Sabtu, 30 Juni 2012

Artikel HUT Bhayangkara : Mewujudkan "Bener" dan "Pener"


Harian Suara Merdeka - Wacana
30 Juni 2012


Mewujudkan "Bener" dan "Pener"
Oleh A Wahyurudhanto
 
”@redinparis @lisrasukur Nama kaptennya Hanafi bersama provost yang b****** kasar & bentak2 gue. Akan gue proses kok.”


   KUTIPAN itu adalah dialog pada akun twitter @LitaStephanie. Lita, pemilik akun dalam twit-nya menuturkan pengalamannya tatkala dihentikan polisi dan diperiksa karena ada razia narkoba. Lita mengaku mengalami intimidasi dan dipaksa mengaku tablet di kotak P3K mobilnya adalah narkoba miliknya. Kabar itu menjadi info buruk bagi Polri menjelang HUT Ke-66 pada 1 Juli besok.

    Berita lain yang juga menjadi konsumsi media adalah vonis bebas PN Jakarta Pusat atas Hasan Basri karena tak terbukti mencuri. Tukang ojek itu ditahan sekitar 8 bulan selama proses hukum dan dipaksa mengakui tuduhan polisi. Pengacara Hasan kemudian menyomasi kepolisian atas rekayasa kasus penangkapan itu.

    Dua kejadian tersebut merupakan sebagian dari berbagai persoalan yang mengkritisi kinerja Polri. Tugas Polri memang berat, apalagi ditambah tingginya ekspetasi masyarakat, menjadikan keberhasilannya selalu diukur dari bagaimana masyarakat menempatkan harapan akan kinerja polisi.

    Karena keinginan berlebihan demi memenuhi harapan masyarakat itu, seringkali Polri mengada-adakan target agar dinilai berhasil. Protes Lita lewat akun twitter-nya dan kasus salah tangkap Hasan menunjukkan polisi kerepotan memenuhi harapan masyarakat, dan kemudian berupaya ”mengelabui” lewat target-target.


    Aparat Istimewa

    Satjipto Rahardjo punya rumus unik panduan polisi ketika bertugas. Menurutnya, keberhasilan tugas polisi ditentukan oleh rumus O2 +  H, yaitu otot, otak, dan hati nurani. Menurut guru besar Undip itu, dalam bertugas polisi menghadapi berbagai risiko bahaya besar, yang secara sosiologis mewarnai pekerjaannya, bahkan kepribadian kerjanya.

    Karena itu, wajar polisi disebut aparat hukum istimewa mengingat posisinya sedemikian dekat dengan masyarakat. Interaksi yang intensif itu menjadikan pekerjaan polisi lebih khas ketimbang penegak hukum lain, semisal hakim dan jaksa. Namun kedekatan itu bisa menjadi bumerang bila tidak diimbangi hati nurani karena hanya menghasilkan tindakan kolutif.

    Inilah yang membuat hingga kini upaya membangun kepercayaan publik tidak maksimal. Kapolri Jenderal Timur Pradopo dalam berbagai kesempatan mengingatkan jajarannya untuk mengubah mindset dan culture set. Dalam arah kebijakan, Kapolri pun menempatkan membangun mindset dan culture set yang berpihak kepada publik, sebagai salah satu program prioritas.

    Tentu tujuannya agar mengakselerasi terbangunnya kepercayaan publik. Di sisi lain kendalanya adalah tidak maksimalnya respons masyarakat. Maka solusinya adalah menjadikan ekspetasi masyarakat yang tinggi itu bukan sebagai beban melainkan pemicu untuk mau bekerja secara bener dan pener, kosakata dari Bahasa Jawa yang punya nilai filosofi tinggi.

    Bener berarti harus profesional, dan pener berarti harus arif, bijak. Harus kita akui banyak kritik atas soliditas Polri yang oleh kacamata luar dinilai mulai rapuh karena tak bisa menyinergikan antara bener dan pener. Pasalnya, pener berarti harus memahami  budaya Indonesia yang punya etika, sopan santun, baik dalam bertutur kata, bertindak, maupun berinteraksi dengan lingkungan internal dan eksternal Polri. Salah melangkah pasti berakibat fatal.

    Tahun ini genap 10 tahun reformasi Polri setelah pemberlakuan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Masih banyak pekerjaan rumah Polri, di antaranya terus-menerus menjaga mutu institusi sekaligus personelnya, dengan menyinergikan tindakan bener dan pener. Dirgahayu Polri. Selamat Hari Bhayangkara. (*)


— A Wahyurudhanto, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian-PTIK Jakarta, kandidat doktor Ilmu Sosial FISIP Unpad Bandung

Lady Gaga dan Performance Polisi


Lady Gaga dan Performance Polisi

Dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa.
Kampus telah diserbu mobil berlapis baja.
Kata-kata telah dilawan dengan senjata.
Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini.
Kenapa keamanan justeru menciptakan ketakutan dan ketegangan.
Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sehat.
Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan.
(dari Puisi “Pamflet Cinta” Karya WS Rendra)

Publik Indonesia pada akhir bulan Mei 2012 lalu dibuat heboh dengan berita mengenai rencana pentas Lady Gaga. Rencana pentas penyanyi pop asal Amerika Serikat dalam konser bertajuk “The Born This Way Ball” menuai pro dan kontra. Pihak promotor yang mengaku sudah menjual lebih dari 50.000 tiket awalnya bertahan dengan terus mengurus proses perizinan. Namun pro kontra tersebut akhirnya mencapai anti klimaks ketika pada tanggal 27 Mei 2012 pihak promotor memutuskan pembatalasn konser. Yang menarik, keputusan pembatalan pentas bukan dilakukan oleh pihak promotor tetapi oleh manajemen Lady Gaga.
Yang tidak enak adalah alasan yang dikemukakan oleh manajemen Lady Gaga, bahwa pembatalan konser tersebut karena tidak adanya jaminan keamanan. Ketiadaan jaminan keamanan tersebut menyusul munculnya kontroversi protes sebagian masyarakat. Terlebih lagi ketika kepolisian enggan memberikan jaminan keamanan dengan memberikan pernyataan tidak memberikan rekomendasi terselenggaranya konser. Bahkan pihak promotor menegaskan, pembatalan konser bukan karena desakan mengubah atau menyensor konsernya.
Pembatalan ini tidak serta merta menghentikan polemik. Tetap saja polemik berkepanjangan. Kepolisian, dalam hal ini Polda Metro Jaya, membantah tidak mampu menjaga keamanan seandainya konser digelar. “Itu adalah persepsi mereka. Tidak benar kami tidak mampu menjaga keamanan sebuah pertunjukkan,” Kata Kombes Rikwanto, Kabid Humas Polda Metro Jaya.
Polemik yang muncul mengenai rencana konser Lady Gaga dan kemudian justru posisi Polri yang dipojokkan menunjukkan betapa pelik serta kompleksnya tugas polisi. Bagi polisi, selalu saja kebijakan yang diambil bisa menjadi buah simalakama. Kalau rekomendasi dikeluarkan, pasti penolakan dari sebagian kelompok masyarakat “garis keras” akan berimplikasi pada potensi kerawanan bahkan bisa menjurus pada konflik sosial. Sementara ketika rekomendasi tidak dikeluarkan, kritik tajam diarahkan polisi dengan tuduhan hanya berpihak pada kelompok kecil masyarakat. Bahkan tuduhan lebih kejam menyebutkan polisi di bawah pengaruh intimidasi kelompok preman berjubah.
Ini adalah problem tugas polisi Indonesia. Heteregonitas bangsa Indonesia telah memberikan berbagai potensi konflik. Situasi ini ditambah dengan pengaruh demokratisasi yang dibaca tidak selalu sebagai hal yang positif. Sehingga demokratisasi artinya semua hak harus diakui, tanpa pernah ada dialog bahwa menghormati hak orang lain juga seharusnya menjadi syarat utama. Oleh karena itu kemudian paham yang ingin memaksakan kehendak menggunakan polisi sebagai sarana legitimasi. Inilah sebenarnya awal dari ideologi kekerasan yang tidak lagi menghormati hak orang lain.
Kutipan puisi WS Rendra di awal tulisan ini ingin memberikan gambaran bahwa keamanan yang diharapkan masyarakat adalah situasi aman dan rasa aman, yang lebih ditandai dengan perasaan aman baik untuk beraktivitas maupun melakukan kolektifitas. Maka keamanan memang tidak seharusnya memunculkan ketakutan dan ketegangan. Sehingga Rendra dari kacamata budayawan dengan tegas menyatakan bahwa sumber keamanan adalah hukum dan akal sehat.
Dari kaca mata polisi pernyataan Rendra tersebut sejalan dengan semangat tugas pokok polisi, yaitu sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Menegakkan hukum dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat, agar dengan akal sehat penegakan hukum akan dirasakan sebagai bentuk pengayoman yang mampu menciptaklan rasa aman.
Maka performance polisi akan ditunjukkan denagan bukti semangat melindungi dan melayani (to protect and to serve). Kontroversi pentas Lady Gaga harus diakui telah mengganggu kesan mengenai performance polisi. Kontroversi tersebut telah menyudutkan Polri seolah-olah hanya berpihak pada kelompok kecil yang selalu menggunakan kekerasan dalam menunjukkan keyakinannya. Jadi kesannya bahwa polisi akan cenderung membela yang berani keras, sehingga kelompok lemah justru semakin tidak mendapat perhatian. Kesan ini tentu saja tidak menguntungkan bagi Polri yang kini secara terus menerus ingin membangun kepercayaan publik.
Kontroversi konser Lady Gaga telah memberikan pelajaran baru bagi kita bahwa posisi Polri untuk memberikan jaminan keamanan adalah peran vital yang harus menjadi legitimasi di masyarakat. Performance Polisi melalui kepercayaan masyarakat atas apa yang dilakukan polisi berdasarkan kewenangan dan tugas pokoknya harus secara terus menerus diberi legitimasi. Sepanjang setiap langkah polisi selalu dijadikan kontroversi, maka pada akhirnya kekerasan – yang dalam bahasa WS Rendra disebut penindasan – akan semakin subur. Tentu hal ini yang tidak kita harapkan. Kepercayaan publik harus merupakan stempel bagi legitimasi performance polisi. Artinya, sepanjang setiap persoalan dijadikan kontroversi dengan latar belakang subyektivitas kepentingan kelompok, maka harapan menjadikan polisi yang mandiri dan profesional akan semakin jauh, karena sudah pasti intervensi akan selalu dilakukan, oleh siapapun, terutama yang selalu merasa paling benar. (A. Wahyurudhanto)
 
·       Tulisan ini sudah dimuat di Jurnal Studi Kepolisian, Edisi 077, Juni 2012.


Timbangan Buku - Terorisme


Timbangan Buku

Intoleransi adalah Titik Awal Terorisme

Judul Buku      : Dari Radikalisme Menuju Terorisme : Studi Relasi dan Transformasi Organisasi Islam radikal di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta.
Penyusun         : Tim SETARA Institute
Editor              : Ismail Hasani & Bonar Tigor Naipospos
Penerbit           : Pustaka Masyarakat Setara
Edisi                : Februari 2012
Tebal Buku      : vi + 328 halaman



Buku-buku tentang terorisme sudah banyak yang diterbitkan. Berbagai analisis dikemukakan dalam buku-buku yang sudah diterbitkan. Namun buku yang satu ini mempunyai sisi menarik, karena merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.  Penelitian yang mengambil fokus tentang Organisasi Islam Radikal di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta dilakukan dengan mengkombinasikan dua pendekatan, kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dengan metoda survai dilakukan di dua wilayah dengan 1.200 responden, dan studi kualitatif dilakukan dengan metoda wawancara ke berbagai sumber yang relevan. (hal. 4).
Penelitian yang kemudian menjadi naskah buku ini sejak awal sudah mempunyai tujuan untuk mengetahui relasi dan transformasi kelompok radikal dengan kelompok teroris, dan dalam rangka menyusun langkah-langkah deradikalisasi untuk mengikis radikalisme, memberantas potensi terorisme guna mengokohkan implementasi empat pilar hidup berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan dan cita-cita nasional Indonesia. Jadi sejak awal sebelum penulisan buku ini, sudah disadari bahwa formulasi Empat Pilar Hidup Berbangsa dan Bernegara yang terdiri dari Pancasila, UUD Negara RI 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhineka Tunggal Ika sebagai tolok ukur penyelenggaraan negara, tetap saja belum mampu mengatasi berbagai aksi-aksi radikalisme.
Studi yang dilakukan pun sejak awal sudah mengembangkan asumsi dasar bahwa intoleransi adalah titik awal dari terorisme, dan terorisme adalah puncak dari intoleransi. (hal. 187) Bertolak dari asumsi dasar inilah studi dilakukan, sehingga memang  pemikiran-pemikiran mengenai praktik deradikalisasi dan arah deradikalisasi sangat mendominasi analisis dan pembuktian-pembuktian dari temuan yang merupakan hasil dari studi ini. Disebutkan bahwa deradikalisasi bukanlah hal baru bagi Indonesia. Dalam konteks gerakan Islam Radikal, deradikalisasi terhadap eks NII, Komando Jihad, Mujahidin Kayamanya, Laskar Jihad, dan Jamaah Tarbiyah merupakan contoh dan pembelajaran bagi kinerja deradikalisasi yang saat ini gencar dilakukan. (hal. 191).

Tontonan Global
Jika melihat kecenderungan yang terjadi, para pelaku teror berharap, aksi mereka akan menjadi “tontonan global” yang disaksikan jutaan orang di mana-mana. Karena, semakin banyak dan gencar media massa menyebarluaskannya, semakin dahsyat pula efek negatif yang ditimbulkannya. Jika hal itu tercapai, maka para pelakunya berharap dapat memperoleh “keuntungan politik” (politicus horrobilis) atau melakukan “pertukaran politik” (political exchange) demi mencapai tujuannya.
Walter laqueur, dalam tulisannya berjudul “reflections on terrorism”, yang dimuat di buku yang berjudul “the global agenda, issues and perspectives”, menyebutkan aksi terorisme biasanya melibatkan sejumlah orang, tapi hanya dalam kelompok kecil saja. Sebagai faham, ia meniscayakan kekerasan sebagai jalan untuk mencapai tujuan-tujuannya, baik yang bersifat politik, agamis, motif balas dendam, dan lain sebagainya. Karena itulah ia juga dapat digolongkan sebagai kekerasan kolektif, sedangkan sebagai kejahatan ia merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Berdasarkan itu, sebenarnya hal yang wajar jika secara yuridis ia harus diperhadapkan dengan produk hukum yang “luar biasa” pula.  
Dalam perspektif politik, akar terorisme, salah satunya, adalah ekstremisme. Orang-orang dengan isme ini merasa atau memikirkan dirinya lebih unggul dari orang-orang lain yang tidak sama atau sekelompok dengan mereka. Sebaliknya, mereka memandang orang-orang lain jauh lebih rendah atau dengan cara yang melecehkan. Sebagaimana temuan studi yang ditulis di buku ini, bahwa intoleransi adalah titik awal dari terorisme, maka kerja-kerja deradikalisasi tidak cukup hanya diarahkan terhadap mereka yang menjadi teroris tapi juga terhadap kelompok organisasi radikal, kelompok intoleran, termasuk masyarakat luas agar tidak mengikuti pandangan-pandangan radikal dan mengalami transformasi sebagai teroris. (hal. 193).
Hasil studi memberikan kesimpulan bahwa program deradikalisasi harus diarahkan secara fokus kepada tiga kelompok. Pertama adalah masyarakat umum, dengan tujuan untuk melindungi masyarakat agar tidak mengikuti pandangan-pandangan keagamaan yang ekslusif dan puritan dan agar tidak ikut terlibat dalam aksi-aksi radikal dan intoleran. Dalam bahasa BNPT, kegiatan semacam ini masuk dalam kategori kontra radikalisasi. Yang kedua adalah pada kelompok radikal, yang dimaksudkan untuk menjinakkan sejumlah ideologi radikal yang diyakini oleh mereka dengan menggunakan counter narative. Salah satu dari ideologi radikal yang harus dijinakkan adalah ajaran mati syahid yang disalahpahami oleh para teroris. Dan yang ketiga adalah kelompok jihadis atau teroris. Deradikalisasi dalam konteks ini dimaksudkan untuk memutus para mantan teroris dari kelompoknya, hingga mereka tidak kembali melakukan aksi kekerasan.

Menyelamatkan Keluarga
Pada bagian akhir dari buku ini ditegaskan, bahwa kunci utama dari aktor deradikalisasi adalah pemerintah.  Dengan segenap agenda pembangunan yang dijalankannya, program-program pemerintahan yang mendorong pembangunan masyarakat yang toleran, moderat dan rukun harus diintensifkan sebagai bagian dari upaya menekan laju radikalisme dan terorisme. (hal. 201). Karena deradikalisasi tak hanya dimaksudkan untuk menyelamatkan masyarakat luas dari aksi-aksi radikalisme dan terorisme, melainkan juga dimaksudkan untuk menyelamatkan keluarga pelaku aksi kekerasan bahkan juga diri pelaku.
Buku ini mempunyai kekuatan karena merupakan hasil riset di wilayah penelitian yang memang sarat dengan kasus-kasus terorisme. Deradikalisai adalah jawabannya. Namun buku ini juga menunjukkan banyak faktor yang menjadikan deradikalisasi dalam praktiknya akan mengalami banyak hambatan karena yang dihadapi adalah “menjinakkan” pemikiran. Terlepas dari ini semua, kehadiran buku ini akan membuka banyak pemikiran bahwa deradikalisasi harus dijalankan tentu dengan berbagai hambatan yang harus diupayakan bisa diatasi, karena tujuan utamanya adalah menjaga tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara. (A. Wahyurudhanto, dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian - PTIK)

·       Tulisan ini sudah dimuat di Jurnal Studi Kepolisian, Edisi 077, Juni 2012



Polisi, Nasionalisme dan Nilai-nilai Kebangsaan


Polisi, Nasionalisme dan Nilai-nilai Kebangsaan

“...kita sekalian, ya engkau, ya engkau, ya engkau, ya engkau, ya seluruh Rakyat Indonesia yang laki, yang perempuan, yang kaya, yang miskin, yang tua, yang muda, kita sekalian adalah Bhayangkara daripada Republik Indonesia yang kita proklamirkan 17 Agustus “45.... Mari sekarang ini, memperdalam kita punya tekad, memperteguh kita punya tekad untuk melanjutkan Revolusi!”
(Amanat Presiden Sukarno pada Upacara Hari Angkatan Kepolisian ke-19, tanggal 1 Juli 1964)

Kutipan dari pidato Presiden Sukarno tersebut disampaikan 47 tahun yang lalu, namun semangatnya masih terasa sampai sekarang. Dengan tegas Presiden Sukarno menyatakan, bahwa tugas-tugas kepolisian tidak hanya semata-mata urusan polisi, karena sebenarnya tugas untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat adalah tugas seluruh anggota bangsa negeri ini, tugas seluruh masyarakat. Akhir-akhir ini, dalam beberapa berita di media massa kita melihat bentrokan polisi dan masyarakat sering terjadi. Kemudian tuduhan bahwa polisi telah melakukan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia), bahkan pelanggaran HAM berat, seolah-olah sudah menjadi vonis bagi polisi.
Benarkah polisi melakukan pelanggaran HAM. Pihak kepolisian tidak serta merta membenarkan, tetapi juga tidak membantah. Pada beberapa kasus polisi menunjukkan sikapnya dengan telah menjatuhkan hukuman pada anggota Polri yang dinilai telah melanggar prosedur. Namun pada sisi lain, polisi juga menunjuk perilaku masyarakat dalam unjuk rasa yang anarkis. Memang serba dilematis pekerjaan polisi. Namun inilah resiko profesi yang harus dihadapi. Semangat melindungi, mengayomi dan melayani harus terus bisa dijaga, walau dalam pelaksanaan tugas sering kali berbenturan dengan perilaku-perilaku anarkis yang mau tidak mau harus dengan sabar dihadapi.
Kritik yang selama ini sering dilontarkan adalah mengenai keberpihakan polisi. Berpihak pada penguasa dan pada pemilik modal, kritik inilah yang belakangan ini banyak dinyatakan untuk memojokkan berbagai kebijakan polisi yang tidak berpihak pada publik. Apakah benar kritik tersebut, tentu saja sulit kalau melihat dari aspek para pengkritik, karena seringkali berbagai kepentingan melingkupi latar belakang kritik tersebut. Namun bagi polisi tentu saja juga tidak arif jika hanya selalu membela diri dengan argumen-argumen, karena yang kemudian terpampang di media adalah “debat kusir” di mana masing-masing pihak mengklaim sebagai yang paling benar, sebagai yang paling masuk akal. Kondisi inilah yang kini harus dipahami dengan mendalam, karena berkaitan dengan kewibawaan institusi negara yang oleh Undang-Undang diberi mandat untuk mewujudkan keamanan dalam negeri.
Jika menyimak kritik-kritik yang berkaitan dengan keberpihakan polisi, selalu muncul pendapat bahwa yang dilakukan polisi saat ini sudah over-represif, sehingga bertindak brutal atas nama ketertiban. Apalagi belakangan ini konflik aparat polisi dengan masyarakat justru terjadi di area pertambangan maupun perkebunan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh pihak asing. Lengkaplah sudah “tuduhan” bahwa polisi bekerja sebagai pengaman pemilik modal, bukan pengaman kepentingan publik. Alih-alih kritik ini dikaitkan dengan posisi polisi yang berada sebagai bagian dari kekuasaan, yang dalam bebagai hal juga dikritik mulai menjauh dari kepentingan publik.
Kondisi ini tentu saja tidak boleh dibiarkan. Kehadiran polisi adalah suatu keniscayaan. Polisi sendiri tentu juga tidak ingin negeri ini selalu diwarnai dengan konflik aparat dengan masyarakat. Tentu ada yang tidak beres di tengah situasi seperti sekarang ini. Dari mana perbaikan akan dimulai juga harus diawali dengan kesadaran seluruh masyarakat bahwa kehadiran polisi bukan untuk melawan masyarakat, tetapi justru bersama masyarakat menjaga ketertiban di negeri ini dalam rangka mewujudkan keamanan dalam negeri. Karena keamanan dalam negeri adalah prasyarat untuk bisa berjalannya tata kehidupan sosial, ekonomi, politik, maupun demokrasi di negeri ini.
Benar kata Bung Karno seperti dinyatakan dalam pidato saat Hari Bhayangkara tahun 1964 yang sengaja dikutip sebagai pembuka editorial ini. Bahwa kita semua adalah Bhayangkara republik ini.  Menyimak sejarah kehadiran Bhayangkara, Kesatuan Bhayangkara sudah ada sejak zaman Singasari, sebelum Wisnuwardhana memerintah (1248-1268 Masehi). Dalam Nagarakretagama pupuh IX pada 1 dijelaskan, bahwa sehubungan dengan mangkatnya Tohjaya di Katang Lambang pada tahun 1248 di daerah Pasuruan, maka di antara barisan pengawal yang berkewajiban menjaga keamanan kraton adalah Kesatuan Bhayangkara. Di tangan Gajah Mada, Kesatuan Bhayangkara menjadi kekuatan sipil yang sangat berpengaruh pada zamannya. Sehingga keselamatan para raja dan keluarganya berada mutlak di bawah kewenangan dan tanggungjawab Kesatuan Bhayangkara. Kesatuan Bhayangkara, sebagai kekuatan sipil telah memberikan kepercayaan yang sangat kuat di hati masyarakat, sebagai pengayom dan pelindung rakyat. (Renny Masmada, Kompasiana, 26 Desember 2011)
Setelah Majapahit resmi menjadi Mahapatih dan Pasukan Bhayangkara juga ikut menjadi pasukan paling elit kerajaan, Gajah Mada secara signifikan melakukan perbaikan dan pengembangan konsepsi keamanan dalam negeri dengan memberikan porsi yang sangat besar pada kesatuan Bhayangkara. Sumpah Amukti Palapa yang diucapkan Gajah Mada di paseban agung Majapahit memuat gagasan yang sangat besar terhadap penyatuan seluruh Nusantara di perairan Dwipantara. Dengan menjunjung tinggi Kitab Perundangan Kutaramanawa Dharmasastra, Majapahit terbukti mampu menegakkan perangkat sistem hukum di seluruh wilayah Negara besar ini. Para penegak hukum tanpa pandang bulu memberikan concern yang sangat besar terhadap penegakkan hukum di setiap jengkal wilayah hukum Majapahit. (Ngashim, 2011, dalam Kompasiana)
Bhayangkara kini sudah diadopsi oleh Polri sebagai perwujudan citra institusi yang sesuai Undang-Undang mempunyai tugas pokok sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, dan sebagai pelindung, pengayom serta pelayan masyarakat. Sejak kehadiran polisi Indonesia yang lahir bersamaan dengan kemerdekaan negeri ini, sudah disepakati semangat nasionalisme adalah nilai dasar dari polisi Indonesia. Dengan sendirinya nilai-nilai kebangsaan adalah jiwa dari seluruh kinerja kepolisian. Maka kalau sekarang ini muncul kritik mengenai krisis kebangsaan polisi, masing-masing dari kita semua tentu saja harus mau berinstrospeksi. Apakah benar yang dikatakan oleh pengkritik, juga apakah benar klarifikasi yang dilakukan oleh Polri, ada baiknya masing-masing kita tidak melakukan klaim yang sepihak dan merasa yang paling benar.
Sebagai Bhayangkara negeri ini, kesadaran bahwa mewujudkan keamanan dalam negeri adalah tugas kita bersama, maka sesuai dengan kapasitas masing-masing kita berupaya untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Polisi dengan kewenangan yang dipunyai tentu juga disertai dengan tanggung jawab yang harus diemban. Masyarakat dengan kapasitas yang dipunyai tentu juga harus menyadari pentingnya kehadiran polisi. Kesantunan dalam melontarkan kritik kepada polisi tentunya juga harus menjadi potret budaya manusia Indonesia. Kesamaan tekad untuk menjadi Bhayangkara sejati adalah wujud kesamaan semangat nasionalisme dan nilai-nilai kebangsaan. Polisi siap menjadi garda depan untuk menjaga negeri ini dengan semangat nasionalisme. Tetapi tentu saja semangat ini juga harus didukung dengan semangat dari masyarakat yang tidak semena-mena memperlakukan polisi dengan selalu menunjukkan tindakan anarkis dan menghujat. 
Kesadaran untuk membangun negeri ini dengan saling melengkapi adalah jawabannya. Saling melengkapi adalah bentuk dari nasionalisme yang sudah sejak jaman Patih Gajahmada ditunjukkan oleh Kesatuan Bhayangkara, sebagai kekuatan sipil yang mampu memberikan kepercayaan yang sangat kuat di hati masyarakat, sebagai pengayom dan pelindung rakyat. Bhayangkara lahir karena kebutuhan masyarakat dan Bhayangkara bisa berperan bagi masyarakat karena dukungan masyarakat. Hal ini bisa terjadi karena semangat nilai-nilai kebangsaan yang sama. (A. Wahyurudhanto)

·  Tulisan ini sudah dimuat di Jurnal Studi Kepolisian, Edisi 076 (Nov 2011)