Implementasi
Ilmu Kepolisian dalam Praktik Pemerintahan
Oleh
:
Abstrak:
Penyelenggaraan negara akan terimplementasikan dalam
bentuk praktik pemerintahan. Dalam proses praktik pemerintahan, salah satu
fungsi yang melaksanakan adalah fungsi kepolisian. Dalam perkembangannya fungsi
kepolisian yang dilaksanakan oleh profesi polisi menghadapi permasalahan sosial
yang semakin kompleks, sehingga membutuhkan ilmu pengetahuan untuk mampu
memsistematisasi tugas-tugas fungsi kepolisian. Ilmu yang mampu memberikan
dukungan dalam pelaksanaan tugas fungsi kepolisian adalah ilmu kepolisian.
Sehingga pengembangan ilmu kepolisian akan senada dengan perkembangan
kompleksitas penyelenggaraan negara, terutama dalam mewujudkan keteraturan
sosial. Implementasi ilmu kepolisian dalam praktik pemerintahan menunjukkan
lingkup ilmu kepolisian adalah bagian dari ilmu negara.
Kata Kunci:
Ilmu Kepolisian, Politik, Pemerintahan, Negara
PENDAHULUAN
Sebagai sebuah ilmu yang
multidimensional, ilmu pemerintahan sebagaimana halnya ilmu politik juga
masih menyimpan aneka problema, terutama dalam upaya penentuan ontologis,
epistemologis dan aksiologis keilmuannya. Dari aspek ontologis ilmu
pemerintahan, baik menyangkut definisi maupun objek material dan formal, belum
dijumpai adanya kesepahaman. Meskipun demikian ada beberapa titik persamaan
mendasar di kalangan ilmuwan pemerintahan, yaitu: Pertama,
bahwa ilmu pemerintahan itu ada dan sedang berkembang ke arah
kemandirian. Kedua, adanya berbagai paradigma pemerintahan
merupakan tanda bahwa ilmu pemerintahan bersifat teoritik konseptual dan tidak
semata-mata praktis profesional. Dengan demikian, pemerintahan bukanlah
semata-mata keterampilan belaka. (Gede Suacana, Filsafat Politik dan Pemerintahan, artikel tidak dipublikasikan).
Dalam implementasinya,
praktik pemerintahan adalah sebuah penyelenggaraan proses kenegaraan, dimana
banyak fungsi pemerintahan akan terlibat. Salah sataunya adalah fungsi
kepolisian. Dalam pemahamahan fungsi kepolisian, secara normatif pada Negara
Kesatuan Republik Indonesia, fungsi kepolisian adalah fungsi dalam lingkup
menegakkan hukum, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, serta fungsi
sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Pemahaman normatif ini
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.
Namun, jika kita lihat
esensinya, sebenarnya fungsi kepolisian di Indonesia adalah juga mengadopsi
fungsi kepolisian yang universal, yaitu “to
protect and to serve” (melindungi dan melayani). Fungsi ini pada hakekatnya
adalah sebagian fungsi negara, yaitu menjaga keteraturan sosial dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dalam ranah praktik, penyelenggaraan fungsi
pemerintahan maupun fungsi kepolisian akan didasari pada landasan keilmuan
sebagai landasan normatif dan teoritik untuk pijakan implementasi. Tulisan ini
akan menyoroti implementasi ilmu kepolisian dalam penyelenggaraan praktik
pemerintahan, yang akan sangat terkait dengan implementasi ilmu pemerintahan
yang dilandasi pada teori mengenai negara.
PERKEMBANGAN ILMU PEMERINTAHAN
Realitas yang ada sampai
saat ini mengisyaratkan bahwa perkembangan ilmu pemerintahan di tanah air masih
dalam proses pemantapan posisinya di dalam keluarga besar ilmu-ilmu sosial.
Tidak seperti ilmu-ilmu sosial yang lebih dulu berkembang, seperti psikologi,
ekonomi dan sosiologi, pemerintahan masih butuh waktu panjang untuk bisa
memantapkan dirinya menjadi “normal
science” dalam terminologi Thomas Kuhn. Ilmu pemerintahan disamping perlu
mengembangkan konsep-konsep metodologi dan teori yang membedakannya dari
cabang-cabang ilmu sosial lainnya, juga ditantang agar secara intensif
menggarap berbagai unsur yang relevan dari ilmu-ilmu sosial untuk memperkaya
bidang kajiannya. Munculnya istilah-istilah seperti: system analysis, check
and balances, boundary maintenance, demand and support, input-output, black
box, factor analysis, unit of analysis dan sejumlah istilah-istilah
lainnya bisa jadi adalah manifestasi absorpsi oleh ilmu pemerintahan, di
samping tentunya karena dampak behavioralisme.
Dari perspektif ini
terlihat bahwa ilmu pemerintahan bisa dikategorikan sebagai suatu disiplin yang
bersifat general atau multidimensional. Kenyataan ini menjadi
sangat paralel dengan mainstream kajian budaya yang berkembang
pesat akhir-akhir ini. Kesamaan mainsteram ini terutama tampak dalam focus
of interest ilmu pemerintahan, yang setidak-tidaknya juga harus
mencakup dimensi-dimensi filsafat, hukum, politik, sosiologi, administrasi,
sejarah, kebudayaan, ekonomi, kepemimpinan dan tentu kajian budaya sendiri.
Luasnya dimensi-dimensi yang tercakup dalam disiplin ilmu ini akhirnya banyak
menimbulkan masalah kefilsafatilmuan, khususnya dalam upaya penentuan
epistemologis dan aksiologisnya. Persoalan pertama berkaitan dengan penentuan
batas-batas ilmu pemerintahan (termasuk fokus dan lokusnya). Sedangkan
persoalan kedua lebih mengarah pada nilai guna atau segi kemanfatan keilmuan.
Fungsi ilmu setidaknya
ada tiga, yaitu mendeskripsi, memprediksi serta mengatur gejala alam/ sosial.
Supaya ketiga fungsi tersebut dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan
metode yang tepat dan valid. Ada tiga metode keilmuan yang biasanya
dipergunakan dalam khasanah perkembangan ilmu pengetahuan, yaitu metode
rasional, metode empirik dan metode gabungan. Metode ilmu sangat bergantung
pada objek material dan formal dari ilmu yang bersangkutan. Objek material ilmu
pemerintahan adalah negara, sama seperti objek material ilmu politik atau ilmu
administrasi negara. Sedangkan objek formal ilmu pemerintahan sampai dengan
saat ini masih menjadi perbincangan.
Dalam laporan Temu
Ilmiah Pengkajian Ilmu Pemerintahan (1985) dikemukakan beberapa pandangan
mengenai objek formal ilmu pemerintahan. Soemendar Soerjosoedarmo (1985) berpendapat
bahwa ilmu pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari kegiatan-kegiatan kenegaraan
dalam rangka memenuhi kepentingan masyarakat secara menyeluruh. Sedangkan
Syafiie menyatakan bahwa ilmu pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari
bagaimana melaksanakan koordinasi dan kemampuan memimpin bidang legislatif,
eksekutif, dan yudikatif dalam hubungan Pusat dan Daerah antar lembaga serta
antara yang memerintah dengan yang diperintah.
Namun, jauh sebelum itu,
Mariun (2004) sudah menyatakan bahwa pemerintahan menunjuk kepada kegiatan
atau fungsi-fungsi negara. Pemerintahan dalam arti luas menunjuk kepada segala
kegiatan yang dilakukan oleh badan-badan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Sedangkan dalam arti sempit, pemerintahan menunjuk hanya kepada kegiatan
eksekutif semata. Terlihat bahwa pemerintahan dalam arti luas adalah
keseluruhan kegiatan lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pemerintahan
dalam arti sempit hanya menunjuk kepada kegiatan eksekutif, dalam hal ini
kegiatan presiden dan para menterinya.
Tidak seperti ilmu-ilmu
sosial yang lain, sampai dengan dekade 1990-an, ilmu pemerintahan di
Indonesia masih mengalami krisis epistemologis dan identitas (Gaffar, “Beberapa Pokok Pikiran Tentang
Pengembangan Program Studi Ilmu Pemerintahan di Indonesia”, 1991).
Namun begitu, sebagai satu solusi awal dari problema ini diajukan konstatasi
bahwa objek formal dari ilmu pemerintahan adalah pemerintahan suatu negara.
Pemerintahan hanya merupakan satu “field”
atau bagian dari ilmu politik, seperti halnya ilmu administrasi negara,
hubungan internasional dan yang lainnya. Kenyataan ini tentu berbeda jauh
dengan situasi sejak awal perkembangan ilmu pemerintahan yang sangat
dipengaruhi oleh Mazhab Continental yang menyatakan bahwa ilmu pemerintahan
berhubungan dengan: pertama, kegiatan yang menyangkut politik
pengambilan keputusan dalam negara (the politics of policy making). Kedua,
pelaksanaan dari kebijakan itu sendiri (policy execution). Dengan kata
lain, ilmu pemerintahan diidentikkan dengan ilmu politik.
Dari pemahaman posisi
itu, sasaran utama dan objek formal dari ilmu pemerintahan dengan sendirinya
adalah pemerintahan Indonesia dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya.
Dalam studi pemerintahan bisa dibahas masalah eksekutif, baik pada tingkat “presidency” maupun pada tingkat lokal.
Demikian juga bisa dikaji persoalan “legislatures”
terutama yang berkaitan dengan sejarah,kedudukan, fungsi serta peranan lembaga
tersebut. Pemahaman terhadap lembaga MA, MPR, TNI, masalah kepartaian dan
pemilu, perilaku politik, sosialisasi politik, politik pembuatan kebijakan,
analisis dan implementasi serta evaluasi kebijakan yang ditempuh. Jadi, ruang
lingkup ilmu pemerintahan adalah “hubungan antara pemerintah dan rakyat dalam
rangka mencapai kesejahteraan bersama”. Dari berbagai pendapat serta pandangan
sebagaimana diungkapkan di atas masih terlihat bahwa belum ada kesamaan
pendapat mengenai objek formal ilmu pemerintahan yang memang sangat luas bidang
cakupannya.
Konsep ilmu pemerintahan
ini secara hakekat bisa dipahami merupakan turunan dari pemikiran Thomas Hobbes
yang menekankan perlunya adanya hukum dan keteraturan dalam pengelolaan negara
oleh pemerintah yang berkuasa. Pola pemikiran Hobbes sangatlah dipengaruhi
oleh pengalaman sehari-hari dalam
aktivitasnya selama era pergolakan Hobbes sangat terkesan oleh tuntutan
akan kekuasaan politik yang kuat untuk mengeluarkan tatanan yang ada dari
pergolakan yang mengancam masyarakat sipil. Porak-porandanya kesatuan abad
pertengahan mempengaruhi Inggris dan daratan Eropa. Monarki Tudor diuntungkan
oleh pecahnya mata rantai politik eksternal dan spiritual ini, tetapi kekuatan
yang sama yang memungkinkan terbentuknya negara modern juga melahirkan semangat
baru akan kemerdekaan dan penentuan nasib sendiri di kalangan rakyat.
Meskipun
perkawinan antara borjuis dan kerajaan memungkinkan kerajaan untuk memperoleh
kedudukan politik tertinggi, perkawinan ini, dalam dirinya, mengandung
benih-benih konflik. Karena kekuasaan raja semakin besar, para pedagang dan
pemilik tanah mulai melihat adanya bahaya yang terkandung dalam kekuasaan
politik yang tidak terbatas dan tidak terkontrol ini. Demikian pula halnya,
persoalan monopoli keagamaan dalam negara mulai menciptakan kesulitan pada masa
itu ketika Bible sudah menjadi sumber kebenaran, dan hak penafsiran individu
diakui secara luas.
Pada jaman
Stuarts, kekuatan-kekuatan ini menjadi nyata di Inggris. Zaman berikutnya
adalah zaman kekerasan di mana kesewenang-wenangan para penguasa berlangsung
seiring dengan pergolakan yang diakibatkannya. Inggris tidak menikmati
kehidupan internal damai yang nyata pada saat James I naik ke tampuk kekuasaan
pada tahun 1603, tahun ketika Hobbes kuliah di Oxford, sampai akhir dekade abad
tersebut. Dalam lingkungan seperti inilah Hobbes menulis karya politik terbesarnya,
Leviathan. Masterpeace Hobbes merupakan filsafat politik umum pertama yang
besar dan komprehensif yang dihasilkan oleh pemikir Inggris. Para penulis
Inggris sebelumnya seperti John of Salisbury, Thomas More, dan Richard Hooker
memang telah menulis karya-karya politik yang penting, tetapi pemahaman mereka
tentang pemerintahan sangat terbatas dan terspesialisasi, dan pemikiran politik
mereka umumnya bersifat insidental.
Leviathan adalah karya yang berorientasi
politik. Ia terkadang digambarkan sebagai upaya untuk menjustifikasi
absolutisme Stuart, tetapi sebenarnya ia berusaha meletakkan pondasi teoretis
bagi pemerintahan yang absolut secara umum, baik oleh monarki, kediktatoran
Commonwealth, atau bahkan oleh parlemen. Kurang lebih seabad setelah
Machiavelli, suasana politik di Inggris juga didera kekacauan yang mencekam.
Adalah Thomas Hobbes (1588-1679) yang meski berada dalam tekanan mampu menulis
karya monumentalnya Leviathan (1651) dengan kejernihan refleksi yang tinggi
untuk menjawab pergolakan politik Inggris yang pragmatis. Hobbes pun
mendefinisikan kekuasaan sebagai “sarana-sarana yang dimiliki seseorang
sekarang ini untuk keinginan-keinginannya yang nyata di masa mendatang”.
Dalam
Leviathan, Hobbes menyebutkan bahwa secara umum kekuasaan seorang manusia
adalah saripati dari segala sarana yang dipakainya untuk meraih tujuan-tujuan
di masa depan. Tampak di sini bahwa Hobbes menganggap kuasa sebagai sebuah
instrumen operasional dalam pencapaian kehendak-kehendak manusia. Namun selain
memandang kekuasaan sebagai hal yang operasional dan formal, Hobbes juga
mendefinisikan kekuasaan secara substansial (material). Menurutnya “hakikat
kekuasaan ibarat rasa lapar: makin lama dia dibiarkan, makin besarlah dia.
Kekuasaan juga dapat dibandingkan dengan jatuhnya benda berat yang bergerak
makin cepat, bila dia makin turun ke bawah”.
Karena
mengembangkan pemahaman tersebut, maka Hobbes dikenal sebagai bapak
Totalitarianisme modern karena mengajarkan bahwa hakikat manusia adalah
berwatak mementingkan diri sendiri sehingga prinsip sosial yang berlaku:
“perang semua melawan semua”, hingga terciptanya masyarakat sipil melalui
kontrak sosial. Para penguasa tidak terikat oleh kontrak tersebut, dan agama
baginya harus berada dalam kontrol negara.
Pada akhirnya Hobbes menganggap bahwa manusia secara alamiah dan pada
dasarnya mementingkan diri sendiri, suka bertengkar, haus kekuasaan, kejam, dan
jahat. Karakter ini adalah hasil upaya manusia yang ingin terus menambah
kebutuhannya, karena dengan memuhi kebutuhannya manusia akan bahagia. Akan
tetapi obyek keinginan manusia tidak hanya untuk dinikmati sekali saja, tetapi
juga menjamin keinginan untuk masa depan selamanya. Oleh karena itu manusia
memerlukan kekuasaan untuk mencapai tujuan hidupnya.
FUNGSI KEPOLISIAN DALAM PRAKTIK
PEMERINTAHAN
Demokrasi berkembang menjadi sebuah bentuk atau mekanisme sistem
pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan
warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga
kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan
dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam
peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis
lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling
mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances. Untuk itu diperlukan lembaga yang
dapat menjaga dan memberikan jaminan bagi masyarakat untuk dapat beraktivitas dalam keseharian dengan
wajar dan beradab. Lembaga tersebut adalah kepolisian.
Jika kita merujuk pada berbagai
literatur, dari sejarah kepolisian
diperoleh petunjuk bahwa peralihan sistem Monarki menjadi Republik di abad
pertengahan membawa pengaruh besar dalam Kepolisian, pengaruh itu berbentuk perilaku organisasi
dan individu polisinya. Di alam sistem Monarki, polisi cenderung menegakkan peraturan demi langsung
lestarinya Pemerintahan Raja, yang lalu bertindak sangat represif.
Sedang dalam sistem Republik polisi cenderung menegakkan peraturan demi
kesejahteraan rakyat. Bahkan pada
deretan negara Republik polisinya pun berbeda
perilakunya. Semakin demokratis satu Republik,
polisinya semakin menghormati supremasi hukum. Disini lalu terjadi perubahan
parameter bukan bentuk negara yang menentukan jenis dan kultur kepolisian -
tetapi kadar demokrasilah yang menentukan kultur profesionalisme dan
modernisasi dari organ kepolisian.
Pengertian Police dalam Black s Law Dictionary adalah :The
governmental department charged with the preservation ofpublic order, the
promotion of public safety, and the prevention anddetection of crime.(Garner, 1999: 1178). Arti
kepolisian disini ditekankan pada tugas-tugas yang harus dijalankan sebagai
departemen pemerintahan atau bagian dari pemerintahan, yakni memelihara
keamanan, ketertiban,
ketentraman masyarakat, mencegah dan menindak pelaku kejahatan.
Maka, secara definitif, polisi
adalah lembaga negara yang melakukan operasi di bawah otoritas nasional, atau
idealnya di bawah kendali otoritas sipil (politik) negara tersebut. Secara umum, polisi merupakan perwakilan
negara yang paling jelas terlihat dalam masyarakat. Oleh karena itu terdapat
badan kepolisian yang berbeda-beda di setiap negara. Karakteristik institusi
sebuah kepolisian akan selalu tergantung pada negara dan penduduknya. Mereka
akan selalu mencerminkan bangsa (atau wilayah) dalam budaya politiknya,
sejarah, perkembangan masyarakat, serta perekonomian negara tersebut. (Anneke
Osse, dalam Nuraini Siregar, 2010: 13).
Semua kepolisian di berbagai negara menyelenggarakan fungsi utama;
represif, preventif dan pre-emptif yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang dijabarkan dalam tujuan, tugas pokok, tugas-tugas,
wewenang dan tanggung jawab dari kepolisian yang bersangkutan. Keberhasilan
kepolisian diukur dari tercapainya tujuan dilaksanakannya tugas pokok,
tugas-tugas serta wewenang secara efisien dan efektif. Keberhasilan pelaksanaan
tugas pokok, tugas-tugas dan wewenang tergantung pula dari pengaturan dan
kemampuan manajemen yang juga disebut kemampuan manajemen operasional yang pada
dasarnya merupakan model birokrasi yang diterapkan oleh organisasi
polisi.Dengan maraknya kejahatan baru
seperti terorisme, money laundering,
korupsi, kolusi dan nepotisme, cyber
crime, white slavery, dan
lain-lain transnational crime, maka
ruang lingkup birokrasi pada organisasi polisi juga akan bertambah luas dan kompleks.
Menurut Satjipto Raharjo polisi merupakan alat negara yang bertugas
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman,dan
memberikan perlindungan kepada masyarakat (Satjipto Raharjo, 2009:111).
Selanjutnya Satjipto Raharjo yang mengutip pendapat Bitner menyebutkan bahwa apabila hukum
bertujuan untuk menciptakan ketertibandalam masyarakat, diantaranya melawan
kejahatan. Akhirnya polisi yang akan menentukan secara konkrit apa yang disebut sebagai penegakanketertiban
(Satjipto Rahardjo, 2009:117).
Jika kita merujuk pada berbagai pendapat
yang berkembang, setidaknya ada tiga
parameter untuk mendudukan jati diri polisi : (1) legitimasi (legitimacy); (2) fungsi (function); dan (3) struktur
(structure). Parameter legitimasi menunjukkan dari mana
sebaiknya polisi mendapat mandat kekuasaan dan kepada siapa harus
bertanggungjawab. Parameter fungsi menunjukkan bagaimana polisi
diperankan dalam pemeliharaan hukum (maintenance of law) dan pencegahan
serta pendeteksian pelanggar hukum. Sedangkan parameter
struktur menunjukkan bagaimana besaran
organisasi, spesialisasi dan tipe paksaan yang dianggap layak.
Ada keberagaman dalam penerapan parameter itu antara satu negara dengan
negara lain. Untuk parameter legitimasi misalnya, terdapat pemberian monopoli kepada polisi dari suatu
elite dalam masyarakat (publik) atau
elite politik di parlemen (undang-undang). Demikian
pula dalam hal penerapan parameter fungsi. Misalnya dalam tugas-tugas yang
dilekatkan pada polisi antara pemeliharaan hukum dengan ketertiban (order), pencegahan, dan pendeteksian tidaklah
sama antar setiap negara. Untuk parameter struktur juga terdapat variasi dalam
pengorganisasian polisi, sentralisasi atau desentralisasi.
Dari semua parameter tersebut
menunjukkan bahwa fungsi kepolisian sangat dominan dalam menjaga keamanan di
dalam negerti, terutama dalam menjaga keteraturan sosial, yang dalam bahasa
normatif undang-undang disebut keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas).
Oleh karena itu pada hakekatnya, wilayah yang menjadi tanggung-jwab Polri
adalah keamanan dalam negeri yang sering juga disebut sebagai keamanan publik.
Karena yang harus dikelola bukan hanya warga negara Indonesia saja, tetapi juga
warga negara asing yang berada di Indonesia. Menjaga keamanan publik adalah
salah satu tanggung jawab yang harus diemban oleh suatu negara, dan kepolisian
adalah organ yang ditempatkan untuk hal ini.
Keamanan publik atau keamanan umum
tidak terbahas dalam UUD 1945 karena adanya pemahaman bahwa keamanan adalah
bagian dari pertahanan. Nomenklatur keamanan umum justru terdapat pada
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan pada Undang Undang Dasar
Sementara 1950. Pada Kontitusi RIS, pada Bagian 6 tentang Pertahanan Kebangsaan
dan Keamanan Umum, ditegaskan dalam Pasal 185 ayat (2) bahwa untuk menjamin
ketertiban, ketentraman dan keamanan umum, maka atas permintaan pemerintah
daerah bagian, Pemerintah Republik Indonesia Serikat dapat memberi bantuan
ketentraman kepada daerah bagian itu. Sedangkan pada Undang Undang Dasar
Sementara 1950, Pasal 130 menyebutkan, untuk memelihara ketertiban dan keamanan
umum diadakan suatu alat kekuasaan
kepolisian yang diatur dengan
undang-undang. Pada UUDS 1950 ini jelas sekali posisi kepolisian, yang
wilayahnya adalah keamanan umum, bukan pertahanan negara yang memang akan
membahas keamanan secara luas yang didefinisikan sebagai keamanan
nasional.
Menurut Adrianus Meliala (artikel,
2010) sektor keamanan (security sector)
pada dasarnya adalah suatu konsep yang umum dipergunakan oleh lembaga-lembaga
multilateral terhadap keberadaan dan aktivitas beberapa lembaga yang secara
langsung maupun tidak langsung terlibat dan memiliki peranan dalam penciptaan
dan pemeliharaan situasi aman di suatu masyarakat atau negara. Pihak-pihak
tersebut adalah: kepolisian, militer, imigrasi, bea dan cukai, intelijen,
kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, badan anti narkotika, badan anti
terror dan badan-badan lain yang memiliki akses pada upaya paksa (forced measures) berdasarkan legalitas
yang ada serta penggunaan senjata. Jumlah, bentuk, penamaan mapun struktur
tiap-tiap lembaga relatif bervariasi antar negara.
Pandangan tersebut secara tegas
menunjuk posisi kepolisian sebagai salah satu aktor keamanan, khususnya pada
domain keamanan publik. Dalam praktik pemerintahan, untuk menjamin
keberlangsungan penyelenggaraan negara, keamanan publik menjadi faktor dominan.
Jika merujuk pada teori yang dikemukaklan oleh Thomas Hobbes seperti tersebut
di atas, maka sangatlah jelas, peran negara sebagai institusi yang diberi
mandat untuk mengatur warganya dalam bentuk pemerintahan yang sah. Fungsi
kepolisian dalam praktik pemerintahan mempunyai posisi yang kuat sebagai
pelindung dan pelayan masyarakat dalam lingkup keamanan publik.
PENUTUP
Pemaknaan ilmu kepolisian tidak bisa
dilepaskan dari fungsi kepolisian secara universal yaitu “to protect and to serve”. Fungsi ini pada hakikatnya adalah salah
satu fungsi negara, yaitu untuk memberikan jaminan rasa aman dan keamanan bagi
warga negara, yang dalam tata kelola negara dilakukan oleh pemerintah. Dalam Undang-Undang Kepolisian Negara RI (UU
No 2 Thn 2002), pengakuan tersebut juga ada dengan penegasan adanya frasa bahwa
fungsi kepolisian adalah satu fungsi pemerintahan negara. Ini
berarti bahwa pengakuan fungsi kepolisian sebagai organ negara dalam praktik
pemerintahan, menunjukkan bahwa ilmu kepolisian adalah ilmu yang mempelajari
segala hal ikhwal yang berkaitan dengan memberikan rasa aman dan keamanan bagi
warga negara oleh negara.
Lingkup bahasan ilmu kepolisian
dengan demikian harus selaras dengan lingkup pembahasan tentang penyelenggara
negara, yaitu pemerintah sebagai pemegang mandat penyelenggara negara, namun
ilmu kepolisian dibatasi pada bahasan tentang fungsi memberikan rasa aman dan
keamanan warga negara, baik dalam studi mengenai pengkondisian maupun
pemeliharaan bagi rasa aman dan keamanan warga negara. Sehingga ilmu kepolisian
pada hakikatnya adalah bagian dari ilmu negara, karena adanya keterlibatan
langsung dalam praktik pemerintahan, yang secara khusus mempelajari mengenai peran
memberikan rasa aman dan mewujudkan keamanan. (*)
Bahan Bacaan :
Agung, Anak Agung Gde Putra. 2009 (cetakan ketiga). Peralihan Sistem Birokrasi dari Tradisional ke Kolonial. Yogyakarta
: Penerbit Pustaka Pelajar.
Baldwin, Robert and Richard Kinsey (diterjemahkan Kunarto). 2002. Police Powers and Politics (Kewenangan Polisi dan Politik). Jakarta
: Penerbit Cipta Manunggal.
Bayley, David H. 1998. Police for The
Future – Polisi Masa Depan. Terjemahan Kunarto dan Khobibah M. Arief
Dimyati. Jakarta : Cipta Manunggal.
Belson, William A. 1975. The Public
and the Police. London : Harper & Row Publishers.
Boer, Monica den and Changwon Pyo. 2011. Good Policing : Instruments, Models and Practices. Published : Asia
– Europe Foundation and Hanns Seidel Foundation Indonesia.
Bruce, David and Rached Neild. 2005. The
Police That We Want : A Handbook for Oversight of Police in South Africa.
The Centre for the Study of Violence and Reconciliation.
Bruce, Tammy. 2003. The New Thought
Police : Inside the Left’s Assault on Free Speech and Free Minds. New York
: Three Rivers Press.
Budiardjo, Miriam. 2010 (edisi revisi; cetakan kedua). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Darmono, dkk. 2010. Keamanan Nasional
: Sebuah Konsep dan Sistem Keamanan bagi Bangsa Indonesia. Jakarta : Dewan
Ketahanan Nasional.
Djamin, Awaloedin. 2007. Kedudukan
Kepolisian Negara RI dalam Sistem Ketatanegaraan Dulu, Kini dan Esok.
Jakarta : PTIK Press.
Habermas, Jurgen. 2007. Ruang Publik : Sebuah
Kajian tentang Kategori Masyarakat Borjuis. Terjemahan Yudi Santoso.
Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Hoogerwerf, 1983. Ilmu Pemerintahan.
Jakarta : Penerbit Erlangga.
Kantaprawira, Rusadi. 1990 (cetakan kedua). Sistem Politik Indonesia : Suatu Model Pengantar. Bandung : Sinar
Baru Algensindo.
Labolo, Muhadam dkk (Ed). 2008. Beberapa Pandangan Dasar tentang Ilmu
Pemerintahan. Malang : Bayumedia Publishing.
Losco, Joseph & Leonard Williams. 2005. Political Theory, Kajian Klasik dan Komtemporer. Terjemahan Haris
Munandar. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.
Prihatono, Hari & Anak Agung Banyu Perwita (Ed). 2006. Mencari Format Komprehensif Sistem
Pertahanan dan Keamanan Negara. Jakarta : Propatria Institute.
Rahardjo, Satjipto. 2003. Sisi-sisi
Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Sabine, George H. 1977 (cetakan ketiga). Teori-teori Politik : Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya.
Terjemahan Soewarno Hadiatmodjo. Jakarta : Penerbit Binacipta
Shively, W. Phillips. 1983. Power and
Choice : An Introduction to Political Science. New York : McGraw-Hill.
Sinamo, Nomensen. 2011. Ilmu Negara. Jakarta : permata Aksara.
Siregar, Sarah Nuraini, et. al. 2010. Polri
di Era Demokrasi : Dinamika Pemikiran Internal. Jakarta : Penerbit LIPI.
Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran
Politik Barat : Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan
Kekuasaan. Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Thackrah, JR (Ed). 1985. Contemporary
Policing. London : Sphere Books.
Walker, Samuel. 2001. Police
Accountability : the Role of Citizen Oversight. Terjemahan oleh Tim PTIK.
Omaha, USA : Wadsworth.
---------- Mabes Polri.
2005. Kajian Konstitusional tentang
Peranan Polri dalam Pengelolaan Keamanan Negara.