Minggu, 26 Juni 2011

Nilai Luhur Polisi

Tulisan ini sudah dimuat di:
Jurnal Studi Kepolisian Edisi 075 (Juni 2011)


Nilai Luhur Polisi

“Kekuasaan ibarat pedang bermata dua. Kalau tidak pandai menggunakannya, maka bisa mendatangkan bahaya, baik bagi pemiliknya maupun pada orang lain. Ingat, hanya orang-orang berilmu yang mampu menggunakan kekuasaan yang ada dalam tangannya, untuk menolong orang-orang yang lemah dan tidak bersalah. Karena itu Hoegeng harus sekolah baik-baik, supaya bisa jadi Komisaris Polisi, untuk menolong orang yang lemah dan tidak bersalah.” (Pesan Ating Natadikusumah pada Hoegeng kecil)

Hoegeng kecil bukanlah dari kalangan rakyat jelata, bapaknya tergolong pejabat pada jaman Hindia Belanda, Soekarjo Kario Hatmodjo adalah Kepala Kejaksaan Karesidenan Pekalongan. Saat masih kecil, Hoegeng Imam Santoso – yang kemudian lebih dikenal dengan nama Hoegeng – terkesan dengan sosok Pak Ating, polisi dengan pangkat Komisaris Polisi Kelas I yang merupakan sahabat ayahnya, saat itu menjabat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Karesidenan Pekalongan. Penampilan Ating Natadikusumah yang gagah, postur tinggi besar, kulit kekuning-kuningan, saat bertugas selalu mengendarai sepeda motor Harley Davidson, dan sepucuk pistol terselip di pinggangnya, merupakan idola Hoegeng Kecil. Sosok inilah yang menjadikannya bercita-cita menjadi polisi.
Kelak Hoegeng kecil ini menjadi orang pertama di jajaran Kepolisian RI. Ating sendiri sempat menjabat sebagai Kepala Kepolisian RI Wilayah Jakarta (setingkat Kapolda). Pesan yang disampaikan oleh sahabat ayahnya tersebut terus terngiang-ngiang pada diri Hoegeng dan selalu dijadikan pegangan ketika berdinas sebagai anggota Polri. Kisah tersebut diungkapkan dalam buku memoar tentangnya yang berjudul “Hoegeng : Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif pada Pemimpin Bangsa” (Penerbit Bentang, 2009.
Sosok Hoegeng sampai kini tetap menjadi sosok yang legendaris di negeri ini. Bukan bermaksud untuk mengkultuskan, namun dalam setiap perbincangan, selalu disebut bahwa Hoegeng adalah satu dari tiga polisi yang “bersih”. Dua yang lain adalah polisi tidur dan patung polisi. Anekdot ini menggambarkan, betapa sulitnya mencari polisi sekaliber Hoegeng. Sehingga dalam berbagai kesempatan sosok Hogeng selalu dijadikan contoh polisi yang layak diteladani.
Pesan yang dijadikan pegangan dalam menjalankan profesinya dijalankan dengan konsekuen. Tentu saja sikap ini kemudian membawa risiko, karena ternyata tidak semua orang – terutama penguasa – yang suka dengan sikap tersebut. Nasib Hoegeng pun tidak mulus, sempat menjadi Kapolri, sebelum akhirnya dicopot oleh Soeharto karena berseberangan. Hoegeng terkenal kukuh dan sangat berani memperjuangkan kepolisian yang bersih. Menolong orang lemah dan tidak bersalah, pada hakekatnya adalah implementasi dari tugas utama polisi, yaitu to protect and to serve (melindungi dan melayani). Di Indonesia, tugas tersebut ditambah, mengayomi. Sebenarnya itulah nilai luhur polisi.
Pada saat didirikan, doktrin Polri adalah Tata Tentrem Kerta Raharja. Doktrin ini mengajarkan bahwa untuk mencapai tujuan nasional yang berupa masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (Raharja), dipersyaratkan suasana gairah untuk membangun (Kerta). Kerta hanya akan terwujud melalui pembinaan tentrem atau terwujudnya keamanan dalam negeri. Tentrem yang mengandung dimensi security, surety, safety, dan peace hanya terwujud jika ada Tata, yakni ketertiban yang berdasarkan hukum. Doktrin ini akan membimbing semua insan Polri untuk berperilaku yang bisa diteladani dan dalam bertugas akan selalu teguh dalam profesi, karena yang dibela adalah masyarakat yang lemah dan tidak bersalah. Semuanya demi tujuan bersama, masyarakat yang adil dan makmur.
Namun dalam perjalanan ternyata banyak cerita yang “tidak enak”. Inilah yang kemudian memunculkan Grand Strategy Polri 2005-2025 yang diawali dengan tahap membangun kepercayaan. Krisis kepercayaan diyakini sebagai akar permasalahan yang harus dibenahi sejak awal. Kemudian dilakukanlah reformasi instrumental, reformasi struktural, dan reformasi kultural. Ujung-ujungnya, sampai sekarang reformasi kultural diakui belum berjalan dengan memadai. Apa penyebabnya? Yang jelas tentu saja karena nilai luhur polisi yang secara universal adalah nilai yang mulia telah dikebiri. Tulisan yang selalu dibawa kemana-mana karena melekat pada tanda kewenangan, yaitu Rastraswakottama hanya menjadi simbul. Arti yang terkandung, yaitu abdi utama dari negara, sepertinya sekarang sudah terlupakan. Inilah jatidiri Polri, sebagai abdi utama dari negara, karena polisi lah yang selalu menjaga kehidupan masyarakat agar bisa beraktivitas dengan tenang, merasakan ketentraman, karena terayomi oleh negara.
Kalau sekarang Polri sedang getol-getolnya mengedepankan revitalisasi, sebenarnya inilah momentum untuk melakukan revitalisasi terhadap nilai luhur Polri. Nilai luhur Polri adalah juga nilai luhur polisi secara universal, yaitu melindungi dan melayani. Bagi bangsa Indonesia, tambahan mengayomi menunjukkan bahwa rasa aman tidak bisa hanya berupa kondisi fisik aman saja, tetapi juga secara batin bisa dirasakan oleh masyarakat. Aman harus dapat menjadi suasana hati. Tata Tentrem Kerta Raharja, bukanlah hal yang muluk, bisa diwujudkan. Polisi Indonesia bisa berada di garda depan untuk mewujudkannya, karena inilah nilai yang seharusnya dipegang dan dilaksanakan oleh semua anggota Polri. Hoegeng sudah memberikan teladan, tinggal bagaimana para generasi penerus Polri menyikapinya. Reformasi kultural yang masih dinilai gagal menunjukkan bahwa ada masalah dalam internalisasi nilai luhur Polri. (A. Wahyurudhanto) 




Polisi dalam Hiruk Pikuk Demokratisasi

Artikel ini sudah dimuat di:
Jurnal Studi Kepolisian Edisi 075 (Juni 2011)


Polisi dalam Hiruk-pikuk Demokratisasi

Oleh : Wahyurudhanto[1]

Abstrak :
Demokrasi berkembang menjadi sebuah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Persoalan utama dalam negara yang tengah melalui proses transisi menuju de-mokrasi seperti Indonesia saat ini adalah pelembagaan demokrasi. Yaitu bagaimana menjadikan perilaku pengambilan keputusan untuk dan atas nama orang banyak bisa berjalan sesuai dengan norma-norma demokrasi.  Saat ini kondisi di Indonesia menganut demokrasi yang tidak jelas, yaitu presidensiil dengan aroma parlementer. Sehingga memandang birokrasi secara teoritis pada kalangan birokrat di Indonesia akan jauh dari ideal yang ada. Birokrasi di Indonesia belum sepenuhnya menjiwai roh demokrasi, yaitu pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, oleh rakyat. Hal ini karena kepentingan elite masih lebih dominan dengan bungkus demokrasi yang dilakukan oleh para birokrat. Inilah yang kemudian menjadi problem bagi Polri. Sebagai alat negara yang bertanggung-jawab untuk mewujudkan keamanan dalam negeri, posisi Polri menjadi sulit dalam menyikapi situasi saat ini, situasi dimana hiruk-pikuk demokratisasi sedang terjadi di Indonesia.

Kata Kunci :
Demokratisasi, Birokrasi, Presidensiil, Parlementer, Tupoksi Polri, Kamdagri

 Pendahuluan
Pengertian tentang demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa (etimologis) dan istilah (terminologis). Secara etimologis "demokrasi" terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu "demos" yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan "cratein"  yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demos-cratein ataudemos-cratos (demokrasi) adalah keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.
Karena itu pemahaman sederhana mengenai hakekat demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat (goverment of the people), pemerintahan oleh rakyat (goverment by the people), dan pemerintahan untuk rakyat (goverment for the people). Bagaimana hakekat demokrasi dimaknai dalam pandangan hidup di negara kita, bisa kita simak dari sikap pada pendiri negara ketika merumuskan Undang Undang Dasar 1945. UUD 1945 secara eksplisit telah menyatakan ada beberapa lembaga negara sebagai pemegang kekuasaan yang masing-masing mempunyai fungsi, wewenang dan kedudukan yang berbeda. Adanya pembagian itu sebenarnya merupakan delegasi kekuasaan dari pada rakyat selaku pemegang kedaulatan.[1]
Bahwa di Indonesia yang memegang kedaulatan adalah rakyat yang berarti bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, jelas-jelas disebut di dalam Undang-Undang Dasar 1945, yakni di dalam pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan Rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawatan Rakyat”. Jadi  pada dasarnya secara formal, MPR adalah merupakan penjelmaaan dari seluruh rakyat Indonesia, anggota-anggotanya merupakan penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia, anggota-anggotanya merupakan wakil langsung dari rakyat. Walau pada UUD 1945 Amandemen  ada perubahan mengenai pasal ini, namun  inti pemikiran bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan masih tetap dicantumkan. Dalam perubahan, isi pasal 1 ayat (2) tersebut berubah menjadi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Jika kita melihat teori lain mengenai demorasi, seperti yang dinyatakan oleh Joseph A. Schumpeter,[2] demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Sidney Hook berpendapat demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang di berikan secara bebas dari rakyat dewasa.
Sementara Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl[3] menyatakan demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warganegara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang terpilih. Dan Hendry B. Mayo[4] mengartikan demokrasi sebagai sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik

Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Awal mula berkembangnya gagasan dan konsep demokrasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan situasi sosial politik masa kolonial pada tahun-tahun pertama abad 20 yang ditandai dengan beberapa perkembangan penting: Pertama, mulai terbuka terhadap arus informasi politik di tingkat global. Kedua, migrasi para para aktifis politik berhaluan radikal Belanda, umumnya mereka adalah para buangan politik, ke Hindia Belanda. Di wilayah yang baru ini mereka banyak memperkenalkan ide-ide dan gagasan politik modern kepada para pemuda bumiputera. Dapat dicatat disini para migran politiktersebut antara lain; Bergsma, Baars, Sneevliet, dan beberapa yang lain. Ketiga, transformasi pendidikan di kalangan masyarakat pribumi.[5]
Di Indonesia, fenomena demokrasi dapat ditemui dalam sejarah perkembangan politik pasca kolonial. Fokus demokrasi pada masa demokrasi parlementer (1955-1959), demokrasi terpimpin (1959-1965) bentukkan Presiden Soekarno, demokrasi Pancasila masa Orde Baru, dan karakteristik demokrasi setelah berakhirnya kekuasaan otoritarian (periode transisi dan konsolidasi demokrasi 1998-2007).
 Momentum historis perkembangan demokrasi setelah kemerdekaan di tandai dengan keluarnya Maklumat No. X pada 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Hatta. Dalam maklumat ini dinyatakan perlunya berdirinya partai-partai politik sebagai bagian dari demokrasi, serta rencana pemerintah menyelenggarakan pemilu pada Januari 1946. Maklumat Hatta berdampak sangat luas, melegitimasi partai-partai politik yang telah terbentuk sebelumnya dan mendorong terus lahirnya partai-partai politik baru.
Pada tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil menyelesaikan regulasi pemilu dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 Pemilu. Pemilu multipartai secara nasional disepakati dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk pemilhan parlemen) dan 15 Desember 1955 (untuk pemilihan anggota konstituante). Pemilu pertama nasional di Indonesia ini dinilai berbagai kalangan sebagai proses politik yang mendekati kriteria demokratis, sebab selain jumlah parpol tidak dibatasi, berlangsung dengan langsung umum bebas rahasia (luber), serta mencerminkan pluralisme dan representativness.
Fragmentasi politik yang kuat berdampak kepada ketidakefektifan kinerja parlemen hasil pemilu 1955 dan pemerintahan yang dibentuknya. Parlemen baru ini tidak mampu memberikan terobosan bagi pembentukan pemerintahan yang kuat dan stabil, tetapi justru mengulangi kembali fenomena politik sebelumnya, yakni gonta-ganti pemerintahan dalam waktu yang relatif pendek.
Ketidakefektifan kinerja parlemen memperkencang serangan-serangan yang mendelegitimasi parlemen dan partai-partai politik pada umumnya. Banyak kritikan dan kecaman muncul, bahkan tidak hanya dilontarkan tokoh-tokoh anti demokrasi. Hatta dan Syahrir menuduh para politisi dan pimpinan partai-partai politik sebagai orang yang memperjuangkan kepentingannya sendiri dan keuntungan kelompoknya, bukan mengedepankan kepentingan rakyat. Namun begitu, mereka tidak menjadikan demokrasi parlementer sebagai biang keladi kebobrokan dan kemandegan politik. Hal ini berbeda dengan Soekarno yang menempatkan demokrasi parlementer atau demokrasi liberal sebagai sasaran tembak. Soekarno lebih mengkritik pada sistemnya. Kebobrokan demokrasi liberal yang sedang diterapkan, dalam penilaian Soekarno, merupakan penyebab utama kekisruhan politik. Maka, yang paling mendesak untuk keluar dari krisis politik tersebut adalah mengubur demokrasi liberal yang dalam pandangannya tidak cocok untuk dipraktikkan di Indonesia. Akhirnya, Soekarno menyatakan demokrasi parlementer tidak dapat digunakan untuk revolusi, parliamentary democracy is not good for revolution.
Demokrasi Terpimpin Soekarno kemudian runtuh setelah terjadinya peristiwa perebutan kekuasaan yang melibatkjan unsur komunis (PKI) dan angkatan bersenjata, yang dikenal dengan Gerakan 30 September 1965. Perebutan kekuasaan ini mengakibatkan hancurnya kekuasaan PKI serta secara bertahap berakhirnya kekuasaan Orde Lama Soekarno. Muncul kekuasaan baru dibawah militer dibawah Letjen. Soeharto yang menyatakan diri sebagai Orde Baru. Konsepsi demokrasi Soeharto, rencana praksis politiknya, awalnya tidak cukup jelas. Ia lebih sering mengemukakan gagasan demokrasinya, yang kemudian disebutnya sebagai Demokrasi Pancasila, dalam konsep yang sangat abstrak. Pada dasarnya, konsep dasar Demokrasi Pancasila memiliki titik berangkat yang sama dengan konsep Demokrasi Terpimpin Soekarno, yakni suatu demokrasi asli Indonesia. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang sesuai dengan tradisi dan filsafat hidup masyarakat Indonesia. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang sehat dan bertanggungjawab, berdasarkan moral dan pemikiran sehat, berlandaskan pada suatu ideologi tunggal, yaitu Pancasila.
Langkah politik awal yang dilakukan Soeharto untuk membuktikan bahwa dirinya tidak anti demokrasi adalah dengan merespons penjadwalan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), sebagaimana dituntut oleh partai-partai politik. Soeharto sendiri pada hakekatnya tidak menghendaki pemilu dengan segera, sampai dengan terkonsolidasikannya kekuatan Orde Baru. Sebagai upaya lanjut mengatasi peruncingan ideologi Soeharto melakukan inisiatif penggabungan partai politik pada 1973, dari 10 partai menjadi 3 partai politik (Partai Persatuan Pembangunan, Golkar, Partai Demokrasi Indonesia). Golkar sendiri yang notabene, dibentuk dan dikendalikan oleh penguasa tidak bersedia menyatakan diri sebagai parpol melainkan organisasi kekaryaan. Fusi atau penggabungan partai ini merupakan wujud kekesalan Soeharto terhadap parpol dan hasratnya untuk membangun kepolitikan kekeluargaan. Menjaga citra sebagai negara demokrasi terus dijaga oleh rezim Orde Baru.
Terhadap tuntutan demokrasi yang berkembang kuat sejak pertengahan 1980-an, sebuah momen perkembangan yang oleh Huntington dinamakan gelombang demokrasi ketiga Soeharto menjawab dengan kebijakan mulur mungkret liberalisasi politik terbatas, yang oleh para pengkritik disebut sebagai demokrasi seolah-olah (democracy as if), tetapi sekaligus mempertahankan instrumen represif terhadap kelompok yang mencoba-coba keluar dari aturan main yang ditentukan rezim.
Praktik democracy dictatorship yang diterapkan Soeharto mulai tergerus dan jatuh dalam krisis bersamaan dengan runtuhnya mitos ekonomi Orde Baru sebagai akibat terjadinya krisis moneter mulai 1997. Krisis moneter yang semakin parah menjadikan porak porandanya ekonomi nasional yang ditandai dengan runtuhnya nilai mata uang rupiah, inflasi, tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK), dan semakin besarnya pengangguran. Krisis ekonomi memacu berlangsungya aksi-aksi protes dikalangan mahasiswa menuntut Soeharto mundur.

            Demokratisasi Pasca Orde Baru
Berakhirnya Orde Baru melahirkan kembali fragmentasi ideologi dalam masyarakat. Berbagai kelompok dengan latar belakang ideologi yang beranekaragam, mulai dari muslim radikal, sosialis, nasionalis, muncul dan bersaing untuk mendapatkan pengaruh politik. Sebelum pemilu multi partai 1999 diselenggarakan, berlangsung pertikaian di kalangan pro demokrasi soal bagaimana transisi demokrasi harus berjalan dan soal memposisikan elite-elite lama dalam proses transisi. Beberapa kemajuan penting dalam arsitektur demokrasi yang dilakukan pemerintahan Habibie antara lain; adanya kebebasan pers, pembebasan para tahanan politik (tapol), kebebasan bagi pendirian partai-partai politik, kebijakan desentralisasi (otonomi daerah), amandemen konstitusi antara lain berupa pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode, pencabutan beberapa UU politik yang represif dan tidak demokratis, dan netralitas birokrasi dan militer dari politik praktis.
Kesuksesan dalam melangsungkan demokrasi prosedural ini merupakan prestasi yang mendapatkan pengakuan internasional, tetapi di lain pihak, transisi juga ditandai dengan meluasnya konflik kesukuan, agama, dan rasial yang terjadi di beberapa wilayah di tanah air sejak 1998. Misalnya di Ambon, Poso, Sambas dan lainnya.
Pemerintahan baru hasil pemilu 1999 yang memunculkan pasangan Abdurrahman Wahid-Megawati jauh dari performance yang optimal. Abdurramah Wahid atau Gus Dur pada akhirnya dipaksa lengser setelah kurang dari dua tahun berkuasa. Lengsernya Wahid yang terpilih dengan legitimasi demokratis dan dikenal luas sebagai pendukung militan demokrasi, menjadi sebuah tragedi transisi demokrasi. Selanjutnya Megawati yang memegang tampuk pemerintahan mencoba untuk secara tegas memegang sistem presidensiil, namun arus kekuatan partai demikian kuat, sehingga kesan menuju ke demokrasi parlementer semakin terasa. Kini di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono, “stempel”-nya adalah demokrasi presidensiil, namun citarasanya adalah demokrasi parlementer.
Maka demokrasi di Indonesia dengan pasang surutnya, tahapannya bisa kita simpulkan sebagai berikut:
1.    Masa Republik Indonesia I, yaitu masa demokrasi yang menonjolkan peranan parlemen  serta partai-partai dan yang karena itu dapat dinamakan demokrasi parlementer.
2.    Masa Republik Indonesia II, yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang dalam banyak aspek telah menimpang dari demokrasi konstitusional yang secara fomil merupakan landasannya, dan menunjukan beberapa aspek demokrasi rakyat.
3.    Masa Republik Indonesia III, yaitu masa demokrasi Pancasila yang merupakan demokrasi yang menonjolkan sistem Presidensiil.
4.    Masa Republik Indonesia IV, yaitu masa demokrasi Pancasila pada era reformasi yang lebih menjurus ke demokrasi liberal.
5.    Masa Republik Indonesia V, yaitu masa demokrasi Pancasila pada era reformasi dengan model demokrasi yang tidak jelas, yaitu presidensiil dengan aroma parlementer.
Sementara Demokrasi Barat cenderung diekspresikan dalam urusan kepentingan politik mengejar kemenangan dan kekuasaan. Dalam demokrasi Barat adalah normal kalau partai politik mengejar kekuasaan agar dengan kekuasaan itu dapat mewujudkan kepentingannya dengan seluas-luasnya (The Winner takes all). Ia hanya mengakomodasi kepentingan pihak lain karena dan kalau itu sesuai dengan kepentingannya. Jadi sikap Win-Win Solution yang sekarang juga sering dilakukan di Barat bukan karena prinsip kebersamaan, melainkan karena faktor manfaat semata-mata.[6]  Karena itu untuk konteks Indonesia, demokrasi yang tepat bukanlah yang meniru model barat, namun disesuaikan dengan roh bangsa Indonesia yang lebih cenderung membutuhkan adanya keselarasan dalam kehidupan sosial-politik.

Polisi dalam Hiruk-pikuk Demokratisasi

Demokrasi berkembang menjadi sebuah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Persoalan utama dalam negara yang tengah melalui proses transisi menuju de-mokrasi seperti Indonesia saat ini adalah pelembagaan demokrasi. Yaitu bagaimana menjadikan perilaku pengambilan keputusan untuk dan atas nama orang banyak bisa berjalan sesuai dengan norma-norma demokrasi, umumnya yang harus diatasi adalah merubah lembaga feodalistik (perilaku yang terpola secara feodal, bahwa ada kedudukan pasti bagi orang-orang berda-sarkan kelahiran atau profesi sebagai bangsawan politik dan yang lain sebagai rakyat biasa) menjadi lembaga yang terbuka dan mencerminkan keinginan orang banyak untuk mendapatkan kesejahteraan.[7] Untuk melembagakan demokrasi diper-lukan hukum dan perundang-undangan dan perangkat struktural yang akan terus mendorong terpolanya perilaku demokratis sampai bisa menjadi pandangan hidup. Karena diyakini bahwa dengan demikian kesejahteraan yang sesungguhnya baru bisa dicapai, saat tiap individu terlindungi hak-haknya bahkan dibantu oleh negara untuk bisa teraktualisasikan, saat tiap individu berhubungan dengan individu lain sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku.
Menurut David Held, bahwa setiap model demokrasi memiliki ciri-ciri yang hampir mirip, sehingga dari satu model ke model lainnya memiliki keterkaitan yang saling melengkapi.[8] Mencermati model demokrasi yang berkembang setidaknya kita akan melihat beberapa perubahan mana demokrasi, yaitu pemikiran tentang kejadian sebuah kota sehingga pembicaraan yang terjadi adalah mengenai self-governe. Kejadian tersebut banyak terjadi di Italia, dimana kota-kota di Italia mulai merdeka dan bebas dari penaklukan dan invasi oleh kota-kota sekitarnya. Ini awal yang besar dari awal demokrasi yang sebenarnya, meskipun kita juga bisa melihat apakah memang benar bahwa demokrasi ini adalah berawal dari Athena. Sebab kita bisa melihat bahwa demokrasi yang mestinya melibatkan seluruh masyarakat, namun masih ada tiga kalangan yang belum terlibat dalam direct demokrasi ini; pertama adalah budak, kedua adalah anak-anak dan perempuan dan ketiga, pendatang. Dari ketiga kalangan ini, pada akhir abad ke-17 dan 18, baru menempatkan budak dan pendatang sebagai bagian dari demokrasi. Sementara perempuan dan anak-anak belum. Maka, jika saat ini banyak tuntutan terhadap kuota perempuan dalam sebuah lembaga demokrasi, ini bukan saja merupakan pengembalian hak terhadap perempuan, tetapi juga pelunasan hutang demokrasi terhadap mereka.
Mencermati perkembangan demokrasi di Indonesia, terutama pasca Orde Baru dan memasuki Era Reformasi ini, pelaksanaan demokrasi deliberatif dengan menempatkan kuota bagi perwakilan daerah dan perempuan makin terbuka. Justru perkembangan politik berdemokrasi yang dilihat makin mahal, paling tidak jika dikaitkan dengan jumlah anggaran Pemilu dan ongkos politik Pilkada yang tinggi, respon pelaku/elite politik negeri ini segera merespon demokrasi sebagai penyebab lambannya pencapaian tujuan kesejahteraan rakyat.
Jika kita melihat demokrasi pada konteks Indonesia, pasca kolonial, kita mendapati peran demokrasi yang makin luas. Di zaman Soekarno, kita mengenal beberapa model demokrasi. Partai-partai Nasionalis, Komunis bahkan Islamis hampir semua menga-takan bahwa demokrasi itu adalah sesuatu yang ideal. Bahkan bagi mereka, demokrasi bukan hanya merupakan sarana, tetapi demokrasi akan mencapai sesuatu yang ideal. Bebas dari penjajahan dan mencapai kemerdekaan adalah tujuan saat itu, yaitu mencapai sebuah demokrasi. Pancasila adalah rumusan yang menga-komodasi demokrasi. Sila keempat misalnya, rumusan ini persis dengan pikiran Josep Blater, yang artinya bahwa pemimpin kita telah memenuhi demokrasi melebihi setengah abad yang lalu. Mereka percaya bahwa, keputusan politik, demokratis, bukan semata-mata didukung oleh mayoritas, tetapi memiliki dua unsur yaitu keputusan rasional dan imparsial. Keputusan rasional merupakan keputusan politik yang berdasar fakta. Imparsial, atau inklusif, ialah bahwa setiap pendapat harus menga-komodasi bagaimana setiap orang meman-dang dan sehingga bukan hanya terjebak pada masalah mayoritas-minoritas semata.
Dalam fakta di Indonesia oleh kalangan birokrat, demokrasi baru pada tahap citra diri untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Oleh karena itu, tren yang sedang ber-langsung pada komunitas elite politik adalah, yang hendak maju dalam panggung kekuasaan merupakan orang-orang yang mampu mengangkat citra dari sang aktor. Artinya, praktek demokrasi yang ditampilkan masih permukaan dan artifisial. Dalam pandangan Miftah Thoha, masalah pelik yang ada dalam birokrasi Indonesia adalah menetralisasikan birokrasi dari pengaruh kekuatan partai politik.[9]
Sehingga memandang birokrasi secara teoritis pada kalangan birokrat di Indonesia akan jauh dari ideal yang ada. Birokrasi di Indonesia belum sepenuhnya menjiwai roh demokrasi, yaitu pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, oleh rakyat. Hal ini karena kepentingan elite masih lebih dominan dengan bungkus demokrasi yang dilakukan oleh para birokrat. Inilah yang kemudian menjadi problem bagi Polri. Sebagai alat negara, posisi Polri menjadi sulit dalam menyikapi situasi saat ini, situasi dimana hiruk-pikuk demokratisasi sedang terjadi di Indonesia. Tuduhan bahwa Polri selalu menjadi “bemper” kekuasaan menjadi kritik yang  saat ini terus menerus diterima oleh institusi ini.
Tuduhan ini seolah-olah menjadi pembenar bahwa posisi polisi selalu untuk mengamankan kekuasaan. Jika kita merujuk pada berbagai literatur, dari sejarah kepolisian diperoleh petunjuk bahwa peralihan sistem Monarkhi menjadi Republik di abad pertengahan membawa pengaruh besar dalam Kepolisian, pengaruh itu berbentuk perilaku organisasi dan individu polisinya. Di alam sistem Monarkhi, polisi cenderung menegakkan peraturan demi langsung lestarinya Pemerintahan Raja, yang lalu bertindak sangat represif. Sedang dalam sistem Republik polisi cenderung menegakkan peraturan demi kesejahteraan rakyat. Bahkan pada deretan negara Republik polisinya pun berbeda perilakunya. Semakin demokratis satu Republik, polisinya semakin menghormati supremasi hukum.
 Disini lalu terjadi perubahan parameter bukan bentuk negara yang menentukan jenis dan kultur kepolisian - tetapi kadar demokrasilah yang menentukan kultur profesionalisme dan modernisasi dari organ kepolisian. Di dunia ini terdapat lebih dari 200 negara yang mengaku atau menyebut dirinya Negara Demokrasi, dengan kadar kedemokrasiannya berbeda-beda. Jenis demokrasi dari 200 negara lebih itu lalu membentang dalam satu spektrum dari mulai jenis negara demokratis murni seperti AS dan Inggris - sampai demokrasi Korea Utara yang berkadar otoriter penuh. Dimana letak Indonesia pada deretan negara demokratis itu? Kalau kita tarik garis tengah dari spektrum, maka Indonesia berat ke kiri bahkan mendekati Korea Utara dan berdekatan dengan Myanmar. Sekarang di Indonesia terjadi Reformasi yang mengarah pada demokratisasi. Sampai seberapa jauhkah demokratisasi di Indonesia akan bergeser ke kanan - sejauh itu pulalah jenis, kultur dan kinerja polisi Indonesia akan bergeser. Jadi yang pertama dan utama sebagai penentu kadar kemandirian serta profesionalisme polisi adalah kadar demokrasi dari suatu negara.
Oleh karena itu tidak salah jika ada yang menyatakan bahwa Polri merupakan endapan citra sebagai aparat penjamin kekuasaan kolonial yang dikonfrontasikan dengan masyarakat masih aktual. Ditetapkan UU Nomor 2 Tahun 20002 tentang Kepolisian Negara R.I seharusnya membawa ke arah kelembagaan polisi menjadi semakin jelas, kuat dan legal. UU kepolisian yang lahir dalam suasana tuntutan masyarakat ke arah pemerintahan yang demokratis, sesungguhnya merupakan landasan konstitusional untuk mengubah jati diri Polri yang selama ini militeristik menjadi polisi sipil yang profesional dan memenuhi prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good govemance).

Polri dan Demokratisasi

Polri sebagai pengawal demokratisasi adalah berarti bahwa Polri harus mampu memposisikan diri pada sistem birokrasi yang mengedepankan demokratisasi. Implementasi pada organisasi Polri akan menggunakan dasar hukum bagi kepolisian yang diatur dengan peraturan perundang-undangan yang mencakup tugas pokok, wewenang dan tanggung jawab kepolisian. Di Indonesia, semenjak kemerdekaan ada UU No. 13 Tahun 1961, UU No. 26 Tahun 1997 dan yang terakhir adalah UU No. 2 Tahun 2002. di samping UU tentang Kepolisian, terdapat banyak UU yang terkait, seperti Kitab UU Hukum Pidana (KUHP), Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Keadaan Bahaya, UU Pertahanan Negara dan banyak lagi peraturan perundang-undangan (seperti UU Kepegawaian, UU Terorisme, UU Anti Korupsi, UU yang memberi tugas, wewenang dan tanggung jawab kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan sebagainya.
Semua kepolisian di berbagai negara menyelenggarakan fungsi utama; represif, preventif dan pre-emptif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang dijabarkan dalam tujuan, tugas pokok, tugas-tugas, wewenang dan tanggung jawab dari kepolisian yang bersangkutan. Keberhasilan kepolisian diukur dari tercapainya tujuan dilaksanakannya tugas pokok, tugas-tugas serta wewenang secara efisien dan efektif. Keberhasilan pelaksanaan tugas pokok, tugas-tugas dan wewenang tergantung pula dari pengaturan dan kemampuan manajemen yang juga disebut kemampuan manajemen operasional yang pada dasarnya merupakan model birokrasi yang diterapkan oleh Polri. Birokrasi pada kepolisian nasional, seperti Polri memerlukan pengaturan menurut hirarki kelembagaan dari Mabes Polri, Polda, Polres, Polsek sampai Polsubsektor, yang mencakup semua unsur operasional seperti Intelkam, Reserse Kriminal, Sabhara, Polantas, Brimob, Pol Air, Pol Udara, Satwa Polisi. Kepolisian modern didukung oleh ilmu dan teknologi kepolisian seperti pengetahuan scientific criminal investigation, laboratorium forensik, information technology, peralatan dan kendaraan pengendalian huru-hara, peralatan anti teror, kapal polisi, pesawat udara polisi, police vehicles lainnya, senjata api, borgol, pentungan dan sebagainya. Ini semua termasuk teknologi kepolisian yang memerlukan pengetahuan khusus, baik dalam pemilihannya maupun dalam penggunaannya.
Dengan maraknya kejahatan baru seperti terorisme, money laundering, korupsi, kolusi dan nepotisme, cyber crime, white slavery, dan lain-lain transnational crime, maka ruang lingkup birokrasi pada organisasi Polri juga bertambah luas dan kompleks. Walaupun keberhasilan Polri diukur dari keberhasilan manajemen operasional, namun seperti organisasi besar lainnya, hal itu tidak mungkin dicapai tanpa dukungan model birokrasi yang profesional dan tepat. Dalam ukuran universal, Polri adalah organisasi besar dan kompleks, dilihat dari luasnya tugas pokok dan tugas-tugasnya dari luas wilayah tanggung jawabnya, dari jumlah personil yang dikelolanya, dari sudut anggaran keuangan dan peralatannya. Saat ini dengan anggota hampir 400.000 orang dan anggaran yang dikelola dalam satu tahun mencapai Rp 30 Trilyun, tentu saja membutuhkan model birokrasi yang bisa menjawab tantangan tugas.
Menurut UU No. 2 Tahun 2002, Polri juga wajib membina, mengkoordinasi dan mengawasi Polsus, PPNS, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa, menyangkut pihak luar Polri namun penting untuk membantu keberhasilan pelaksanaan tugas pokok Polri. Pengamanan swakarsa juga luas sekali, dari siskamling di daerah pedesaan dan pemukiman sampai dengan industrial security yang telah menjadi disiplin tersendiri di perguruan tinggi terutama di negara-negara maju. UU No. 2 Tahun 2002 juga memberi wewenang pada Polri untuk mengeluarkan perijinan untuk hal-hal tertentu. Ini memerlukan pengetahuan mengenai perijinan dan substansi ijin tersebut.
Sehingga dalam birokrasi kepolisian RI, keterkaitan tidak hanya antara kelembagaan secara vertikal dari Mabes sampai Subsektor, tapi juga secara horisontal antara unit-unit organisasi di Mabes, Mapolda, Mapolres dan Mapolsek. Keterkaitan juga terdapat antara manajemen operasional dan manajemen pembinaan, juga antara semua unsur dalam lingkup manajemen operasional dan antara semua unsur dalam lingkup manajemen pembinaan. Mengkoordinasikan semua unsur-unsur tersebut agar merupakan kesatuan yang serasi yang saling terkait, bukanlah merupakan hal yang mudah. Hal yang juga penting dalam UU No. 2 Tahun 2002 adalah tugas dan wewenang pengaturan (regulerende functie). Tugas dan wewenang ini menyangkut public policy, karena yang diatur adalah masyarakat atau sebagian masyarakat.
Penutup

Jika kita merujuk pada berbagai pendapat yang berkembang, setidaknya ada tiga parameter untuk mendudukan jati diri polisi : (1) lejitimasi (legitimacy); (2) fungsi (function); dan (3) struktur (structure). Parameter lejitimasi menunjukkan dari mana sebaiknya polisi mendapat mandat kekuasaan dan kepada siapa harus bertanggungjawab. Parameter fungsi menunjukkan bagaimana polisi diperankan dalam pemeliharaan hukum (maintenance of law) dan pencegahan serta pendeteksian pelanggar hukum. Sedangkan parameter struktur menunjukkan bagaimana besaran organisasi, spesialisasi dan tipe paksaan yang dianggap layak. Ada keberagaman dalam penerapan parameter itu antara satu negara dengan negara lain. Untuk parameter lejitimasi misalnya, terdapat pemberian monopoli kepada polisi dari suatu elite dalam masyarakat (publik) atau elite politik di parlemen (undang-undang). Demikian pula dalam hal penerapan parameter fungsi. Misalnya dalam tugas-tugas yang dilekatkan pada polisi antara pemeliharaan hakum dengan ketertiban (order), pencegahan, dan pendeteksian tidaklah sama antar setiap negara. Untuk parameter struktur juga terdapat variasi dalam pengorganisasian polisi, sentralisasi atau desentralisasi.
Kini wacana yang selalu  muncul adalah posisi ideal Polri di bawah departemen atau langsung di bawah Presiden sesuai UU Nomor 2 Tahun 2002. Permasalahan apakah Polri akan berada di bawah satu departemen atau tetap dengan kondisi sekarang sebenarnya terkait pada dua sudut pandang yang berbeda. Perspektif pertama pendekatan penataan kelembagaan politik menjadi satu penegas pentingnya Polri hanya mengurusi hal-hal operasional saja, tidak pada perumusan kebijakan. Pandangan ini cenderung menisbihkan esensi dan realitas di Polri sendiri sebagai polisi yang cenderung memiliki watak korporat yang kental sebagaimana TNI. Artinya Polri harus berada di bawah satu departemen yang sesungguhnya juga tidak terlalu baik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Perspektif yang kedua lebih pada bagaimana membangun paradigma tentang akuntabiltas pada substansi, bukan pada wadah. Posisi di manapun Polri akan terukur sejauhmana akuntabilitas Polri dapat dipertanggungjawabkan. Artinya peluang untuk tetap di posisi seperti sekarang besar peluangnya selama pengawasan yang aktif dapat dilakukan. Dari dua perspektif tersebut dapat dilihat bahwa berbagai skenario yang dimunculkan akan mengacu pada sejauh mana Polri secara kelembagaan dapat dikontrol oleh masyarakat.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka membicarakan  mengenai Polri dalam hiruk-pikuk demokratisasi, adalah sama dengan membahas mengenai dimana posisi ideal Polri pada era demokratisasi pasca orde reformasi saat ini. Maka posisi ideal Polri seyogyanya dilihat dari konteks substansi. Karena dengan memperdebatkan mengenai posisi Polri dengan berpijak pada pengalaman sejarah, pengaruh sosial, pengaruh politik, serta belajar dari perkembangan organisasi Polri, justru pembahasan akan berkembang menjadi konflik kepentingan. Posisi sekarang di bawah presiden sudah ideal, namun diperlukan lembaga serta mekanisme kontrol yang ketat sehingga penyimpangan dan pengaruh negatif bisa ditekan. Apabila akan memposisikan Polri dalam wacana reposisi, maka konteks substansi (cetak tebal dari penulis)  sebagai penjaga ketertiban masyarakat, lawan kejahatan, serta penegak hukum harus dikedepankan, sehingga posisi Polri akan mampu memberikan kontribusi bagi perlidungan, pengayoman, dan pelayanan pada masyarakat dalam rangka mewujudkan keamanan dalam negeri. (*)





[1] Mahfud MD, Moh, 2001, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 84.
[2] Dalam Jamalludin Rahman, 2009, Teori Siklus Demokrasi,  http://www.psik-indonesia.org/home.php?page= fullnews&id=33, diakses 4 Juni 2010.

[3] Ibid
[4] Ibid
[5]  M. Masad Masrur, tulisan tidak dipublikasikan.

[6] Suryohadiprojo, Sayidiman, 2008, Pancasila dan Demokrasi, makalah.
[8] Held, David, 2007, Models of Democracy, Polity dan Akbar Tanjung Institute, Jakarta.
[9] Thoha, Miftah, 2003, Birokrasi dan Politik diu Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 166.


File Artikel

Artikel ini sudah dimuat di Jurnal Studi Kepolisian Edisi 075 (Januari 2011)


Pelayanan Sektor Keamanan oleh Negara

dalam Konteks Otonomi Daerah

Oleh : A. Wahyurudhanto[1]



Abstrak:
Implementasi Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI dan Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 telah menimbulkan masalah dalam kewajiban negara memberikan kualitas pelayanan sektor keamanan bagi masyarakat. Benturan regulasi dan benturan kepentingan antara pusat dan daerah menimbulkan rendahnya kualitas pelayanan sektor keamanan dalam konteks implementasi daerah, yang berujung pada pelayanan sektor keamanan yang kontra-produktif karena masyarakat tidak menemukan rasa aman dan jaminan keamanan bagi aktivitasnya sebagai warga negara. Formulasi model pelayanan sektor keamanan dalam konteks otonomi daerah harus melihat realitas adanya konflik kepentingan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, karena Satpol PP sebagai kepanjangan kebijakan kepala daerah mempunyai implikasi politik pada dinamika politik daerah, sementara Polri sebagai alat negara di bawah Presiden juga mempunyai implikasi kepentingan nasional yang bisa murni dalam rangka mensejahterakan rakyat namun juga bisa mengkooptasi kepentingan masyarakat karena tekanan politik dari pemegang otoritas politik negara.


Kata Kunci :

Reformasi Sektor Keamanan, Polisi, Satpol PP, Otonomi Daerah



Pendahuluan
Kehadiran negara dalam dinamika kehidupan manusia sudah berjalan sejak ratusan tahun lalu, semenjak lima abad sebelum masehi di Yunani dikenal adanya kota-kota yang mempunyai pemerintahan, yang selanjutnya disebut sebagai negara kota. Istilah negara secara spesifik ditegaskan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (h. 777) sebagai suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan diaati oleh rakyat. Atau dalam definisi kedua, disebutkan negara adalah suatu kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintahan yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.
 
Jika kita mengacu pada beberapa literatur yang memberikan definisi mengenai negara, diantara John Locke yang menyebutkanbahwa negara didirikan untuk melindungi hak milik pribadi. (dalam Suseno, 2003 : 221). Oleh karena itu menurut Locke suatu negara harus punya konstitusi atau Undang Undang Dasar. Sehingga Locke membagi kekuasaan negara menjadi tiga bagian, kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan membuat undang-undang yang merupakan kekuasan tertinggi, kekuasaan eksekutif sebagai yang menjalankan undang-undang, sementara legislatif dibatasi oleh hukum kodrat yaitu terutama oleh tuntutan untuk menghormati hak-hak asasi manusia. Ajaran ini kemudian disempurnakan oleh Montesquieu dalam buku Esprit des Lois yang membedakan tiga fungsi negara, yaitu fungsi legslatif, eksekutif, dan yudikatif. Konsep ideal inilah yang kemudian kita kenal sebagai trias politika.
Jika mengacu pada pemikiran tersebut, sebenarnya kita bisa memahami mengenai konsep berdirinya negara seperti dikemukan oleh Thomas Hobbes yang terkenal dengan bukunya Leviathan. Hobbes menyebutkan bahwa negara harus berada dalam pemerintahan yang berdasarkan hukum dan keadilan. Dalam pandangan Hobbes, pemegang kekuasaan tidaklah membrikan cara-cara sebagaimana mungkin dimiliki oleh orang-orang tertentu, baik untuk menjaga kelangsungan mereka sendiri, atau kelangsungan publik. Kekayaan bersama atau pemegang kedaulatan bisa tiada sama sekali. Di sisi lain, jika seandainya suatu kekayaan bersama atau publik tidak termasuk dalam kekuasaan pemegang kedaulatan, kekayaan-kekayaan pribadi manusia segera akan menempatkan mereka dalam kekacauan dan perang, dari pada mengamankan atau menjaga mereka. (dalam Losco, 2005 : 122-123). Oleh karena itu peranan negara dalam memberikan rasa aman bagi warganya, dalam pandangan Hobbes sangatlah dominan. Ini bertentangan dengan faham Machiavelli yang merangkul kesewenang-wenangan.
Definisi lain walau senada dengan yang di atas, dikemukakan oleh Miriam Budiardjo. Menurutnya, negara adalah suatu organisasi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. (Budiardjo, 2010 : 17). Sehingga dalam pemahaman ini ditekankan bahwa negara adalah inti dari politik yang memusatkan perhatiannya pada lembaga-lembaga kenegaraan serta bentuk formalnya. Definisi ini memang bersifat tradisional sehingga dirasa sempit ruang lingkupnya.
Dalam konteks berdirinya Negara Republik Indonesia, sangat terasa kentalnya pemikiran Hobbes tersebut. Hal ini tercantum jelas pada alinea pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri keadilan. Seperti dikemukakan oleh pemikir-pemikir mengenai politik negara sebelumnya, dalam suatu negara harus ada pemerintahan. Pada alinea keempat hal tersebut jelas, dengan dinyatakan, kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Jadi jelas bahwa pemerintahan yang dibentuk dalam Negara Republik Indonesia salah satunya dimaksudkan untuk memajukan kesejahteraan. Dalam perkembangan dinamika politik Indonesia, terjadi situasi masyarakat yang sudah tidak lagi percaya pada pemerintahan rezim (saat itu) Orde Baru, sehingga munculah gelombang reformasi pada tahun 1998 yang menurunkan kekuasan Orde Baru setelah 32 tahun menjadi penguasa di Negara Republik Indonesia. Dalam konteks penyelenggara keamanan yang selama ini menjadi domain Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), terjadi perubahan paradigma dengan memisahkan istilah pertahanan dan keamanan. Dalam menyikapi paradigma ini, lahirlah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), nomor VI dan VII mengenai pemisahaan TNI dan Polri. Perkembangan dari pemisahan tersebut undang-undang yang mengatur Polri diperbarui menjadi Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.

Pelayanan Sektor Keamanan
Sejalan dengan bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah menjadi salah satu topik sentral yang banyak dibicarakan. Hal ini karena pada pasa Orde Baru kekuasaan tersentral pada Presiden, sehingga daerah praktis tidak mempunyai kemandirian. Otonomi Daerah menjadi wacana dan bahan kajian dari berbagai kalangan, baik pemerintah, lembaga perwakilan rakyat, kalangan akademisi, pelaku ekonomi bahkan masyarakat awam. Sampai kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menganut prinsip otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab. Baru berjalan lima tahun, undang-undang ini kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang memberikan kewenangan lebih kepada kepala daerah karena pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung.
Dalam konteks negara memberikan rasa aman bagi warganya sesuai konstitusi kewenangan itu diberikan kepada Polri. Namun dalam ketentuan perundang-undangan, kewenangan tersebut juga ada pada pemerintah daerah atas dasar asas pemberian otonomi pada daerah. Kewenangan Polri seperti diatur dalam UU RI Nomor 2 Tahun 2002 adalah sebagai penyelenggara salah satu fungsi pemerintahan di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam operasionalisasinya, Polri tidak hanya bertanggungjawab atas keamanan dan ketertiban secara nasional saja, tetapi juga secara lokal yang merupakan kewenangan kepolisian di tingkat kewilayahan. Sementara Kepala Daerah sesuai dengan UU RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berkewajiban untuk menjaga ketentraman dan ketertiban di daerah. Terkait dengan kepentingan keamanan lokal, maka diperlukan adanya mekanisme mengenai pendelegasian wewenang, sehingga diperlukan kesepahaman dan sinergisitas antara Polri di daerah (dalam tingkat kewilayahan) dengan pemerintahan daerah (baik di tingkat propinsi, maupun di tingkat  kabupaten/kota).
Jika mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, pada Undang Undang Dasar 1945 pasal 30 disebutkan pada ayat (2) Untuk pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung. Pada ayat (3) disebutkan, Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Sementara pada ayat (4), disebutkan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, men gayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Persoalan yang muncul dalam implementasi dan UU No 2 Tahun 2002 dan UU No 32 Tahun 2004, yaitu pada perbedaan pemahaman dan tataran kewenangan mengenai ketertiban masyarakat. Salah satu tugas pokok Polri adalah memelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat. Sementara UU No 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa Kepala Daerah bertanggung-jawab atas Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat di wilayahnya. Terdapat perbedaan yang mendasar antara kepolisian dan pemerintahan daerah, yaitu pada kewenangannya yang otonom. Masing-masing daerah mempunyai wewenang untuk menentukan nasib daerahnya karena kewenangan yang otonom tersebut, sedangkan lembaga kepolisian merupakan kepolisian nasional yang berpusat di Markas Besar Kepolisian (Mabes Polri) dan mempunyai mekanisme tersendiri dalam upaya mengefektifkan sistem operasional kepolisian.
Sistem Kepolisian Nasional yang dianut oleh Polri saat ini dinilai cenderung sentralistik karena pada sistem ini pengambilan kebijakan terpusat hanya pada satu pintu, yaitu Kapolri. Sekalipun di berbagai negara yang mempunyai karakteristik heterogen dari sisi suku etnik dan rentang wilayah yang luas mempunyai sistem kepolisian daerah, namun saat ini sistem kepolisian nasional masih dipercayai sebagai suatu sistem yang tepat untuk kondisi dan situasi di Indonesia. Sehingga dalam perlakuan hukum, tidak bisa dilakukan asas desentralisasi karena sistem hukum nasional tersebut. Namun Dalam hal sistem manajemen operasional Polri, pola-pola desentralisasi bisa diakomodasi.
Yang menjadi masalah dengan pengambilan kebijakan yang tersentralistik adalah munculnya konsekuensi lemahnya pengawasan. Dengan jauhnya rentang kebijakan dan pelaksanaan, maka rentang pengawasan juga akan ikut menjauh. Sehingga diperlukan pengawasan yang melibatkan publik, agar dalam implementasi di daerah pun juga bisa dilakukan pengawaasan yang efektif. Dengan sendirinya karena implementasi di tingkat lokal diawasi oleh publik, perencanaan pada tingkat lokal untuk tugas-tugas kepolisian juga melibatkan masyarakat lokal.

Otonomi Daerah
Merujuk pada kewajiban Kepala Daerah sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang merupakan revisi atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, salah satu kewajiban Kepala Daerah adalah memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat. Sementara Polri seperti ditegaskan pada pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara memiliki tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Masyarakat di sini meliputi semua orang yang tinggal dan atau berada dalam daerah dimana Kepala Daerah bertugas.
Dalam pasal 27 huruf c UU Nomor 32/2004 dirumuskan salah satu kewajiban Kepala Daerah adalah memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat. Di sisi lain Polri memiliki tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat sesuai dengan rumusan pada pasal 13 UU Nomor 2/2002. Dengan demikian dapat dipahami apa yang menjadi tugas pokok kepolisian di daerah tersebut juga menjadi kewajiban kepala daerah untuk menjalankannya. Di sinilah letak persinggungannya. Maka dalam implementasi fungsi pemerintahan untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, harus dipahami bahwa keamanan di tingkat nasional adalah kewenangan Polri, karena itu perencanaan, pelaksanaan dan pengawasannya harus dilakukan oleh Polri.
Memelihara keamanan yang berkaitan dengan lokal akan lebih dekat pada fungsi menjaga ketertiban. Hal ini merupakan kewenangan Polri bersama Pemerintah Daerah, karena itu harus disusun bersama antara keduabelah pihak ini, dalam hal ini Polri di tingkat kewilayahan dan Pemda. Untuk mewujudkan keterpaduan tugas dan kewenangan ini diperlukan desentralisasi pada sistem manajemen kepolisian. Untuk karakteristik negara kepulauan di Indonesia, sistem desentralistik akan lebih menggairahkan partisipasi masyarakat dan lebih mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Hal ini akan memberikan ruang yang lebih luas bagi tuntutan akuntabilitas dan trasparansi pejabat kepolisian. Desentralisasi tidak harus dilihat sebagai suatu sistem yang akan menghilangkan sistem kepolisian nasional, karena pemahaman dasar yang dipergunakan adalah desentralisasi sistem manajemen kepolisian sebagai upaya untuk menata sistem manajemen kepolisian yang ada sekarang ini agar lebih menjamin sistem perencanaan dan pengawasan yang lebih baik, sebagai aktualisasi otonomi daerah yang sementara ini disepakati sebagai sistem mekanisme politik yang cocok untuk karakteristik geografis dan masyarakat Indonesia.
Fungsi negara salah salah satunya adalah memberikan perlindungan bagi warganya dengan memberikan jaminan keamanan dan rasa aman. Salah satu bukti kegagalan negara dalam memberikan jaminan dan keamanan dan rasa aman dalam rangka penyelengggaraan pemerintahan adalah terjadinya kasus kerusuhan di Koja, Tanjung Priuk, Jakarta Utara pada tanggal 14 April 2010 lalu. Kerusuhan tersebut diakibatkan sikap represif Satpol PP dalam menjalankan perintah institusi dalam hal ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam pembebasan tanah yang sudah dikuasasi oleh PT Pelindo. Dalam kejadian tersebut, berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh PMI, korban kekerasan oleh Satpol PP tercatat 3 orang meninggal, 231 orang luka-luka (termasuk 20 orang anak berusia 13-17 tahun) dan puluhan kendaraan milik negara dikabar.
Sementara, bersamaan dengan kejadian tersebut ada statement dari institusi yang seharusnya bertanggung-jawab terhadap keamanan publik, yakni Polri dalam hal ini Polda Metro Jaya, bahwa jajarannya lamban mengurusi kejadian. Seperti dikutip Oke Zone (6 Juni 2010), Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Wahyono menampik jika jajarannya lamban dalam menangani rusuh berdarah di kawasan Makam Mbah Priok, Koja. Dalam keterangan persnya pada tanggal 6 Juni 2010, Kapolda memaparkan, manajemen yang dilakukan Polda dalam mengelola pengamanan adalah diperbantukan kepada Pemkot Jakarta Utara setelah mendapat instruksi dari Gubernur DKI. Instruksi tersebut berisi perintah kepada Walikota Jakarta Utara dan Kasatpol PP untuk melakukan penertiban. Data ini menunjukkan tidak adanya koordinasi maupun sinergisitas dalam penanganan keamanan bagi warga negara. Jatuhnya korban menunjukkan tidak adanya perencanaan maupun antisipasi.
Sebagai suatu kasus, kejadian kerusuhan di Koja, Tanjung Priuk, Jakarta Utara pada bulan April 2010 menunjukkan pada kita semua  adanya benturan pejabat negara dalam hal ini Kepolisian dan Pemerintah  Daerah dalam implementasi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 32 tentang Pemerintah Daerah, terutama dalam tanggung jawab memberikan rasa aman bagi warga negara dan memberikan jaminan keamanan dalam bentuk tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.
Implementasi kebijakan pelayanan sektor keamanan di Indonesia sering menimbulkan masalah. Masalah yang sering muncul adalah konflik antara masyarakat dengan aparatur negara, baik itu polisi maupun Satuan Polisi Pamong Praja sebagai organ dari pemerintah daerah, maupun konflik internal antar penyelenggara aparatur negara baik  berupa miskomunikasi maupun pembiaran konflik karena aroganisme sektoral. Hal ini akibat implementasi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI yang memberikan kewenangan pada polisi untuk melakukan kebijakan pelayanan sektor keamanan yang di lapangan sering berbenturan dengan aparat Satuan Pamong Praja karena adanya perintah undang-undang sebagai implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan pada kepala daerah untuk bertanggung-jawab pada keamanan di wilayahnya. Persoalan ini justru pada banyak kasus berimbas pada konflik antara masyarakat dan aparatur karena perbedaan persepsi mengenai pelayanan sektor keamanan dan perbedaan kepentingan mengenai pengelolaan sektor keamanan.
Mengutip hasil penelitian oleh The Ridep Institute dan Friedrich Ebert Stiftung (2005) dengan judul “ Evaluasi Kolektif Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia : TNI dan Polri” ditemukan hal-hal  bahwa pada periode Orde Reformasi, agenda Reformasi Sektor Keamanan  yang diajukan masyarakat sipil menjadi paket yang integral dalam agenda transisi demokrasi, yang pokok-pokok isunya adalah delegitimasi kekuasaan rezim Soeharto, penghapusan peran politik ABRI (Dwifungsi), pertanggungjawaban hukum atas ‘kejahatan’ di masa lalu, payung hukum demokratis untuk aktor keamanan (TNI, Polri, dan BIN), pemisahan TNI dan Polri, profesionalitas Aktor Keamanan (termasuk penghapusan kegiatan ekonomidan bisnis), pengembangan proyeksi pertahanan dan keamanan yang komprehensif (gagasan konsep Keamanan Nasional), serta penguatan supremasi otoritas politik sipil.
Namun, Reformasi Sektor Keamanan yang dilakukan oleh masyarakat sipil menghadapi dua tantangan utama, yaitu: 1). Persoalan dan hambatan berasal dari resistensi dan respons pengambil kebijakan dan aktor keamanan; serta 2). Persoalan dan hambatan dari dalam komunitas Masyarakat Sipil sendiri. Resistensi aktor keamanan tampak dalam upaya mereka merespon tuntutan reformasi, dimana TNI mengembangkan tafsir sendiri akan konsep demokrasi dan peran yang mereka akan jalankan, termasuk mencakup peran politik dan penegakan keamanan. Konsep paradigma baru TNI menyatakan bahwa peran mereka di masa depan tetap tidak dapat dipisahkan dari keterpaduan peran pertahanan keamanan negara dan pembangunan bangsa. Dalam ’paradigma baru’nya, pandangan-pandangan konservatif tersebut muncul dalam pernyataan-pernyataan seperti, ”…(s)ikap dan komitmen TNI sangat jelas bahwa pilihan bentuk Negara Kesatuan sudah final, dan menolak bentuk negara federasi karena dapat menjadikan disintegrasi bangsa. …(m)emarjinalkan TNI dengan back to barracks, berarti mengeliminasi hak politik anggota TNI sebagai warga negara, sekaligus memisahkan TNI dari rakyat yang menjadi tumpuan kekuatan dan basis jati diri TNI.” Tafsir tersebut kemudian dikembangkan dalam rumusan Peran Sosial Politik TNI yang tidak selalu harus didepan, berubah dari menduduki menjadi mempengaruhi, berubah dari mempengaruhi secara langsung menjadi tidak langsung dan bersedia melakukan political and role sharringdengan komponen bangsa lainnya.
Senada dengan penelitian tersebut, dalam temuan penelitian yang dilakukan oleh S. Yunanto dkk (2008) dengan judul “Efektifitas Strategi Organisasi Masyarakat Sipil dalam Advokasi Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia 1998-2006” terdapat temuan menarik, yaitu  bahwa strategi-strategi yang digunakan oleh kalangan organisasi masyarakat sipil dalam mempromosikan dan mengadvokasi Reformasi Sektor Keamanan umumnya masih konvensional dan bersifat mempengaruhi dari luar, berupa pengembangan wacana, pengorganisasian tekanan terhadap pemerintah-parlemen-institusi keamanan, serta pengorganisiran komunitas. Strategi semacam ini di samping masih merupakan pilihan dominan juga dinilai dianggap relevan untuk mendorong, mempengaruhi, menekan, dan bahkan merubah kebijakan-kebijakan strategis pemerintah.  
Sebagai konsekuensi pilihan strategi-strategi konvensional tersebut,  pada akhirnya menyisakan beberapa agenda tindak lanjut yang cukup berat, yaitu, pertama, fakta bahwa isu Reformasi Sektor Keamanan di kalangan masyarakat dan pemerintahan sipil belum tersosialisasi dengan baik, terutama dalam kontribusinya untuk membentuk kultur masyarakat dan pemerintahan sipil yang peka dan tanggap terhadap kebutuhan Reformasi Sektor Keamanan sehingga mampu mengambil peran aktif sebagai inisiator dan alat kontrol proses reformasi. Kedua, fakta bahwa Reformasi Sektor Keamanan sendiri masih jauh dari harapan, meskipun beberapa capaian strategis di tingkatan legislasi muncul. Tujuan Reformasi Sektor Keamanan yang pada dasarnya mentransformasi kebijakan sektor keamanan yang demokratis, membentuk militer yang professional, badan intelijen yang akuntabel, serta aparat kepolisian yang bersifat sipil masih belum tercapai sampai dengan delapam tahun masa transisi demokrasi Indonesia.

Peran Negara dalam Sektor Keamanan

Membahas mengenai peran negara, kita bisa menelaah dari teori tentang terbentuknya negara. Terdapat empat teori terbentuknya negara, yaitu teori alamiah, teori ciptaan Tuhan, teori kekuatan, dan teori kontrak sosial. Masing-masing teori itu juga memberikan penjelasan tentang di mana sumber kewenangan politik. (Dikutip dari http://rizkisaputro.wordpress.com/2007/07/24/ teori-  kontrak - sosial - hobbes - locke - dan -rousseau/ , diunduh 15 Juni 2010).  Teori alamiah menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena kebutuhan manusia untuk aktualisasi kemanusiaannya. Negara adalah wadah tertinggi untuk aktualisasi manusia. Selain negara, dua wadah lain yang tingkatnya lebih rendah adalah keluarga dan desa. Di dalam keluarga, manusia mengakutalisasikan diri di bidang fisik, karena keluarga menyediakan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan fisik manusia. Di dalam desa, manusia mengaktualisasi diri di bidang sosial, karena desa menyediakan pemenuhan hasrat untuk berkawan dan bermasyarakat. Di dalam negara, manusia mengaktualisasikan diri di bidang moral dan politik untuk menjadi manusia sepenuhnya karena manusia mampu mengaktualisasikan hasrat moral dan politik yang tidak bisa terpenuhi di dalam wadah keluarga dan desa. Oleh karena itu manusia bisa sempurna hanya bila mereka berperan dalam negara.
Teori ciptan Tuhan menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena diciptakan oleh Tuhan. Penguasa atau pemerintah suatu negara ditunjuk atau ditentukan oleh Tuhan, sehingga walau pun penguasa atau pemerintah mempunyai kewenangan, sumber kewenangan tetap adalah Tuhan. Oleh karena sumber kewenangan adalah Tuhan, penguasa atau pemerintah bertanggungjawab kepada Tuhan, bukan kepada rakyat yang dikuasai atau diperintah.
Teori kekuatan menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena hasil penaklukan dan kekerasan antarmanusia. Yang kuat dan mampu menguasai yang lain membentuk negara dan memaksakan haknya untuk menguasai dan memerintah negara. Sumber kewenangan dalam teori ini adalah kekuatan itu sendiri, karena kekuatan itu yang membenarkan kekuasaan dan kewenangan.
Teori kontrak sosial menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena anggota masyarakat mengadakan kontrak sosial untuk membentuk negara. Dalam teori ini, sumber kewenangan adalah masyarakat itu sendiri. Secara garis besar dan untuk keperluan analisis, keempat teori itu seolah-olah berdiri sendiri secara tegar. Akan tetapi bila dilihat lebih seksama, di dalam masing-masing teori itu terdapat nuansa-nuansa perbedaan penjelasan dan argumentasi, terutama pada pengoperasian kewenangan. Bahkan, dari variasi argumentasi itu sering muncul argumentasi yang bisa menjadi pendukung atau inspirasi dari teori lain. Teori ciptaan Tuhan, misalnya, mengandung variasi pemikiran tentang pengoperasian kewenangan. Kongfucu, misalnya, menyatakan bahwa Tuhan memberi mandat (the mandate of heaven) kepada raja untuk memerintah rakyatnya. Apabila raja dianggap tidak memerintah dengan baik, maka mandat itu dicabut oleh Tuhan. Tetapi bagaimana dan kapan mandat harus dicabut, rakyatlah yang mengetahui dengan melihat gejala-gejala alam, seperti adanya bencana banjir, gempa bumi, kelaparan dan sebagainya.
Hobbes, Locke dan Rousseau sama-sama berangkat dari, dan membahas tentang, kontrak sosial dalam analisis-analisis politik mereka. Mereka sama-sama mendasarkan analisis-analisis mereka pada anggapan dasar bahwa manusialah sumber kewenangan. Akan tetapi tentang bagaimana, siapa mengambil kewenangan itu dari sumbernya, dan pengoperasian kewenangan selanjutnya, mereka berbeda satu dari yang lain. Perbedaan-perbedaan itu mendasar satu dengan yang lain, baik di dalam konsep maupun (apalagi!) di dalam praksisnya.
Salah satu faktor penyebab perbedaan itu adalah latarbelakang pribadi dan kepentingan masing-masing. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Hobbes (1588-1679) hidup pada kondisi negaranya sedang kacau balau karena Perang Saudara; bahwa Hobbes menginginkan negaranya stabil dan Hobbes mempunyai ikatan karier dan politik dengan kalangan kerajaan, sehingga dalam persaingan kerajaan versus parlemen Hobbes memihak kerajaan dan antiparlemen yang dianggap sumber utama perang saudara.
Locke hidup (1632-1704) setengah abad lebih muda daripada Hobbes. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Locke merasa hidup di tengah-tengah kekuasaan kerajaan despotik; bahwa Locke mendapat pengaruh dari semangat liberalisme yang sedang bergelora di Eropa pada waktu itu; dan bahwa Locke mempunyai ikatan karier dan politik dengan kalangan parlemen yang sedang bersaing dengan kerajaan, sehingga Locke cenderung memihak parelemen dan menentang kekuasaan raja.
Sedangkan Rousseau (1712-1778) hidup dalam abad berbeda dan negara berbeda pula. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Rousseau berasal dari kalangan biasa yang merasakan kesewenang-wenangan kerajaan; dan bahwa Rousseau mengilhami dan terlibat dalam Revolusi Perancis. Dalam membangun teori kontrak sosial, hobbes, Locke dan Rousseau memulai dengan konsep kodrat manusia, kemudian konsep-konsep kondisi alamiah, hak alamiah dan hukum alamiah. Pada intinya, arah dari konsep negara yang didisain adalah kedaulatan rakyat, inilah fondasi dari konsep demokrasi.
Dalam konteks Indonesia, parameter demokrasi tersebut sudah jelas ditegaskan dalam pembukaan UUD 1945. Disebutkan pada awal pembukaan, Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Kemudian, dan perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Alinea selanjutnya menunjukkan bahwa berdirinya negara Indonesia karena kuasa Tuhan. Disebutkan, Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Dan sebagai penegasan mengenai kekuasan dan kontrol rakyat, nampak pada alinea terakhir, yaitu kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatam yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di sini jelas, bahwa dasar pendirian negara Indonesia seluruhnya berasaskan pada parameter negara demokratis.
Pelayanan sektor keamanan merupakan salah satu kewajiban dari negara. Seperti ditegaskan dalam UUD 1945 pada alinea keempat yang menyatakan  untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Di negara Republik Indonesia, tanggung jawab keamanan ada pada institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Namun dalam ketentuan perundang-undangan, kewenangan tersebut juga ada pada pemerintah daerah atas dasar asas pemberian otonomi pada daerah. Kewenangan Polri seperti diatur dalam UU RI Nomor 2 Tahun 2002 adalah sebagai penyelenggara salah satu fungsi pemerintahan di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Dalam operasionalisasinya, Polri tidak hanya bertanggungjawab atas keamanan dan ketertiban secara nasional saja, tetapi juga secara lokal yang merupakan kewenangan kepolisian di tingkat kewilayahan. Sementara Kepala Daerah sesuai dengan UU RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berkewajiban untuk menjaga ketentraman dan ketertiban di daerah. Polri dalam operasionalnys mempunyai anggota sebagai pelaksana Manajemen Operasional Polri, sementara Pemerintah Daerah sesuai amanat undang-undang dapat membentuk Satuan Pamong Praja (Satpol PP) yang bertanggung-jawab memberikan pelayanan sektor keamanan di bawah kendali Gubernur dan Bupati/Walikota. Sehingga dalam implementasi kebijakan mengenai pelayanan sektor keamanan muncul persoalan mengenai kualitas pelayanan pada sektor keamanan.
Reformasi sektor keamanan yang bergulir bersamaan dengan reformasi nasional menuntut adanya profesionalisme serta pemerintahan sipil yang kuat dalam memberikan pelayanan sektor keamanan. Konflik kepentingan serta persoalan mekanisme birokrasi yang sudah diatur dengan berbagai regulasi menimbulkan konflik pada para aktor keamanan maupun dengan masyarakat yang seharusnya menerima outcome berupa rasa aman dan jaminan  keamanan dalam melakukan aktivitas sosial sebagai bagian dari warga negara. Otonomi daerah yang bertujuan memberikan kualitas hidup yang lebih baik bagi masyarakat justru sering menimbulkan masalah dalam implementasinya, antara lain dalam kewajiban negara memberikan pelayanan pada sektor keamanan.

Bahan Bacaan :

Asshidiqie, Jimly. 2007. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer.
Bayley, David H. 1998. Police for The Future – Polisi Masa Depan. Terjemahan Kunarto dan Khobibah M. Arief Dimyati. Jakarta : Cipta Manunggal.
Belson, William A. 1975. The Public and the Police. London : Harper & Row Publishers.
Blau, Peter M & Marshall W Meyer. 2000. Birokrasi dalam Masyarakat Modern. Terjemahan Slamet Riyanto. Jakarta : Penerbit Prestasi Pustakaraya.
Bruce, Tammy. 2003. The New Thought Police : Inside the Left’s Assault on Free Speech and Free Minds. New York : Three Rivers Press.
Budiardjo, Miriam. 2010 (edisi revisi; cetakan kedua). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Djamin, Awaloedin. 2007. Kedudukan Kepolisian Negara RI dalam Sistem Ketatanegaraan Dulu, Kini dan Esok. Jakarta : PTIK Press.
Gadjong, Agussalim Andi. 2007. Pemerintahan Daerah : Kajian Politik dan Hukum. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.
Habermas, Jurgen. 2007. Ruang Publik : Sebuah Kajian tentang Kategori Masyarakat Borjuis. Terjemahan Yudi Santoso. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Hoogerwerf, 1983. Ilmu Pemerintahan. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Kaho, Josef Riwu. 2001 (cetakan kelima). Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia (Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya). Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Lane, Jan-Erik. 1995 (second edition). The Public Sector : Concept, Models and Approach, London : Sage Publications Ltd.
Makaarim A. Mufti. 2008. Masyarakat Sipil dan Reformasi Sektor Keamanan. Makalah untuk Simposium “10 Tahun Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia”, Jakarta, 28-29 Mei 2008.
Pramusinto, Agus & Erwan Agus Purwanto (Ed). 2009. Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan, dan Pelayanan Publik. Yogyakarta : Penerbit Gava Media.
Prasojo, Eko, dkk. 2006. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah : Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural. Jakarta : Penerbit Departemen Ilmu Administrasi Fisip Universitas Indonesia.
Stone, Deborah A. 1988. Policy Paradox and Political Reason. Braindeis : Harper Collins Publishers.
Walker, Samuel. 2001. Police Accountability : the Role of Citizen Oversight. Terjemahan oleh Tim PTIK. Omaha, USA : Wadsworth.


[1] Drs. A. Wahyurudhanto, M.Si, dosen pada STIK-PTIK, saat ini sedang mengambil program S-3 Ilmu Sosial, konsentrasi Ilmu Pemerintahan pada Universitas Padjadjaran Bandung.