Minggu, 13 Februari 2011

Mengapa Eksistensi Negara dan Polisi Digugat ?

Mengapa Eksistensi Negara dan Polisi Digugat ?


Kalau menyebut siapa “orang hebat” di tahun 2010, dan diramalkan akan semakin hebat, pasti koita harus menyebut salah satunya adalah Gayus HP Tambunan. “Hanya” pegawai negeri dengan pangkat III A, namun kekayaannya sungguh menakjubkan. Dan yang lebih hebat, akibat “nyanyiannya” petinggi-petinggi penting satu demi satu terjungkal dan siap untuk mengikuti jejaknya masuk bui. Jika dihitung-hitung mulai kasus Gayus menyeruak, sudah puluhan orang jadi korban. Mulai dari yang berpangkat “kroco” sampai jenderal. Semua jalur penegak hukum  -- mulai dari kepolisian, kejaksaan, sampai kehakiman -- sudah harus “menyumbangkan” korban atas kehebatan Gayus.
Jika kita simak lagi kasus-kasus yang berkaitan dengan Gayus, semuanya diawali dengan upaya implementasi “prosedur yang benar”, atau dengan kata lain awal mula kasus selalu bukan karena tindak pidana, karena selalu diawali dengan proses menerapkan prosedur tetap (Standar Operating Procedure). Pada penyalahgunaan penetapan pajak, yang dilakukan adalah menyesuaikan dengan aturan yang berlaku, pada penetapan pasal sangkaan di pengadilan yang dilakukan adalah menyesuaikan dengan pasal dalam KUHP,  pada kasus “jalan-jalan” ke luar tembol sel,  yang dilakukan adalah izin berobat, yang memang secara prosedural ada aturannya. Pergi ke luar negeri pun menggunakan paspor resmi (walau akhirnya terbukti asli tapi palsu). Sehingga langkah-langkah aparat penegak hukum pada awalnya “didisain” tidak menyalahi aturan.
Cara berpikir ini tidak salah jika merujuk pada pendapat Max Weber mengenai birokratisasi, bahwa unsur prosedur adalah salah satu langkah dalam rangka efektifitas birokrasi. Budaya birokrasi Indonesia yang terpengaruh oleh alam Belanda sangat getol dengan menempatkan prosedur sebagai alasan yang dianggap paling masuk akal dan “tidak melanggar aturan” dalam rangka upaya penyalahgunaan jabatan. Lihat saja bagaimana para anggota DPR yang dengan tegap melancong ke luar negeri dengan alasan karena sudah dianggarkan dan direncanakan. Bahkan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam sebuah wawancara di majalah (Prisma, Juli 2010) secara terbuka membela koleganya Gubernur Kepri yang terkena kasus korupsi proyek pengadaan mobil pemadam kebakaran. “Dia cuma menyetujui untuk tidak melakukan tender, penunjukkan langsung. Jadi yang masuk penjara belum tentu semuanya maling,” begitu katanya.
Eko Prasojo (2010), mengutip pendapat Gerald E Caiden (1991) sebagai  berikut: Vices, maladies, and sickness of bureaucracy constitute bureaupathologies. They are not individual failings of individuals who compose organizations but the systematic shortcomings of organizations that cause individuals within them to be quilty of malpractices. Hal tersebut senada dengan fenomena tentang Gayus yang kita saksikan dalam pentas media akhir-akhir ini. Gayus Tambunan mendadak saja menjadi orang yang terkenal saat ini di Indonesia. Bukan karena prestasinya di birokrasi meningkatkan penerimaan pajak, melainkan justru karena perbuatannya telah memperkokoh keyakinan tentang buruknya birokrasi Indonesia. Tidak semua birokrat seperti Gayus, tetapi kelemahan sistem organisasi  negara telah membentuk citra menyeluruh mengenai buruknya birokrasi Indonesia.
Apa yang terjadi oleh yang dilakukan Gayus sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam birokrasi di Indonesia. Selain itu, jumlahnya pun tidak begitu besar dibandingkan dengan kasus- kasus serupa yang belum atau tidak terungkap. Akan tetapi, tetap harus disyukuri bahwa akhirnya kesadaran tentang korupsi dalam birokrasi semakin terbuka lebar dengan terkuaknya kasus Gayus. Maladministrasi yang saat ini mungkin dapat disebut dengan Gayusisme atau nama lain yang barangkali akan segera muncul sebenarnya bukanlah kesalahan yang bersifat individual, tetapi timbul karena kelemahan sistematik dari organisasi birokrasi. Rumah tahanan, penjara, dan lembaga pemasyarakatan mungkin akan penuh dengan birokrat-birokrat yang merupakan golongan Gayusisme. Namun, apakah kita akan memenjarakan semua birokrat-birokrat dengan predikat Gayusisme tersebut dan mengatakan bahwa hal tersebut sebagai penyimpangan dan kesalahan yang bersifat individual.
Caiden (seperti dikutip oleh Eko Prasojo, 2010) mendefinisikan maladministrasi sebagai ”administrative action (or inaction) based on or influenced by improper consideration or condut”. Pakar administrasi negara yang lain, seperti Kenneth Wheare, menyebutkan berbagai bentuk maladministrasi, seperti ilegalitas, korupsi, neglect (kelalaian), perversity (ketidakwajaran), turpitude (kejahatan/kekejian), discourtesy (ketidaksopanan), dan misconduct (kelakuan menyimpang).  Maladministrasi sebagai bentuk patologi birokrasi terjadi secara sistematik, bukan individual. Kelemahan dan kegagalan organisasi untuk membentuk sistem yang mencegah terjadinya penyakit-penyakit birokrasi akan menyebabkan perilaku menyimpang yang diterima secara kolektif. Bahkan, individu yang memiliki karakter unggul dan idealisme yang tinggi tidak akan bisa bertahan lama ketika masuk dalam birokrasi karena serangan penyakit yang demikian kompleks. Birokrat yang semacam ini memiliki tiga pilihan, yaitu menjadi bagian dari sistem yang sakit, dianggap sebagai pesakitan karena tidak menjadi bagian dari sistem, atau keluar dari sistem birokrasi.
Menyikapi hal ini, jalan keluarnya tidak bisa lagi menggunakan regulasi formal. Harus ada keberanian dari lapisan elite pengambil kebijakan untuk mengambil sikap yang mungkin tidak populer. Pers telah membantu mendorong secara terus menerus dengan menjalankan peran sebagai agen akuntabilitas. Namun seperti pernah dilontarkan oleh Ashadi Siregar (2001), pers hanyalah media yang memungkinkan fakta-fakta dari suatu lingkungan untuk direplikasi, sehingga orang dari lingkungannya yang sama dapat berkonfirmasi, dan orang dari lingkungannya lainnya akan berinformasi. Sehingga jika sekarang eksistensi negara dan polisi digugat, ini bukan persoalan internal polisi, tetapi ini adalah buah dari peran negara yang gagal menjalankan fungsinya bagi kepentingan rakyat. Gugatan ini muncul karena rakyat semakin tidak percaya. Maka kalau Polri mempunyai grand strategy mewujudkan kepercayaan masyarakat, itu sudah jalan yang benar. Tetapi persoalannya, Polri adalah bagian dari negara, yang jelas tidak bisa berjalan sendirian. (A. Wahyurudhanto)

n Tulisan ini sudah dimuat di Jurnal Studi Kepolisian, Edisi 74, Januari-April 2011

Jangan Remehkan Polisi Indonesia ?


Note : Tulisan ini saya buat tahun 2006 lalu, tapi rasanya masih cocok untuk kita jadikan renungan saat ini...


JANGAN REMEHKAN POLISI INDONESIA ?


Semakin hari bangsa kita rasanya semakin kehilangan rasa percaya diri. Satu persatu kebanggaan yang tadinya bisa membuat kita besar kepala, kini sudah mulai menjauh. Sebut saja kejayaan kita di kancah bulu tangkis dunia. Dulu, nama Indonesia sudah pasti disebut yang pertama. Sampai-sampai Rudi Hartono mampu menjadi juara All England 8 kali, Piala Thomas dan Uber juga berhasil kita kawinkan. Tetapi kini, untuk masuk final saja susah. Apalagi jago bulutangkis putri kita, sudah tidak lagi masuk hitungan. Di lingkup Asia Tenggara saja, kini kita tidak bisa lagi bertengger di papan atas, bahkan dalam beberapa kali pesta olahraga se Asia Tenggara, kita kini selalu saja di urutan ketiga, untung tidak terpeleset lagi pada posisi nomor empat.
Itu baru dari dunia olahraga. Di dunia bisnis lebih-lebih lagi. Indonesia sudah bukan lagi menjadi incaran para investor. Mereka yang sebelumnya merasa nyaman dan mampu mengeruk untung sampai bergunung-gunung, kini malahan memindahkan pabriknya ke luar negeri. Vietnam menjadi salah satu tempat migrasi mereka. Alasannya pun selaliu klasik, banyak demo, peraturan berubah-ubah, dan banyak biaya siluman. Bagi para investor lebih aman membangun pabrik di luar Indonesia. Mereka bisa dengan pasti menghitung berapa biaya investasi yang harus dikeluarkan. Setelah produk jadi, baru kemudian dijual di Indonesia, karena mereka tahu, masyarakat Indonesia tingkat komsumtifnya tinggi.
Kalau kita bicara mengenai peringkat Indonesia dalam percaturan internasional, kini yang sering memperoleh ”medali” justru hal-hal yang tidak layak lagi dibanggakan. Dalam beberapa tahun terakhir ini, Indonesia selalu masuk ”10 besar” dalam peringkat negeri paling korup. Tingkat korupsi memang sudah sangat memprihatinkan. Bangsa kita juga terkenal sebagai bangsa yang tidak malu untuk mengaku miskin. Lihat saja, begitu ada pembagian dana bantuan tunai langsung, yang besarnya Rp 100.000 perbulan, langsung orang berduyun-duyun ke kantor kelurahan mengaku miskin. Sampai-sampai Biro Pusat Statistik yang membuat klasifikasi warga miskin dibuat repot, karena selalu saja diprotes yang disebabkan ada warga yang merasa datanya keliru, sebab oleh BPS tidak dinyatakan sebagai warga miskin.
Tetapi, di tengah keprihatinan kita akan mulai hilangnya rasa percaya diri karena sudah tidak ada lagi yang bisa dibanggakan, ternyata polisi Indonesia mampu membuat prestasi yang mencengangkan dalam forum internasional. Bukti ini membuat kita harus berucap, jangan remehkan polisi Indonesia. Ceritanya, dalam sebuah konferensi polisi tingkat internasional di sebuah negara di kawasan Timur Tengah, pada hari terakhir dilakukan uji kemampuan profesionalisme polisi. Materi yang menjadi pertaruhan antarpolisi se dunia adalah uji kemampuan analisis forensik. Obyek yang diujikan yaitu mummi, dan polisi masing-masing negara diminta untuk mendeteksi berapa usia mummi tersebut.
Kesempatan pertama diambil oleh polisi dari Amerika Serikat. Memasuki ruangan uji kemampuan, mereka bertahan sampai lima jam. Begitu keluar ruangan, mereka ternyata angkat tangan. ”Kami tidak mampu, terlalu sulit,” kata salah seorang dari mereka, pangkatnya senior superintendent, setingkat dengan komisaris besar di Indonesia. Yang kedua, polisi Australia. Setelah sebelumnya mereka selalu menyombongkan kemampuannya dalam membantu polisi Indonesia mengungkap pelaku Bom Bali, di dalam ruangan polisi Australia sempat bertahan sampai tujuh jam. Tapi begitu keluar, hasilnya tetap saja tidak ada. ”Banyak faktor kesulitannya, kami tidak mampu mendeteksinya,” kata juru bicara mereka, berpangkat letnan kolonel.
Berikutnya polisi dari Cina, yang dalam paparan sebelum kegiatan ini mengaku sangat profesional karena mereka mampu menjaga ketertiban dan keamanan warga Cina yang jumlahnya hampiur satu miliar jiwa. Lebih lama dari polisi Australia, polisi Cina menghabiskan waktu sampai sembilan jam di ruangan uji umur mummi. Begitu keluar, dengan peluh yang membasahi muka mereka, yang dilakukan hanya berucap singkat, ”kami gagal”. Selanjutnya polisi dari Arab Saudi yang sehari-hari sudah terbiasa berhadapan dengan mummi. Sama dengan yang sebelumnya, walau menghabiskan sampai 10 jam, toh usaha mereka sia-sia juga. ”Sudah terlalu tua usianya, kami sulit untuk mendeteksi secara tepat,” katanya, mengaku gagal.
Beberapa polisi negara lain yang melakukan uji deteksi usia mummi ini, tak ada satu pun yang berhasil. Sampai akhirnya tiba giliran polisi Indonesia. Yang masuk ke ruangan bukan yang berpangkat perwira menengah, apalagi perwira tinggi, cukup perwira pertama. Pangkat mereka inspektur dua. Semula banyak nada mencibir ketika polisi Indonesia masuk ke ruangan. Tetapi, tanpa diduga, hanya dalam waktu lima belas menit polisi Indonesia sudah keluar dan dengan langkah tegap menuju ke podium. Dengan intonasi yang tenang, juru bicara polisi Indonesia mengatakan, ”Kami sudah melakukan deteksi, ternyata mummi tersebut berusia seribu delapan puluh tiga tahun,” katanya mantap.
Para polisi dunia yang hadir di konferensi tersebut pun menjadi tercengang. Mereka kemudian bertanya, ”Bagaimana Anda bisa melakukannya, bahkan dalam waktu yang sangat cepat. Juru bicara polisi Indonesia dengan tersenyum dingin hanya berkata singkat, membeberkan rahasia mengapa bisa secepat itu mendeteksi umur mummi. ”Kami pukuli, mumminya ngaku,” katanya singkat, padat, selanjutnya keluar ruangan dengan diikuti pandangan polisi peserta konferensi yang masih terheran-heran.
Rupanya kebiasaan di dalam negeri ketika memeriksa tersangka dan memaksanya untuk mengaku bisa juga diterapkan pada mummi. Itulah polisi Indonesia, tidak perlu kemampuan investigasi, main pukul saja sudah bisa membuat tersangka mengaku. Tapi apakah model seperti itu masih layak untuk diteruskan. Paradigma polisi sipil yang kini melekat pada polisi Indonesia tentunya harus menjadikan mereka untuk mengubah kebiasaan buruk tersebut.
Penghormatan akan hak azasi manusia harus dikedepankan, karena itulah salah satu wujud dari profesionalisme. Investigasi yang sesuai dengan ketentuan hukum harus diutamakan. Justru kalau cara ini yang selalu dilakukan, bukan penghargaan yang diterima, tetapi malahan akan diremehkan terus. Jangan asal main pukul, kalau nanti kena hukum karma, rasain lu. (A. Wahyurudhanto)

Sabtu, 12 Februari 2011

Polisi dan Politik

Polisi dan Politik

Rambu agar profesi kepolisian tidak terpengaruh oleh kekuatan politik tertentu secara tegas dinyatakan pada Pasal 28 Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI. Pada pasal (1) disebutkan, Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap Netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Pasal (2) menyatakan, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih. Sementara pasal (3) menyatakan, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Jika kita menyimak ketentuan dalam pasal 28 ayat (1), (2), dan (3), sangatlah jelas bahwa substansinya mengambil dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No: VII/MPR/2000 Pasal 10.  Ketentuan tersebut dimaksudkan dalam rangka menjamin obyektivitas tindakan kepolisian dan pemuliaan profesi kepolisian agar dalam kinerjanya tidak menengok kanan-kiri pada kekuatan politik yang ada. Isi pasal tersebut secara tegas menunjukkan bahwa anggota Polri dijamin tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
Mengapa polisi harus bebas dari politik, bahkan sampai menggunakan hak pilihnya pun tidak diperkenankan. Pengalaman masa lalu rupanya telah menjadi kejadian yang traumatis, bahwa ketika polisi sudah menjadi alat politik bagi kekuasaan, maka yang dilakukan tidak bisa netral. Jaringan organisasi polisi yang sampai ke pelosok-pelosok daerah merupakan sarana yang ampuh jika bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Maka tidaklah mengherankan ketika menjadi bagian dari ABRI dan sekaligus menjadi bagian dari alat kekuasaan pada masa Orde Baru, manfaat peran polisi untuk ikut memberikan dorongan bagi mesin kekuasaan sangatlah efektif.
Merujuk pada tesis yang dikemukakan oleh Pareto (1848-1923), bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas-kualitas yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasaan sosial dan politik yang penuh. Mereka yang bisa menjangkau kekuasaan adalah selalu merupakan yang terbaik. Merekalah yang dikenal sebagai elite. (dalam Parma, 1987, h. 202). Posisi Polri dengan organisasi yang tersentral menyeluruh ke seluruh Indonesia tentu saja akan mempermudah ketika melakukan “produksi” bagi lahirnya elite tersebut. Menjadi sangat mungkin jika teori ini juga menjadi dasar ketika rambu-rambu disusun yang kemudian ditegaskan dalam UU Nomor 2/2002.
Tetapi apakah dengan ketentuan tersebut polisi akan terbebas dari politik. Tentu jawabannya akan sulit jika dipaksa harus menjawab benar. Karena hubungan emosional yang terbentuk pada para angota polisi sebenarnya merupakan bangunan dari relasi sosial yang mempunyai ikatan sangat kuat. Maka ketika mereka yang sudah menjadi elite kemudian mengundurkan diri dan sudah pensiun, sejatinya relasi sosial tersebut tidaklah hilang.
Inilah fenomena yang saat ini sedang menjadi perdebatan publik. Dalam rangka pemilihan presiden dan wakil presiden Juli 2009, tim kampanye para Capres dan Cawapres banyak dari para purnawirawan, termasuk purnawirawan polisi. Bahkan mantan Kapolri Jenderal Sutanto secara resmi menyatakan sebagai tim inti salah satu Capres, berikutnya para pensiunan jenderal polisi lainnya secara terang-terangan memberikan dukungan pada calon lain. Hal yang sama juga dilakukan oleh para purnawirawan TNI. Ini tentu saja merupakan fenomena yang menarik. Secara yuridis tindakan tersebut tidaklah salah, karena sesuai ketentuan perundang-undangan mereka yang sudah pensiun dari dinas kepolisian tidaklah terikat dengan keharusan bebas politik.
Yang sekarang menjadi persoalan, apakah ikatan emosional dengan para yuniornya, dengan pada para mantan anggotanya tidak akan berpengaruh pada sikap netral mereka yang masih aktif. Tentu akan sulit menjawabnya. Karena keterpengaruhan tersebut, yang bisa berimbas pada keluarga dari polisi yang masih aktif tidak bisa dibuktikan secara kasat mata. “Permainan emosi” ini yang rupanya sekarang diperankan oleh para jenderal, termasuk jenderal polisi dalam rangka upaya menggalang kekuatan politik.
Sehingga pada dasarnya sulit membebaskan diri dari pengaruh elite bagi polisi – dalam hal ini Polri – yang secara organisatoris merupakan bagian dari sistem pemerintahan yang merupakan representasi dari kekuatan riil politik melalui proses pemilihan umum. Maka yang penting bagi polisi sebenarnya adalah pada bagaimana kinerjanya menunjukkan keberpihakan pada kepentingan publik. Hasil pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden/wakil presiden pada intinya adalah hasil dari keputusan rakyat untuk memilih siapa yang akan mengambil keputusan untuk kepentingan rakyat.
Merujuk pemikiran Joseph Schumpeter (1883-1950), seorang sosiolog politik, yang menyatakan bahwa demokrasi secara sederhana adalah suatu mekanisme  untuk pemilihan dan memberi kekuasaan pada pemerintah. Peran para pemilih, menurut tesis Schumpeter, adalah bukan untuk memutuskan masalah-masalah politik dan memilih wakil-wakil yang akan melaksanakan keputusan-keputusan tersebut, melainkan lebih pada memilih orang-orang yang akan membuat keputusan-keputusan bagi mereka.
Oleh karena itu, bisa jadi orang yang dipilih tidak menjalankan keputusan yang berpihak pada rakyat. Maka peran polisi dalam konteks politik di Indonesia adalah pada bagaimana mengawal demokratisasi, sehingga rakyat bisa berpolitik dengan baik, santun, dan produktif. Fungsi-fungsi polisional akan sangat berperan dalam menjaga kondisi berlangsungnya proses demokratisasi, termasuk membuat pemilu berjalan lancar, dan mereka yang terpilih tetap terjaga untuk bekerja bagi kepentingan publik. (Drs. A. Wahyurudhanto, M.Si)

n Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Kepolisian, Edisi Juni 2009.


Polisi Menjaga Mutu Publik

Polisi Menjaga Mutu Publik

Almarhum Profesor Satjipto Rahardjo dalam salah satu cerahmahnya pernah mengemukakan rumus unik yang harus menjadi panduan polisi ketika bekerja. Menurutnya, keberhasilan tugas polisi ditentukan dengan rumus “O 2 + H”. Unik memang, seperti rumus kimia saja. Tetapi ketika dijelaskan bahwa maksud O 2 + H itu maksudnya adalah Otot, Otak dan Hati Nurani, baru kita mafhum, apa yang menjadi pemikiran beliau. Menurut Prof Tjip, polisi dalam pekerjaannya   menghadapi berbagai risiko bahaya yang besar. Dan kehadiran bahaya   tersebut secara sosiologis mewarnai pekerjaan polisi, bahkan mewarnai  kepribadian kerja dari polisi itu sendiri.  Polisi harus senantiasa waspada dan curiga, karena kalau tidak bisa kecolongan.
Karena itu wajar jika menyebut polisi adalah aparat hukum istimewa , karena posisinya yang sedemikian rupa sehingga dekat dengan masyarakat. Interaksi antara  masyarakat dengan polisi itu sangat intensif sekali, sehingga menjadikan pekerjaan polisi agak khas dibanding aparat penegak hukum yang lainnya seperti hakim dan jaksa. Tapi yang terjadi saat ini, justru kedekatan tersebut ternyata bisa menjadi bumerang bagi polisi. Fenomena “markus” atau makelar kasus menunjukkan hal itu. Tidak bisa dimungkiri, bahwa ternyata kedekatan tersebut justru menjadi pintu masuk bagi persekongkolan tidak sehat.
Mengapa bisa begitu ? Padahal sudah ada kode etik, sudah Tri Brata, tetapi slogan ternyata hanya sekedar slogan. Sementara tuntutan masyarakat terhadap  kinerja polisi sedemikian tinggi. Memang polisi bukan “superman” tetapi masyarakat dengan ekspetasinya berharap polisi bisa berperan sebagai superman. Sehingga kritik demi kritik, terus berdatangan tidak ada habisnya. Polisi sendiri tidak tinggal diam. Berbagai upaya dilakukan. Secara konsep usaha untuk memenuhi ekspetasi masyarakat pun dilakukan. Melalui Grand Strategy yang disusun dalam tiga tahap, Polri ingin menjadi institusi yang mampu memenuhi keunggulan. Maka setelah tahap pertama berakhir tahun lalu, yaitu trust building, tahun ini sampai 2014 nanti memasuki tahap kedua yaitu partnership building. Dan nanti tahun 2015-2025, diharapkan sudah bisa memasuki tahap ketiga, yaitu strive for excellence.
Ini artinya, tahun ini adalah awal untuk ancang-ancang untuk menuju keunggulan yang diharapkan, yaitu mewujudkan profil polisi yang profesional, bermoral dan modern. Namun, fakta yang ada, harapan pencapaian tahap pertama, yaitu meraih kepercayaan masyarakat sepertinya belum maksimal tercapai. Walau sudah di-“dongkrak” dengan program quick wins, yang tadinya hanya empat unggulan, sekarang menjadi 21 unggulan. Namun tetap saja kepercayaan publik tak bisa diraih secara maksimal. Berbagai survai yang dilakukan internal Polri maupun eksternal Polri masih menunjukkan kisaran 60 sampai 70 persen. Memang harus diakui ada peningkatan dalam setiap periode. Tetapi yang terjadi justru situasi fluktuatif lebih sering, kadang di atas, tetapi kadang justru terjerembab ke bawah.
Mengapa hal ini bisa terjadi ? Jawaban pertama karena memang masih banyak kendala, baik dari lingkungan internal Polri sendiri maupun dari eksternal. Dan yang kedua karena ekspetasi yang tinggi dari masyarakat akan kiprah Polri. Tidak mudah memang untuk memenuhi harapan masyarakat. Tugas pokok Polri sudah jelas, dicantumkan dalam dokumen yuridis, yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 pasal 13. Disebutkan, tugas Polri, yang pertama adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua menegakkan hukum. Dan ketiga, sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Jika kita kita resapi apa yang menjadi tugas pokok Polri, dan kita simak dengan penghayatan yang penuh kewenangan yang diberikan Undang-undang kepada Polri untuk menjalankan tugas pokok tersebut. Maka akan bisa kita temukan simpulannya, yaitu tidak lain dan tidak bukan tugas Polri adalah menjaga agar warganya bisa tenang beraktivitas, terayomi oleh negara dan warganya, hidup tenteram, serta meningkat kesejahteraannya. Peningkatan kesejahteraan ini sering disebut dengan prasyarat untuk bisa melakukan peningkatan kualitas hidup.
Maka sejatinya yang dilakukan oleh polisi adalah menjaga mutu publik. Kualitas hidup akan menentukan mutu publik, maka akan bisa dirasakan bagaimana tingginya peradaban publik, bisa dirasakan bagaimana perilaku publik yang santun, terpelajar, tidak arogan, bisa menghargai perbedaaan. Tentu pada awalnya sebelum menjaga mutu publik, polisi harus menjaga mutunya terlebih dahulu. Dalam konteks ini maka budaya polisi Indonesia harus mencerminkan kualitas mereka. Mengutip pandangan almarhum Profesor Parsudi Suparlan, kebudayaan Polri adalah kebudayaan yang dimiliki oleh organisasi Polri, yang berisi pengetahuan, keyakinan-keyakinan mengenai dirinya dan posisinya dalam lingkungan tersebut. Yang digunakan sebagai acuan atau pedoman organisasi Polri dalam melaksanakan pemolisiannya maupun tindakan para petugas kepolisian untuk pemenuhan kebutuhan baik biologi, sosial maupun adab sebagai manusia (2005).
Sehingga kita bisa menarik benang merah, bahwa perilaku polisi sangat menentukan bagaimana respons masyarakat. Tahap membangun kepercayaan publik yang tidak bisa maksimal, karena respon masyarakat yang juga tidak maksimal. Ekspetasi masyarakat yang sangat tinggi terhadap polisi harus disikapi bukan sebagai beban, namun sebagai pemicu untuk mau bekerja secara “bener” dan “pener”.  Kosa kata yang diambil dari bahasa Jawa ini mempunyai  nilai filosofis yang tinggi. Bener berarti harus profesional, dan pener berarti harus arif, harus bijaksana. Harus kita akui banyak kritik atas soliditas Polri yang oleh kacamata luar dinilai mulai rapuh, karena tidak bisa menyinergikan antara “bener” dan “pener” ini. Karena pener berarti harus memahami  budaya polisi Indonesia yang mempunyai etika, sopan santun, baik dalam bertutur kata, bertindak, maupun berinteraksi dengan lingkungan internal dan eksternal Polri. Salah melangkah pasti fatal akibatnya. Sebagai institusi yang harus mampu menjaga mutu masyarakatnya, mutu publik, maka polisi Indonesia harus lebih dahulu menjaga mutu institusinya dan mutu personelnya. Sulit memang, tetapi melalui kerja keras dan kesadaran bahwa Polri adalah institusi yang harus dijaga martabat dan wibawanya, Insya Allah akan mampu terlewati. (Drs. A. Wahyurudhanto, M.Si)

n  Tulisan ini telah dimuat dalam Jurnal Kepolisian, Edisi  073 (Juni-Sept 2010)