Sabtu, 11 September 2010

Resensi : Reformasi Kedua

Timbangan Buku

Melanjutkan Estafet Reformasi Melalui Reformasi Kedua

Judul Buku : REFORMASI KEDUA : Melanjutkan Estafet Reformasi

Penulis : Eko Prasojo

Penerbit : Salemba Humanika, Jakarta.

Tahun terbit : 2009

Tebal : xxvi + 232 halaman

Reformasi yang diprakarsai oleh para mahasiswa pada tahun 1998 pada awalnya mampu memberikan harapan pada banyak orang. Namun setelah lebih dari sepuluh tahun reformasi berlangsung harapan ternyata tinggal harapan. Kalau kita bernostalgia pada saat ini, rasanya seperti mimpi saja. Bayangkan saja, kekuasaan yang solid dan kokoh selama lebih dari 30 tahun, langsung runtuh berkat kekuatan moral dari para mahasiswa. Mesin politik Orde Baru dengan komando Presiden Soeharto, siapa yang berani memperhitungkan akan runtuh. Birokrasi yang dibuat sangat kuat, militer yang memberikan dukungan tanpa reserve, akhirnya toh runtuh juga. Tokoh reformis saat itu, Amin Rais mampu berdiri dengan gagah, bargaining positioning yang sangat-sangat di atas angin, benar-benar mengagumkan saat itu. Tetapi kini yang terjadi, rakyat dibuat kecewa, harapan yang ada tinggal berapa persen lagi, mungkin sulit memprediksinya. Amin Rais yang saat itu menjadi idola dengan ketokohannya juga akhirnya tidak mampu memberikan janji, setelah masuk dalam “mesin birokrasi” sebagai Ketua DPR/MPR.

Kini rakyat kembali mempertanyakan, benarkah reformasi telah berlangsung di Indonesia. Yang dirasakan justru masyarakat kecil merasa telah terjadi kemunduran. Kini bahkan muncul suara-suara, lebih enak pada jaman Pak Harto, lebih tentram, lebih sejahtera. Sekarang rakyat merasa semakin tercekik saja. Sementara buah reformasi telah melahirkan para nara pidana baru. Gubernur, Bupati, Walikota, Anggota DPR, satu-persatu masuk bui. Sampai-sampai muncul joke, kalau pada jaman Soekarno-Hatta, harus jadi tahanan dulu, baru dinilai “lulus” untuk jadi pemimpin. Tetapi sekarang terbalik, jadi pemimpin dulu, baru kemudian menikmati hidup di bui jadi nara pidana. Dunia memang terbalik-balik, begitu kata orang bijak.

Menghadapi kegetiran tersebut, terbit buku baru yang ditulis oleh ahli kebijakan publik, Profesor Eko Prasojo. Judulnya, “REFORMASI KEDUA : Melanjutkan stafet Reformasi. Buku ini seolah menjadi kanal untuk kegundahan publik yang merasa bahwa reformasi pada tahun 1998 telah gagal. Maka untuk melanjutkan estafet reformasi perlu ada reformasi kedua. Kegundahan penulis juga nampak dalam ungkapan yang ditulis pada pengantar. “Lebih dari 100 tahun kebangkitan nasional berlalu, lebih dari 63 tahun Indonesia merdeka, serta lebih dari satu dekade upaya reformasi digulirkan di Indonesia, tetapi negeri ini masih belum mencapai yang dicita-citakannya sebagai bangsa dan negara yang adil dan makmur,” begitu kalimat awal pada pengantar buku yang ditulis oleh Eko Prasojo, Guru Besar Ilmu Administrasi Publik, Fisip Universitas Indonesia dengan spesialisasi bidang Pemerintahan Daerah dan Reformasi Administrasi.

Indentifikasi Detail

Buku ini dengan tajam melakukan identifikasi situasi problematik pada tataran makro pemerintahan pusat dari aspek politik, hukum, dan administrasi. Analisis berfokus pada arah pertumbuhan pembangunan administrasi di Indonesia, pengaturan administrasi pemerintahan, dan peningkatan profesionalisme aparatur pelayanan publik. Menurut penulis inilah jalan baru reformasi administrasi di Indonesia. Dengan detail buku ini menyoroti praktik pemerintahan daerah saat ini yang sarat dengan inkonsistensi Pusat dalam menyelenggarakan otonomi daerah; inkompetensi Daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik di tingkat lokal; pemekaran daerah yang tak terbendung tanpa evaluasi kemajuan daerah hasil pemekaran; penyelenggaraan pilkada yang terlampu mahal secara finansial dan sosial; penerbitan peraturan daerah (perda) yang masif tanpa sinkronisasi; serta kerusakan dan eksploitasi sumber daya akibat penyalahgunaan kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam transaksi ekonomi-politik dengan pemilik modal domestik dan asing.

Penulis dengan latar belakang keilmuannya bisa secara tegas mengingatkan pembaca, bahwa reformasi berbeda dengan perubahan. Perubahan tidak selamanya menghasilkan perbaikan-perbaikan. Karena perubahan akan tetap terjadi, dan bisa jadi sama sekali tanpa ada pemecahan persoalan. Namun reformasi adalah perubahan yang merujuk pada upaya perubahan yang dikehendaki (intended change) dalam suatu kerangka kerja yang jelas dan terarah. Oleh karena itu prasyarat keberhasilan reformasi adalah eksistensi peta jalan (road map) menuju kondisi, status, dan tujuan yang ditetapkan sejak awal beserta indokator keberhasilannya. (hal. xv)

Buku ini mengungkapkan secara jujur fakta di Indonesia dengan menunjukkan sejarah negeri ini, bahwa birokrasi di Indonesia adalah warisan kolonial yang sarat dengan kepentingan kekuasaan. Sehingga struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang ada sangat diwarnai oleh orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara. Karena itu, struktur dan proses yang dibangun selama ini merupakan instrumen untuk mengatur dab mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugas memberikan pelayanan pada masyarakat. Kondisi ini sudah mengakar, sehingga reformasi tahun 1998 sampai saat ini dirasakan tidak memenuhi harapan. Inilah yang banyak dibahas dalam buku ini melalui fakta-fakta di lapangan serta kajian dari teori-teori yang sekarang berkembang.

Penulis buku ini memberikan perbandingan keberhasilan Cina dan Korea Selatan, dua negara yang saat ini tidak saja menjadi pesaing Jepang di Asia, tetapi juga pesaing negara-negara industri maju di Eropa dan Amerika. Di Cina, Deng Xiaoping pada tahun 1982 memproklamirkan reformasi administrasi sebagai tulang punggung kemajuan bangsa. Deng bukan hanya pidato, tapi pada tahun 1983, jumlah kementerian, departemen dan lembaga lain dipangkas dari 100 menjadi 61. Selain itu sebanyak 30.000 kader yang aktif di birokrasi dipensiunkan. Sementara Korea Selatan mengawali reformasi pada tahun 1980 dengan meletakkan sejumlah pilar reformasi administrasi, seperti peningkatan pelayanan, penegakan etika, kontrol dan pengawasan jalannya pemerintahan yang sangat ketat. Reformasi administrasi tersebut dilanjutkan oleh Rho Tae Woo pada tahun 1998-1993 dengan melakukan deregulasi dan simplikasi, restrukturisasi pemerintahan pusat, serta memperkuat komisi reformasi administrasi dan keterbukaan informasi publik. Hal ini terus berlanjut sampai pemerintahan Rho Moo Hyun pada tahun 2003 yang memfokuskan pada participatory goverment. Intinya reformasi di Cina dan Korsel berhasil karena ada arah yang jelas, dan rezim yang berkuasa mengarahkan tujuan dengan dukungan dari setiap komponen, sehingga program bisa berjalan berkesinambungan.

Berbeda dengan di Indonesia. Buku ini menunjuk minimnya komitmen politik dan kompetensi menjadi penyebab gagalnya reformasi birokrasi. Gonjang-ganjing reshuffle kabinet pada setiap masa pemerintahan merupakan bukti adanya friksi kekuasaan dan kepentingan yang sulit dihindari. Dari pengalaman reformasi birokrasi di berbagai negara, tercatat sedikitnya ada dua hal yang selalui dilakukan. Yang pertama adalah komitmen untuk melakukan reformasi birokrasi, dan kedua adalah komitmen untuk menegakkan hukum bagi setiap pelanggaran birokratis, mulai dari maladministrasi dan KKN. Dari tesis ini saja kita bisa melihat bagaimana kenyataannya di Indonesia.

Maka, reformasi kedua yang menyambung reformasi sebelumnya oleh buku ini ditunjukkan sebagai jawaban untuk mengatasi kebuntuan yang ada. Disimpulkan, reformasi pada fase berikut ini harus dijalankan secara tertata, sistemik, dan mengandalkan sinergi lintas-aspek dan lintas-elemen bangsa. Inilah yang menjadi muara utama dari buku ini. Secara umum buku ini memberikan pencerahan atas kesalahan yang sekarang sedang dilakukan. Sebagai catatan penutup atas resensi ini, pertama dari sisi teknis, buku ini tampilannya bisa diperbaiki sehingga lebih menunjukkan pada buku yang “serius”. Dari sisi esensi, akan lebih baik baik jika alur penulisan lebih diarahkan sesuai dengan yang penulis buku kemukakan sejak awal, yaitu pengelompokan pembahasan pada kelemahan aspek politik, hukum, dan administrasi publik. Baru kemudian kajian untuk penyelesaian dalam konteks Indonesia. Tetapi apapun buku ini membuat kita semakin terbuka, bahwa yang kita lakukan saat ini adalah salah, jadi sebenarnya masih ada waktu untuk memperbaiki, dan itulah yang oleh penulis buku disebut sebagai Reformasi Kedua.

(A. Wahyurudhanto; Dosen PTIK, Mahasiswa S3 Ilmu Sosial Universitas Padjajaran)

n Tulisan ini telah dimuat dalam Jurnal Kepolisian, Edisi 073 (Juni-Sept 2010).

Teorisme dan Deradikalisasi

Terorisme dan Deradikalisasi

The terrorists may be killed, But the void of the lost loved one is never filled.

Lavanya, nama seorang gadis dari Banglore, India yang baru berusia 12 tahun. Dia begitu terhentak perasaannya setelah melihat berita tragis di televisi atas aksi teroris di Kota Mumbay. Duka yang menyelimuti pikirannya itu kemudian ditorehkan dalam puisi ciptaannya yang berjudul “The city that never slept, slept” (Kota yang tak pernah tertidur, tertidur). Terorisme yang selalu menghantui membuat warga tak bisa menikmati tidurnya dengan nyenyak, itulah yang dalam pandangannya menjadikan kota juga tidak bisa memberikan kedamaian, selalu membuat orang terbangun, tak pernah tidur, begitu komentarnya. Dan dalam satu bait puisinya, dia menulis, “teroris mungkin terbunuh, namun kehilangan nyawa yang terkasihi takkan terganti”.

Suasana batin Lavanya kiranya juga terjadi pada masyarakat kita yang belakangan ini juga tidak bisa tidur karena ancaman teroris yang bertubi-tubi terjadi. Memasuki tahun 2000, aksi teror bom melanda bumi pertiwi. Dalam buku “Membongkar Jaringan Teroris” (Abdurrahman Pribadi dan Abun Rayyan, 2009), secara berani dinyatakan bahwa kran reformasi yang terbuka lebar telah meniscayakan segala bentuk gerakan, termasuk gerakan radikal dan fundamentalis yang dengan lugas telah mengepakkan sayapnya mencari pengaruh dan beraksi. Sejak teror bom Bali I tahun 2002, kemudian menyusul lahirlah berbagai aksi teror bom lainnya. Bom Bali II tahun 2004, kemudian bom Hotel JW Marriott I (2005), bom Kuningan di Kedubes Australia (2004), hingga bom Marriott II dan Ritz-Carlton (2005).

Polisi Indonesis tentu saja tertantang dengan situasi ini. Tindakan pada pelaku bom yang sudah di luar akal sehat bagaimanapun harus dibendung. Tugas pokok Polri yang menjadi tanggung jawab abdi Bhayangkara menjadi beban yang tidak ringan. Memelihara kamtibmas, menegakkan hukum, serta menjadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat menjadi motivasi utama anggota Polri untuk bertindak agar rasa aman yang didambakan masyarakat dapat terwujud. Kerja keras yang dilandasi dengan dedikasi, motivasi tinggi dan profesionalisme akhirnya membuahkan hasil. Dalam waktu yang relatif singkat pelaku peledakan bom di Hotel Marriott dan Ritz-Carlton dapat diketahui. Melalui serangkaian pelacakan, akhirnya pelakunya bisa dilumpuhkan, kendati harus dalam keadaan sudah tewas tertembak. Bahkan gembong teroris yang selama ini selalu dicari-cari, Noordin M Top berhasil pula tertembak mati dalam suatu penggerebekkan di Solo. Inilah prestasi Polri yang harus diberi acungan jempol. Masyarakat pun memberikan apresiasi dengan sangat antusias.

Namun, persis seperti yang ada dalam pikiran Lavanya, teroris mungkin terbunuh, namun kehilangan nyawa yang terkasihi takkan terganti. Inilah kegusaran hati banyak orang yang sulit dihilangkan. Pelaku teroris bom tak ubahnya sosok manusia yang telah mengalami kehilangan nurani. Karena ketidakpunyaan nurani tersebut, maka para teroris tega berbuat biadab dan menjadi predator bagi sesamanya. Mereka telah kehilangan akal sehat. Yang dilakukannya adalah tindakan yang hanya menuruti naluri agresivitas, tanpa memperhitungkan perasaan orang lain. Menciptakan suasana publik yang ketakutan justru menjadi bentuk kepuasannya.

Maka jika sekarang ini pemerintah menggalakkan deradikalisasi atau pelemahan terorisme, rasanya adalah hal yang masuk akal. Upaya ini merupakan cara untuk mencari solusi menangani pemberantasan terorisme melalui cara konvensional yang banyak menimbulkan kesan negatif oleh masyarakat, misalnya penggerebekan, penangkapan, sampai dengan penghentian aksi teror. Deradikalisasi terorisme merupakan upaya pencegahan dini, sehingga mematahkan potensi berkembangnya gerakan terorisme. Informasi yang jelas dan tepat pada masyarakat dipandang penting dalam rangka penguatan masyarakat, sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dalam pencegahan terorisme. Deradikalisasi terorisme merupakan upaya persuasif kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak tersesat dalam pemahaman yang salah, apalagi sampai berpartisipasi dalam kelompok teroris.

Namun, agaknya tidak cukup menyerahkan semua persoalan yang rumit dan kompleks ini kepada aparat keamanan semata. Dibutuhkan kesadaran kolektif semua komponen dan elemen masyarakat untuk menjadikan gerakan teror bom dan sejenisnya sebagai “musuh bersama”. Dengan cara semacam ini, ruang gerak kaum teroris kian menyempit hingga akhirnya mereka tak punya kekuatan untuk menjalankan skenario dan aksi-aksi brutalnya. Para teroris mungkin telah terbunuh, tetapi jangan lupa bahwa kader teroris masih akan terus ingin menunjukkan eksistensinya. Kewaspadaan haruslah terus dijaga, agar jangan sampai aksi teroris tetap berkembang. Kehilangan nyawa yang terkasihi tak akan terganti, ketakutan masyarakat harus dihilangkan. Ini menjadi tugas kita semua. (Drs. A. Wahyurudhanto, M.Si)

n Tulisan ini sudah dimuat dalam Jurnal Kepolisian Edisi 072 (Oktober 2009).

Satpol PP dan Otonomi Daerah

Posisi Satpol PP dalam Konteks Reformasi Sektor Keamanan dan Otonomi Daerah di Indonesia[1]

Zakarias Poerba[2] dan A. Wahyurudhanto[3]

Abstrak:

Berbagai kasus menunjukkan ada masalah selama ini mengenai posisi Satpol PP, yaitu muncul kesan bahwa keberadaan Satpol PP tidak sesuai dengan paradigma baru kepemerintahan yang sekarang sedang dianut oleh negeri ini. Apalagi jika dikaitkan dengan semangat good governance, dimana kinerja birokrat harus diproyeksikan bagi kepentingan dan kesejahtaraan masyarakat. Potret kiprah Satpol PP dalam memainkan perannya sebagai bagian dari birokrasi, oleh masyarakat saat ini dinilai tidak mencerminkan paradigma baru mengenai konsep birokrasi yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Kondisi ini sangatlah tidak menguntungkan bagi citra birokrasi karena akan berdampak pada stigma buruk oleh masyarakat, yang pada akhirnya menimbulkan efek tidak produktifnya kinerja birokrasi dalam melayani masyarakat. Dalam konteks reformasi Sektor Keamanan dan Otonomi Daerah di Indonesia, posisi Satpol PP menjadi sangatlah penting, karena perannya dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan.

Kata Kunci: keamanan, ketertiban, resformasi keamanan, otonomi daerah.

Pendahuluan

Di kalangan masyarakat luas, pemahaman mengenai siapa dan bagaimana Satuan Polisi Pamong Praja ( selanjutnya disebut dengan akronim Satpol PP) masih beragam. Namun yang paling menonjol, Satpol PP dalam benak masyarakat adalah sosok ‘Tibum’ (akronim dari Petugas Ketertiban Umum ), yaitu aparat Pemda yang pada masa lalu yang memang tugasnya melakukan penertiban umum. Pemahaman tersebut tidaklah terlalu salah, karena memang salah satu fungsi dari Satpol PP adalah menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum.

Jika melihat keberadaan Satpol PP bisa kita kaji dari dua aspek. Yang pertama adalah aspek sosiologis. ‘Satuan Polisi Pamong Praja’, dari pilihan kata untuk penyebutan sudah jelas bahwa dimaksudkan instusi ini adalah polisi milik pamong praja atau polisi untuk pamong praja. Pamong Praja adalah kata lain dari Pegawai Negeri Sipil (PNS), maka Satpol PP adalah penegak hukum di kalangan pamong praja. Dari unsur kata-kata pembentukannya, Satpol PP mempunyai tugas pembinaan ke dalam atau dalam lingkup internal aparatur pemerintahan. Namun jika diartikan sebagai polisi milik pamong praja, maka tugasnya adalah bagaimana membantu pelaksanaan kinerja pamong praja. Di sini semakin jelas bahwa peran Satpol PP memang melekat pada kinerja pamong praja, dalam hal ini birokrat.

Kedua, ditinjau dari aspek hukum keberadaan Satpol PP didasarkan pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja. Dalam PP Nomor 32/2004, disebutkan bahwa Satpol PP bertugas membantu kepala daerah dalam penegakan peraturan daerah (Perda) dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban masyarakat. Dari aspek hukum terlihat bahwa Satpol PP juga mempunyai tugas pembinaan ke masyarakat atau tugas eksternal.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pada pasal 5 bahwa kewenangan Polisi Pamong Praja adalah :

a. menertibkan dan menindak warga masyarakat atau badan hukum yang mengganggu ketentraman dan ketertiban umum.

b. melakukan pemeriksaan terhadap warga atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.

c. melakukan tindakan represif non yustisial terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.

Dari rumusan tersebut di atas secara jelas ditegaskan bahwa Satpol PP mempunyai tugas untuk melakukan penertiban terhadap masyarakat. Sebutan tindakan represif non yustisial, menunjukkan bahwa Satpol PP bisa melakukan tindakan-tindakan yang tergolong kegiatan penindakan. Namun dengan penyebutan ’non yustisial’ menjadi tidak jelas, tindakan apa yang bisa dikategorikan didalam ’bukan dalam wilayah hukum’ itu. Karena sanksi atas tindakan pelanggaran sudah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Namun jika melihat lagi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 149, pada ayat (1) disebutkan bahwa Anggota Satuan Polisi Pamong Praja dapat diangkat sebagai ’Penyidik Pegawai Negeri Sipil’ (PPNS). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Satpol PP sesuai dengan UU Nomor 32/2004 menjadi harus seirama dengan yang diatur pada Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI serta Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dalam dua undang-undang tersebut ditegaskan bahwa penyidik selain Polisi adalah juga Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Ini artinya bahwa dalam rangka penyidikan terhadap pelanggaran atas ketentuan Perda, Satpol PP yang sudah diangkat sebagai PPNS bisa melakukan aktivitas menjalankan hukum negara (pro justisia).

Melihat ketentuan yuridis yang ada, menunjukkan bahwa posisi Satpol PP sangatlah strategis, karena posisi Satpol PP sangatlah dominan dalam proses penegakan hukum atas Peraturan Daerah ataupun Keputusan Daerah. Apalagi jika statusnya juga sebagai PPNS maka yang dilakukan akan merupakan bagian dari sistem peradilan pidana (criminal justice system). Ini artinya bukan lagi represif non yustisial tetapi bisa melakukan represif pro justisia.

Yang menjadi masalah selama ini, muncul kesan bahwa keberadaan Satpol PP tidak sesuai dengan paradigma baru kepemerintahan yang sekarang sedang dianut oleh negeri ini. Kejadian di Koja, Jakarta Utara medio Bulan Mei 2010 ketika massa harus berhadapan dengan Satpol PP yang akan menggusur mereka yang mengakibatkan jatuh korban jiwa baik pada pihak Satpol PP maupun masyarakat menunjukkan ada yang tidak pas dalam kinerja Satpol PP. Pasca reformasi tahun 1998 muncul paradigma baru yang menempatkan kembali posisi birokrat bukan dalam status sebagai “penguasa” namun sebagai abdi masyarakat. Konsep Pamong Praja kembali dihadirkan, dalam pemaknaan bahwa pemerintah harus bisa melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Apalagi jika dikaitkan dengan semangat good governance, dimana kinerja birokrat harus diproyeksikan bagi kepentingan dan kesejahtaraan masyarakat.

Potret kiprah Satpol PP dalam memainkan perannya sebagai bagian dari birokrasi, oleh masyarakat saat ini dinilai tidak mencerminkan paradigma baru mengenai konsep birokrasi, yaitu sebagai sebuah negara demokratis maka orientasinya harus selalu berpihak pada rakyat. Dari berbagai berita yang muncul di media massa, dikesankan Satpol PP arogan, tidak professional, tidak berpihak kepada rakyat, hanya menjadi alat “Penguasa Daerah”.

Kondisi ini sangatlah tidak menguntungkan bagi citra birokrasi karena akan berdampak pada stigma buruk oleh masyarakat, yang pada akhirnya menimbulkan efek tidak produktifnya kinerja birokrasi dalam melayani masyarakat. Padahal jika melihat esensi pembentukan Satpol PP, kehadirannya sangatlah diperlukan oleh karena Satpol PP mempunyai peran untuk untuk membantu Kepala Daerah, dalam hal penegakan peraturan daerah dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban masyarakat.

Jika melihat peran ini, posisi Satpol PP adalah sangat strategis, karena kehadirannya akan menjadi bagian signifikan penentu keberhasilan Kepala Daerah menjalankan program-program pemerintahan. Dengan demikian, perlu dikaji kembali mengenai keberadaan Satpol PP, untuk melihat dimana letak kesalahannya serta dicarikan alternatif solusi pemecahan, agar pembentukan Satpol PP tidak menjadikan jalannya pemerintahan semakin buruk, tetapi justru memberikan kontribusi terbentuknya good governance, dan berjalannya program-program pembangunan, karena Peraturan Daerah bisa berjalan dengan baik dan masyarakat bisa mengalami kondisi tentram dan tertib.

Kebutuhan Pemda

Terganggunya ketentraman dan ketertiban umum di beberapa daerah di Indonesia telah mengakibatkan Indonesia dijuluki ”negara beresiko” (country risk) yang tinggi di antara negara Asean. Country Risk yang tinggi telah mengakibatkan hilangnya daya tarik bagi negara lain untuk menanamkan modalnya (investasi) di Indoensia, bahkan investasi di dalam negeri bisa beralih ke luar negeri mencari negara dengan country risk yang rendah. Larinya investasi yang sangat dibutuhkan berakibat pada rendahnya pertumbuhan ekonomi dan rendahnya pertumbuhan ekonomi akan berdampak pada meningkatnya pengangguran, rendahnya pendapatan, dan mendorong tindak kriminal. Dengan kata lain gangguan ketrentraman dan ketertiban akan menimbulkan gangguan ekonomi. Apabila kondisi ini dibiarkan secara terus menerus akan menimbulkan gangguan kehidupan generasi mendatang yang tidak bisa berperan optimal pada masanya.

Dengan berdasarkan pada pemahaman tersebut maka bisa ditarik suatu kesimpulan, bahwa masalah ketentraman dan ketertiban umum, sebenarnya merupakan salah satu kebutuhan dasar hidup yang harus terpenuhi dahulu, sebelum kebutuhan dasar yang lainnya. Masalah ketentraman dan ketertiban umum sudah menjadi amanat nasional yang tidak boleh dihindari, dimana tanggung jawab keamanan, ketentraman, dan ketertiban umum berada di bawah koordinasi pemerintah. Dalam ruang lingkup nasional, keamanan negara dari gangguan negara asing menjadi tanggung jawab dan berada di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sedangkan keamanan dan ketertiban umum / masyarakat (Kamtibmas) dalam lingkup nasional berada di bawah tanggung jawab Polri. Dalam pemahaman birokrasi pemerintahan, cakupan TNI dan Polri yang sangat luas tidaklah bisa mengakomodir seluruh renik kepentingan daerah. Karena itu tanggung jawab akan ketentraman dan ketertiban umum di daerah dalam pandangan birokrasi pemerintahan adalah tanggung jawab pemerintah daerah. Dalam hal ini salah satu lembaga yang diberi kewenangan untuk penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum adalah Polisi Pamong Praja.

Sesuai dengan isi Pasal 148 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan, bahwa Satuan Polisi Pamong Praja mempunyai tugas pokok membantu Kepala Daerah dalam penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum serta penegakan Peraturan Daerah. Sehingga semua permasalahan ketentraman dan ketertiban umum yang terkait langsung dengan Penegakan Peraturan Daerah yang diindikasikan belum bereskalasi luas menjadi tanggung jawab Polisi Pamong Praja.

Dalam melaksanakan kegiatannya untuk menjalankan perannya selaku aparat penegak hukum Peraturan Daerah serta menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, ternyata Satpol PP oleh sebagian besar masyarakat dinilai negatif. Tentu saja banyak faktor yang mempengaruhi mengapa kinerja Satpol PP justru memberikan citra yang buruk bagi birokrat dalam hal ini pegawai Pemerintah Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 secara tegas menyebutkan (dalam : pasal 7), bahwa dalam melaksanakan tugasnya, Polisi Pamong Praja wajib menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, hak asasi manusia dan norma-norma sosial lainnya yang hidup berkembang di masyarakat. Namun pada kenyataan di lapangan kewajiban tersebut tidak sepenuhnya dapat dilakukan, sehingga muncullah persepsi negatif dari masyarakat atas kehadiran Satpol PP.

Jika kita melihat sejarah pembentukan Satpol PP, tidak bisa dimungkiri bahwa watak kolonialisme dan militerisme yang menjangkiti tubuh Satpol PP menghasilkan tindakan-tindakan represif, koruptif, dan gila kuasa. Tindakan ini sebagai tren yang akan terus berlangsung jika sistem dan paradigma kelembagaannya tetap sama. Tindakan ini lebih banyak ditujukan kepada rakyat miskin yang selama ini menjadi sasaran utama keganasan Satpol PP, karena dianggap biang ketidaktertiban atau entitas yang paling dianggap menggaggu ketertiban umum. Masalah yang sebenarnya berakar pada pandangan tentang ”manisnya madu kota dari kacamata masyarakat pedesaan yang tidak terbangun secara simultan.

Dari temuan data oleh Institute for Ecosoc Rights, pada tahun 2006 terjadi 146 kasus penggusuran dengan korban 42.498 warga. Pada tahun 2007 terjadi 99 penggusuran dengan 45.345 korban. Hingga Februari 2008 terjadi 17 penggusuran dengan 5.704 korban. Karena itulah keberadaan institusi ini oleh sebagian masyarakat menilai telah melakukan tindakan yang meresahkan. Apalagi dalam setiap pelaksanaan tugas di lapangan Satpol PP sering dinilai melakukan kekerasan dan tindak arogansi. Hal yang lebih disebabkan oleh ketidak pahaman yang bergabung dengan kewajiban untuk melksanakan perintah dengan sukses.

Jika kita tarik dari temuan kasus-kasus yang ada, serta bagaimana masyarakat mempersepsikan Satpol PP, maka bisa dirumuskan bahwa persepsi masyarakat atas kehadiran Satpol PP dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Tindakan di lapangan terkesan arogan.

Rekrutmen anggota Satpol PP yang tidak mempunyai standarisasi pada masing-masing daerah menjadikan pola kinerjanya tidak seragam. Sehingga ketika mengimplementasikan kinerja yang seharusnya menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, hak asasi manusia dan norma-norma sosial lainnya akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, lingkungan, tingkat ekonomi, dan peran atasan. Karena mayoritas anggota Satpol PP dari tingkat ekonomi dan pendidikan lapis bawah maka yang muncul adalah kecenderungan semangat ”premanisme”. Kewenangan yang dipunyainya berubah menjadi aroganisme ketika tindakan yang dilakukan menjurus pada brutalistis karena merasa mempunyai kewenangan sebagai ”penguasa”.

2. Perannya untuk menciptakan ketentraman justru dinilai menyengsarakan rakyat kecil.

Tidak bisa dimungkiri bahwa hampir semua anggota Satpol PP berada pada tingkat ekonomi di lapis bawah. Hal ini didasarkan pada pangkat serta golongan dalam struktur kepegawaian mereka berada pada struktur tingkat kepegawaian golongan bawah, bahkan sebagian hanya berstatus karyawan kontrak dan atau honorer. Perannya sebagai penegak hukum yang mempunyai fungsi melakukan tindakan represif dan penggunaan kostum yang mirip militer, sebenarnya menunjukkan kesan yang meyakinkan bahwa Satpol PP adalah organisasi paramiliter.

Penggunaan kostum yang mirip militer, dan perlengkapan kerja yang mengacu pada doktrin militer dengan menempatkan masyarakat penganggu ketertiban adalah ”musuh” yang harus dilawan, menjadikan tindakan mereka di lapangan selalu berbenturan dengan komunitas miskin. Komunitas miskin di kota-kota pada hakekatnya adalah residu dari proses pengelolalan dan manajemen kota yang tidak tuntas; sedangkan di sisi lain sebagaian besar dari anggota Satpol PP juga tergolong dalam komunitas yang berpendapatan rendah.

Secara empiris kita bisa melihat pada kasus-kasus penggusuran, penertiban pedagang kaki lima, operasi KTP dan lain-lain, yang terjadi adalah Satpol PP sebagai ”barisan orang miskin” yang memukul komunitas miskin perkotaan. Banyak artikel yang mengutip wawancara dengan para anggota Satpol PP bahwa sebenarnya hati nurani mereka menjerit ketika melakukan tindakan yang menyebabkan ”benturan” dengan komunitas miskin. Tetapi karena perintah atasan dan mereka butuh pekerjaan maka yang terjadi adalah sikap melawan masyarakat yang mengesankan justru menyengsarakan lawan.

Kesan yang muncul pada masyarakat adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) menjadi aktor utama yang hadir menampilkan praktek-praktek kekerasan dalam keseharian kita. Di Perkotaan, ia menggantikan dominasi militer dan polisi yang selama ini akrab dengan tindak kekerasan. Berbagai kekerasan dalam operasi penggusuran, penggarukan, razia kaum papa, telah menjadikan Satpol PP musuh utama rakyat miskin.

Dalam pandangan yang muncul ke permukaan menunjukan, bagaimana produk hukum telah memberi peluang dan legitimasi bagi tindakan represif yang melanggar HAM juga berkaitan erat dengan tingginya angka tindak kekerasan yang dilakukan satpol PP. Alokasi anggaran sektor ketentraman dan ketertiban dalam APBD yang besar berikut tingkat kebocorannya, praktek pungli dan korupsi, menyertai tindakan penangkapan, penahanan secara sewenang-wenang, perusakan, penjarahan harta benda, penggarukan masyarakat miskin dan penggusuran rumah dan alat usaha/ mata pencaharian masyarakat miskin. Semuanya dibungkus dalam satu kebijakan untuk memerangi rakyat miskin kota.

3. Dalam menjalankan tugas di lapangan mengesankan menutup komunikasi dengan rakyat sehingga terkesan menjadi kelompok elitis yang menekan rakyat.

Dalam berbagai pemberitaan baik di media cetak maupun media elektronik, sering kali terlihat telah terjadi tindak kekerasan ketika Satpol PP melakukan penertiban. Tingkat pendidikan yang rendah serta pangkat dalam hirarki kepegawaian yang berada di lapis bawah, menjadikan mereka ketika bertindak memakai doktrin ”perintah atasan” dan ”kalau bersoal di kantor saja = dibawa/ ditangkap. Maka yang terjadi kecenderungannya adalah situasi yang tidak dialogis dalam setiap kinerja Satpol PP yang berhadapan dengan masyarakat. Oleh karena cenderung muncul kesan bahwa Satpol PP adalah kelompok barisan orang miskin yang terorganisir dalam bagian masyarakat yang didisain untuk menekan rakyat miskin lainnya. Citra ini akan terus melekat pada Satpol PP sepanjang tidak terjadi pembenahan keberadaan Satpol PP dalam hubungannya dengan pola perilaku tugas maupun statusnya, yang berkaitan dengan hubungan hukumnya dengan masyarakat dan instansi yang memiliki keterkaitan kewenangan. Bahkan dalam hubungan yang lebih luas berhubungan pula dengan materi Perda, yang pada kaitannya selanjutnya berhubungan pula dengan kualitas pemegang otoritas pembuat Perda.

Bentuk tugas/ penugasan Satpol PP juga membutuhkan ’Petunjuk teknis dan Petunjuk Lapangan’ yang terukur dan sesuai atau tidak bertentangan dengan berbagai Undang-undang yang berlaku maupun nilai-nilai yang dianut dalam sebuah negara demokrasi. Hal itu sangat dibutuhkan agar keberadaan sebuah lembaga yang menjadi bagian dari birokrasi yang dibayar dengan uang pajak rakyat justru tidak berbalik melanggar hak-hak rakyat itu sendiri.

Benturan Tugas Satpol PP dengan Tugas Polri

Jika kita melihat mengapa tumpang tindih tersebut terjadi, hal ini dikarenakan adanya benturan mengenai ’siapa’ yang mempunyai kewenangan dalam menjalankan peran dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam pasal 27 huruf c UU Nomor 32/2004 dirumuskan salah satu kewajiban Kepala Daerah adalah memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat. Di sisi lain Polri memiliki tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat sesuai dengan rumusan pada pasal 13 UU Nomor 2/2002. Dengan demikian dapat dipahami apa yang menjadi tugas pokok kepolisian di daerah tersebut juga menjadi kewajiban kepala daerah untuk menjalankannya. Di sinilah letak persinggungannya.

Sepanjang konsep menjaga keamanan dan ketertiban yang dipunyai kepala daerah tidak satu visi dengan Polri maka benturan di lapangan akan memiliki probabilitas besar akan terus terjadi. Satpol PP sebagai aparat Pemda sering melakukan tugasnya secara tumpang tindih dengan Aparat Polisi yang mendasarkan diri pula pada payung hukum yang menaunginya. Kondisi ini menghasilkan friksi antara kewenangan Polisi sebagai aparat sentralistik dengan Satpol PP yang merupakan aparat Pemda yang otonom.

Adalah hal yang tidak bisa dimungkiri, keberadaan Satpol PP yang seharusnya bisa melindungi masyarakat karena fungsinya sebagai penyelenggara ketentraman dan ketertiban umum, karena tampilan arogansi yang sering ditunjukkan justru menimbulkan kekhawatiran publik. Kekhawatiran tersebut berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia, wanita dan kaum miskin, serta semangat untuk tidak mau mengikuti kecenderungan dunia yang sudah menjunjung tinggi demokratisasi.

Temuan dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Jakarta menyatakan, petugas Satpol PP paling banyak melanggar hak asasi manusia (HAM), kemudian diikuti kepolisian dan TNI. Dalam siaran pers yang dilansir berbagai media, Ketua Badan Pengurus PBHI Jakarta, Dedi Ali Ahmad mengatakan, pada kasus penggusuran, satpol PP menduduki peringkat pertama dalam hal pelanggaran seperti kekerasan fisik dan nonfisik. Berdasarkan data yang dimiliki, dari 70 kasus penggusuran seperti penggusuran PKL, permukiman liar dan pasar, sebagian besar pelanggaran dilakukan Satpol PP. Dari jumlah kasus penggusuran yang terjadi, tindakan kekerasan dan pemaksaan adalah yang paling banyak dilakukan. Menurutnya fungsi petugas satpol PP hanya sebatas mengawal kebijakan pemerintah, apakah berjalan atau tidak sesuai dengan UU No 32/2004 tentang Pamong Praja. Dalam pandangan PBHI tugas Satpol PP hanya mengawal bukan melakukan tindak kekerasan.

Dalam temuan kasus di Semarang, perlakuan petugas Satpol PP terhadap kaum wanita jalanan ternyata sering menempatkan mereka pada pihak yang dilecehkan. Pada penertiban umum yang dilakukan terhadap penyakit masyarakat (Pekat), selain anak jalanan, pelacur jalanan adalah sasaran yang sering ditangani. Perlakuan terhadap kaum wanita jelanan yang oleh Satpol PP dikategorikan pelacur sering tidak etis. Mereka memperlakukan wanita jalanan dengan tidak sopan dan cenderung melecehkan, dengan adanya bukti-bukti pelecehan seksual, seperti memaki dengan kasar, memegang ”alat vital/ buah-dada” pelacur. Bahkan di tahanan perilaku dalam ucapan dan sikap ringan tangan sering mereka lakukan. Tidak ada perlawanan oleh para pelacur jalanan, baik karena mereka merasa sebagai pelaku pelanggaran Perda tentang ketertiban umum maupun ketidak tahuan haknya serta rasa tidak berdaya. Sehingga tidak pernah ada protes melalui media atas perlakuan ini.

Kondisi ini juga terjadi di Yogyakarta atas pengakuan PKBI (Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia) yang sering melakukan pendampingan atas korban-korban terhadap wanita dan anak-anak. Pada kasus di Yogyakarta yang sering memperoleh perlakukan pelecehan seksual adalah para ”waria” yang terjaring operasi penyakit masyarakat. Perlakuan terhadap waria oleh petugas Satpol PP seringkali tidak manusiawi dan menempatkan waria sebagai pihak yang dengan mudah dilecehkan. Yang dilakukan oleh para waria hanya menahan perasaan, sampai akhirnyha menganggap perilaku petugas Satpol PP adalah hal yang biasa. Sehingga ketika kemudian terjaring lagi dan diperlakukan tidak senonoh karena cenderung sering terjadi pelecehan seksual, mereka mendiamkan saja dan menjadikan sebagai resiko dari ”profesi”-nya sebagai waria, yang berkeliaran di jalan karena mencari nafkah dengan ”menjajakan diri”.

Kekhawatiran atas perkembangan kebijakan Pemda terhadap Satpol PP juga muncul di Semarang atas rencana Pemerintah Kota untuk mempersenjatai Satpol PP. Dalam pandangan LSM Pattiro, Satpol PP bukanlah aparat seperti kepolisian yang akan sering berhadapan dengan pelaku tindak kriminal atau penjahat. Satpol PP adalah aparat yang salah satu kewenangannya lebih pada menegakkan Perda dan berbagai bentuk kebijakan publik di Kota Semarang serta menjaga ketertiban umum. Karena kebijakan publik mengatur hak dan kewajiban pemerintah dengan warga, maka pada penegakan kebijakan publik Satpol PP akan banyak berhadapan dengan warga sipil yang bukan penjahat.

Berdasarkan fakta selama ini, yang paling sering berhadapan dengan Satpol PP adalah masyarakat marginal. Masyarakat yang di lapangan sering berhadapan dengan Satpol PP adalah mereka yang berprofesi sebagai pedagang kaki lima (PKL), pekerja seks komersial (PSK), tukang becak, gelandangan, pengemis, anak jalanan, dan juga warga yang tinggal di bantaran sungai. Artinya keseharian Satpol PP tidak berhadapan dengan para penjahat atau pelaku tindakan kriminal, tetapi justru dengan warga sipil khususnya masyarakat marginal.

Dalam pandangan LSM Pattiro, seharusnya Pemda lebih mengedepankan pendekatan persuasif daripada pendekatan represif. Meskipun dalam Permendagri Nomor 35 Tahun 2005 pasal 33 dinyatakan, Satpol PP juga dapat dipersenjatai dengan senpi genggam maupun laras panjang dengan amunisi peluru tajam, gas air mata, peluru hampa, atau peluru karet, namun mustinya pemerintah Kota Semarang lebih arif dan bijak. Kata-kata ”dapat” artinya bisa diadakan dan bisa pula tidak, yang berarti sangat berkaitan dengan kebutuhan akan kegunaannya, sehingga melihat situasi daerah seharusnya langkah preventif lebih bijak dibanding dengan mempersenjatai dalam rangka tindakan represif.

Bukti tindakan Satpol PP yang dinilai bertindak ”kejam” juga ditunjukkan dalam kasus di Jakarta, yaitu pada tanggal 8 Januari 2007. Seperti diungkapkan oleh Heru Suprapto yang merupakan aktivis pada Jakarta Centre for Street Children (JCSC) dan Aliansi Rakyat Miskin (ARM). Kematian tragis dialami seorang anak yang coba mendapatkan uang di jalan di hari itu. Tidak seperti anak-anak yang tercukupi kebutuhan ekonominya, menadahkan tangannya kepada orang tua mereka untuk mendapatkan uang. Anak ini, alm. Irfan Maulana (14), berada di jalan untuk menjual jasa sebagai “joki three in one” kepada pengendara yang melintasi jalan di wilayah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dia mencari uang untuk biaya menonton tim bola kesayangannya, Jak Mania, Persija.

Satpol PP dan Masalahnya

Jika kita menyimak landasan hukum bagi Satpol PP tidak ada yang krusial untuk dipersoalkan. Karena memang dari sejarah berdirinya negeri ini, kehadiran Satpol PP selalu memberikan warna pada bagaimana birokrat menjalankan roda pemerintahan. Kehadiran Satpol PP jelas-jelas ditegaskan dengan didasarkan pada UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 148 UU 32/2004 disebutkan, Polisi Pamong Praja adalah perangkat pemerintah daerah dengan tugas pokok menegakkan Perda, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat sebagai pelaksanaan tugas desentralisasi.

Satpol PP juga bisa menjalankan fungsi yudisial, karena pada pasal 149 UU Nomor 32/2004 ayat (1) dinyatakan, anggota Satuan Polisi Pamong Praja dapat diangkat sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya ketentuan ini, maka sebagian anggota Satpol PP adalah bagian dari Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) karena mempunyai kewenangan penyidikan.

Merujuk pada UU Nomor 32/2004 dalam rangka operasionalisasi kegiatan Satpol PP telah diterbitkan Peraturan Pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pada pasal 5, bahwa kewenangan Polisi Pamong Praja adalah : a) menertibkan dan menindak warga masyarakat atau badan hukum yang mengganggu ketentraman dan ketertiban umum; b) melakukan pemeriksaan terhadap warga atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah; c) melakukan tindakan represif non yustisial terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.

Adapun kewajibannya: a) menjunjung tinggi norma hukum/norma agama, HAM dan norma sosial lain yang ada di masyarakat, b) membantu menyelesaikan perselisihan warga yang bisa mengganggu ketenteraman dan ketertiban (tramtib), c) melaporkan kepada Kepolisian atas ditemukannya / patut diduga adanya tindak pidana, (d) menyerahkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) atas ditemukannya / patut diduga adanya pelanggaran terhadap perda dan kepda (Pasal 7 huruf a, b, c, dan d).

Yang menjadi masalah, sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah Satpol PP adalah bagian dari Pemerintah Daerah, sehingga dalam menjalankan tugasnya anggota Satpol PP bertanggung jawab langsung dengan Kepala Daerah dalam hal ini Bupati, Walikota atau Gubernur. Dengan kondisi ini, maka tidak ada hubungan hirarki maupun struktur antara Satpol PP Provinsi dengan Satpol PP Kabupaten ataupun Kota. Selain itu karena dasar pembentukan Satpol PP adalah Peraturan Daerah, sangat dimungkinkan antara kabupaten atau kota satu dengan lainnya terdapat spesifikasi dalam organisasi yang menyesuaikan dengan karakter daerah setempat.

Dari sisi yuridis, keberadaan Satpol PP dilandasi oleh Undang-undang, PP, maupun Perda untuk masing-masing daerah, tetapi dalam pelaksanaan tugas bisa jadi muncul benturan karena perbedaan karakteristik daerah yang tajam. Ganjalan lain dari sisi yuridis, walau sama-sama bernama Satpol PP dan mempunyai seragam yang sama, tidak ada kewenangan dari Satpol PP Provinsi untuk melakukan intervensi ke Satpol PP Kabupaten atau Kota. Hal ini akan memunculkan persoalan ketika anggota Satpol PP yang juga PPNS menangani suatu kasus pelanggaran Perda yang harus melakukan konsultasi dengan pemerintah provinsi. Sesuai dengan ketentuan bisa saja hal itu tidak dilakukan, ketika ada kepentingan lain yang lebih cenderung/berpihak pada kepentingan daerah bersangkutan. Sehingga persoalan menegakkan Perda bisa menjadi gangguan dalam administrasi pemerintahan, ketika terjadi persinggungan kepentingan dari masing-masing daerah atau dengan pemerintah provinsi.

Rekrutmen dan pembinaan personel satpol PP merupakan masalah yang paling serius dalam temuan di lapangan. Pembinaan personel di sini termasuk dalam hal pendidikan dan pelatihan bagi anggota Satpol PP. Dalam kaitan dengan Diklat Satpol PP, Kapolri melalui Surat Keputusan No. Pol: Skep/362/VI/2003 tanggal 16 Juni 2003 telah membuat Naskah Sementara Perangkat Kendali Pendidikan dan Latihan Satuan Polisi Pamong Praja Tingkat Dasar. Namun acuan ini pun tidak dilaksanakan dengan memadai oleh kesatuan Polisi Pamong Praja. Temiuan di Pemerintah Kota Semarang, latihan didisain sendiri dengan menyesuaikan anggaran yang ada dan hanya dengan menggunakan waktu selama satu minggu saja. Itu pun dilakukan pada anggota yang sudah tercatat sebagai anggota Satpol PP. Ini berarti proses rekrutmen tidak dilakukan dengan dasar ketentuan pada PP Nomor 32/2004.

Dengan model pemerintahan desentralisasi dan pembentukan Satpol PP berdasarkan Peraturan Daerah, maka kepentingan politis dalam penyusunannya tidak bisa dihindarkan. Sebagai sebuah Perda, maka prosesnya selalu melalui proses politik karena diputuskan oleh DPRD dan Eksekutif. Dengan demikian tidak bisa dihindari adanya konflik kepentingan dalam proses penyusunan Perda. Berkaitan dengan penyusunan SOTK (Susunan Organisasi dan Tata Kerja) dalam struktur organisasi pemerintah daerah, maka walau sudah ada ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004, namun dalam kenyataannya masing-masing Pemda membuat struktur organisasi yang berbeda-beda, termasuk di sini dalam hal eselonisasi pejabat Kepala Satpol PP.

Penutup

Dalam konteks reformasi Sektor Keamanan dan Otonomi Daerah di Indonesia, posisi Satpol PP menjadi sangatlah penting, terutama jika kita melihat perkembangan peran Satpol PP, yang pada beberapa kasus semakin meluas pada wilayah yang seharusnya tidak ditangani oleh Satpol PP. Mengutip hasil kajian yang dilakukan oleh IRE, ternyata efek dari “Otonomi Daerah” tidak hanya memperebutkan soal hak kewenangan daerah dalam memperoleh akses ekonomi dari pemerintah pusat. Namun pada sektor “Keamanan” juga menjadi menarik dikupas ketika muncul rebutan “kewenangan” dalam memperebutkan arena pengelolaannya.

Dalam temuan yang bisa diungkap adalah munculnya wacana Satpol PP yang menginginkan agar lembaga ini mempunyai kedudukan, peran, dan fungsi yang tegas (tidak banci), karena selama ini dianggap sebagai “adik” dari Polisi. Satpol PP yang sebenarnya mempunyai fungsi menjaga ketentraman dan ketertiban (tramtib), ternyata dalam menjalankan tugasnya untuk menegakkan Perda mulai menggagas perluasan “kewenangannya” secara nyata, seperti fungsi yang tertuang pada UU 32 Tahun 2004. Dalam prakteknya yang dilakukan oleh Satpol PP bersinggungan dengan tugas dan kewenangan yang dipunyai oleh Polisi.

Dari fakta yang ada, sebenarnya yang paling krusial menyebabkan kekisruhan koordinasi dalam menjalankan tugas keamanan, adalah tidak tegasnya peraturan perundangan yang mengatur fungsi keamanan masyarakat. Seharusnya polisi adalah yang mempunyai tugas utama seperti yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, namun ternyata juga dalam UU 32 Tahun 2004, Satpol PP dibawah koordinasi Depdagri secara eksplisit mempunyai fungsi keamanan dalam menegakkan Perda”. Konteks siapa yang mengelola keamanan kemudian menjadi wilayah yang “tumpang-tindih atau abu – abu”.

Sehingga di lapangan terungkap seringnya timbul pola relasi antara polisi dan Pemda yang sering “mis-koordinasi” dalam mengambil keputusan soal pengelolaan keamanan, dimana berbagai institusi yang mempunyai fungsi pemolisian, telah mengambil kewenangan polisi dalam menjalankan fungsi keamanan. Perkembangan fungsi Satpol PP yang telah melakukan fungsi intelijen dengan dasar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2005 tentang Komunitas Intelijen Daerah (Kominda) menunjukkan bahwa peran Satpol PP dalam fungsi keamanan dan intelijen sudah seperti layaknya tugas polisi. Usulan agar Satpol PP dipersenjatai, juga menjadi wacana sebagai perangkat kelengkapan kerja dalam menjalankan fungsi ketentraman dan ketertiban.

Ternyata “kue keamanan” di era otonomi daerah, menjadi menarik dikupas, ketika berbagai institusi pengelola keamanan seperti polisi dan intsitusi yang mempunyai tugas pemolisian mulai merasakan enaknya mengelola sektor keamanan pasca pemisahan TNI dan Polri. Muncul pula statemen, bisa – bisa institusi keamanan di luar polisi yang mempunyai tugas pemolisian ini “lebih polisi” dari pada institusi polisi itu sendiri, bila secara tegas peraturan perundangan yang mengaturnya memberikan kewenangan “yang lebih” dalam menjalankan fungsi keamanan.

Dalam konteks reformasi sektor keamanan, maka yang terpenting adalah bagaimana mendudukkan secara proporsional masing-masing institusi tersebut, tanpa adanya kepentingan terselubung. Namun, justru hal inilah yang sulit dilakukan karena kepentingan terselubung tersebut justru seringkali menjadi dasar untuk melakukan strategi demi kepentingan politis atau ekonomis. (*)


[1] Tulisan ini diadaptasi dari hasil penelitian tentang Satpol PP yang dilakukan oleh Zakarias Poerba dan A. Wahyurudhanto atas sponsor GTZ untuk Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia.

[2] Dr. Zakarias Poerba,SH, M.Si, Dosen PTIK, Konsultan pada beberapa lembaga penelitian.

[3] Drs. A. Wahyurudhanto, M.Si, Dosen PTIK, Mahasiswa Program S3 Ilmu Sosial Universitas Padjajaran

-- Tulisan ini telah dimuat dalam Jurnal Kepolisian, Edisi 073 (Juni-Sept 2010).

Polisi dan Mutu Publik

Polisi Menjaga Mutu Publik

Almarhum Profesor Satjipto Rahardjo dalam salah satu cerahmahnya pernah mengemukakan rumus unik yang harus menjadi panduan polisi ketika bekerja. Menurutnya, keberhasilan tugas polisi ditentukan dengan rumus “O 2 + H”. Unik memang, seperti rumus kimia saja. Tetapi ketika dijelaskan bahwa maksud O 2 + H itu maksudnya adalah Otot, Otak dan Hati Nurani, baru kita mafhum, apa yang menjadi pemikiran beliau. Menurut Prof Tjip, polisi dalam pekerjaannya menghadapi berbagai risiko bahaya yang besar. Dan kehadiran bahaya tersebut secara sosiologis mewarnai pekerjaan polisi, bahkan mewarnai kepribadian kerja dari polisi itu sendiri. Polisi harus senantiasa waspada dan curiga, karena kalau tidak bisa kecolongan.

Karena itu wajar jika menyebut polisi adalah aparat hukum istimewa , karena posisinya yang sedemikian rupa sehingga dekat dengan masyarakat. Interaksi antara masyarakat dengan polisi itu sangat intensif sekali, sehingga menjadikan pekerjaan polisi agak khas dibanding aparat penegak hukum yang lainnya seperti hakim dan jaksa. Tapi yang terjadi saat ini, justru kedekatan tersebut ternyata bisa menjadi bumerang bagi polisi. Fenomena “markus” atau makelar kasus menunjukkan hal itu. Tidak bisa dimungkiri, bahwa ternyata kedekatan tersebut justru menjadi pintu masuk bagi persekongkolan tidak sehat.

Mengapa bisa begitu ? Padahal sudah ada kode etik, sudah Tri Brata, tetapi slogan ternyata hanya sekedar slogan. Sementara tuntutan masyarakat terhadap kinerja polisi sedemikian tinggi. Memang polisi bukan “superman” tetapi masyarakat dengan ekspetasinya berharap polisi bisa berperan sebagai superman. Sehingga kritik demi kritik, terus berdatangan tidak ada habisnya. Polisi sendiri tidak tinggal diam. Berbagai upaya dilakukan. Secara konsep usaha untuk memenuhi ekspetasi masyarakat pun dilakukan. Melalui Grand Strategy yang disusun dalam tiga tahap, Polri ingin menjadi institusi yang mampu memenuhi keunggulan. Maka setelah tahap pertama berakhir tahun lalu, yaitu trust building, tahun ini sampai 2014 nanti memasuki tahap kedua yaitu partnership building. Dan nanti tahun 2015-2025, diharapkan sudah bisa memasuki tahap ketiga, yaitu strive for excellence.

Ini artinya, tahun ini adalah awal untuk ancang-ancang untuk menuju keunggulan yang diharapkan, yaitu mewujudkan profil polisi yang profesional, bermoral dan modern. Namun, fakta yang ada, harapan pencapaian tahap pertama, yaitu meraih kepercayaan masyarakat sepertinya belum maksimal tercapai. Walau sudah di-“dongkrak” dengan program quick wins, yang tadinya hanya empat unggulan, sekarang menjadi 21 unggulan. Namun tetap saja kepercayaan publik tak bisa diraih secara maksimal. Berbagai survai yang dilakukan internal Polri maupun eksternal Polri masih menunjukkan kisaran 60 sampai 70 persen. Memang harus diakui ada peningkatan dalam setiap periode. Tetapi yang terjadi justru situasi fluktuatif lebih sering, kadang di atas, tetapi kadang justru terjerembab ke bawah.

Mengapa hal ini bisa terjadi ? Jawaban pertama karena memang masih banyak kendala, baik dari lingkungan internal Polri sendiri maupun dari eksternal. Dan yang kedua karena ekspetasi yang tinggi dari masyarakat akan kiprah Polri. Tidak mudah memang untuk memenuhi harapan masyarakat. Tugas pokok Polri sudah jelas, dicantumkan dalam dokumen yuridis, yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 pasal 13. Disebutkan, tugas Polri, yang pertama adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua menegakkan hukum. Dan ketiga, sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Jika kita kita resapi apa yang menjadi tugas pokok Polri, dan kita simak dengan penghayatan yang penuh kewenangan yang diberikan Undang-undang kepada Polri untuk menjalankan tugas pokok tersebut. Maka akan bisa kita temukan simpulannya, yaitu tidak lain dan tidak bukan tugas Polri adalah menjaga agar warganya bisa tenang beraktivitas, terayomi oleh negara dan warganya, hidup tenteram, serta meningkat kesejahteraannya. Peningkatan kesejahteraan ini sering disebut dengan prasyarat untuk bisa melakukan peningkatan kualitas hidup.

Maka sejatinya yang dilakukan oleh polisi adalah menjaga mutu publik. Kualitas hidup akan menentukan mutu publik, maka akan bisa dirasakan bagaimana tingginya peradaban publik, bisa dirasakan bagaimana perilaku publik yang santun, terpelajar, tidak arogan, bisa menghargai perbedaaan. Tentu pada awalnya sebelum menjaga mutu publik, polisi harus menjaga mutunya terlebih dahulu. Dalam konteks ini maka budaya polisi Indonesia harus mencerminkan kualitas mereka. Mengutip pandangan almarhum Profesor Parsudi Suparlan, kebudayaan Polri adalah kebudayaan yang dimiliki oleh organisasi Polri, yang berisi pengetahuan, keyakinan-keyakinan mengenai dirinya dan posisinya dalam lingkungan tersebut. Yang digunakan sebagai acuan atau pedoman organisasi Polri dalam melaksanakan pemolisiannya maupun tindakan para petugas kepolisian untuk pemenuhan kebutuhan baik biologi, sosial maupun adab sebagai manusia (2005).

Sehingga kita bisa menarik benang merah, bahwa perilaku polisi sangat menentukan bagaimana respons masyarakat. Tahap membangun kepercayaan publik yang tidak bisa maksimal, karena respon masyarakat yang juga tidak maksimal. Ekspetasi masyarakat yang sangat tinggi terhadap polisi harus disikapi bukan sebagai beban, namun sebagai pemicu untuk mau bekerja secara “bener” dan “pener”. Kosa kata yang diambil dari bahasa Jawa ini mempunyai nilai filosofis yang tinggi. Bener berarti harus profesional, dan pener berarti harus arif, harus bijaksana. Harus kita akui banyak kritik atas soliditas Polri yang oleh kacamata luar dinilai mulai rapuh, karena tidak bisa menyinergikan antara “bener” dan “pener” ini. Karena pener berarti harus memahami budaya polisi Indonesia yang mempunyai etika, sopan santun, baik dalam bertutur kata, bertindak, maupun berinteraksi dengan lingkungan internal dan eksternal Polri. Salah melangkah pasti fatal akibatnya. Sebagai institusi yang harus mampu menjaga mutu masyarakatnya, mutu publik, maka polisi Indonesia harus lebih dahulu menjaga mutu institusinya dan mutu personelnya. Sulit memang, tetapi melalui kerja keras dan kesadaran bahwa Polri adalah institusi yang harus dijaga martabat dan wibawanya, Insya Allah akan mampu terlewati. (Drs. A. Wahyurudhanto, M.Si)

n Tulisan ini telah dimuat dalam Jurnal Kepolisian, Edisi 073 (Juni-Sept 2010)

Posisi Satpol PP dalam Konteks Tugas-tugas Polisional

Posisi Satpol PP dalam Konteks Tugas-tugas Polisional

Oleh : Drs. A. Wahyurudhanto, M.Si

Abstraksi :

Sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan, bahwa Satuan Polisi Pamong Praja mempunyai tugas pokok membantu Kepala Daerah dalam penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum serta penegakan Peraturan Daerah. Sehingga semua permasalahan ketentraman dan ketertiban umum yang terkait langsung dengan Penegakan Peraturan Daerah yang diindikasikan belum bereskalasi luas menjadi tanggung jawab Polisi Pamong Praja. Namun dalam pelaksanaannya, tugas Satpol PP sering berbenturan dengan penegak hukum yang lain, terutama polisi. Benturan pada tugas-tugas polisional tersebut akan terus terjadi sepanjang rekrutmen, pembinaan karier serta pendidikan Satpol PP tidak pernah ada Standarisasi. Benturan dengan polisi juga lebih karena ada singgungan kewenangan antara UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.

Kata Kunci : Kamtibmas, Penegakkan Hukum, Otonomi Daerah, Polisional

Tindakan kekerasan oleh Anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) di Kota Surabaya pada tanggal 12 Mei 2009 membuka kembali wacana mengenai peran dan posisi Satpol PP. Dalam tindakan penertiban pedagang kaki lima (PKL) oleh Satpol PP Kota Surabaya di Jalan Raya Boulevard telah mengakibatkan korban meninggal dunia. Ketika melakukan pembersihan sebuah gerobak bakso, pedagang dan anaknya, Siti Khoiriyah yang baru berusia empat tahun tersiram kuah panas. Siti akhirnya meninggal dunia setelah enam hari dirawat di rumah sakit akibat luka melepuh, tersiram kuah panas dagangan bakso milik ibunya. Akibat kejadian tersebut, Wakil Komandan Peleton Satpol PP Kota Surabaya, Wahyudi harus ditahan untuk mempertanggungjawabkan kelalaiannya. Wahyudi akhirnya ditahan di Polsek Gubeng Surabaya dengan jeratan Pasal 351 jo 360 KUHP tentang kelalaian yang mengakibatkan luka. Ancaman pidananya dalah hukuman penjara maksimal 5 tahun.

Kisah tragis tersebut bukan hanya pertama kali terjadi. Institute for Ecosoc Rights dalam rilis temuannya menyebutkan, pada tahun 2006 terjadi 146 kasus penggusuran dengan korban 42.498 warga. Pada tahun 2007 terjadi 99 penggusuran dengan 45.345 korban. Hingga Februari 2008 terjadi 17 penggusuran dengan 5.704 korban. Karena itulah keberadaan institusi ini oleh sebagian masyarakat dinilai telah melakukan tindakan yang meresahkan, apalagi dalam setiap pelaksanaan tugas di lapangan Satpol PP sering dinilai melakukan kekerasan dan tindak arogansi. Belum lagi jika kita menyimak berita-berita di media massa, baik pada media massa elektronik maupun pada media massa cetak, akan seringkali kita jumpai bentrokan Satpol PP dari berbagai daerah di Indonesia dengan warga karena tindakannya yang dinilai berlebihan dalam menjalankan tugas.

Kejadian di Surabaya bulan Mei lalu telah menimbulkan wacana agar Satpol PP dibubarkan. Desakan paling keras datang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Imparsial, LSM yang banyak bergelut di bidang pemantauan dan penegakan hak asasi manusia. Bahkan Imparsial dalam publikasinya menyebut lembaga ini telah melahirkan keresahan, penindasan, serta pelanggaran HAM, termasuk hak atas rasa aman dan damai (Kompas, 1 Juni 2009). Diungkapkannya pula, anggaran Satpol PP yang dibebankan ke APBN sangatlah besar. Ditunjuknya anggaran Satpol PP di Pemerintah Provinsi DKI tahun 2007 mencapai Rp 303,2 miliar. Jumlah ini sangatlah besar jika dibandingkan anggaran di Pemprov DKI untuk pendidikan dasar yang hanya Rp Rp 188 miliar dan Rp 200 miliar untuk Puskesmas.

Yang menarik dalam kajian yang dilakukan oleh Imparsial adalah temuan bahwa Satpol PP merupakan kepanjangan tangan dari kepentingan politik kepala daerah yang seringkali berkolaborasi dengan modal dan kepentingan lain dengan dalih di balik proyek-proyek penertiban dan penggusuran. Dalam catatan yang dikemukakan pada media, ada tiga alasan yang disebutnya layak menjadi dasar bagi dibubarkannya Satpol PP. Tiga alasan tersebut, pertama, watak militeristik Satpol PP yang tidak dapat dihilangkan karena telah diwariskan sebagai bagian dari semangat korps Satpol PP. Dengan kemampuan profesional yang sangat rendah dan peraturan yang sangat longgar, ke depan yang tumbuh hanya watak militeristik. Kedua, keberadaan Satpol PP tumpang tindih dengan tugas kepolisian yang juga melakukan fungsi Satpol PP. Fungsi penyelenggaraan pengamanan harus dikembalikan kepada Kepolisian, tidak hanya skala nasional tapi hingga sudut wilayah Indonesia. Dan ketiga, keberadaan Satpol PP juga menimbulkan tumpang tindih kewenangan penegakan hukum. Fungsi penegakan hukum di lingkungan pemerintahan seharusnya dilakukan oleh Polri dan institusi khusus seperi penyidik PNS.

Tentu saja alasan yang dikemukakan oleh Imparsial masih perlu kita telaah lebih jauh. Namun setidaknya fakta-fakta empiris mengenai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Satpol PP telah menjadi petunjuk bagi kita semua bahwa ada yang salah dalam penggunaan Satpol PP dalam rangka menjadi sarana menuju kesejahteraan bagi masyarakat. Sebagai aparat yang bertugas menegakkan Peraturan Daerah, jelas Satpol PP harus mengemban fungsi pemerintahan umum yang tujuannya adalah untuk menuju ke kondisi situasi yang mempu membuat warga untuk beraktifitas, sehingga upaya mencapai kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup bisa tercapai.

Sesuai dengan isi Pasal 148 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan, bahwa Satuan Polisi Pamong Praja mempunyai tugas pokok membantu Kepala Daerah dalam penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum serta penegakan Peraturan Daerah. Sehingga semua permasalahan ketentraman dan ketertiban umum yang terkait langsung dengan Penegakan Peraturan Daerah yang diindikasikan belum bereskalasi luas menjadi tanggung jawab Polisi Pamong Praja.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pada pasal 5 bahwa kewenangan Polisi Pamong Praja adalah : a) menertibkan dan menindak warga masyarakat atau badan hukum yang mengganggu ketentraman dan ketertiban umum; b) melakukan pemeriksaan terhadap warga atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah; c) melakukan tindakan represif non yustisial terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.

Adapun kewajibannya: a) menjunjung tinggi norma hukum/norma agama, HAM dan norma sosial lain yang ada di masyarakat, b) membantu menyelesaikan perselisihan warga yang bisa mengganggu ketentaraman dan ketertiban (tramtib), c) melaporkan kepada Kepolisian atas ditemukannya / patut diduga adanya tindak pidana, (d) menyerahkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) atas ditemukannya / patut diduga adanya pelanggaran terhadap Perda dan Kepda (Pasal 7 huruf a, b, c, dan d).

Benturan di Lapangan

Dalam pelaksanaan tugasnya Satpol PP sering tumpang tindih dan berbenturan dengan penegak hukum yang lain, terutama polisi. Tidak dapat dipungkiri lagi sering kali terjadi akhirnya polisi yang harus menjadi “pemadam kebakaran” ketika dalam pelaksanaan tugasnya Satpol PP akhirnya harus berbenturan dengan masyarakat yang kemudian muncul situasi anarkis. Ketika pada situasi yang bisa mengakibatkan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat lebih jauh, akhirnya polisi turun tangan. Yang sering terjadi, akhirnya polisi yang berbenturan dengan masyarakat karena situasi anarkis yang sudah berkembang terlalu jauh.

Jika kita melihat mengapa tumpang tindih tersebut terjadi, hal ini dikarenakan adanya benturan mengenai siapa yang mempunyai kewenangan dalam menjalankan peran dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam pasal 27 huruf c UU Nomor 32/2004 dirumuskan salah satu kewajiban Kepala Daerah adalah memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat. Di sisi lain Polri memiliki tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat sesuai dengan rumusan pada pasal 13 UU Nomor 2/2002. Dengan demikian dapat dipahami apa yang menjadi tugas pokok kepolisian di daerah tersebut juga menjadi kewajiban kepala daerah untuk menjalankannya. Di sinilah letak persinggungannya.

Sepanjang konsep menjaga keamanan dan ketertiban yang dipunyai kepala daerah tidak satu visi dengan Polri maka benturan di lapangan akan memiliki probabilitas besar akan terus terjadi. Satpol PP sebagai aparat Pemda sering melakukan tugasnya secara tumpang tindih dengan Aparat Polisi yang mendasarkan diri pula pada payung hukum yang menaunginya. Kondisi ini menghasilkan friksi antara kewenangan Polisi sebagai aparat sentralistik dengan Satpol PP yang merupakan aparat Pemda yang otonom.

Jika kita menyimak landasan hukum bagi Satpol PP tidak ada yang krusial untuk dipersoalkan. Karena memang dari sejarah berdirinya negeri ini, kehadiran Satpol PP selalu memberikan warna pada bagaimana birokrat menjalankan roda pemerintahan. Kehadiran Satpol PP jelas-jelas ditegaskan dengan didasarkan pada UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 148 UU 32/2004 disebutkan, Polisi Pamong Praja adalah perangkat pemerintah daerah dengan tugas pokok menegakkan Perda, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat sebagai pelaksanaan tugas desentralisasi.

Satpol PP juga bisa menjalankan fungsi yudisial, karena pada pasal 149 UU Nomor 32/2004 ayat (1) dinyatakan, anggota Satuan Polisi Pamong Praja dapat diangkat sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya ketentuan ini, maka sebagian anggota Satpol PP adalah bagian dari Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) karena mempunyai kewenangan penyidikan.

Yang menjadi masalah, sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah Satpol PP adalah bagian dari Pemerintah Daerah, sehingga dalam menjalankan tugasnya anggota Satpol PP bertanggung jawab langsung dengan Kepala Daerah dalam hal ini Bupati, Walikota atau Gubernur. Dengan kondisi ini, maka tidak ada hubungan hirarki maupun struktur antara Satpol PP Provinsi dengan Satpol PP Kabupaten ataupun Kota. Selain itu karena dasar pembentukan Satpol PP adalah Peraturan Daerah, sangat dimungkinkan antara kabupaten atau kota satu dengan lainnya terdapat spesifikasi dalam organisasi yang menyesuaikan dengan karakter daerah setempat.

Benturan dari Aspek Polisional

Dari sisi yuridis, keberadaan Satpol PP dilandasi oleh Undang-undang, PP, maupun Perda untuk masing-masing daerah, tetapi dalam pelaksanaan tugas bisa jadi muncul benturan karena perbedaan karakteristik daerah yang tajam. Ganjalan lain dari sisi yuridis, walau sama-sama bernama Satpol PP dan mempunyai seragam yang sama, tidak ada kewenangan dari Satpol PP Provinsi untuk melakukan intervensi ke Satpol PP Kabupaten atau Kota. Hal ini akan memunculkan persoalan ketika anggota Satpol PP yang juga PPNS menangani suatu kasus pelanggaran Perda yang harus melakukan konsultasi dengan pemerintah provinsi. Sesuai dengan ketentuan bisa saja hal itu tidak dilakukan, ketika ada kepentingan lain yang lebih cenderung/berpihak pada kepentingan daerah bersangkutan. Sehingga persoalan menegakkan Perda bisa menjadi gangguan dalam administrasi pemerintahan, ketika terjadi persinggungan kepentingan dari masing-masing daerah atau dengan pemerintah provinsi.

Dari fakta yang ada, sebenarnya yang paling krusial menyebabkan kekisruhan koordinasi dalam menjalankan tugas keamanan, adalah tidak tegasnya peraturan perundangan yang mengatur fungsi keamanan masyarakat. Seharusnya polisi adalah yang mempunyai tugas utama seperti yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, namun ternyata juga dalam UU 32 Tahun 2004, Satpol PP dibawah koordinasi Depdagri secara eksplisit mempunyai fungsi keamanan dalam menegakkan Perda. Konteks siapa yang mengelola keamanan kemudian menjadi wilayah yang “tumpang-tindih/abu – abu”.

Sehingga di lapangan terungkap seringnya timbul pola relasi antara polisi dan Pemda yang sering “mis-koordinasi” dalam mengambil keputusan soal pengelolaan keamanan, dimana berbagai institusi yang mempunyai fungsi pemolisian, telah mengambil kewenangan polisi dalam menjalankan fungsi keamanan. Perkembangan fungsi Satpol PP yang telah melakukan fungsi intelijen dengan dasar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2005 tentang Komunitas Intelijen Daerah (Kominda) menunjukkan bahwa peran Satpol PP dalam fungsi keamanan dan intelijen sudah seperti layaknya tugas polisi. Usulan agar Satpol PP dipersenjatai, juga menjadi wacana sebagai perangkat kelengkapan kerja dalam menjalankan fungsi ketentraman dan ketertiban.

Ternyata “kue keamanan” di era otonomi daerah, menjadi menarik dikupas, ketika berbagai institusi pengelola keamanan seperti polisi dan intsitusi yang mempunyai tugas pemolisian mulai merasakan enaknya mengelola sektor keamanan pasca pemisahan TNI dan Polri. Muncul pula statemen, bisa – bisa institusi keamanan di luar polisi yang mempunyai tugas pemolisian ini “lebih polisi” dari pada institusi polisi itu sendiri, bila secara tegas peraturan perundangan yang mengaturnya memberikan kewenangan “yang lebih” dalam menjalankan fungsi keamanan. Dalam konteks reformasi sektor keamanan, maka yang terpenting adalah bagaimana mendudukkan secara proporsional masing-masing institusi tersebut, tanpa adanya kepentingan terselubung. Namun, justru hal inilah yang sulit dilakukan karena kepentingan terselubung tersebut justru seringkali menjadi dasar untuk melakukan strategi demi kepentingan politis.

Jika kita telaah lebih jauh mengenai bagaimana pemeliharaan sistem keamanan, ketentraman, dan ketertiban umum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia disusun dan diselenggarakan oleh pemerintahan pusat yang secara fungsional didekonsentrasikan kepada pejabat pada unit-unit pemerintahan daerah ataupun disentralisasikan kepada Pemerintahan Daerah Otonom, bisa kita pahami mengapa benturan, terutama dalam aspek polisional bisa terjadi. Menurut Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara, fungsi penyelengaraan keamanan, kententraman dan ketertiban umum merupakan salah satu fungsi pemerintahan yang dijalankan oleh kepolisian. Sementara penyelenggaraan pembinaan keamanan, ketentraman, dan ketertiban yang dijalankan oleh kepolisian didelegasikan secara berjenjang kepada Kepolisian Daerah sampai dengan tingkat Kepolisian Sektor.

Mekanisme tersebut menjadikan sistem manajemen Polri harus menganut sistem kepolisian nasional. Dalam implementasinya, sistem kepolisian nasional dinilai sangat sentralistik. Mekanisme pengambilan kebijakan pada organisasi Polri masih terpusat, terutama pada perencanaan dan pengawasan. Sementara pengawasan eksternal untuk saat ini hanya menggunakan mekanisme pra peradilan yang cenderung legalistik dan formalistik. Sementara tanggung jawab kamtibmas yang dilakukan oleh Polri tidak hanya secara nasional tetapi juga untuk masalah lokal. Pada pembinaan keamanan untuk lingkup lokal/daerah, kepolisian pada tingkat kewilayahan dengan sendirinya harus bekerja sama dengan pemerintah daerah, dalam hal ini pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota. Kerjasama ini mulai tahapan perencanaan, implementasi sampai pengawasan yang dilakukan oleh publik.

Mengacu pada produk hukum yang menyangkut keamanan dan ketertiban masyarakat, salah satu kewajiban Kepala Daerah sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat. Sementara Polri seperti ditegaskan pada pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara memiliki tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikian akan ada persoalan, apa yang menjadi tugas pokok kepolisian dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat yang ada di daerah tersebut juga menjadi suatu kewajiban Kepala Daerah untuk menjalankannya. Di sinilah terletak titik persinggungannya, yakni salah satu kewajiban Kepala Daerah menjadi salah satu tugas pokok kepolisian, terutama dalam hal memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.

Adanya dua “versi” mengenai pemahaman atas tataran kewenangan dalam menjaga ketertiban masyarakat ini yang pada akhirnya seringkali membuat langkah-langkah Satpol PP berbenturan dengan polisi, terutama jika dilihat dari aspek polisional, yaitu aspek-aspek yang menjadi domain polisi. Penyebabnya jelas, karena lingkup keamanan yang menjadi tanggung-jawab masing-masing pihak akan berbeda dalam pandangan keamanan nasional dan keamanan lokal.

Penutup

Tindakan kekerasan oleh petugas Satpol PP Kota Surabaya yang kemudian memicu desakan agar Satpol PP dibubarkan sebenarnya merupakan bom waktu yang jika tidak dicari solusinya, pada saatnya nanti akan “meledak” lagi. Beberapa kelemahan Satpol PP yang sudah disebutkan pada bahasan di depan antara lain karena sistem rekrutmen dan pendidikan anggota Satpol PP yang tidak terkonstruksi secara jelas, serta organisasi Satpol PP yang berada pada kepala daerah baik itu gubernur, walikota maupun bupati, menjadikan pola manajemen kinerja Satpol PP tidak bisa dikaji secara wajar.

Dari sisi yuridis, sebenarnya inilah persoalan dalam implementasi dan UU No 2 Tahun 2002 dan UU No 32 Tahun 2004, yaitu pada perbedaan pemahaman dan tataran kewenangan mengenai ketertiban masyarakat. Salah satu tugas pokok Polri adalah memelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat. Sementara UU No 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa Kepala Daerah bertanggung-jawab atas Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat di wilayahnya. Terdapat perbedaan yang mendasar antara kepolisian dan pemerintahan daerah, yaitu pada kewenangannya yang otonom. Masing-masing daerah mempunyai wewenang untuk menentukan nasib daerahnya karena kewenangan yang otonom tersebut, sedangkan lembaga kepolisian merupakan kepolisian nasional yang berpusat di Markas Besar Kepolisian (Mabes Polri) dan mempunyai mekanisme tersendiri dalam upaya mengefektifkan sistem operasional kepolisian.

Jika dilihat dari kewajiban Kepala Daerah sebagamana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang merupakan revisi atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, salah satu kewajiban Kepala Daerah adalah memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat. Sementara Polri seperti ditegaskan pada pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara memiliki tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Masyarakat di sini meliputi semua orang yang tinggal dan atau berada dalam daerah dimana Kepala Daerah bertugas.

Karena itu, memang dirasa perlu adanya penataan mengenai bagaimana pola kerja Satpol PP. Sebagai aparat pemerintah daerah Satpol PP tunduk pada perintah kepala daerah, baik itu gubernur, walikota maupun bupati. Sementara itu struktur organisasinya juga akan ditentukan oleh Perda yang sangat tergantung dari kondisi daerah. Belum lagi pola rekrutmen, pola pembinaan karier, serta pola pendidikannya yang tidak seragam pada masing-masing daerah. Benturan dengan penegak hukum yang lain karena fungsi polisional yang melekat pada Satpol PP jelas akan terus berlangsung, sepanjang masalah rekrutmen, pembinaan karier, pendidikan tidak pernah dilakukan standarisasi. (*)

Bahan Bacaan :

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja.

Awaloedin Djamin, Kedudukan Kepolisian Negara RI dalam Sistem Ketatanegaraan : Dulu, Kini dan Esok, PTIK Press, Jakarta, 2008.

Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri), Laksbang Mediatama, Jakarta, 2007.

Zakarias Poerba dan A. Wahyurudhanto, “Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) – Stocktaking of Current Regulatory Framework and Organizational Structure in The Context of The Security Sector Reform and Dezantralization in Indonesia”, GTZ, Jakarta, 2008.

Satpol PP Cerminan Pemda, Kompas, 1 Juni 2009.

DKI Butuh Satpol PP, Kompas, 2 Juni 2009.

Bubarkan Satpol PP, Kompas, 3 Juni 2009.

n Tulisan ini telah dimuat dalam Jurnal Kepolisian, Edisi Juni 2009.