Minggu, 12 Juli 2015

File Artikel : Ilmu Kepolisian; Cabang Ilmu Pengetahuan Baru




Ilmu Kepolisian; Cabang Ilmu Pengetahuan Baru


Ngelmu iku Kelakone kanthi laku.
(Ilmu itu terlaksana dengan jalan)


Kutipan dari Serat Wedhatama karya KGPA Mangkunegara IV tersebut sangat sarat maknanya. Ngelmu iku kelakone kanthi laku, maknanya adalah, ilmu apapun hanya bisa dikuasai dengan baik dan diamalkan, jika dipelajari dengan seksama, sungguh-sungguh, serta diperjuangkan dengan segenap jiwa raga. Siapapun juga harus berani bekorban demi tercapainya ilmu yang ingin dimilikinya. Ilmu hanya bisa diperoleh dengan kerja keras, rajin dan tekun. Begitu pula jika kita ingin mengembangkan ilmu, tidak bisa ilmu berkembang dengan sendirinya, karena tradisi keilmuan mewajibkan adanya prasyarat agar suatu pengetahuan diakui sebagai ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan (science) terdiri atas seperangkat pengetahuan (disciplines-produk epistemologis) yang digunakan untuk mencari, menemukan dan meningkatkan pemahaman atas suatu masalah yang menjadi kajian dengan menggunakan seperangkat konsep dan teori, dan dengan menggunakan seperangkat metode ilmiah yang obyektif, metodis, sistematik dan universal.   Oleh karena itu, sebuah ilmu pengetahuan  secara hakiki harus dapat menjelaskan apa yang menjadi objek kajiannya (ontologi), bagaimana ilmu pengetahuan itu terbentuk dan apa yang membentuk batang tubuhnya (epistemologi), apa manfaatnya bagi umat manusia (aksiologi), serta bagaimana prosedur untuk mempelajarinya (metodologi).
Nomenklatur ilmu kepolisian sebenarnya sudah lama dikenal, namun sampai sekarang selalu masih diwarnai perdebatan, ilmu kepolisian yang dipelajari sebagai studi kepolisian (police studies) atau ilmu kepolisian (police science). Sehingga perdebatan itu berkembang mengenai pohon ilmu kepolisian, antara aras multidiplin dan interdisiplin. Perdebatan ini juga mewarnai perkembangan ilmu kepolisian di Indonesia. Namun di antara perdebatan itu ada fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri, bahwa istilah ilmu kepolisian di Indonesia pertama dikenal setelah didirikannya Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Walau ketika awal-awal berdiri, kurikulum PTIK lebih cenderung didominasi ilmu hukum, karena kebutuhan tugas-tugas fungsi kepolisian, namun PTIK tetap konsisten dengan mencantumkan nama Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.
Kini, kita sudah secara tegas mencanangkan bahwa ilmu kepolisian sah adanya, dan merupakan cabang ilmu pengetahuan yang diakui dan kini terus berkembang di Indonesia. Ilmu Kepolisian sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan yang baru, pada awal kelahiran, pertumbuhan, dan perkembangannya di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).  PTIK merupakan salah satu perguruan tinggi yang tertua di Indonesia, yang pertama kali mempelajari dan  mengembangkan ilmu kepolisian di Indonesia. Lebih dari itu, PTIK juga sekaligus mengimplementasikan bekerjanya ilmu kepolisian dan berkembangnya teknologi di Indonesia melalui para alumninya yang tersebar di seluruh pelosok tanah air Indonesia.  Inilah keistimewaan PTIK dalam rangka implementasi dan pengembangan ilmu kepolisian.
Keberadaan Ilmu Kepolisian sebagai cabang ilmu pengetahuan yang baru di Indonesia merupakan suatu keniscayaan. Pengakuan oleh Kementerian Ristek dan Dikti pun telah diberikan, dengan menempatkan Ilmu Kepolisian (Police Science) dikategorikan sebagai rumpul ilmu sosial (social science), yaitu merupakan rumpun Ilmu Pengetahuan yang mengkaji dan mendalami hubungan antar manusia dan berbagai fenomena masyarakat. Seperti kita ketahui, rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan kumpulan sejumlah pohon, cabang, dan ranting Ilmu Pengetahuan yang disusun secara sistematis. Rumpun Ilmu Pengetahuan dan teknologi terdiri atas:  a. rumpun ilmu agama;  b. rumpun ilmu humaniora;  c. rumpun ilmu sosial;  d. rumpun ilmu alam;  e. rumpun ilmu formal; dan  f. rumpun ilmu terapan.  Rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dikembangkan menjadi pohon, cabang, atau ranting ilmu pengetahuan.
Pohon ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan kelompok ilmu pengetahuan dan teknologi yang berada dalam satu rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi. Cabang ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan kelompok ilmu pengetahuan yang berada dalam satu pohon ilmu pengetahuan. Ranting ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan kelompok ilmu pengetahuan yang berada dalam satu cabang ilmu pengetahuan. Rumpun ilmu pengetahuan disebarluaskan oleh Sivitas Akademika melalui Tridharma dalam suatu disiplin akademik, dalam hal ini penyebaran ilmu kepolisian dilakukan oleh antara lain STIK-PTIK. Penyebarluasannya antara lain dilakukan melalui program studi, dimana di STIK-PTIK dikembangkan program studi ilmu kepolisian (police science).
Dalam perkembangan sekarang, perguruan tinggi yang menyebarkan ilmu kepolisian tidak hanya STIK-PTIK. Universitas Indonesia sudah sejak tahun 1996 membuka program studi Kajian Ilmu Kepolisian pada program magister dan doktor. Sementara kini beberapa perguruan tinggi juga sudah membuka program studi ilmu kepolisian. Yang menjadi berbeda dengan STIK-PTIK, di sini para lulusannya akan langsung mengimplementasikan karena para mahasiswanya adalah anggota Polri.
Oleh karena ilmu kepolisian sudah bukan lagi menjadi monopoli Polri dan STIK-PTIK, pasti pada masa mendatang bahasan mengenai ilmu kepolisian akan berkembang sesuai dengan “warna” yang dipilih oleh perguruan tinggi yang menyebarkan ilmu kepolisian. Pengembangan pohon, cabang, atau ranting ilmu pengetahuan dan teknologi dalam praktiknya dapat dilakukan dengan strategi: monodisiplin; multidisiplin; interdisiplin; dan transdisiplin. Monodisiplin merupakan strategi riset yang fokus pada satu disiplin akademik untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu. Multidisiplin merupakan strategi riset yang melibatkan minimal dua disiplin akademik untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu secara bersama-sama.  Interdisiplin merupakan strategi riset yang melibatkan transfer suatu disiplin akademik ke dalam disiplin akademik lainnya untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu sehingga mampu memunculkan metode baru atau disiplin akademik yang baru. Transdisiplin merupakan strategi riset yang melibatkan pemangku kepentingan lain di luar akademisi, seperti praktisi professional, pemerintah, poltisi, pengusaha agar hasil penelitian dapat memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk diaplikasikan oleh masyarakat.
Bagi STIK-PTIK yang pertama kali mengembangkan ilmu kepolisian di Indonesia, tentu saja perkembangan seperti sekarang ini mengembirakan, karena ini berarti ilmu kepolisian akan semakin eksis di Indonesia. Sementara harus juga dipahami, paradigma perkembangan ilmu kepolisian berawal dari adanya kesadaran bahwa profesi kepolisian dalam implementasinya perlu didukung dengan adanya ilmu kepolisian. Sehingga pada masa mendatang harus selalu ada komunikasi antar - perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi ilmu kepolisian, sampai nantinya akan terbentuk konsorsium ilmu kepolisian, yang akan menyepakati lingkup dari ilmu kepolisian. Hal ini terutama pada penentuan batas-batas ilmu kepolisian, termasuk fokus dan lokusnya. Peran STIK-PTIK sebagai penjuru pengembangan ilmu kepolisian harus bisa eksis, karena pengembangan ilmu kepolisian di sini juga akan berkaitan langsung dengan pengembangan profesi kepolisian.
Seperti dikatakan dalam Serat Wedhatama, bahwa Ngelmu iku kelakone kanthi laku, maka ilmu kepolisian harus benar-benar dipelajari dan dikembangkan dengan seksama, sungguh-sungguh, dan terus dijaga sehingga dapat dikuasai dengan baik dan diamalkan untuk kemaslahatan umat manusia. Selamat datang Ilmu Kepolisian. (A. Wahyurudhanto, Redaktur Pelaksana Jurnal “Ilmu Kepolisian”)


File Artikel : Implementasi Ilmu Kepolisian dalam Praktik Pemerintahan



Implementasi Ilmu Kepolisian dalam Praktik Pemerintahan


Oleh :
A.Wahyurudhanto[1]

Abstrak:
Penyelenggaraan negara akan terimplementasikan dalam bentuk praktik pemerintahan. Dalam proses praktik pemerintahan, salah satu fungsi yang melaksanakan adalah fungsi kepolisian. Dalam perkembangannya fungsi kepolisian yang dilaksanakan oleh profesi polisi menghadapi permasalahan sosial yang semakin kompleks, sehingga membutuhkan ilmu pengetahuan untuk mampu memsistematisasi tugas-tugas fungsi kepolisian. Ilmu yang mampu memberikan dukungan dalam pelaksanaan tugas fungsi kepolisian adalah ilmu kepolisian. Sehingga pengembangan ilmu kepolisian akan senada dengan perkembangan kompleksitas penyelenggaraan negara, terutama dalam mewujudkan keteraturan sosial. Implementasi ilmu kepolisian dalam praktik pemerintahan menunjukkan lingkup ilmu kepolisian adalah bagian dari ilmu negara.

Kata Kunci:
Ilmu Kepolisian, Politik, Pemerintahan, Negara


PENDAHULUAN
Sebagai sebuah ilmu yang multidimensional, ilmu pemerintahan sebagaimana halnya  ilmu politik juga masih menyimpan aneka problema, terutama dalam upaya penentuan ontologis, epistemologis dan aksiologis keilmuannya. Dari aspek ontologis ilmu pemerintahan, baik menyangkut definisi maupun objek material dan formal, belum dijumpai adanya kesepahaman. Meskipun demikian ada beberapa titik persamaan mendasar  di kalangan  ilmuwan  pemerintahan,  yaitu: Pertama, bahwa ilmu pemerintahan itu ada dan sedang berkembang ke arah kemandirian. Kedua, adanya berbagai paradigma pemerintahan merupakan tanda bahwa ilmu pemerintahan bersifat teoritik konseptual dan tidak semata-mata praktis profesional. Dengan demikian, pemerintahan bukanlah semata-mata keterampilan belaka. (Gede Suacana, Filsafat Politik dan Pemerintahan, artikel tidak dipublikasikan).
Dalam implementasinya, praktik pemerintahan adalah sebuah penyelenggaraan proses kenegaraan, dimana banyak fungsi pemerintahan akan terlibat. Salah sataunya adalah fungsi kepolisian. Dalam pemahamahan fungsi kepolisian, secara normatif pada Negara Kesatuan Republik Indonesia, fungsi kepolisian adalah fungsi dalam lingkup menegakkan hukum, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, serta fungsi sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Pemahaman normatif ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.
Namun, jika kita lihat esensinya, sebenarnya fungsi kepolisian di Indonesia adalah juga mengadopsi fungsi kepolisian yang universal, yaitu “to protect and to serve” (melindungi dan melayani). Fungsi ini pada hakekatnya adalah sebagian fungsi negara, yaitu menjaga keteraturan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam ranah praktik, penyelenggaraan fungsi pemerintahan maupun fungsi kepolisian akan didasari pada landasan keilmuan sebagai landasan normatif dan teoritik untuk pijakan implementasi. Tulisan ini akan menyoroti implementasi ilmu kepolisian dalam penyelenggaraan praktik pemerintahan, yang akan sangat terkait dengan implementasi ilmu pemerintahan yang dilandasi pada teori mengenai negara.

PERKEMBANGAN ILMU PEMERINTAHAN
Realitas yang ada sampai saat ini mengisyaratkan bahwa perkembangan ilmu pemerintahan di tanah air masih dalam proses pemantapan posisinya di dalam keluarga besar ilmu-ilmu sosial. Tidak seperti ilmu-ilmu sosial yang lebih dulu berkembang, seperti psikologi, ekonomi dan sosiologi, pemerintahan masih butuh waktu panjang untuk bisa memantapkan dirinya menjadi “normal science” dalam terminologi Thomas Kuhn. Ilmu pemerintahan disamping perlu mengembangkan konsep-konsep metodologi dan teori yang membedakannya dari cabang-cabang ilmu sosial lainnya, juga ditantang agar secara intensif menggarap berbagai unsur yang relevan dari ilmu-ilmu sosial untuk memperkaya bidang kajiannya. Munculnya istilah-istilah seperti: system analysis, check and balances, boundary maintenance, demand and support, input-output, black box, factor analysis, unit of analysis dan sejumlah istilah-istilah lainnya bisa jadi adalah manifestasi absorpsi oleh ilmu pemerintahan, di samping tentunya karena dampak behavioralisme.
Dari perspektif ini terlihat bahwa ilmu pemerintahan bisa dikategorikan sebagai suatu disiplin yang bersifat general atau multidimensional. Kenyataan ini menjadi sangat paralel dengan mainstream kajian budaya yang berkembang pesat akhir-akhir ini. Kesamaan mainsteram ini terutama tampak dalam focus of interest ilmu pemerintahan, yang setidak-tidaknya juga harus mencakup dimensi-dimensi filsafat, hukum, politik, sosiologi, administrasi, sejarah, kebudayaan, ekonomi, kepemimpinan dan tentu kajian budaya sendiri. Luasnya dimensi-dimensi yang tercakup dalam disiplin ilmu ini akhirnya banyak menimbulkan masalah kefilsafatilmuan, khususnya dalam upaya penentuan epistemologis dan aksiologisnya. Persoalan pertama berkaitan dengan penentuan batas-batas ilmu pemerintahan (termasuk fokus dan lokusnya). Sedangkan persoalan kedua lebih mengarah pada nilai guna atau segi kemanfatan keilmuan.
Fungsi ilmu setidaknya ada tiga, yaitu mendeskripsi, memprediksi serta mengatur gejala alam/ sosial. Supaya ketiga fungsi tersebut dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan metode yang tepat dan valid. Ada tiga metode keilmuan yang biasanya dipergunakan dalam khasanah perkembangan ilmu pengetahuan, yaitu metode rasional, metode empirik dan metode gabungan. Metode ilmu sangat bergantung pada objek material dan formal dari ilmu yang bersangkutan. Objek material ilmu pemerintahan adalah negara, sama seperti objek material ilmu politik atau ilmu administrasi negara. Sedangkan objek formal ilmu pemerintahan sampai dengan saat ini masih menjadi perbincangan.
Dalam laporan Temu Ilmiah Pengkajian Ilmu Pemerintahan (1985) dikemukakan beberapa pandangan mengenai objek formal ilmu pemerintahan. Soemendar Soerjosoedarmo (1985) berpendapat bahwa ilmu pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari kegiatan-kegiatan kenegaraan dalam rangka memenuhi kepentingan masyarakat secara menyeluruh. Sedangkan Syafiie menyatakan bahwa ilmu pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari bagaimana melaksanakan koordinasi dan kemampuan memimpin bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam hubungan Pusat dan Daerah antar lembaga serta antara yang memerintah dengan yang diperintah.
Namun, jauh sebelum itu, Mariun (2004) sudah menyatakan bahwa pemerintahan menunjuk kepada kegiatan atau fungsi-fungsi negara. Pemerintahan dalam arti luas menunjuk kepada segala kegiatan yang dilakukan oleh badan-badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sedangkan dalam arti sempit, pemerintahan menunjuk hanya kepada kegiatan eksekutif semata. Terlihat bahwa pemerintahan dalam arti luas adalah keseluruhan kegiatan lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pemerintahan dalam arti sempit hanya menunjuk kepada kegiatan eksekutif, dalam hal ini kegiatan presiden dan para menterinya.
Tidak seperti ilmu-ilmu sosial yang lain, sampai dengan dekade 1990-an, ilmu pemerintahan di  Indonesia masih mengalami krisis  epistemologis dan identitas  (Gaffar, “Beberapa Pokok Pikiran Tentang Pengembangan Program Studi Ilmu Pemerintahan di Indonesia”, 1991). Namun begitu, sebagai satu solusi awal dari problema ini diajukan konstatasi bahwa objek formal dari ilmu pemerintahan adalah pemerintahan suatu negara. Pemerintahan hanya merupakan satu “field” atau bagian dari ilmu politik, seperti halnya ilmu administrasi negara, hubungan internasional dan yang lainnya. Kenyataan ini tentu berbeda jauh dengan situasi sejak awal perkembangan ilmu pemerintahan yang sangat dipengaruhi oleh Mazhab Continental yang menyatakan bahwa ilmu pemerintahan berhubungan dengan: pertama,  kegiatan yang menyangkut politik pengambilan keputusan dalam negara (the politics of policy making). Kedua, pelaksanaan dari kebijakan itu sendiri (policy execution). Dengan kata lain, ilmu pemerintahan diidentikkan dengan ilmu politik.
Dari pemahaman posisi itu, sasaran utama dan objek formal dari ilmu pemerintahan dengan sendirinya adalah pemerintahan Indonesia dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Dalam studi pemerintahan bisa dibahas masalah eksekutif, baik pada tingkat “presidency” maupun pada tingkat lokal. Demikian juga bisa dikaji persoalan “legislatures” terutama yang berkaitan dengan sejarah,kedudukan, fungsi serta peranan lembaga tersebut. Pemahaman terhadap lembaga MA, MPR, TNI, masalah kepartaian dan pemilu, perilaku politik, sosialisasi politik, politik pembuatan kebijakan, analisis dan implementasi serta evaluasi kebijakan yang ditempuh. Jadi, ruang lingkup ilmu pemerintahan adalah “hubungan antara pemerintah dan rakyat dalam rangka mencapai kesejahteraan bersama”. Dari berbagai pendapat serta pandangan sebagaimana diungkapkan di atas masih terlihat bahwa belum ada kesamaan pendapat mengenai objek formal ilmu pemerintahan yang memang sangat luas bidang cakupannya.
Konsep ilmu pemerintahan ini secara hakekat bisa dipahami merupakan turunan dari pemikiran Thomas Hobbes yang menekankan perlunya adanya hukum dan keteraturan dalam pengelolaan negara oleh pemerintah yang berkuasa. Pola pemikiran Hobbes sangatlah dipengaruhi oleh  pengalaman sehari-hari dalam aktivitasnya selama era pergolakan Hobbes sangat terkesan oleh tuntutan akan kekuasaan politik yang kuat untuk mengeluarkan tatanan yang ada dari pergolakan yang mengancam masyarakat sipil. Porak-porandanya kesatuan abad pertengahan mempengaruhi Inggris dan daratan Eropa. Monarki Tudor diuntungkan oleh pecahnya mata rantai politik eksternal dan spiritual ini, tetapi kekuatan yang sama yang memungkinkan terbentuknya negara modern juga melahirkan semangat baru akan kemerdekaan dan penentuan nasib sendiri di kalangan rakyat.
Meskipun perkawinan antara borjuis dan kerajaan memungkinkan kerajaan untuk memperoleh kedudukan politik tertinggi, perkawinan ini, dalam dirinya, mengandung benih-benih konflik. Karena kekuasaan raja semakin besar, para pedagang dan pemilik tanah mulai melihat adanya bahaya yang terkandung dalam kekuasaan politik yang tidak terbatas dan tidak terkontrol ini. Demikian pula halnya, persoalan monopoli keagamaan dalam negara mulai menciptakan kesulitan pada masa itu ketika Bible sudah menjadi sumber kebenaran, dan hak penafsiran individu diakui secara luas.
Pada jaman Stuarts, kekuatan-kekuatan ini menjadi nyata di Inggris. Zaman berikutnya adalah zaman kekerasan di mana kesewenang-wenangan para penguasa berlangsung seiring dengan pergolakan yang diakibatkannya. Inggris tidak menikmati kehidupan internal damai yang nyata pada saat James I naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 1603, tahun ketika Hobbes kuliah di Oxford, sampai akhir dekade abad tersebut. Dalam lingkungan seperti inilah Hobbes menulis karya politik terbesarnya, Leviathan. Masterpeace Hobbes merupakan filsafat politik umum pertama yang besar dan komprehensif yang dihasilkan oleh pemikir Inggris. Para penulis Inggris sebelumnya seperti John of Salisbury, Thomas More, dan Richard Hooker memang telah menulis karya-karya politik yang penting, tetapi pemahaman mereka tentang pemerintahan sangat terbatas dan terspesialisasi, dan pemikiran politik mereka umumnya bersifat insidental.
 Leviathan adalah karya yang berorientasi politik. Ia terkadang digambarkan sebagai upaya untuk menjustifikasi absolutisme Stuart, tetapi sebenarnya ia berusaha meletakkan pondasi teoretis bagi pemerintahan yang absolut secara umum, baik oleh monarki, kediktatoran Commonwealth, atau bahkan oleh parlemen. Kurang lebih seabad setelah Machiavelli, suasana politik di Inggris juga didera kekacauan yang mencekam. Adalah Thomas Hobbes (1588-1679) yang meski berada dalam tekanan mampu menulis karya monumentalnya Leviathan (1651) dengan kejernihan refleksi yang tinggi untuk menjawab pergolakan politik Inggris yang pragmatis. Hobbes pun mendefinisikan kekuasaan sebagai “sarana-sarana yang dimiliki seseorang sekarang ini untuk keinginan-keinginannya yang nyata di masa mendatang”.
Dalam Leviathan, Hobbes menyebutkan bahwa secara umum kekuasaan seorang manusia adalah saripati dari segala sarana yang dipakainya untuk meraih tujuan-tujuan di masa depan. Tampak di sini bahwa Hobbes menganggap kuasa sebagai sebuah instrumen operasional dalam pencapaian kehendak-kehendak manusia. Namun selain memandang kekuasaan sebagai hal yang operasional dan formal, Hobbes juga mendefinisikan kekuasaan secara substansial (material). Menurutnya “hakikat kekuasaan ibarat rasa lapar: makin lama dia dibiarkan, makin besarlah dia. Kekuasaan juga dapat dibandingkan dengan jatuhnya benda berat yang bergerak makin cepat, bila dia makin turun ke bawah”.
Karena mengembangkan pemahaman tersebut, maka Hobbes dikenal sebagai bapak Totalitarianisme modern karena mengajarkan bahwa hakikat manusia adalah berwatak mementingkan diri sendiri sehingga prinsip sosial yang berlaku: “perang semua melawan semua”, hingga terciptanya masyarakat sipil melalui kontrak sosial. Para penguasa tidak terikat oleh kontrak tersebut, dan agama baginya harus berada dalam kontrol negara.
Pada akhirnya Hobbes menganggap bahwa manusia secara alamiah dan pada dasarnya mementingkan diri sendiri, suka bertengkar, haus kekuasaan, kejam, dan jahat. Karakter ini adalah hasil upaya manusia yang ingin terus menambah kebutuhannya, karena dengan memuhi kebutuhannya manusia akan bahagia. Akan tetapi obyek keinginan manusia tidak hanya untuk dinikmati sekali saja, tetapi juga menjamin keinginan untuk masa depan selamanya. Oleh karena itu manusia memerlukan kekuasaan untuk mencapai tujuan hidupnya.
FUNGSI KEPOLISIAN DALAM PRAKTIK PEMERINTAHAN

Demokrasi berkembang menjadi sebuah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.  Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances. Untuk itu diperlukan lembaga yang dapat menjaga dan memberikan jaminan bagi masyarakat untuk  dapat beraktivitas dalam keseharian dengan wajar dan beradab. Lembaga tersebut adalah kepolisian.
Jika kita merujuk pada berbagai literatur, dari sejarah kepolisian diperoleh petunjuk bahwa peralihan sistem Monarki menjadi Republik di abad pertengahan membawa pengaruh besar dalam Kepolisian,  pengaruh itu berbentuk perilaku organisasi dan individu polisinya. Di alam sistem Monarki, polisi cenderung  menegakkan  peraturan   demi  langsung  lestarinya Pemerintahan Raja, yang lalu bertindak sangat represif. Sedang dalam sistem Republik polisi cenderung menegakkan peraturan demi kesejahteraan  rakyat. Bahkan pada deretan negara Republik  polisinya pun berbeda perilakunya.  Semakin  demokratis satu Republik, polisinya semakin menghormati supremasi hukum. Disini lalu terjadi perubahan parameter bukan bentuk negara yang menentukan jenis dan kultur kepolisian - tetapi kadar demokrasilah yang menentukan kultur profesionalisme dan modernisasi dari organ kepolisian.
Pengertian Police dalam Black s Law Dictionary adalah :The governmental department charged with the preservation ofpublic order, the promotion of public safety, and the prevention anddetection of crime.(Garner, 1999: 1178). Arti kepolisian disini ditekankan pada tugas-tugas yang harus dijalankan  sebagai  departemen pemerintahan atau bagian dari pemerintahan, yakni memelihara  keamanan,  ketertiban,  ketentraman masyarakat, mencegah dan menindak pelaku kejahatan.
Maka, secara definitif, polisi adalah lembaga negara yang melakukan operasi di bawah otoritas nasional, atau idealnya di bawah kendali otoritas sipil (politik) negara tersebut.  Secara umum, polisi merupakan perwakilan negara yang paling jelas terlihat dalam masyarakat. Oleh karena itu terdapat badan kepolisian yang berbeda-beda di setiap negara. Karakteristik institusi sebuah kepolisian akan selalu tergantung pada negara dan penduduknya. Mereka akan selalu mencerminkan bangsa (atau wilayah) dalam budaya politiknya, sejarah, perkembangan masyarakat, serta perekonomian negara tersebut. (Anneke Osse, dalam Nuraini Siregar, 2010: 13).
Semua kepolisian di berbagai negara menyelenggarakan fungsi utama; represif, preventif dan pre-emptif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang dijabarkan dalam tujuan, tugas pokok, tugas-tugas, wewenang dan tanggung jawab dari kepolisian yang bersangkutan. Keberhasilan kepolisian diukur dari tercapainya tujuan dilaksanakannya tugas pokok, tugas-tugas serta wewenang secara efisien dan efektif. Keberhasilan pelaksanaan tugas pokok, tugas-tugas dan wewenang tergantung pula dari pengaturan dan kemampuan manajemen yang juga disebut kemampuan manajemen operasional yang pada dasarnya merupakan model birokrasi yang diterapkan oleh organisasi polisi.Dengan maraknya kejahatan baru seperti terorisme, money laundering, korupsi, kolusi dan nepotisme, cyber crime, white slavery, dan lain-lain transnational crime, maka ruang lingkup birokrasi pada organisasi polisi  juga akan bertambah luas dan kompleks.
Menurut Satjipto Raharjo polisi merupakan alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman,dan memberikan perlindungan kepada masyarakat (Satjipto Raharjo, 2009:111). Selanjutnya Satjipto Raharjo yang mengutip pendapat  Bitner menyebutkan bahwa apabila hukum bertujuan untuk menciptakan ketertibandalam masyarakat, diantaranya melawan kejahatan. Akhirnya polisi yang akan menentukan secara konkrit apa yang disebut sebagai penegakanketertiban (Satjipto Rahardjo, 2009:117).
Jika kita merujuk pada berbagai pendapat yang berkembang, setidaknya ada tiga parameter untuk mendudukan jati diri polisi : (1) legitimasi (legitimacy); (2) fungsi (function); dan (3) struktur (structure). Parameter legitimasi menunjukkan  dari mana sebaiknya polisi mendapat mandat kekuasaan dan kepada siapa harus bertanggungjawab.  Parameter  fungsi menunjukkan bagaimana polisi diperankan dalam pemeliharaan hukum (maintenance of law) dan pencegahan serta  pendeteksian  pelanggar hukum. Sedangkan parameter struktur  menunjukkan bagaimana besaran organisasi, spesialisasi dan tipe paksaan yang dianggap layak. 
Ada keberagaman dalam penerapan parameter itu antara satu negara dengan negara lain.  Untuk parameter legitimasi misalnya, terdapat pemberian monopoli kepada polisi dari suatu elite dalam masyarakat (publik)  atau elite politik di parlemen (undang-undang).  Demikian pula dalam hal penerapan parameter fungsi. Misalnya dalam tugas-tugas yang dilekatkan pada polisi antara pemeliharaan hukum dengan ketertiban (order), pencegahan, dan pendeteksian tidaklah sama antar setiap negara. Untuk parameter struktur juga terdapat variasi dalam pengorganisasian polisi, sentralisasi atau desentralisasi.
Dari semua parameter tersebut menunjukkan bahwa fungsi kepolisian sangat dominan dalam menjaga keamanan di dalam negerti, terutama dalam menjaga keteraturan sosial, yang dalam bahasa normatif undang-undang disebut keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas). Oleh karena itu pada hakekatnya, wilayah yang menjadi tanggung-jwab Polri adalah keamanan dalam negeri yang sering juga disebut sebagai keamanan publik. Karena yang harus dikelola bukan hanya warga negara Indonesia saja, tetapi juga warga negara asing yang berada di Indonesia. Menjaga keamanan publik adalah salah satu tanggung jawab yang harus diemban oleh suatu negara, dan kepolisian adalah organ yang ditempatkan untuk hal ini.
Keamanan publik atau keamanan umum tidak terbahas dalam UUD 1945 karena adanya pemahaman bahwa keamanan adalah bagian dari pertahanan. Nomenklatur keamanan umum justru terdapat pada Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan pada Undang Undang Dasar Sementara 1950. Pada Kontitusi RIS, pada Bagian 6 tentang Pertahanan Kebangsaan dan Keamanan Umum, ditegaskan dalam Pasal 185 ayat (2) bahwa untuk menjamin ketertiban, ketentraman dan keamanan umum, maka atas permintaan pemerintah daerah bagian, Pemerintah Republik Indonesia Serikat dapat memberi bantuan ketentraman kepada daerah bagian itu. Sedangkan pada Undang Undang Dasar Sementara 1950, Pasal 130 menyebutkan, untuk memelihara ketertiban dan keamanan umum diadakan suatu alat kekuasaan  kepolisian yang  diatur dengan undang-undang. Pada UUDS 1950 ini jelas sekali posisi kepolisian, yang wilayahnya adalah keamanan umum, bukan pertahanan negara yang memang akan membahas keamanan secara luas yang didefinisikan sebagai keamanan nasional. 
Menurut Adrianus Meliala (artikel, 2010) sektor keamanan (security sector) pada dasarnya adalah suatu konsep yang umum dipergunakan oleh lembaga-lembaga multilateral terhadap keberadaan dan aktivitas beberapa lembaga yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dan memiliki peranan dalam penciptaan dan pemeliharaan situasi aman di suatu masyarakat atau negara. Pihak-pihak tersebut adalah: kepolisian, militer, imigrasi, bea dan cukai, intelijen, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, badan anti narkotika, badan anti terror dan badan-badan lain yang memiliki akses pada upaya paksa (forced measures) berdasarkan legalitas yang ada serta penggunaan senjata. Jumlah, bentuk, penamaan mapun struktur tiap-tiap lembaga relatif bervariasi antar negara. 
Pandangan tersebut secara tegas menunjuk posisi kepolisian sebagai salah satu aktor keamanan, khususnya pada domain keamanan publik. Dalam praktik pemerintahan, untuk menjamin keberlangsungan penyelenggaraan negara, keamanan publik menjadi faktor dominan. Jika merujuk pada teori yang dikemukaklan oleh Thomas Hobbes seperti tersebut di atas, maka sangatlah jelas, peran negara sebagai institusi yang diberi mandat untuk mengatur warganya dalam bentuk pemerintahan yang sah. Fungsi kepolisian dalam praktik pemerintahan mempunyai posisi yang kuat sebagai pelindung dan pelayan masyarakat dalam lingkup keamanan publik.

PENUTUP
Pemaknaan ilmu kepolisian tidak bisa dilepaskan dari fungsi kepolisian secara universal yaitu “to protect and to serve”. Fungsi ini pada hakikatnya adalah salah satu fungsi negara, yaitu untuk memberikan jaminan rasa aman dan keamanan bagi warga negara, yang dalam tata kelola negara dilakukan oleh pemerintah.  Dalam Undang-Undang Kepolisian Negara RI (UU No 2 Thn 2002), pengakuan tersebut juga ada dengan penegasan adanya frasa bahwa fungsi kepolisian adalah satu fungsi pemerintahan negara.   Ini berarti bahwa pengakuan fungsi kepolisian sebagai organ negara dalam praktik pemerintahan, menunjukkan bahwa ilmu kepolisian adalah ilmu yang mempelajari segala hal ikhwal yang berkaitan dengan memberikan rasa aman dan keamanan bagi warga negara oleh negara.
Lingkup bahasan ilmu kepolisian dengan demikian harus selaras dengan lingkup pembahasan tentang penyelenggara negara, yaitu pemerintah sebagai pemegang mandat penyelenggara negara, namun ilmu kepolisian dibatasi pada bahasan tentang fungsi memberikan rasa aman dan keamanan warga negara, baik dalam studi mengenai pengkondisian maupun pemeliharaan bagi rasa aman dan keamanan warga negara. Sehingga ilmu kepolisian pada hakikatnya adalah bagian dari ilmu negara, karena adanya keterlibatan langsung dalam praktik pemerintahan,  yang secara khusus mempelajari mengenai peran memberikan rasa aman dan mewujudkan keamanan. (*)

Bahan Bacaan :

Agung, Anak Agung Gde Putra. 2009 (cetakan ketiga). Peralihan Sistem Birokrasi dari Tradisional ke Kolonial. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar.
Baldwin, Robert and Richard Kinsey (diterjemahkan Kunarto). 2002. Police Powers and Politics (Kewenangan Polisi dan Politik). Jakarta : Penerbit Cipta Manunggal.
Bayley, David H. 1998. Police for The Future – Polisi Masa Depan. Terjemahan Kunarto dan Khobibah M. Arief Dimyati. Jakarta : Cipta Manunggal.
Belson, William A. 1975. The Public and the Police. London : Harper & Row Publishers.
Boer, Monica den and Changwon Pyo. 2011. Good Policing : Instruments, Models and Practices. Published : Asia – Europe Foundation and Hanns Seidel Foundation Indonesia.
Bruce, David and Rached Neild. 2005. The Police That We Want : A Handbook for Oversight of Police in South Africa. The Centre for the Study of Violence and Reconciliation.
Bruce, Tammy. 2003. The New Thought Police : Inside the Left’s Assault on Free Speech and Free Minds. New York : Three Rivers Press.
Budiardjo, Miriam. 2010 (edisi revisi; cetakan kedua). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Darmono, dkk. 2010. Keamanan Nasional : Sebuah Konsep dan Sistem Keamanan bagi Bangsa Indonesia. Jakarta : Dewan Ketahanan Nasional.
Djamin, Awaloedin. 2007. Kedudukan Kepolisian Negara RI dalam Sistem Ketatanegaraan Dulu, Kini dan Esok. Jakarta : PTIK Press.
Habermas, Jurgen. 2007. Ruang Publik : Sebuah Kajian tentang Kategori Masyarakat Borjuis. Terjemahan Yudi Santoso. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Hoogerwerf, 1983. Ilmu Pemerintahan. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Kantaprawira, Rusadi. 1990 (cetakan kedua). Sistem Politik Indonesia : Suatu Model Pengantar. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Labolo, Muhadam dkk  (Ed). 2008. Beberapa Pandangan Dasar tentang Ilmu Pemerintahan. Malang : Bayumedia Publishing.
Losco, Joseph & Leonard Williams. 2005. Political Theory, Kajian Klasik dan Komtemporer. Terjemahan Haris Munandar. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.
Prihatono, Hari & Anak Agung Banyu Perwita (Ed). 2006. Mencari Format Komprehensif Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara. Jakarta : Propatria Institute.
Rahardjo, Satjipto. 2003. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Sabine, George H. 1977 (cetakan ketiga). Teori-teori Politik : Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya. Terjemahan Soewarno Hadiatmodjo. Jakarta : Penerbit Binacipta
Shively, W. Phillips. 1983. Power and Choice : An Introduction to Political Science. New York : McGraw-Hill.
Sinamo, Nomensen. 2011. Ilmu Negara. Jakarta : permata Aksara.
Siregar, Sarah Nuraini, et. al. 2010. Polri di Era Demokrasi : Dinamika Pemikiran Internal.  Jakarta : Penerbit LIPI.
Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat : Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Thackrah, JR (Ed). 1985. Contemporary Policing. London : Sphere Books.
Walker, Samuel. 2001. Police Accountability : the Role of Citizen Oversight. Terjemahan oleh Tim PTIK. Omaha, USA : Wadsworth.
---------- Mabes Polri. 2005. Kajian Konstitusional tentang Peranan Polri dalam Pengelolaan Keamanan Negara.

 


[1] Dr. A. Wahyurudhanto, M.Si; dosen pada STIK-PTIK untuk mata kuliah Politik Kepolisian, editor buku Ilmu Kepolisian yang diterbitkan oleh STIK-PTIK, menyelesaikan Doktor Ilmu Pemerintahan di Universitas Padjadjaran Bandung.