Selasa, 11 Maret 2014

File artikel : Polisi dan Politik



Polisi dan Politik

Rambu agar profesi kepolisian tidak terpengaruh oleh kekuatan politik tertentu secara tegas dinyatakan pada Pasal 28 Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI. Pada pasal (1) disebutkan, Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap Netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Pasal (2) menyatakan, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih. Sementara pasal (3) menyatakan, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Jika kita menyimak ketentuan dalam pasal 28 ayat (1), (2), dan (3), sangatlah jelas bahwa substansinya mengambil dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No: VII/MPR/2000 Pasal 10.  Ketentuan tersebut dimaksudkan dalam rangka menjamin obyektivitas tindakan kepolisian dan pemuliaan profesi kepolisian agar dalam kinerjanya tidak menengok kanan-kiri pada kekuatan politik yang ada. Isi pasal tersebut secara tegas menunjukkan bahwa anggota Polri dijamin tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
Mengapa polisi harus bebas dari politik, bahkan sampai menggunakan hak pilihnya pun tidak diperkenankan. Pengalaman masa lalu rupanya telah menjadi kejadian yang traumatis, bahwa ketika polisi sudah menjadi alat politik bagi kekuasaan, maka yang dilakukan tidak bisa netral. Jaringan organisasi polisi yang sampai ke pelosok-pelosok daerah merupakan sarana yang ampuh jika bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Maka tidaklah mengherankan ketika menjadi bagian dari ABRI dan sekaligus menjadi bagian dari alat kekuasaan pada masa Orde Baru, manfaat peran polisi untuk ikut memberikan dorongan bagi mesin kekuasaan sangatlah efektif.
Merujuk pada tesis yang dikemukakan oleh Pareto (1848-1923), bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas-kualitas yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasaan sosial dan politik yang penuh. Mereka yang bisa menjangkau kekuasaan adalah selalu merupakan yang terbaik. Merekalah yang dikenal sebagai elite. (dalam Parma, 1987, h. 202). Posisi Polri dengan organisasi yang tersentral menyeluruh ke seluruh Indonesia tentu saja akan mempermudah ketika melakukan “produksi” bagi lahirnya elite tersebut. Menjadi sangat mungkin jika teori ini juga menjadi dasar ketika rambu-rambu disusun yang kemudian ditegaskan dalam UU Nomor 2/2002.
Tetapi apakah dengan ketentuan tersebut polisi akan terbebas dari politik. Tentu jawabannya akan sulit jika dipaksa harus menjawab benar. Karena hubungan emosional yang terbentuk pada para angota polisi sebenarnya merupakan bangunan dari relasi sosial yang mempunyai ikatan sangat kuat. Maka ketika mereka yang sudah menjadi elite kemudian mengundurkan diri dan sudah pensiun, sejatinya relasi sosial tersebut tidaklah hilang.
Inilah fenomena yang saat ini sedang menjadi perdebatan publik. Dalam rangka pemilihan presiden dan wakil presiden Juli 2009, tim kampanye para Capres dan Cawapres banyak dari para purnawirawan, termasuk purnawirawan polisi. Bahkan mantan Kapolri Jenderal Sutanto secara resmi menyatakan sebagai tim inti salah satu Capres, berikutnya para pensiunan jenderal polisi lainnya secara terang-terangan memberikan dukungan pada calon lain. Hal yang sama juga dilakukan oleh para purnawirawan TNI. Ini tentu saja merupakan fenomena yang menarik. Secara yuridis tindakan tersebut tidaklah salah, karena sesuai ketentuan perundang-undangan mereka yang sudah pensiun dari dinas kepolisian tidaklah terikat dengan keharusan bebas politik.
Yang sekarang menjadi persoalan, apakah ikatan emosional dengan para yuniornya, dengan pada para mantan anggotanya tidak akan berpengaruh pada sikap netral mereka yang masih aktif. Tentu akan sulit menjawabnya. Karena keterpengaruhan tersebut, yang bisa berimbas pada keluarga dari polisi yang masih aktif tidak bisa dibuktikan secara kasat mata. “Permainan emosi” ini yang rupanya sekarang diperankan oleh para jenderal, termasuk jenderal polisi dalam rangka upaya menggalang kekuatan politik.
Sehingga pada dasarnya sulit membebaskan diri dari pengaruh elite bagi polisi – dalam hal ini Polri – yang secara organisatoris merupakan bagian dari sistem pemerintahan yang merupakan representasi dari kekuatan riil politik melalui proses pemilihan umum. Maka yang penting bagi polisi sebenarnya adalah pada bagaimana kinerjanya menunjukkan keberpihakan pada kepentingan publik. Hasil pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden/wakil presiden pada intinya adalah hasil dari keputusan rakyat untuk memilih siapa yang akan mengambil keputusan untuk kepentingan rakyat.
Merujuk pemikiran Joseph Schumpeter (1883-1950), seorang sosiolog politik, yang menyatakan bahwa demokrasi secara sederhana adalah suatu mekanisme  untuk pemilihan dan memberi kekuasaan pada pemerintah. Peran para pemilih, menurut tesis Schumpeter, adalah bukan untuk memutuskan masalah-masalah politik dan memilih wakil-wakil yang akan melaksanakan keputusan-keputusan tersebut, melainkan lebih pada memilih orang-orang yang akan membuat keputusan-keputusan bagi mereka.
Oleh karena itu, bisa jadi orang yang dipilih tidak menjalankan keputusan yang berpihak pada rakyat. Maka peran polisi dalam konteks politik di Indonesia adalah pada bagaimana mengawal demokratisasi, sehingga rakyat bisa berpolitik dengan baik, santun, dan produktif. Fungsi-fungsi polisional akan sangat berperan dalam menjaga kondisi berlangsungnya proses demokratisasi, termasuk membuat pemilu berjalan lancar, dan mereka yang terpilih tetap terjaga untuk bekerja bagi kepentingan publik. (Drs. A. Wahyurudhanto, M.Si, redaktur pelaksana Jurnal Studi Kepolisian)

Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Studi Kepolisian, Edisi 071, Juni 2009.


Minggu, 09 Maret 2014

File Artikel : Kamdagri



KAMDAGRI

“Gajah Mada patut menjadi panutan Kepolisian Negara. Pemberontakan demi pemberontakan dia tumpas, mengawal raja dengan kesungguhan. Dia menyerukan kepada anak buahnya kewajiban seorang Bhayangkara adalah ‘Satya Haprabhu’ setia kepada Negara dan pimpinannya, ‘Hanayaken Musuh’ mengenyahkan musuh Negara dan musuh masyarakat, ‘Gineung Pratidina’ kerja keras, rame ing gawe, ‘tan Satrisna’ tidak terikat kepada sesuatu, sepi ing pamrih. Itulah Catur Prasatya”
(Pidato Presiden Soekarno pada Dies Natalis PTIK ke X tanggal 17 Juni 1956)

Kata-kata yang diucapkan oleh Presiden Soekarno saat Dies Natalis PTIK, 57 tahun yang lalu benar-benar ucapan yang legendaris. Dalam acara Dies Natalis yang diselenggarakan di Kampus Jalan Tambak, Jakarta Pusat, antara lain dihadiri oleh Perdana Menteri Juanda, Kepala Kepolisian Negara yang saat itu dijabat oleh R.S. Sukanto Tjokrodiatmodjo, Ketua Dewan Guru Besar Profesor Djokosutono dan Ketua Dewan Kurator Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Saat itu, kebetulan Wik Djatmika, yang setia sebagai staf pengajar di PTIK sampai akhir hayatnya, bulan April 2013 lalu, berdiri persis di belakang Presiden bersama ajudan Presiden, Letkol Sugandi dan mencatat semua yang dikatakan oleh Presiden Soekarno.
Jika kita simak apa yang disimpulkan tentang Gajahmada oleh Bung Karno, sebenarnya itulah semangat yang diharapkan sampai saat ini melekat pada seluruh anggota Polri. Setia kepada Negara dan pimpinannya, bukan berarti kepada individu pimpinan negara, tetapi kepada Presiden sebagai Kepala Negara yang secara konstitusional diberi mandat untuk memimpin negara ini menuju cita-cita pendiri bangsa, mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Mengenyahkan musuh negara dan musuh masyarakat, artinya mampu mewujudkan keamanan dan memberikan rasa aman bagi masyarakat. Kerja keras, rame ing gawe, inilah kinerja yang diharapkan oleh masyarakat, sesuai tugas pokok Polri, sebagai pemelihara keamanan, penegak hukum, serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Serta sepi in pamrih, Polri memang harus independen, tidak memihak pada kepentingan atau kelompok tertentu, karena yang harus diutamakan adalah kepentingan masyarakat.
Harapan tersebut, secara formal telah dinyatakan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Pada pasal 4 telah ditegaskan, bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Keamanan dalam negeri atau yang biasa disebut dengan akronim Kamdagri merupakan tujuan dari dibentuknya Polri. Persis dengan ucapan Bung Karno ketika mempresentasikan karakter dari Gajahmada, Hanayaken Musuh, mengenyahkan musuh Negara dan musuh masyarakat.
***

Makna dari mewujudkan Kamdagri adalah ukuran yang dijadikan patokan masyarakat untuk menilai apakah Polri berhasil atau tidak. Bagi masyarakat ukuran keamanan dalam negeri adalah jika kemana-mana merasa aman, tidak ada konflik, bisa beraktivitas dengan normal, serta secara psikologis jikia bertemu dengan polisi merasa terayomi. Ukuran ini tentu saja berbeda dengan ukuran internal Polri, yang menjadikan indikator keberhasilan dari sini tercapainya target-target yang sudah dicanangkan. Lain lagi penilaian yang dilakukan oleh Pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB). Kementerian ini melihat keberhasilan dari kaca-mata good governance yang sarat dengan indikator administratif. Lembaga Swadaya Masyarakat lain lagi menilainya, karena latar belakang kepentingan akan mempengaruhi cara menentukan ukuran keberhasilan.
Alhasil keberhasilan Polri dalam mewujudkan Kamdagri selalu menjadi polemik yang tidak pernah akan habis. Beberapa lembaga survei secara rutin melakukan penilaian terhadap Polri. Salah satunya adalah Harian Kompas. Jajak pendapat yang dilakukan oleh Harian Kompas, selama satu dasawarsa menunjukkan penilaian publik terhadap citra positif kepolisian terus berubah. Jajak pendapat Kompas merekam penilaian terburuk terhadap citra Polri diberikan publik pada masa-masa awal kemandirian Polri. Saat itu hanya 26,6 persen responden yang memberi penilaian positif terhadap citra Polri. Tahun 2009, proporsi publik yang menilai positif meningkat dan mencapai titik tertinggi. Ketika itu 57,1 persen responden menyatakan citra Polri positif. Berbagai prestasi diukir terutama perannya dalam mengungkap kasus terorisme. Jajak pendapat oleh Harian Kompas juga menyebutkan, pada Tahun 2012, ketika usia Polri mencapai 66 tahun dan saat pengungkapan kasus terorisme juga mulai berkurang, penilaian terhadap citra positif Polri semakin turun. Hanya 46,1 persen responden jajak pendapat ini memberi nilai positif terhadap citra Polri. Proporsi yang lebih besar, yakni 49,3 persen, menyatakan citra Polri buruk. Masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian yang dilakukan oleh Harian Kompas menilai, tubuh Polri telah dikotori oleh sikap dan perilaku aparat Polri yang mengingkari pedoman dasar pelaksanaan profesi polisi yang tercantum di dalam Tribrata Polri.
Ini artinya ketika Polri ingin menunjukkan keberhasilan akan tugasnya, yaitu dalam mewujudkan Kamdagri, akan banyak cermin yang bisa dicapai. Mana yang paling obyektif ? Menjadi sulit untuk menyimpulkan karena banyaknya latar belakang dari para “juri” untuk menentukan patokan ukuran keberhasilan. Maka yang dilakukan Polri adalah selalu nmeraba-raba, apa yang dimaui masyarakat. Sementara karena banyaknya pengaruh atas indikator tersebut, kesannya menjadi Polri selalu buruk nilainya. Tentu saja situasi ini tidak menguntungkan bagi Polri yang sudah bekerja keras untuk memenuhi harapan masyarakat mewujudkan Kamdagri. Seolah yang dilakukan oleh anggota Polri yang berjumlah hampir 400 ribu anggota sia-sia. Padahal, jujur saja, sebenarnya masyarakat sangat bergantung pada kinerja Polri yang tak kenal lelah untuk selalu menciptakan keamanan dan memberikan rasa aman.

***
Secara normatif, keberhasilan kinerja Polri di bidang pemeliharaan Kamtibmas, dilihat dari upaya Polri mewujudkan suatu kondisi dinamis masyarakat sehingga terselenggaranya proses pembangunan nasional yang ditandai dengan terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.
Tetapi secara praktis, keberhasilan tersebut akan sangat tergantung dari apa yang dirasakan oleh masyarakat. Baik-buruknya Polri memang pada akhirnya sangat tergantung dari bagaimana masyarakat memberikan penilaian. Maka ketika Kamdagri menjadi ukuran keberhasilan Polri, mau tak mau ukuran relatif harus dikedepankan agar penilaian menjadi obyektif. Keamanan dalam negeri disebut sebagai situasi wilayah yang relatif kondusif, gangguan kamtibmas terkendali, serta tercegah dan tertanggulanginya berbagai konflik. Dengan melihat pada pemahaman ini, maka keberhasilan Polri akan juga sangat tergantung dari kontribusi instansi lain dan masyarakat. Sehingga sangat masuk akal ketika program revitalisasi Polri dicanangkan, sinergi polisional menjadi salah satu andalan untuk pencapaian kinerja Polri yang diharapkan oleh masyarakat. Sinergi Polisional adalah kebersamaan antar unsur dan komponen negara dan masyarakat dalam mengambil langkah mengatasi potensi gangguan keamanan.
Dengan demikian pada akhirnya harus disadari bahwa Kamdagri akan sangat ditentukan oleh partisipasi aktif dari segenap komponan, termasuk partisipasi masyarakat. Agar partisipasi tersebut bisa secara tulus diberikan oleh masyarakat, tentu saja harus diawali oleh Polri dengan sikap yang transparan dan akuntabel, karena inilah modal utama agar dapat dipercaya masyarakat. Syarat untuk bisa transparan dan akuntabel adalah mau kerja keras dan tidak memihak. Senada dengan yang diucapkan oleh Presiden Soekarno tentang Mahapatih Gajadmada, yaitu rame ing gawe serta semi ing pamrih. Jadi kesimpulannya, dalam rangka mewujudkan Kamdagri yaitu menciptakan keamanan dan rasa aman, dilakukan dengan mengeyahkan musuh negara musuh masyarakat, namun usaha ini akan dapat dirasakan apabila Polri juga dicintai dan dipercaya oleh rakyatnya. Polri yang dicintai dan dipercaya adalah bukti bahwa Kamdagri dirasakan oleh masyarakat. (A. Wahyurudhanto, redaktur pelaksana Jurnal Studi Kepolisian)

·      Tulisan ini sudah dimuat di Jurnal Studi Kepolisian, Edisi 080, Juni 2013.

File Artikel : Pemolisian Demokratis



 Pemolisian Demokratis

Polisi di negara manapun berwajah ganda. Selain ancaman, juga dapat menjadi pengawal bagi proses demokrasi dan demokratisasi. Polisi mengancam karena kewenangannya, ia dapat melakukan kekerasan dan pemaksaan atas nama negara.
(Anneke Osse, 2007).

Polisi, dibenci tetapi juga dirindukan. Suatu pernyataan yang sampai sekarang bisa kita rasakan kenyataannya. Kehadiran polisi di satu sisi dibutuhkan, tetapi di sisi lain, kehadiran polisi justru dianggap sebagai masalah. Akibatnya, kinerja polisi selalu dinilai dari sisi masyarakat. Walau kondisi ini logis, tetapi dalam konteks masyarakat Indonesia saat ini dengan frekuensi dinamika sosial politik yang intensitasnya sangat tinggi, penilaian tersebut sering menimbulkan debat berkepanjangan. Pro dan kontra adalah wajar terhadap suatu penilaian. Tetapi bagi polisi penilaian yang selalu memberikan nilai terpuruk tentu menjadi persoalan tersendiri.
Oleh karena itu dalam Grand Strategy Polri yang didisain untuk strategi kinerja tahun 2005 – 2015, membangun kepercayaan ditetapkan sebagai strategi tahap pertama. Baru pada tahap kedua adalah membangun kemitraan, dan menuju keunggulan merupakan strategi tahap ketiga. Menempatkan trust building atau membangun kepercayaan pada strategi tahap pertama bukannya tanpa alasan. Dalam berbagai kajian, keberhasilan polisi selalu diawali dengan fondasi yang kuat, yaitu kepercayaan masyarakat yang dilayaninya.
Maka dalam implementasinya pun kemudian selalu diupayakan untuk selalu diselaraskan program-program Polri agar memberikan impact langsung terhadap upaya membangun kepercayaan. Sampai pada tahun 2010-1014, saat ini, ketika sudah memasuki tahap kedua yaitu membangun kemitraan, tetap saja membangun kepercayaan diupayakan untuk selalu berjalan beriringan. Polmas sebagai community policing ala Indonesia pun dibangun dengan pemahaman filosofi bahwa keberhasilan penyelenggaraan pemolisian akan sangat tergantung pada bagaimana masyarakat memberikan respons melalui pemberdayaan dan keterlibatannya, yang sering diidentifikasi sebagai bentuk partisipasi masyarakat. Maka konsepnya adalah pemolisian akan lebih efektif dengan mengalihkan pendekatan konvensional ke pendekatan modern. Penerapan Polmas menekankan upaya pemecahan masalah yang terkait dengan kejahatan dan ketidaktertiban secara proaktif bersama-sama dengan masyarakat.
Mengutip Teori Strain yang dilontarkan oleh Robert Merton, yang mengajarkan pada kita bahwa kejahatan muncul dari masyarakat dan bisa diatasi oleh masyarakat. Karena teori tersebut berpendapat bahwa dalam masyarakat ada yang suka berbuat jahat dan ada yang tidak suka berbuat jahat. Maka mereka yang tidak suka akan kejahatan bisa diberdayakan untuk menekan kejahatan yang muncul di lingkungannya. Sekarang persoalan yang muncul, lalu dimana peran polisi ketika masyarakat juga bisa bertindak namun masyarakat juga butuh polisi sebagai agen negara yang bertugas menjadi penjaga ketertiban dan keamanan.
Polri sebagai institusi kepolisian di Indonesia mempunyai pengalaman sejarah panjang yang sangat dinamis. Pernah menjadi bagian dari militer ketika Kapolri berada di bawah Panglima Angkatan Bersenjata RI, beserta tiga kepala staf lainnya. Namun dengan diberlakukannya UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, inilah momentum penting bagi Polri untuk menentukan jatidiri sebenarnya sebagai polisi dengan tupoksi yang khas polisi. Polri seolah telah menemukan rumahnya sendiri. Tetapi apakah benar Polri lalu bisa mandiri dalam menjalankan tugasnya. Ternyata faktanya tidak, justru dalam perkembangannya kepercayaan yang menjadi andalan Polri seringkali melemah. Kondisi ini persis seperti dikemukakan oleh Jones dan Newburn (2002), bahwa ketika pemolisian publik mencari identitasnya, sementara pada saat yang bersamaan organisasi polisi mengalami transformasi. Bahkan Bayley dan Shearing (1996) mengatakan, lembaga berbasis masyarakat banyak menciptakan keruntuhan dari monopoli polisi.
Kondisi inilah yang sekarang dialami oleh Polri. Krisis kepercayaan masyarakat kini sangat terasa menerpa tubuh Polri. Walau jika dikaji secara statistik, keberhasilan Polri masih layak untuk ditampilkan. Angka komplain jika dibandingkan dengan jumlah pelayanan akan menunjukkan status yang sangat tidak signifikan. Artinya, secara umum posisi Polri sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat masih dominan. Inilah yang kemudian memunculkan pendapat agar ada penguataan atas democratic policing atau pemolisian demokratis. Jika community policing dipergunakan sebagai filosofi dari kinerja polisi, maka democratic policing lebih pada tataran manajemen atau pengelolaan kinerja polisi.
UU Nomor 2 Tahun 2002 menegaskan bahwa salah satu tugas polisi adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, maka adalah suatu konsekuensi logis bahwa polisi dalam kinerjannya harus berada di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, jika mengambil logika ini ini, pemolisian demokratis adalah bagaimana polisi dalam kinerjanya mampu bertanggung-jawab atas kaidah-kaidah demokratis yang merupakan tututan dari masyarakat.  Sehingga tidak salah jika Kompolnas dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 2008 sudah menyimpulkan bahwa indikator pemolisian demokratis adalah : perlindungan kehidupan politik demokratis, supremasi hukum dan pelayanan demokratis, akuntabilitas, Perlindungan HAM, pemolisian masyarakat, serta organisasi dan manajemen kepolisian yang mamadai. Hal ini didasari pada pemahaman bahwa demokratis adalah  tuntutan universal proses politik yang didasarkan pada prinsip-prinsip akuntabilitas publik sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
Pemolisian demokratis oleh Polri ujungnya adalah kesiapan Polri dalam rangka memberikan rasa aman dan jaminan keamanan bagi warga negara. Karena Polri adalah institusi agen negara. Sampai di sini akan muncul perdebatan mengenai konteks memberikan rasa aman dan jaminan keamanan. Harus diakui bahwa  globalisasi sebagai impuls utamanya, fenomena itu telah memporakporandakan kerangka lama hubungan antar negara, dan secara berarti mengubah gravitasi politik domestik negara-negara.
Bersama dengan kompleksitas politik dalam negeri, semua itu mempengaruhi “keamanan nasional” (national security) suatu negara. Sebab itu, masa transisi dari negara otoriter menuju negara demokrasi memerlukan berbagai penataan ulang perundangan yang mengatur tentang "keamanan nasional". Dalam konsep-konsep tradisional, para ilmuwan biasanya menafsirkan keamanan - yang secara sederhana dapat dimengerti sebagai suasana bebas dari segala bentuk ancaman bahaya, kecemasan, dan ketakutan - sebagai kondisi tidak adanya ancaman fisik (militer) yang berasal dari luar. Walter Lippmann (dalam Anggoro, 2003) merangkum kecenderungan ini dengan pernyataannya yang terkenal yaitu, “suatu bangsa berada dalam keadaan aman selama bangsa itu tidak dapat dipaksa untuk mengorbankan nilai-nilai yang dianggapnya penting (vital).
Dalam konteks Indonesia, maka pemolisian demokratis artinya juga harus diintepretasikan sebagai kemampuan polisi untuk mampu menjaga kearifan lokal sebagai nilai penting yang dipunyai oleh masyarakat Indonesia dengan segala keragamannya. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh David Bayley dalam bukunya Police for The Future (1994). Dikemukakannya, agar dapat menjadi kepolisian demokratis, tindakan polisi perlu mengacu pada empat norma, yakni: 1. memberi prioritas pada pelayanan; 2. dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum; 3. melindungi HAM terutama untuk jenis kegiatan politik; dan 4. transparan. Selain itu, kemampuan memahami masyarakat dan dapat menahan diri atas sikap masyarakat yang seringkali skeptis terhadap niat baik Polri adalah hal lain yang tidak kalah pentingnya.  
Kesimpulannya, dalam konteks Indonesia, agar pemolisian demokratis mencapai hasil optimum, visi ke depan kemitraan polisi dan komunitas perlu menggabungkan secara sinergis antara variabel geografis, sosiokultural, dan bidang-bidang yang mengalami perubahan ekstrem di tiap wilayah. Inilah yang merupakan pokok-pokok dari kearifan lokal, dimana dalam kondisi ini dituntut penempatan personel yang mempunyai kemampuan dasar dalam memahami koneksitas ketiga variabel tersebut. Untuk menciptakan kepolisian yang cocok dengan masyarakatnya dan demokratis, polisi dapat menunjukkan adanya kesetaraan antara masyarakat dengan kepolisian. Dengan demikian maka prioritas pemolisian tidak hanya melihat dari sisi kepolisian saja, melainkan juga melihat harapan dan keinginan masyarakat.
Gaya pemolisian tidak lagi hanya membawa instruksi dari atasan yang bersifat reaktif atau menunggu laporan atau pengaduan atau perintah, melainkan proaktif dan senantiasia menumbuhkan kreativitas, serta mampu menciptakan inovasi – inovasi baru dalam menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dalam bahasa populer sekarang ini disebut terobosan kreatif atau creative breakthrough. Jadi dalam rangka mendorong pemolisian demokratis, memang dibutuhkan kecerdasan dalam mengelola kearifan lokal untuk melakukan praktik pemolisian yang bisa diterima masyarakat, sehingga efek terbangunnya kepercayaan masyarakat kepada polisi bisa terus bergulir tanpa henti. (A. Wahyurudhanto, Redaktur Pelaksana Jurnal Studi Kepolisian)

·      Tulisan ini sudah dimuat di Jurnal Studi Kepolisian, Edisi 078, Jan 2013.

File Artikel : Restorative Justice



Restorative Justice

Ubi societas ibi ius
(di mana ada masyarakat, di situ ada hukum)
--- Cicero, Filsuf Romawi Kuno (106-43 SM)

Sebelum tahun Masehi bergulir, seorang filsuf Romawi Kuno sudah menyampaikan hal yang sampai kini masih aktual. Ubi societas ibi ius, demikian ucapannya yang sangat terkenal. Ucapannya tersebut berarti bahwa setiap manusia, dimana pun berada akan selalu terikat dengan aturan dan norma kehidupan. Dalam perkembangannya, hampir setiap negara memberlakukan aturan untuk mengatur warga negaranya, termasuk Indonesia. Dalam naskah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, pasal 1 ayat (3), dengan tegas disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Artinya segala kegiatan atau tindakan pemerintah ataupun rakyatnya didasarkan pada hukum untuk mencegah adanya tindakan sewenang-wenang dari pemerintah (penguasa) dan untuk mengatur kehidupan masyarakat. Demikian juga rakyat harus tunduk kepada hukum. Apabila tindakannya melanggar hukum rakyat dapat diminta pertanggungjawaban secara hukum.
Namun, seiring dengan perkembangan dinamika masyarakat persoalan hukum telah menjadi bahasan yang sangat kompleks. Polri sebagai salah satu penegak hukum, saat ini sarat dengan berbagai kritik. Banyak kasus yang sering menjadi konsumsi media untuk menunjukkan langkah polisi yang dinilai tidak bijak. Setidaknya, ada beberapa kasus yang berulang-ulang dijadikan contoh, bagaimana kerja polisi yang “tidak pas”. Antara lain kasus Deli, seorang pelajar SMP yang dituduh mencuri voucher sehingga harus menjalani proses formil pidana sampai ke pengadilan. Kemudian kasus nenek Minah yang dituduh mencuri dua biji kakao sehingga harus duduk di kursi pesakitan dalam menjalani persidangan. Juga dalam beberapa kali pemberitaan selalu menjadi contoh potret polisi dalam mengambil keputusan, yaitu kasus nenek Rasmiah yang dituduh mencuri sop buntut dan piring majikannya yang kemudian harus berujung di meja hijau.
Dari berbagai kejadian inilah, maka kini terus diwacanakan untuk dikembangkan pendekatan restorative justice. Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.

***


Dalam implementasinya, restorative justice selalu menjadi perdebatan antara ahli hukum yang berperspektif legal-konvensional dan yang berperspektif legal-sosiologis. Profesor Satjipto Rahardjo almarhum sebagai tokoh yang getol mempopulerkan hukum dengan prespektif legal-sosiologis mengenalkan hukum progresif, yaitu tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak dan final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Hukum progresif merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum modern yang sarat dengan birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi suatu tipe hukum liberal. Progresivisme (aliran hukum progresif) mengajarkan hukum bukan raja, tetapi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Progresivisme tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusiaan.
Esensi dari pemikiran Satjipto Rahardjpo sebenarnya adalah hukum yang berkeadilan. Artinya tujuan hukum bukan semata-mata kepastian hukum, tetapi bagaimana hukum bisa menjadi sarana untuk memberikan rasa keadilan. Persoalan rasa tentu saja akan menyentuh kepada subyektifitas. Tetapi bentuk subyektifitas yang bisa dirasakan oleh masyarakat sehingga kehadiran para penegak hukum menjadikan masyarakat terasa terayomi, bukankah akan menjadi tetesan embun yang akan membuat hati menjadi dingin. Polri sendiri secara tegas dalam tugas pokoknya menekankan peran sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.
Perdebatan antara legalistik-formal dengan legalistik-sosiologis tentu saja akan terus berlanjut, tetapi menyikjapi berbagai persoalan di Indonesia, rasanya harus mulai dipikirkan mengenai efektifitas restorative justice sebagai solusi untuk membangun “short cut” dalam rangka memberikan efek rasa keadilan pada masyarakat. Sehingga, seperti dikemukakan oleh para pemerhati konsep ini, yaitu agar hukum tidak menjadi barang mati yang menunjukkan seorang benar atau salah, tetapi dapat memberikan solusi agar melalui hukum orang dapat memperoleh keadilan, sehingga muncul ketentraman hidup, dan sejatinya inilah landasan bagi terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat. Kalau kehidupan terasa tentram, maka dalam menjalani dinamika kehidupan yang dirasakan adalah suasana aman. Inilah modal utama untuk hadirnya ketertiban masyarakat,.

***

Dalam strategi kinerja kepolisian, sebenarnya Polri telah menangkap adanya realitas kemampuan masyarakat untuk melakukan imunisasi terhadap permasalahan sosial atau konflik yang timbul di lingkungannya. Masyarakat (khususnya tingkat lokal) sebenarnya memiliki kapasitas tersendiri untuk menyelesaikan permasalahan perilaku seseorang atau beberapa orang warganya yang dianggap menyimpang atau melanggar pidana. Kapasitas itulah yang kita kenal dengan sebutan ”peradilan adat” atau village justice (dorpsrechtspraak) yang pada dasarnya merupakan upaya penduduk secara sukarela untuk menyelesaikan permasalahannya kepada suatu badan yang diketuai oleh kepala desa, tetua atau badan lain yang diakui dalam masyarakat. 
Teer Haar (1948) menyebut setiap masyarakat lokal memiliki kemampuan alami untuk menyelesaikan konflik atau sengketa yang mereka hadapi. Namun sayang, kekayaan sosial ini dalam beberapa waktu terakhir ini jarang dioptimalkan. Akibatnya seperti kita saksikan, konflik komunal dengan penyebab masalah ideologi, agama, ras, maupun kepentingan ekonomi masih sering kita jumpai, dan polisi pada akhirnya kewalahan sendiri untuk mengatasinya. Dan korban sudah berjatuhan, maupun kerugian fisik yang jelas akan memakan biaya untuk rehabilitasnya. Bahkan, yang belakangan ini terjadi, justru kantor polisi yang jadi sasaran.
Dari sisi konsep, Polri sudah menerapkan apa yang disebut Polmas atau Perpolisian Masyarakat. Dalam konteks pelaksanaan tugas Polri telah dikembangkan dengan dua elemen minimal (dari berbagai elemen yang secara teoritik dianjurkan oleh community policing) saja yakni kemitraan (partnership) dan pemecahan masalah (problem solving). Bagi Polri, implementasi Polmas bukan hal baru. Dalam Perkap Nomor 7 Tahun 2008 disebutkan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Polmas pada hakekatnya telah diimplementasikan Polri berdasarkan konsep Sistem Keamanan Swakarsa dan pembinaan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa melalui program-program fungsi Bimmas yang sesuai dengan kondisi di Indonesia baik di masa lalu maupun di Era Reformasi (demokrasi dan perlindungan HAM).
Pola-pola penyelesaian masalah masyarakat melalui adat kebiasaan sudah umum diterapkan di dalam masyarakat tradisional, yang kesemuanya merupakan pola-pola pemecahan masalah dan pencegahan serta pembinaan ketentraman dan kerukunan masyarakat yang mendasarkan pada asas kemitraan, kebersamaan dan keharmonisan di dalam masyarakat. Penerapan strategi Polmas bagi Indonesia sangat tepat/cocok dengan budaya masyarakat Indonesia yang mengedepankan kehidupan berkomunitas, gotong royong, keseimbangan (harmonis), dan kepedulian serta mendahulukan kepentingan umum. 
Dalam pola operasionalisasi Polmas, seperti disebutkan dalam Perkap Nomor 7 Tahun 2008, adanya penegasan bahwa upaya penegakan hukum lebih diutamakan kepada sasaran peningkatan kesadaran hukum daripada penindakan hukum. Sedangka upaya penindakan hukum merupakan alternatif tindakan yang paling akhir, bila cara-cara pemulihan masalah atau cara-cara pemecahan masalah yang bersifat persuasif tidak berhasil. Konsep ini selaras dengan gagasan restorative justice dimana lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Dengan demikian, implementasi Polmas dalam rangka mewujudkan harkamtibmas sejatinya juga mendorong agar gagasan restorative justice bisa semakin menjadi salah satu solusi untuk menjadikan Polri sebagai intitusi yang bermoral kemanusiaan. (A. Wahyurudhanto)

·      Tulisan ini sudah dimuat di Jurnal Studi Kepolisian, Edisi 079, April 2013.