Minggu, 03 Oktober 2010

Polisi dan Dinamika Politik Lokal (File Artikel)

Polri dan Dinamika Politik Lokal

Menarik sekali judul di Harian Kompas tanggal 11 Februari 2009 yang merupakan berita tentang perkembangan kasus demonstrasi anarkis di Kantor DPRD Sumatera Utara yang menewaskan Ketua DPRD Sumut Abdul Azis Angkat. “Politisi di Belakang Aksi”, demikian judul berita tersebut yang merupakan simpulan atas kelanjutan proses penyidikan yang dilakukan oleh tim gabungan Poltabes Medan, Polda Sumut, dan Mabes Polri.
Demo tentang  pemekaran Propinsi Tapanuli tersebut ternyata telah menjadi bola liar. Di lingkungan internal Polri, akibat demo tersebut telah terjadi serentetan pencopotan pejabat, mulai Kapoltabes Medan, Inspektur Pengawasan Daerah Polda Sumut, Kepala Biro Operasi Polda Sumut, dan Direktur Intelkam Polda Sumut. Dan sebentar lagi, sesuai janji Kapolri, Kapolda Sumut juga akan dicopot. Belum lagi pejabat di tingkat Polsek dan Kasat yang penulis yakin juga akan mengikuti arus di atasnya, yaitu akan dicopot.
Pencopotan pejabat-pejabat teras di Poltabes Medan maupun di Polda Sumut menuai banyak komentar. Terakhir dalam rapat kerja Komisi III DPR dengan Kapolri Senin (9 Februari 2009) lalu, kritik tajam atas kebijakan Kapolri datang bertubi-tubi. Yang sangat menyolok adalah adanya pernyataan dari beberapa anggota Dewan, agar Polri jangan mempolitisasi kasus ini, karena beredar rumor bahwa kejadian ini menguntungkan “persaingan” sebagian elite  Polri untuk masuk ke posisi “mantap”. Bahkan muncul desakan agar pencopotan yang dilakukan oleh Kapolri jangan dikarenakan tekanan dari kelompok politik tertentu. Kapolri pun dengan tegas menjawab, bahwa kebijakannya ini didasarkan pada azas profesionalisme. Ditunjuknya dasar pencopotan adalah hasil pemeriksaaan yang dipimpin langsung oleh Irwasum Polri, bahwa telah terjadi kesalahan prosedur yaitu tidak disiplin dalam pelaksanaan prosedur tetap (protap) sesuai Peraturan Kepala Polri Nomor 16/2006 tentang pengendalian massa.
Yang menarik dalam perkembangan kasus ini, karena polisi akhirnya juga menahan tokoh-tokoh partai yang juga calon legislatif. Judul berita yang menyebutkan adanya peran politisi tersebutlah yang menarik, karena alasan yang dipakai polisi bahwa yang bersangkutan diduga kuat sebagai pengerah massa. Persoalan ini akan menjadi bahan diskusi yang akan terus berkembang karena ada pernyataan dari  Kepala Bidang Humas Polda Sumut bahwa bagi polisi yang terpenting adalah memeriksa mereka yang terlibat demonstrasi. “Kebetulan kebanyakan mereka berasal dari partai partai politik,” demikian pernyataannya seperti dikutip dalam berita tersebut.
Hak Menyampaikan Pendapat
Demonstrasi di DPRD Sumut tersebut tentu saja tidak akan berkembang menjadi bola liar jika  tidak makan korban. Kebetulan yang tewas adalah Ketua DPRD dan merupakan tokoh Partai Golkar Sumut, partai yang mempunyai basis memadai di propinsi Sumut. Walau hasil otopsi menunjukkan  bahwa yang bersangkutan meninggal karena serangan jantung, tetapi tentu saja alasan itu tidak dapat meredakan polemik yang berkepanjangan. Maka tuntutan agar polisi mengusut tuntas pun terus berkembang, sampai kemudian pencopotan demi pencopotan pejabat Polri setempat dilakukan oleh Kapolri.
Mengemukakan pendapat di depan umum merupakan hak bagi semua warga negara Indonesia. Landasan hukumnya jelas, yaitu UU Nomor 9 Tahun 1998. Apalagi setelah reformasi bergulir di Bumi Indonesia sejak Mei tahun 1998. Unjuk rasa merupakan hal yang biasa di Indonesia. Mulai dari mahasiswa sampai buruh, mulai kepala desa sampai rakyat jelata, pendeknya segala lapisan masyarakat sekarang mengenai demonstrasi dan tidak terkaget-kaget lagi ketika menyaksikan demonstrasi di mana-mana. Maka selain demo murni, ada juga demo pesanan. Juga selain ada demonstran “asli” ada juga demonstran bayaran.
Fenomena tersebut tentu saja pada akhirnya akan menyebabkan dampak yang bisa kontraproduktif. Adalah hal yang sudah kasat mata bahwa semua demonstrasi selalu bermuara pada kepentingan, baik kepentingan individu maupun kepentingan kelompok. Fenomena demo pesanan dan demonstran bayaran adalah efek dari upaya pencapaian kepentingan tersebut. Sehingga menjadi masuk akal ketika polisi menjaring tersangka dengan menggali informasi siapa figur dibalik demontrasi, siapa yang membiayai demo.
Akan tetapi jika merujuk pada UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Depan Umum, orang yang menggerakkan demonstrasi atau orang yang membiayai demonstrasi tidak bisa dipersalahkan. Pada bagian menimbang undang-undang tersebut pun sudah jelas-jelas ditegaskan, bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Disebutkan pula bahwa kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat., berbangsa, dan bernegara.
Sehingga jika kita melihat semangatnya, unjuk rasa adalah hak yang secara hakiki diyakini menjadi bagian penting dalam proses demokratisasi yang merupakan salah satu inti dari gerakan reformasi di Indonesia yang kini sudah berjalan sepuluh tahun lebih. Hak menyampaikan pendapat ini  ketika dilakukan oleh sekelompok individu tentu saja membutuhkan leader, yang sudah pasti akan menjadi penggeraknya. Kegiatan demontrasi juga tidak mungkin dilakukan secara gratis. Setidaknya pasti mereka yang melakukan aktivitas itu harus makan dan minum. Ini jelas butuh biaya. Jadi, jika ada yang membiayai tentu saja wajar.
Yang menjadi masalah ketika demontrasi tersebut berubah menjadi tindakan anarkis. Demonstrasi Propinsi Tapanuli oleh polisi dinyatakan ilegal, karena sesuai ketentuan seharusnya tiga hari sebelum aksi dilakukan sudah harus memberitahukan ke polisi, tetapi hal tersebut tidak dilakukan. Polisi yang tahu hal ini tidak membubarkan aksi, dengan alasan sikap menghormati karena unjuk rasa dilakukan sebagai bagian dari demokrasi. Karena itulah yang dilakukan adalah memberikan pelayanan keamanan.
Dari sini kita melihat bahwa polisi sebenarnya sudah melakukan track yang benar, bahwa dukungan atas berkembangnya demokratisasi harus diberikan apresiasi, terutama dalam memasuki era reformasi. Namun yang dilupakan, bahwa apresiasi tersebut bisa menimbulkan efek negatif ketika dalam pegelolaannya tidak berdasarkan pada rambu yang ada. Ketentuan yang ada pada undang-undang tentu saja sudah dengan berbagai pertimbangan. Walau polisi mempunyai kewenangan diskresi, namun ketika akibat yang muncul ternyata fatal, maka tanggung-jawab itu lalu menjadikan akibat baru. Kasus demo di DPRD Sumut menunjukkan kesalahan tersebut. Artinya bahwa unjuk rasa adalah hak, namun prosedur pun juga harus dilakukan, sehingga demokratisasi tidak dilakukan dengan membabi buta.
Dinamika Politik Lokal
Kasus demontrasi Provinsi Tapanuli yang berujung pada tindakan anarkis dan mengakibatkan tewasnya Ketua DPRD Sumut Abdul Azis Angkat memberikan banyak pelajaran bagi kita semua. Bagi polisi, tindakan diskresi kepolisian walau merupakan kewenangannya namun dalam implementasinya haruslah benar-benar mempertimbangkan kondisi riil di lapangan. Menyampaikan pendapat melalui unjuk rasa memang merupakan hak warga negara yang dilindungi undang-undang. Bagi Polri yang mempunyai semangat dalam tugas pokok dalam bentuk melindungi, mengayomi, dan melayani, kemudian melakukan implementasi dalam bentuk apresiasi terhadap demokratisasi boleh-boleh saja, dengan memberikan dukungan pada kegiatan unjuk rasa melalui pelayanan dalam hal keamanan. Namun deteksi dini ternyata menjadi masalah yang sangat penting. Protap yang sudah didisain untuk meminimalkan risiko-risiko terutama risiko kerawanan kamtibmas yang menjadi tugas polisi untuk menekannya, menjadi hal yang wajib dilakukan.
Ada hal penting yang bisa kita petik pada kejadian tersebut, yaitu  mengingatkan pada kita untuk selalu waspada, bahwa era otonomi daerah dengan segala aspek yang melingkupinya – seperti pilkada dan pemekaran wilayah – serta pemilihan umum yang dalam penentuan calon terpilih sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan suara terbanyak, akan mempunyai efek pada meningkatnya dinamika politik lokal. Dinamika ini akan bergerak dengan segala variasinya dan pada akhirnya akan menjadi “kubangan-kubangan” pusaran dinamika sosial.
Demonstrasi Provinsi Tapanuli merupakan salah satu bentuk “kubangan” tersebut., dimana dari sana akan mengemuka aktivitas unit-unit kekuatan sosial yang saling bergesekan. Jika kita simak lebih jauh bagaimana perkembangan dari daerah-daerah pemekaran, yang terjadi bukanlah munculnya inovasi-inovasi baru dalam rangka mensejahterakan masyarakat, tetapi justru “inovasi” elite setempat untuk menarik dana dari pusat. Akibatnya tujuan pemekaran yang diharapkan menjadi pemicu pertumbuhan akhirnya tidak tercapai.
Inilah pangkal dari bencana tersebut, gesekan yang justru menimbulkan konflik, karena yang terjadi adalah pertarungan untuk merebut sumber politik dan ekonomi. Kemenangan dalam perebutan ini menjadi penting bagi elite, karena inilah jalan masuk agar bisa memperoleh akses transformasi kekuasaan dari pusat. Inilah efek negatif dari otonomi daerah yang sekarang dikembangkan di Indonesia. Ketidaksiapan elite lokal untuk mandiri menyebabkan ketergantungan dengan pusat terus dibangun melalui upaya-upaya bangunan politik. Di sinilah kepentingan itu akan terus bertaut dengan dinamika politik lokal yang jelas akan memberikan kontribusi bagi gangguan kamtibmas.
Polri akan pada posisi harus bisa menjadi “moderator” bagi dinamika politik lokal melalui tugas pokoknya, yakni memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkah hukum, dan melindungi, mengayom, serta melayani. Inilah tugas yang tidak ringan. Unjuk rasa sebagai bentuk mengemukakan pendapat di muka umum akan terus ada sebagai upaya penggalangan oleh kelompok kepentingan tersebut. Elite lokal pada akhirnya akan terus memobilisasi masyarakat untuk kepentingannya. Temuan polisi bahwa ada peran politisi dalam aksi di DPRD Sumut merupakan bukti yang tak terbantahkan. Selain demo Provinsi Tapanuli, gesekan juga akan sering terjadi manakala para calon legislatif berusaha memobilisasi masyarakat untuk memberikan dukungan padanya.
Bagi Polri tugas ini akan membawa banyak resiko. Di satu pihak tuntutan untuk mampu mengawal proses demokratisasi, proses desentralisasi dalam otonomi daerah, serta mengawal pembelajaran politik bagi masyarakat wajib dilakukan, namun di lain pihak sorotan akan kinerja Polri pun tak akan pernah berhenti. Alih-alih jika tidak waspada, maka kejadian-kejadian yang tidak diinginkan bisa saja terjadi. Dan tentu saja jalan keluarnya tidak bisa hanya dengan mencopot pejabat Polri di wilayah tersebut. Karena jika ini sering dilakukan, juga tidak baik bagi proses membangun rasa percaya diri bagi mereka yang diberi tanggung jawab. Era otonomi daerah, dan sistem pemilu yang semakin terbuka akan terus membawa efek pada semakin dinamisnya gerakan-gerakan politik lokal, dan tugas Polri untuk menjaga dinamika tersebut tanpa harus kehilangan rasa percaya diri karena musibah-musibah yang tidak terduga. Kasus di Sumatera Utara adalah pelajaran yang sangat berharga.(*)