Senin, 15 November 2010

Artikel : "Gurita Gayus"

GURITA GAYUS
Oleh  A. WAHYURUDHANTO

Gayus HP Tambunan berulah lagi, dan media massa kembali menggegerkan tentang perilaku Gayus. Kali ini berita besar yang dibuatnya adalah “kecanggihannya” dalam menerobos tembok Rumah Tahanan Brimob, Kelapa Dua, Depok. Jika dihitung-hitung mulai kasus Gayus menyeruak, sudah puluhan orang jadi korban. Mulai dari yang berpangkat “kroco” sampai jenderal. Semua jalur penegak hukum sudah harus “menyumbangkan” korban atas kehebatan Gayus, mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, sampai Pengadilan. Bahkan di institusinya, perpajakan, juga ada yang bertumbangan.
Ada fenomena menarik dari kasus Gayus ini, bahwa semua yang ditumbangkannya selalu dengan fakta hukum tindak pidana korupsi. Pada kasus terakhir, Kadiv Humas Polri pun secara tegas menyebutkan bahwa hasil pemeriksaan pihaknya telah menetapkan sembilan tersangka dengan sangkaan melanggar Pasal 5 Ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam jumpa pers secara terbuka diungkapkan ratusan juta uang mengalir ke para penjaga rumah tahanan, dengan jumlah tertinggi tentu komandannya.
Sama seperti mereka yang akhirnya terjerat ke pengadilan karena kasus Gayus (atau yang hampir masuk seperti Jaksa Cirus), semuanya dengan sangkaan korupsi. Ini fakta fenomena yang tidak bisa terbantahkan. Dan jika kita simak lagi kasus-kasus yang berkaitan dengan Gayus, semuanya diawali dengan upaya implementasi “prosedur yang benar”, atau dengan kata lain awal mula kasus selalu bukan karena tindak pidana, karena selalu diawali dengan proses menerapkan prosedur tetap (Standar Operating Procedure). Pada penyalahgunaan penetapan pajak, yang dilakukan adalah menyesuaikan dengan aturan yang berlaku, pada penetapan pasal sangkaan di pengadilan yang dilakukan adalah menyesuaikan dengan pasal dalam KUHP, dan pada kasus terakhir yang dilakukan adalah izin berobat, yang memang secara prosedural ada aturannya, sehingga langkah-langkah aparat penegak hukum pada awalnya “didisain” tidak menyalahi aturan.
Cara berpikir ini tidak salah jika merujuk pada pendapat Max Weber mengenai birokratisasi, bahwa unsur prosedur adalah salah satu langkah dalam rangka efektifitas birokrasi. Budaya birokrasi Indonesia yang terpengaruh oleh alam Belanda sangat getol dengan menempatkan prosedur sebagai alasan yang dianggap paling masuk akal dan “tidak melanggar aturan” dalam rangka upaya penyalahgunaan jabatan. Lihat saja bagaimana para anggota DPR yang dengan tegap melancong ke luar negeri dengan alasan karena sudah dianggarkan dan direncanakan. Bahkan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam sebuah wawancara di majalah (Prisma, Juli 2010) secara terbuka membela koleganya Gubernur Kepri yang terkena kasus korupsi proyek pengadaan mobil pemadam kebakaran. “Dia cuma menyetujui untuk tidak melakukan tender, penunjukkan langsung. Jadi yang masuk penjara belum tentu semuanya maling,” begitu katanya.
Korupsi
Menelaah kasus Gayus, maka yang harus dijadikan pijakan adalah bahwa fenomena korupsi sudah tidak bisa lagi diselesaikan hanya sekedar retorika. Silang pendapat para pejabat dan pengamat di media massa, baik itu televisi, radio maupun media cetak hanya cukup menjadi “bumbu” kasus ini saja. Diskusi yang berkembang bagi publik hanya merupakan bagian dari infotainment saja. Tapi yang lebih penting adalah bagaimana mengkritisi hal ini sebagai “penyakit kanker” yang tidak boleh dibiarkan.
Merujuk pendapat Robert Klitgaard yang terkenal dengan sumbangan akademiknya dalam hal pemberantasan korupsi, menunjukkan bahwa pembiaran korupsi memang secara sengaja dilakukan di Indonesia. Atau dengan kata lain inilah budaya yang dilestarikan. Menurut Klitgaard (2002), Korupsi dapat disimbolkan sebagai C = (M + D – A). Artinya Korupsi (corruption) bisa terjadi jika monopoli (monopoly power) bertemu dengan kewenangan pejabat/birokrat (discretion by officials), namun tidak ada pengawasan (accountability). Dalam penelitiannya dinyatakan bahwa korupsi adalah kalkulasi kriminal, bukan pemuasan nafsu. Menurutnya pegawai akan terlibat dalam usaha korupsi ketika keuntungan korupsi yang mereka peroleh lebih besar dari sanksi jika ditangkap, dikali kemungkinan untuk ditangkap. Sanksi tersebut termasuk upah dan insentif lainnya yang mesti mereka korbankan jika mereka kehilangan pekerjaan, termasuk juga berat hukumnya. Peluang pegawai mengumpulkan korupsi adalah merupakan fungsi dari tingkat monopoli mereka terhadap jasa atau aktivitas, kewenangannya dalam menentukan siapa yang memperoleh besaran tertentu, dan tingkat akuntabilitas kegiatan mereka.
Senada dengan kasus Gayus dalam beberapa kali ulah yang dilakukan, ujung-ujungnya adalah “keberanian” dari para penegak hukum, yaitu pemegang kewenangan birokrasi dalam bermain-main dalam lingkar prosedural setelah melakukan “kalkulasi”. Dan Gayus dengan lincahnya bermain dalam pusaran tersebut. Maka penulis cenderung menyebut, inilah permainan “Gurita Gayus”. Pola-pola yang dipakai Gayus jelas bukan tanpa perhitungan. Dia jelas sudah mempertimbangkan dampak apa yang akan berkembang di seputaran aparat birokrasi yang diajaknya bermain. Maka tidak heran jika para analis pun mengkaitkan bahwa apa yang dilakukan Gayus ada hubungannya dengan soliditas kepemimpinan Polri. Apalagi ketidaksesuaian informasi ke publik yang disampaikan petinggi Polri terus diekspose media. Fakta ini menunjukkan bahwa sebenarnya masih ada rongga “abu-abu” dalam implementasi penegakan hukum. Dan inilah bukti bahwa tidak adanya akuntabilitas seperti yang disyaratkan Klitgaard memang terjadi dalam sistem birokrasi yang berlaku di Indonesia.
Solusi
Menyikapi hal ini, menurut hemat penulis jalan keluarnya tidak bisa lagi menggunakan regulasi formal. Harus ada keberanian dari lapisan elite pengambil kebijakan untuk mengambil sikap yang mungkin tidak populer. Kritik keras bahwa kasus ini akan berhenti hanya sampai tingkat Komisaris Polisi, juga menunjukkan bahwa tekanan publik –setidaknya lewat media -- sebenarnya cukup lugas. Pers memang berperan besar sebagai agen akuntabilitas. Namun seperti pernah dilontarkan oleh Ashadi Siregar (2001), pers hanyalah media yang memungkinkan fakta-fakta dari suatu lingkungan untuk direplikasi, sehingga orang dari lingkungannya yang sama dapat berkonfirmasi, dan orang dari lingkungannya lainnya akan berinformasi.
Karena itu akuntabilitas publik akan sangat tergantung dari bagaimana tranparansi pemerintahan bisa diwujudkan. Akuntabilitas akan hadir jika ada tranparansi dari yang diawasi. Legislatif berkepentingan agar akuntabilitas oleh publik mengawasi institusi eksekutif dan yudikatif. Begitu pula sebaliknya, eksekutif berkepentingan adanya akuntabilitas publik untuk mengawasi legislatif dan yudikatif. Tentunya yudikatif akan juga punya kepentingan yang sama. Semakin “telanjang” suatu intitusi, akan semakin jelas akuntabilitas berlangsung, karena di sana akan hadir transparansi.
Yang menjadi masalah, kalau semuanya sudah korup, maka yang akan terjadi transparansi publik akan selalu ditutup-tutupi, dan media hanya sekedar mengorek-orek untuk pemuas publik saja. Apalagi juga secara sistematis melalui rekayasa politik akuntabilitas sengaja disembunyikan, sudah pasti akuntabilitas tersebut tidak bisa hadir. Akibatnya “gayus-gayus” lainnya akan hadir, mungkin dengan gurita yang lebih “lincah” dan lebih “cerdas”. Fenomena gayus menyuap penjaga rumah tahanan tidak boleh dinilai sebagai hal sederhana, ini bukan hanya persoalan prosedural, tetapi berimplikasi serius pada proses good governance (kepemerintahan yang baik) secara lebih kompleks. (*)
A. WAHYURUDHANTO
Mahasiswa Program S-3, FISIP, Universitas Padjadjaran.