akan terganti, ketakutan masyarakat harus dihilangkan. Ini menjadi tugas kita semua. (Drs. A. Wahyurudhanto, M.Si)

n Tulisan ini sudah dimuat dalam Jurnal Kepolisian Edisi 072 (Oktober 2009).

Satpol PP dan Otonomi Daerah

Posisi Satpol PP dalam Konteks Reformasi Sektor Keamanan dan Otonomi Daerah di Indonesia[1]

Zakarias Poerba[2] dan A. Wahyurudhanto[3]

Abstrak:

Berbagai kasus menunjukkan ada masalah selama ini mengenai posisi Satpol PP, yaitu muncul kesan bahwa keberadaan Satpol PP tidak sesuai dengan paradigma baru kepemerintahan yang sekarang sedang dianut oleh negeri ini. Apalagi jika dikaitkan dengan semangat good governance, dimana kinerja birokrat harus diproyeksikan bagi kepentingan dan kesejahtaraan masyarakat. Potret kiprah Satpol PP dalam memainkan perannya sebagai bagian dari birokrasi, oleh masyarakat saat ini dinilai tidak mencerminkan paradigma baru mengenai konsep birokrasi yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Kondisi ini sangatlah tidak menguntungkan bagi citra birokrasi karena akan berdampak pada stigma buruk oleh masyarakat, yang pada akhirnya menimbulkan efek tidak produktifnya kinerja birokrasi dalam melayani masyarakat. Dalam konteks reformasi Sektor Keamanan dan Otonomi Daerah di Indonesia, posisi Satpol PP menjadi sangatlah penting, karena perannya dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan.

Kata Kunci: keamanan, ketertiban, resformasi keamanan, otonomi daerah.

Pendahuluan

Di kalangan masyarakat luas, pemahaman mengenai siapa dan bagaimana Satuan Polisi Pamong Praja ( selanjutnya disebut dengan akronim Satpol PP) masih beragam. Namun yang paling menonjol, Satpol PP dalam benak masyarakat adalah sosok ‘Tibum’ (akronim dari Petugas Ketertiban Umum ), yaitu aparat Pemda yang pada masa lalu yang memang tugasnya melakukan penertiban umum. Pemahaman tersebut tidaklah terlalu salah, karena memang salah satu fungsi dari Satpol PP adalah menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum.

Jika melihat keberadaan Satpol PP bisa kita kaji dari dua aspek. Yang pertama adalah aspek sosiologis. ‘Satuan Polisi Pamong Praja’, dari pilihan kata untuk penyebutan sudah jelas bahwa dimaksudkan instusi ini adalah polisi milik pamong praja atau polisi untuk pamong praja. Pamong Praja adalah kata lain dari Pegawai Negeri Sipil (PNS), maka Satpol PP adalah penegak hukum di kalangan pamong praja. Dari unsur kata-kata pembentukannya, Satpol PP mempunyai tugas pembinaan ke dalam atau dalam lingkup internal aparatur pemerintahan. Namun jika diartikan sebagai polisi milik pamong praja, maka tugasnya adalah bagaimana membantu pelaksanaan kinerja pamong praja. Di sini semakin jelas bahwa peran Satpol PP memang melekat pada kinerja pamong praja, dalam hal ini birokrat.

Kedua, ditinjau dari aspek hukum keberadaan Satpol PP didasarkan pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja. Dalam PP Nomor 32/2004, disebutkan bahwa Satpol PP bertugas membantu kepala daerah dalam penegakan peraturan daerah (Perda) dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban masyarakat. Dari aspek hukum terlihat bahwa Satpol PP juga mempunyai tugas pembinaan ke masyarakat atau tugas eksternal.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pada pasal 5 bahwa kewenangan Polisi Pamong Praja adalah :

a. menertibkan dan menindak warga masyarakat atau badan hukum yang mengganggu ketentraman dan ketertiban umum.

b. melakukan pemeriksaan terhadap warga atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.

c. melakukan tindakan represif non yustisial terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.

Dari rumusan tersebut di atas secara jelas ditegaskan bahwa Satpol PP mempunyai tugas untuk melakukan penertiban terhadap masyarakat. Sebutan tindakan represif non yustisial, menunjukkan bahwa Satpol PP bisa melakukan tindakan-tindakan yang tergolong kegiatan penindakan. Namun dengan penyebutan ’non yustisial’ menjadi tidak jelas, tindakan apa yang bisa dikategorikan didalam ’bukan dalam wilayah hukum’ itu. Karena sanksi atas tindakan pelanggaran sudah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Namun jika melihat lagi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 149, pada ayat (1) disebutkan bahwa Anggota Satuan Polisi Pamong Praja dapat diangkat sebagai ’Penyidik Pegawai Negeri Sipil’ (PPNS). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Satpol PP sesuai dengan UU Nomor 32/2004 menjadi harus seirama dengan yang diatur pada Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI serta Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dalam dua undang-undang tersebut ditegaskan bahwa penyidik selain Polisi adalah juga Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Ini artinya bahwa dalam rangka penyidikan terhadap pelanggaran atas ketentuan Perda, Satpol PP yang sudah diangkat sebagai PPNS bisa melakukan aktivitas menjalankan hukum negara (pro justisia).

Melihat ketentuan yuridis yang ada, menunjukkan bahwa posisi Satpol PP sangatlah strategis, karena posisi Satpol PP sangatlah dominan dalam proses penegakan hukum atas Peraturan Daerah ataupun Keputusan Daerah. Apalagi jika statusnya juga sebagai PPNS maka yang dilakukan akan merupakan bagian dari sistem peradilan pidana (criminal justice system). Ini artinya bukan lagi represif non yustisial tetapi bisa melakukan represif pro justisia.

Yang menjadi masalah selama ini, muncul kesan bahwa keberadaan Satpol PP tidak sesuai dengan paradigma baru kepemerintahan yang sekarang sedang dianut oleh negeri ini. Kejadian di Koja, Jakarta Utara medio Bulan Mei 2010 ketika massa harus berhadapan dengan Satpol PP yang akan menggusur mereka yang mengakibatkan jatuh korban jiwa baik pada pihak Satpol PP maupun masyarakat menunjukkan ada yang tidak pas dalam kinerja Satpol PP. Pasca reformasi tahun 1998 muncul paradigma baru yang menempatkan kembali posisi birokrat bukan dalam status sebagai “penguasa” namun sebagai abdi masyarakat. Konsep Pamong Praja kembali dihadirkan, dalam pemaknaan bahwa pemerintah harus bisa melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Apalagi jika dikaitkan dengan semangat good governance, dimana kinerja birokrat harus diproyeksikan bagi kepentingan dan kesejahtaraan masyarakat.

Potret kiprah Satpol PP dalam memainkan perannya sebagai bagian dari birokrasi, oleh masyarakat saat ini dinilai tidak mencerminkan paradigma baru mengenai konsep birokrasi, yaitu sebagai sebuah negara demokratis maka orientasinya harus selalu berpihak pada rakyat. Dari berbagai berita yang muncul di media massa, dikesankan Satpol PP arogan, tidak professional, tidak berpihak kepada rakyat, hanya menjadi alat “Penguasa Daerah”.

Kondisi ini sangatlah tidak menguntungkan bagi citra birokrasi karena akan berdampak pada stigma buruk oleh masyarakat, yang pada akhirnya menimbulkan efek tidak produktifnya kinerja birokrasi dalam melayani masyarakat. Padahal jika melihat esensi pembentukan Satpol PP, kehadirannya sangatlah diperlukan oleh karena Satpol PP mempunyai peran untuk untuk membantu Kepala Daerah, dalam hal penegakan peraturan daerah dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban masyarakat.

Jika melihat peran ini, posisi Satpol PP adalah sangat strategis, karena kehadirannya akan menjadi bagian signifikan penentu keberhasilan Kepala Daerah menjalankan program-program pemerintahan. Dengan demikian, perlu dikaji kembali mengenai keberadaan Satpol PP, untuk melihat dimana letak kesalahannya serta dicarikan alternatif solusi pemecahan, agar pembentukan Satpol PP tidak menjadikan jalannya pemerintahan semakin buruk, tetapi justru memberikan kontribusi terbentuknya good governance, dan berjalannya program-program pembangunan, karena Peraturan Daerah bisa berjalan dengan baik dan masyarakat bisa mengalami kondisi tentram dan tertib.

Kebutuhan Pemda

Terganggunya ketentraman dan ketertiban umum di beberapa daerah di Indonesia telah mengakibatkan Indonesia dijuluki ”negara beresiko” (country risk) yang tinggi di antara negara Asean. Country Risk yang tinggi telah mengakibatkan hilangnya daya tarik bagi negara lain untuk menanamkan modalnya (investasi) di Indoensia, bahkan investasi di dalam negeri bisa beralih ke luar negeri mencari negara dengan country risk yang rendah. Larinya investasi yang sangat dibutuhkan berakibat pada rendahnya pertumbuhan ekonomi dan rendahnya pertumbuhan ekonomi akan berdampak pada meningkatnya pengangguran, rendahnya pendapatan, dan mendorong tindak kriminal. Dengan kata lain gangguan ketrentraman dan ketertiban akan menimbulkan gangguan ekonomi. Apabila kondisi ini dibiarkan secara terus menerus akan menimbulkan gangguan kehidupan generasi mendatang yang tidak bisa berperan optimal pada masanya.

Dengan berdasarkan pada pemahaman tersebut maka bisa ditarik suatu kesimpulan, bahwa masalah ketentraman dan ketertiban umum, sebenarnya merupakan salah satu kebutuhan dasar hidup yang harus terpenuhi dahulu, sebelum kebutuhan dasar yang lainnya. Masalah ketentraman dan ketertiban umum sudah menjadi amanat nasional yang tidak boleh dihindari, dimana tanggung jawab keamanan, ketentraman, dan ketertiban umum berada di bawah koordinasi pemerintah. Dalam ruang lingkup nasional, keamanan negara dari gangguan negara asing menjadi tanggung jawab dan berada di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sedangkan keamanan dan ketertiban umum / masyarakat (Kamtibmas) dalam lingkup nasional berada di bawah tanggung jawab Polri. Dalam pemahaman birokrasi pemerintahan, cakupan TNI dan Polri yang sangat luas tidaklah bisa mengakomodir seluruh renik kepentingan daerah. Karena itu tanggung jawab akan ketentraman dan ketertiban umum di daerah dalam pandangan birokrasi pemerintahan adalah tanggung jawab pemerintah daerah. Dalam hal ini salah satu lembaga yang diberi kewenangan untuk penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum adalah Polisi Pamong Praja.

Sesuai dengan isi Pasal 148 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan, bahwa Satuan Polisi Pamong Praja mempunyai tugas pokok membantu Kepala Daerah dalam penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum serta penegakan Peraturan Daerah. Sehingga semua permasalahan ketentraman dan ketertiban umum yang terkait langsung dengan Penegakan Peraturan Daerah yang diindikasikan belum bereskalasi luas menjadi tanggung jawab Polisi Pamong Praja.

Dalam melaksanakan kegiatannya untuk menjalankan perannya selaku aparat penegak hukum Peraturan Daerah serta menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, ternyata Satpol PP oleh sebagian besar masyarakat dinilai negatif. Tentu saja banyak faktor yang mempengaruhi mengapa kinerja Satpol PP justru memberikan citra yang buruk bagi birokrat dalam hal ini pegawai Pemerintah Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 secara tegas menyebutkan (dalam : pasal 7), bahwa dalam melaksanakan tugasnya, Polisi Pamong Praja wajib menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, hak asasi manusia dan norma-norma sosial lainnya yang hidup berkembang di masyarakat. Namun pada kenyataan di lapangan kewajiban tersebut tidak sepenuhnya dapat dilakukan, sehingga muncullah persepsi negatif dari masyarakat atas kehadiran Satpol PP.

Jika kita melihat sejarah pembentukan Satpol PP, tidak bisa dimungkiri bahwa watak kolonialisme dan militerisme yang menjangkiti tubuh Satpol PP menghasilkan tindakan-tindakan represif, koruptif, dan gila kuasa. Tindakan ini sebagai tren yang akan terus berlangsung jika sistem dan paradigma kelembagaannya tetap sama. Tindakan ini lebih banyak ditujukan kepada rakyat miskin yang selama ini menjadi sasaran utama keganasan Satpol PP, karena dianggap biang ketidaktertiban atau entitas yang paling dianggap menggaggu ketertiban umum. Masalah yang sebenarnya berakar pada pandangan tentang ”manisnya madu kota dari kacamata masyarakat pedesaan yang tidak terbangun secara simultan.

Dari temuan data oleh Institute for Ecosoc Rights, pada tahun 2006 terjadi 146 kasus penggusuran dengan korban 42.498 warga. Pada tahun 2007 terjadi 99 penggusuran dengan 45.345 korban. Hingga Februari 2008 terjadi 17 penggusuran dengan 5.704 korban. Karena itulah keberadaan institusi ini oleh sebagian masyarakat menilai telah melakukan tindakan yang meresahkan. Apalagi dalam setiap pelaksanaan tugas di lapangan Satpol PP sering dinilai melakukan kekerasan dan tindak arogansi. Hal yang lebih disebabkan oleh ketidak pahaman yang bergabung dengan kewajiban untuk melksanakan perintah dengan sukses.

Jika kita tarik dari temuan kasus-kasus yang ada, serta bagaimana masyarakat mempersepsikan Satpol PP, maka bisa dirumuskan bahwa persepsi masyarakat atas kehadiran Satpol PP dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Tindakan di lapangan terkesan arogan.

Rekrutmen anggota Satpol PP yang tidak mempunyai standarisasi pada masing-masing daerah menjadikan pola kinerjanya tidak seragam. Sehingga ketika mengimplementasikan kinerja yang seharusnya menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, hak asasi manusia dan norma-norma sosial lainnya akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, lingkungan, tingkat ekonomi, dan peran atasan. Karena mayoritas anggota Satpol PP dari tingkat ekonomi dan pendidikan lapis bawah maka yang muncul adalah kecenderungan semangat ”premanisme”. Kewenangan yang dipunyainya berubah menjadi aroganisme ketika tindakan yang dilakukan menjurus pada brutalistis karena merasa mempunyai kewenangan sebagai ”penguasa”.

2. Perannya untuk menciptakan ketentraman justru dinilai menyengsarakan rakyat kecil.

Tidak bisa dimungkiri bahwa hampir semua anggota Satpol PP berada pada tingkat ekonomi di lapis bawah. Hal ini didasarkan pada pangkat serta golongan dalam struktur kepegawaian mereka berada pada struktur tingkat kepegawaian golongan bawah, bahkan sebagian hanya berstatus karyawan kontrak dan atau honorer. Perannya sebagai penegak hukum yang mempunyai fungsi melakukan tindakan represif dan penggunaan kostum yang mirip militer, sebenarnya menunjukkan kesan yang meyakinkan bahwa Satpol PP adalah organisasi paramiliter.

Penggunaan kostum yang mirip militer, dan perlengkapan kerja yang mengacu pada doktrin militer dengan menempatkan masyarakat penganggu ketertiban adalah ”musuh” yang harus dilawan, menjadikan tindakan mereka di lapangan selalu berbenturan dengan komunitas miskin. Komunitas miskin di kota-kota pada hakekatnya adalah residu dari proses pengelolalan dan manajemen kota yang tidak tuntas; sedangkan di sisi lain sebagaian besar dari anggota Satpol PP juga tergolong dalam komunitas yang berpendapatan rendah.

Secara empiris kita bisa melihat pada kasus-kasus penggusuran, penertiban pedagang kaki lima, operasi KTP dan lain-lain, yang terjadi adalah Satpol PP sebagai ”barisan orang miskin” yang memukul komunitas miskin perkotaan. Banyak artikel yang mengutip wawancara dengan para anggota Satpol PP bahwa sebenarnya hati nurani mereka menjerit ketika melakukan tindakan yang menyebabkan ”benturan” dengan komunitas miskin. Tetapi karena perintah atasan dan mereka butuh pekerjaan maka yang terjadi adalah sikap melawan masyarakat yang mengesankan justru menyengsarakan lawan.

Kesan yang muncul pada masyarakat adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) menjadi aktor utama yang hadir menampilkan praktek-praktek kekerasan dalam keseharian kita. Di Perkotaan, ia menggantikan dominasi militer dan polisi yang selama ini akrab dengan tindak kekerasan. Berbagai kekerasan dalam operasi penggusuran, penggarukan, razia kaum papa, telah menjadikan Satpol PP musuh utama rakyat miskin.

Dalam pandangan yang muncul ke permukaan menunjukan, bagaimana produk hukum telah memberi peluang dan legitimasi bagi tindakan represif yang melanggar HAM juga berkaitan erat dengan tingginya angka tindak kekerasan yang dilakukan satpol PP. Alokasi anggaran sektor ketentraman dan ketertiban dalam APBD yang besar berikut tingkat kebocorannya, praktek pungli dan korupsi, menyertai tindakan penangkapan, penahanan secara sewenang-wenang, perusakan, penjarahan harta benda, penggarukan masyarakat miskin dan penggusuran rumah dan alat usaha/ mata pencaharian masyarakat miskin. Semuanya dibungkus dalam satu kebijakan untuk memerangi rakyat miskin kota.

3. Dalam menjalankan tugas di lapangan mengesankan menutup komunikasi dengan rakyat sehingga terkesan menjadi kelompok elitis yang menekan rakyat.

Dalam berbagai pemberitaan baik di media cetak maupun media elektronik, sering kali terlihat telah terjadi tindak kekerasan ketika Satpol PP melakukan penertiban. Tingkat pendidikan yang rendah serta pangkat dalam hirarki kepegawaian yang berada di lapis bawah, menjadikan mereka ketika bertindak memakai doktrin ”perintah atasan” dan ”kalau bersoal di kantor saja = dibawa/ ditangkap. Maka yang terjadi kecenderungannya adalah situasi yang tidak dialogis dalam setiap kinerja Satpol PP yang berhadapan dengan masyarakat. Oleh karena cenderung muncul kesan bahwa Satpol PP adalah kelompok barisan orang miskin yang terorganisir dalam bagian masyarakat yang didisain untuk menekan rakyat miskin lainnya. Citra ini akan terus melekat pada Satpol PP sepanjang tidak terjadi pembenahan keberadaan Satpol PP dalam hubungannya dengan pola perilaku tugas maupun statusnya, yang berkaitan dengan hubungan hukumnya dengan masyarakat dan instansi yang memiliki keterkaitan kewenangan. Bahkan dalam hubungan yang lebih luas berhubungan pula dengan materi Perda, yang pada kaitannya selanjutnya berhubungan pula dengan kualitas pemegang otoritas pembuat Perda.

Bentuk tugas/ penugasan Satpol PP juga membutuhkan ’Petunjuk teknis dan Petunjuk Lapangan’ yang terukur dan sesuai atau tidak bertentangan dengan berbagai Undang-undang yang berlaku maupun nilai-nilai yang dianut dalam sebuah negara demokrasi. Hal itu sangat dibutuhkan agar keberadaan sebuah lembaga yang menjadi bagian dari birokrasi yang dibayar dengan uang pajak rakyat justru tidak berbalik melanggar hak-hak rakyat itu sendiri.

Benturan Tugas Satpol PP dengan Tugas Polri

Jika kita melihat mengapa tumpang tindih tersebut terjadi, hal ini dikarenakan adanya benturan mengenai ’siapa’ yang mempunyai kewenangan dalam menjalankan peran dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam pasal 27 huruf c UU Nomor 32/2004 dirumuskan salah satu kewajiban Kepala Daerah adalah memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat. Di sisi lain Polri memiliki tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat sesuai dengan rumusan pada pasal 13 UU Nomor 2/2002. Dengan demikian dapat dipahami apa yang menjadi tugas pokok kepolisian di daerah tersebut juga menjadi kewajiban kepala daerah untuk menjalankannya. Di sinilah letak persinggungannya.

Sepanjang konsep menjaga keamanan dan ketertiban yang dipunyai kepala daerah tidak satu visi dengan Polri maka benturan di lapangan akan memiliki probabilitas besar akan terus terjadi. Satpol PP sebagai aparat Pemda sering melakukan tugasnya secara tumpang tindih dengan Aparat Polisi yang mendasarkan diri pula pada payung hukum yang menaunginya. Kondisi ini menghasilkan friksi antara kewenangan Polisi sebagai aparat sentralistik dengan Satpol PP yang merupakan aparat Pemda yang otonom.

Adalah hal yang tidak bisa dimungkiri, keberadaan Satpol PP yang seharusnya bisa melindungi masyarakat karena fungsinya sebagai penyelenggara ketentraman dan ketertiban umum, karena tampilan arogansi yang sering ditunjukkan justru menimbulkan kekhawatiran publik. Kekhawatiran tersebut berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia, wanita dan kaum miskin, serta semangat untuk tidak mau mengikuti kecenderungan dunia yang sudah menjunjung tinggi demokratisasi.

Temuan dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Jakarta menyatakan, petugas Satpol PP paling banyak melanggar hak asasi manusia (HAM), kemudian diikuti kepolisian dan TNI. Dalam siaran pers yang dilansir berbagai media, Ketua Badan Pengurus PBHI Jakarta, Dedi Ali Ahmad mengatakan, pada kasus penggusuran, satpol PP menduduki peringkat pertama dalam hal pelanggaran seperti kekerasan fisik dan nonfisik. Berdasarkan data yang dimiliki, dari 70 kasus penggusuran seperti penggusuran PKL, permukiman liar dan pasar, sebagian besar pelanggaran dilakukan Satpol PP. Dari jumlah kasus penggusuran yang terjadi, tindakan kekerasan dan pemaksaan adalah yang paling banyak dilakukan. Menurutnya fungsi petugas satpol PP hanya sebatas mengawal kebijakan pemerintah, apakah berjalan atau tidak sesuai dengan UU No 32/2004 tentang Pamong Praja. Dalam pandangan PBHI tugas Satpol PP hanya mengawal bukan melakukan tindak kekerasan.

Dalam temuan kasus di Semarang, perlakuan petugas Satpol PP terhadap kaum wanita jalanan ternyata sering menempatkan mereka pada pihak yang dilecehkan. Pada penertiban umum yang dilakukan terhadap penyakit masyarakat (Pekat), selain anak jalanan, pelacur jalanan adalah sasaran yang sering ditangani. Perlakuan terhadap kaum wanita jelanan yang oleh Satpol PP dikategorikan pelacur sering tidak etis. Mereka memperlakukan wanita jalanan dengan tidak sopan dan cenderung melecehkan, dengan adanya bukti-bukti pelecehan seksual, seperti memaki dengan kasar, memegang ”alat vital/ buah-dada” pelacur. Bahkan di tahanan perilaku dalam ucapan dan sikap ringan tangan sering mereka lakukan. Tidak ada perlawanan oleh para pelacur jalanan, baik karena mereka merasa sebagai pelaku pelanggaran Perda tentang ketertiban umum maupun ketidak tahuan haknya serta rasa tidak berdaya. Sehingga tidak pernah ada protes melalui media atas perlakuan ini.

Kondisi ini juga terjadi di Yogyakarta atas pengakuan PKBI (Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia) yang sering melakukan pendampingan atas korban-korban terhadap wanita dan anak-anak. Pada kasus di Yogyakarta yang sering memperoleh perlakukan pelecehan seksual adalah para ”waria” yang terjaring operasi penyakit masyarakat. Perlakuan terhadap waria oleh petugas Satpol PP seringkali tidak manusiawi dan menempatkan waria sebagai pihak yang dengan mudah dilecehkan. Yang dilakukan oleh para waria hanya menahan perasaan, sampai akhirnyha menganggap perilaku petugas Satpol PP adalah hal yang biasa. Sehingga ketika kemudian terjaring lagi dan diperlakukan tidak senonoh karena cenderung sering terjadi pelecehan seksual, mereka mendiamkan saja dan menjadikan sebagai resiko dari ”profesi”-nya sebagai waria, yang berkeliaran di jalan karena mencari nafkah dengan ”menjajakan diri”.

Kekhawatiran atas perkembangan kebijakan Pemda terhadap Satpol PP juga muncul di Semarang atas rencana Pemerintah Kota untuk mempersenjatai Satpol PP. Dalam pandangan LSM Pattiro, Satpol PP bukanlah aparat seperti kepolisian yang akan sering berhadapan dengan pelaku tindak kriminal atau penjahat. Satpol PP adalah aparat yang salah satu kewenangannya lebih pada menegakkan Perda dan berbagai bentuk kebijakan publik di Kota Semarang serta menjaga ketertiban umum. Karena kebijakan publik mengatur hak dan kewajiban pemerintah dengan warga, maka pada penegakan kebijakan publik Satpol PP akan banyak berhadapan dengan warga sipil yang bukan penjahat.

Berdasarkan fakta selama ini, yang paling sering berhadapan dengan Satpol PP adalah masyarakat marginal. Masyarakat yang di lapangan sering berhadapan dengan Satpol PP adalah mereka yang berprofesi sebagai pedagang kaki lima (PKL), pekerja seks komersial (PSK), tukang becak, gelandangan, pengemis, anak jalanan, dan juga warga yang tinggal di bantaran sungai. Artinya keseharian Satpol PP tidak berhadapan dengan para penjahat atau pelaku tindakan kriminal, tetapi justru dengan warga sipil khususnya masyarakat marginal.

Dalam pandangan LSM Pattiro, seharusnya Pemda lebih mengedepankan pendekatan persuasif daripada pendekatan represif. Meskipun dalam Permendagri Nomor 35 Tahun 2005 pasal 33 dinyatakan, Satpol PP juga dapat dipersenjatai dengan senpi genggam maupun laras panjang dengan amunisi peluru tajam, gas air mata, peluru hampa, atau peluru karet, namun mustinya pemerintah Kota Semarang lebih arif dan bijak. Kata-kata ”dapat” artinya bisa diadakan dan bisa pula tidak, yang berarti sangat berkaitan dengan kebutuhan akan kegunaannya, sehingga melihat situasi daerah seharusnya langkah preventif lebih bijak dibanding dengan mempersenjatai dalam rangka tindakan represif.

Bukti tindakan Satpol PP yang dinilai bertindak ”kejam” juga ditunjukkan dalam kasus di Jakarta, yaitu pada tanggal 8 Januari 2007. Seperti diungkapkan oleh Heru Suprapto yang merupakan aktivis pada Jakarta Centre for Street Children (JCSC) dan Aliansi Rakyat Miskin (ARM). Kematian tragis dialami seorang anak yang coba mendapatkan uang di jalan di hari itu. Tidak seperti anak-anak yang tercukupi kebutuhan ekonominya, menadahkan tangannya kepada orang tua mereka untuk mendapatkan uang. Anak ini, alm. Irfan Maulana (14), berada di jalan untuk menjual jasa sebagai “joki three in one” kepada pengendara yang melintasi jalan di wilayah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dia mencari uang untuk biaya menonton tim bola kesayangannya, Jak Mania, Persija.

Satpol PP dan Masalahnya

Jika kita menyimak landasan hukum bagi Satpol PP tidak ada yang krusial untuk dipersoalkan. Karena memang dari sejarah berdirinya negeri ini, kehadiran Satpol PP selalu memberikan warna pada bagaimana birokrat menjalankan roda pemerintahan. Kehadiran Satpol PP jelas-jelas ditegaskan dengan didasarkan pada UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 148 UU 32/2004 disebutkan, Polisi Pamong Praja adalah perangkat pemerintah daerah dengan tugas pokok menegakkan Perda, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat sebagai pelaksanaan tugas desentralisasi.

Satpol PP juga bisa menjalankan fungsi yudisial, karena pada pasal 149 UU Nomor 32/2004 ayat (1) dinyatakan, anggota Satuan Polisi Pamong Praja dapat diangkat sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya ketentuan ini, maka sebagian anggota Satpol PP adalah bagian dari Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) karena mempunyai kewenangan penyidikan.

Merujuk pada UU Nomor 32/2004 dalam rangka operasionalisasi kegiatan Satpol PP telah diterbitkan Peraturan Pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pada pasal 5, bahwa kewenangan Polisi Pamong Praja adalah : a) menertibkan dan menindak warga masyarakat atau badan hukum yang mengganggu ketentraman dan ketertiban umum; b) melakukan pemeriksaan terhadap warga atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah; c) melakukan tindakan represif non yustisial terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.

Adapun kewajibannya: a) menjunjung tinggi norma hukum/norma agama, HAM dan norma sosial lain yang ada di masyarakat, b) membantu menyelesaikan perselisihan warga yang bisa mengganggu ketenteraman dan ketertiban (tramtib), c) melaporkan kepada Kepolisian atas ditemukannya / patut diduga adanya tindak pidana, (d) menyerahkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) atas ditemukannya / patut diduga adanya pelanggaran terhadap perda dan kepda (Pasal 7 huruf a, b, c, dan d).

Yang menjadi masalah, sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah Satpol PP adalah bagian dari Pemerintah Daerah, sehingga dalam menjalankan tugasnya anggota Satpol PP bertanggung jawab langsung dengan Kepala Daerah dalam hal ini Bupati, Walikota atau Gubernur. Dengan kondisi ini, maka tidak ada hubungan hirarki maupun struktur antara Satpol PP Provinsi dengan Satpol PP Kabupaten ataupun Kota. Selain itu karena dasar pembentukan Satpol PP adalah Peraturan Daerah, sangat dimungkinkan antara kabupaten atau kota satu dengan lainnya terdapat spesifikasi dalam organisasi yang menyesuaikan dengan karakter daerah setempat.

Dari sisi yuridis, keberadaan Satpol PP dilandasi oleh Undang-undang, PP, maupun Perda untuk masing-masing daerah, tetapi dalam pelaksanaan tugas bisa jadi muncul benturan karena perbedaan karakteristik daerah yang tajam. Ganjalan lain dari sisi yuridis, walau sama-sama bernama Satpol PP dan mempunyai seragam yang sama, tidak ada kewenangan dari Satpol PP Provinsi untuk melakukan intervensi ke Satpol PP Kabupaten atau Kota. Hal ini akan memunculkan persoalan ketika anggota Satpol PP yang juga PPNS menangani suatu kasus pelanggaran Perda yang harus melakukan konsultasi dengan pemerintah provinsi. Sesuai dengan ketentuan bisa saja hal itu tidak dilakukan, ketika ada kepentingan lain yang lebih cenderung/berpihak pada kepentingan daerah bersangkutan. Sehingga persoalan menegakkan Perda bisa menjadi gangguan dalam administrasi pemerintahan, ketika terjadi persinggungan kepentingan dari masing-masing daerah atau dengan pemerintah provinsi.

Rekrutmen dan pembinaan personel satpol PP merupakan masalah yang paling serius dalam temuan di lapangan. Pembinaan personel di sini termasuk dalam hal pendidikan dan pelatihan bagi anggota Satpol PP. Dalam kaitan dengan Diklat Satpol PP, Kapolri melalui Surat Keputusan No. Pol: Skep/362/VI/2003 tanggal 16 Juni 2003 telah membuat Naskah Sementara Perangkat Kendali Pendidikan dan Latihan Satuan Polisi Pamong Praja Tingkat Dasar. Namun acuan ini pun tidak dilaksanakan dengan memadai oleh kesatuan Polisi Pamong Praja. Temiuan di Pemerintah Kota Semarang, latihan didisain sendiri dengan menyesuaikan anggaran yang ada dan hanya dengan menggunakan waktu selama satu minggu saja. Itu pun dilakukan pada anggota yang sudah tercatat sebagai anggota Satpol PP. Ini berarti proses rekrutmen tidak dilakukan dengan dasar ketentuan pada PP Nomor 32/2004.

Dengan model pemerintahan desentralisasi dan pembentukan Satpol PP berdasarkan Peraturan Daerah, maka kepentingan politis dalam penyusunannya tidak bisa dihindarkan. Sebagai sebuah Perda, maka prosesnya selalu melalui proses politik karena diputuskan oleh DPRD dan Eksekutif. Dengan demikian tidak bisa dihindari adanya konflik kepentingan dalam proses penyusunan Perda. Berkaitan dengan penyusunan SOTK (Susunan Organisasi dan Tata Kerja) dalam struktur organisasi pemerintah daerah, maka walau sudah ada ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004, namun dalam kenyataannya masing-masing Pemda membuat struktur organisasi yang berbeda-beda, termasuk di sini dalam hal eselonisasi pejabat Kepala Satpol PP.

Penutup

Dalam konteks reformasi Sektor Keamanan dan Otonomi Daerah di Indonesia, posisi Satpol PP menjadi sangatlah penting, terutama jika kita melihat perkembangan peran Satpol PP, yang pada beberapa kasus semakin meluas pada wilayah yang seharusnya tidak ditangani oleh Satpol PP. Mengutip hasil kajian yang dilakukan oleh IRE, ternyata efek dari “Otonomi Daerah” tidak hanya memperebutkan soal hak kewenangan daerah dalam memperoleh akses ekonomi dari pemerintah pusat. Namun pada sektor “Keamanan” juga menjadi menarik dikupas ketika muncul rebutan “kewenangan” dalam memperebutkan arena pengelolaannya.

Dalam temuan yang bisa diungkap adalah munculnya wacana Satpol PP yang menginginkan agar lembaga ini mempunyai kedudukan, peran, dan fungsi yang tegas (tidak banci), karena selama ini dianggap sebagai “adik” dari Polisi. Satpol PP yang sebenarnya mempunyai fungsi menjaga ketentraman dan ketertiban (tramtib), ternyata dalam menjalankan tugasnya untuk menegakkan Perda mulai menggagas perluasan “kewenangannya” secara nyata, seperti fungsi yang tertuang pada UU 32 Tahun 2004. Dalam prakteknya yang dilakukan oleh Satpol PP bersinggungan dengan tugas dan kewenangan yang dipunyai oleh Polisi.

Dari fakta yang ada, sebenarnya yang paling krusial menyebabkan kekisruhan koordinasi dalam menjalankan tugas keamanan, adalah tidak tegasnya peraturan perundangan yang mengatur fungsi keamanan masyarakat. Seharusnya polisi adalah yang mempunyai tugas utama seperti yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, namun ternyata juga dalam UU 32 Tahun 2004, Satpol PP dibawah koordinasi Depdagri secara eksplisit mempunyai fungsi keamanan dalam menegakkan Perda”. Konteks siapa yang mengelola keamanan kemudian menjadi wilayah yang “tumpang-tindih atau abu – abu”.

Sehingga di lapangan terungkap seringnya timbul pola relasi antara polisi dan Pemda yang sering “mis-koordinasi” dalam mengambil keputusan soal pengelolaan keamanan, dimana berbagai institusi yang mempunyai fungsi pemolisian, telah mengambil kewenangan polisi dalam menjalankan fungsi keamanan. Perkembangan fungsi Satpol PP yang telah melakukan fungsi intelijen dengan dasar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2005 tentang Komunitas Intelijen Daerah (Kominda) menunjukkan bahwa peran Satpol PP dalam fungsi keamanan dan intelijen sudah seperti layaknya tugas polisi. Usulan agar Satpol PP dipersenjatai, juga menjadi wacana sebagai perangkat kelengkapan kerja dalam menjalankan fungsi ketentraman dan ketertiban.

Ternyata “kue keamanan” di era otonomi daerah, menjadi menarik dikupas, ketika berbagai institusi pengelola keamanan seperti polisi dan intsitusi yang mempunyai tugas pemolisian mulai merasakan enaknya mengelola sektor keamanan pasca pemisahan TNI dan Polri. Muncul pula statemen, bisa – bisa institusi keamanan di luar polisi yang mempunyai tugas pemolisian ini “lebih polisi” dari pada institusi polisi itu sendiri, bila secara tegas peraturan perundangan yang mengaturnya memberikan kewenangan “yang lebih” dalam menjalankan fungsi keamanan.

Dalam konteks reformasi sektor keamanan, maka yang terpenting adalah bagaimana mendudukkan secara proporsional masing-masing institusi tersebut, tanpa adanya kepentingan terselubung. Namun, justru hal inilah yang sulit dilakukan karena kepentingan terselubung tersebut justru seringkali menjadi dasar untuk melakukan strategi demi kepentingan politis atau ekonomis. (*)


[1] Tulisan ini diadaptasi dari hasil penelitian tentang Satpol PP yang dilakukan oleh Zakarias Poerba dan A. Wahyurudhanto atas sponsor GTZ untuk Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia.

[2] Dr. Zakarias Poerba,SH, M.Si, Dosen PTIK, Konsultan pada beberapa lembaga penelitian.

[3] Drs. A. Wahyurudhanto, M.Si, Dosen PTIK, Mahasiswa Program S3 Ilmu Sosial Universitas Padjajaran

-- Tulisan ini telah dimuat dalam Jurnal Kepolisian, Edisi 073 (Juni-Sept 2010).