Polisi
dan Politik
Rambu agar profesi kepolisian tidak
terpengaruh oleh kekuatan politik tertentu secara tegas dinyatakan pada Pasal
28 Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI. Pada pasal (1)
disebutkan, Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap Netral dalam
kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
Pasal (2) menyatakan, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak
menggunakan hak memilih dan dipilih. Sementara pasal (3) menyatakan, Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian
setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Jika kita menyimak ketentuan dalam pasal
28 ayat (1), (2), dan (3), sangatlah jelas bahwa substansinya mengambil dari Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat No: VII/MPR/2000 Pasal 10. Ketentuan tersebut dimaksudkan dalam rangka
menjamin obyektivitas tindakan kepolisian dan pemuliaan profesi kepolisian agar
dalam kinerjanya tidak menengok kanan-kiri pada kekuatan politik yang ada. Isi
pasal tersebut secara tegas menunjukkan bahwa anggota Polri dijamin tidak
melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
Mengapa polisi harus bebas dari politik,
bahkan sampai menggunakan hak pilihnya pun tidak diperkenankan. Pengalaman masa
lalu rupanya telah menjadi kejadian yang traumatis, bahwa ketika polisi sudah
menjadi alat politik bagi kekuasaan, maka yang dilakukan tidak bisa netral.
Jaringan organisasi polisi yang sampai ke pelosok-pelosok daerah merupakan
sarana yang ampuh jika bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Maka
tidaklah mengherankan ketika menjadi bagian dari ABRI dan sekaligus menjadi
bagian dari alat kekuasaan pada masa Orde Baru, manfaat peran polisi untuk ikut
memberikan dorongan bagi mesin kekuasaan sangatlah efektif.
Merujuk pada tesis yang dikemukakan oleh
Pareto (1848-1923), bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil
orang yang mempunyai kualitas-kualitas yang diperlukan bagi kehadiran mereka
pada kekuasaan sosial dan politik yang penuh. Mereka yang bisa menjangkau
kekuasaan adalah selalu merupakan yang terbaik. Merekalah yang dikenal sebagai
elite. (dalam Parma, 1987, h. 202). Posisi Polri dengan organisasi yang
tersentral menyeluruh ke seluruh Indonesia tentu saja akan mempermudah ketika
melakukan “produksi” bagi lahirnya elite tersebut. Menjadi sangat mungkin jika
teori ini juga menjadi dasar ketika rambu-rambu disusun yang kemudian
ditegaskan dalam UU Nomor 2/2002.
Tetapi apakah dengan ketentuan tersebut
polisi akan terbebas dari politik. Tentu jawabannya akan sulit jika dipaksa
harus menjawab benar. Karena hubungan emosional yang terbentuk pada para angota
polisi sebenarnya merupakan bangunan dari relasi sosial yang mempunyai ikatan
sangat kuat. Maka ketika mereka yang sudah menjadi elite kemudian mengundurkan
diri dan sudah pensiun, sejatinya relasi sosial tersebut tidaklah hilang.
Inilah fenomena yang saat ini sedang
menjadi perdebatan publik. Dalam rangka pemilihan presiden dan wakil presiden
Juli 2009, tim kampanye para Capres dan Cawapres banyak dari para purnawirawan,
termasuk purnawirawan polisi. Bahkan mantan Kapolri Jenderal Sutanto secara
resmi menyatakan sebagai tim inti salah satu Capres, berikutnya para pensiunan
jenderal polisi lainnya secara terang-terangan memberikan dukungan pada calon
lain. Hal yang sama juga dilakukan oleh para purnawirawan TNI. Ini tentu saja merupakan
fenomena yang menarik. Secara yuridis tindakan tersebut tidaklah salah, karena
sesuai ketentuan perundang-undangan mereka yang sudah pensiun dari dinas
kepolisian tidaklah terikat dengan keharusan bebas politik.
Yang sekarang menjadi persoalan, apakah
ikatan emosional dengan para yuniornya, dengan pada para mantan anggotanya
tidak akan berpengaruh pada sikap netral mereka yang masih aktif. Tentu akan
sulit menjawabnya. Karena keterpengaruhan tersebut, yang bisa berimbas pada
keluarga dari polisi yang masih aktif tidak bisa dibuktikan secara kasat mata.
“Permainan emosi” ini yang rupanya sekarang diperankan oleh para jenderal,
termasuk jenderal polisi dalam rangka upaya menggalang kekuatan politik.
Sehingga pada dasarnya sulit membebaskan
diri dari pengaruh elite bagi polisi – dalam hal ini Polri – yang secara
organisatoris merupakan bagian dari sistem pemerintahan yang merupakan
representasi dari kekuatan riil politik melalui proses pemilihan umum. Maka
yang penting bagi polisi sebenarnya adalah pada bagaimana kinerjanya
menunjukkan keberpihakan pada kepentingan publik. Hasil pemilu, baik pemilu
legislatif maupun pemilu presiden/wakil presiden pada intinya adalah hasil dari
keputusan rakyat untuk memilih siapa yang akan mengambil keputusan untuk
kepentingan rakyat.
Merujuk pemikiran Joseph Schumpeter
(1883-1950), seorang sosiolog politik, yang menyatakan bahwa demokrasi secara
sederhana adalah suatu mekanisme untuk pemilihan
dan memberi kekuasaan pada pemerintah. Peran para pemilih, menurut tesis
Schumpeter, adalah bukan untuk memutuskan masalah-masalah politik dan memilih
wakil-wakil yang akan melaksanakan keputusan-keputusan tersebut, melainkan
lebih pada memilih orang-orang yang akan membuat keputusan-keputusan bagi
mereka.
Oleh karena itu, bisa jadi orang yang
dipilih tidak menjalankan keputusan yang berpihak pada rakyat. Maka peran
polisi dalam konteks politik di Indonesia adalah pada bagaimana mengawal
demokratisasi, sehingga rakyat bisa berpolitik dengan baik, santun, dan
produktif. Fungsi-fungsi polisional akan sangat berperan dalam menjaga kondisi
berlangsungnya proses demokratisasi, termasuk membuat pemilu berjalan lancar,
dan mereka yang terpilih tetap terjaga untuk bekerja bagi kepentingan publik. (Drs.
A. Wahyurudhanto, M.Si, redaktur pelaksana Jurnal Studi Kepolisian)
Tulisan
ini telah diterbitkan dalam Jurnal Studi Kepolisian, Edisi 071, Juni 2009.