Jumat, 02 Januari 2009

Pilkada dan Konflik

PILKADA DAN KONFLIK

Rasanya kita yang hidup di Indonesia sering dibuat pusing dengan fenomena-fenomena yang tidak sesuai dengan harapan kita. Sehingga sampai-sampai selalu muncul di benak kita, apa yang salah di negeri ini. Semenjak arus gelombang reformasi terus bergejolak di bumi Indonesia, berbagai perubahan-perubahan yang mengarah kepada kekuatan kapasitas publik semakin mengemuka. Salah satunya adalah pemilihan kepala daerah secara langsung, yang sudah teradopsi melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Semula isi dalam UU tersebut pada pasal 59 menyatakan bahwa yang bisa mengajukan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah hanyalah partai politik atau gabungan partai politik. Namun, melalui yudicial review terkait pasal 59, kini yang bisa mengajukan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah juga perseorangan.

Dari data yang ada, dalam dua tahun sejak 2005 sampai akhir 2007 saja sudah 319 daerah (kota dan kabupaten) yang menyelenggarakan Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada). Ini berarti sudah dua per tiga pemerintah daerah yang ada sudah menyelenggarakan Pilkada. Dengan tambahan penyelenggaraan tahun 2008, maka sudah hampir separuh daerah di Indonesia menyelenggarakan pemilihan daerah secara langsung. Ada harapan yang muncul ketika pemilihan daerah secara langsung menjadi fenomena politik baru du Indonesia, yakni harapan akan semakin kuatnya sistem lokal dan semakin kuatnya otonomi sebagai suatu proses demokratisasi. Harapan ini merupakan hipotetis bahwa melalui Pilkada maka arogansi DPRD yang sering mengklaim sebagai satu-satunya institusi representasi rakyat dan pemegang mandat rakyat bisa diamputasi. Sikap arogan para wakil rakyat tersebut akan tersublimasi, karena pada kenyataannya para kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, bukan oleh mereka yang merasa “satu-satunya” wakil rakyat.

Tetapi harapan tinggal harapan. Yang terjadi justru masalah demi masalah muncul dalam proses demokratisasi tersebut. Mengutip pendapat Larry Diamond dalam bukunya Developing Democracy Toward Consolidation (1999, hal. 8) disebutkan bahwa pengambilan kebijakan politik dimana individu-individu diharuskan memiliki kekuasaan untuk memutuskan yang didapatnya dari kompetisi mendapatkan suara rakyat hanya bisa dicapai melalui pemilihan umum. Namun yang terjadi di Indonesia, seperti dinyatakan oleh Arbi Sanit dalam temuannya setelah mengamati Pilkada (Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 6, 2008), fungsi partisipasi telah berubah menjadi mobilisasi, fungsi pendidikan politik telah berubah menjadi manipulasi, fungsi kedaulatan rakyat telah disandera oleh Partai Politik, dan fungsi kompetisi politik telah diwarnai persekongkolan politik.

Inilah yang terjadi di hampir seluruh pelosok Indonesia saat ini. Pengkaderan elite pemerintahan yang akan dipilih mennjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah ternyata tidak bisa dilakukan oleh partai politik. Maka menjadi sangat wajar kalau para pengusaha kemudian banyak “banting setir” menjadi birokrat. Logikanya sederhana. Partai butuh dana, maka siapa yang akan menggunakan perahu yaitu partai politik yang mengusungnya, tentu harus ada biayanya. Dan inilah yang menjadikan kemudian untuk menjadi kepala daerah membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Maka politik dagang sapi pun terjadi. Kita bisa melihat, bahwa pencalonan figur oleh partai sudah tidak lagi berdasarkan ideologis atau kapasitas murni, tetapi justru dibentuk melalui kesepakatan politik. Maka jangan heran jika PDI Perjuangan yang di level nasional menyatakan sebagai partai oposisi, ketika mencalonkan bupati atau wali kota, tidak tabu lagi ketika harus menggandeng Partai Golkar atau Partai Demokrat, atau partai lainnya yang di level nasional adalah “musuh”-nya. Yang muncul adalah pragmatisme politik.

Akibatnya ketika ketidakpuasan muncul, baik dari figur yang dicalonkan maupun dari pendukungnya, maka potensi konflik tidak bisa dihindari. Inilah yang terjadi saat ini. Praktek pemilihan kepala daerah yang diharapkan menjadi ajang pembelajaran politik dalam rangka mengawal proses demokratisasi, telah menjadi arena yang menimbulkan antagonisme politik dan menjadi ruang pelampiasan sikap-sikap anarkis. Pernyataan siap menang dan siap kalah yang sering digelar sebelum pemilihan hanya menjadi formalisme saja. Konflik terjadi dimana-mana. Bahkan ada sampai berlarut-larut seperti terjadi di Provinsi Maluku Utara. Yang paling gres, bulan November ini yaitu pemilihan Gubernur Provinsi Jawa Timur, akhirnya harus berujung ke Mahkamah Konstitusi yang sekarang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan menjadi lembaga yang mempunyai hak untuk menyelesaikan sengketa Pilkada.
Ketidakpercayaan atas KPUD sebagai lembaga penyelenggara pemilu selalu muncul, dan ini akan berdampak buruk jika mayoritas hasil Pilkada harus diselesaikan di Mahkamah Konstitusi.
Kondisi ini jika tidak bisa berhenti maka yang terjadi adalah perilaku-perilaku yang demoralisasi politik sebagai pendorong kontra-produktivitas. Yang akan terjadi adalah konflik kepentingan elite, dan rakyat hanya akan menjadi penonton plus pelengkap penderita. Karena itu agar tidak menjadi konflik yang terus berkepanjangan, maka adalah sangat penting muncul kesadaran dari semua saja elite politik bahwa kini tidak lagi saatnya memikirkan diri sendiri. Kepentingan publik harus didahulukan, sehingga Pilkada sebagai ajang pembelajaran demokrasi rakyat serta sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas publik dalam proses politik bisa berjalan dengan normal. Hanya saja, harapan ini kembali akan menjadi harapan ketika melihat elite kita lebih berpihak pada kepentingan partai dan kelompoknya. Ini memang persoalan nurani, bukan persoalan pragmatisme politik. (Drs. A. Wahyurudhanto, M.Si)

1 komentar:

Unknown mengatakan...

jadi menurut bapak, apa yang jadi akar permasalahannya itu apa? terus solusinya gimana pak?
Kalo menurut saya akar permasalahan nya adalah kepribadian dan karakter bangsa kita yang tidak "besar".
Dahulu setiap pelajaran PMP, kita dicekoki bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar, bla bla bla . . .
tetapi nyatanya setiap survei yang buruk2, menempatkan bangsa kita di kelompok bawah.
Kepribadian bangsa kita, orang per orang adalah kepribadian orang yang kerdil, mementingkan diri sendiri, dan bercita-cita pendek.
Dan celakanya, porsi orang yang rela berkorban untuk kebesaran bersama dewasa ini, menurut saya sudah mendekati titik terendah.
Dahulu kita punya anak-anak muda yang rela mengorbankan diri dan masa depannya, demi kebesaran bangsa.
Contohnya adalah Soekarno, seorang lulusan IT (ITB sekarang). Bila mengikuti jalur nasib, maka seharusnya seorang soekarno sudah menjadi pemuka masyarakat di jamannya, karena sedemikian sedikitnya pribumi terpelajar.
Tetapi dia memilih mengorbankan kemapanan yang seharusnya dia terima, dan keluar masuk penjara untuk memperjuangkan "ide dan pemikirannya".
Demikian juga terjadi pada Hatta, dan banyak tokoh sejarah lain, yang pada dasarnya adalah orang yang punya pilihan hidup mapan tetapi memilih memperjuangkan sesamanya.
Bandingkan dengan situasi sekarang.
Mahasiswa yang pandai, pintar dan berpotensi, memilih bersahabat dengan birokrasi. Kita liat lulusan ITB, UI dan universitas lain banyak yang sekarang terdiam, karena, (mungkin), pemimpin2 mahasiswanya sudah tergalang oleh elit pemerintahan dengan iming2 materi.
Di kemudian hari, ketika mereka lulus, tinggal datang ke birokrat yang sudah memanjakan mereka selama kuliah, "partner in crime" dalam menahan gejolak kelompok terpelajar dalam menyingkapi kebijakan pemerintah yang tidak merakyat, dan kemudian mendapat jabatan dalam sistem birokrasi yang korup tersebut. Siklus tersebut berjalan terus menerus.
Semua departemen diawaki oleh lulusan-lululsan terbaik bangsa.
Depkeu oleh STAN dan UI, dep pertanian oleh IPB maupun UGM. Semua departemen diisi dan didominasi oleh lulusan universitas ternama di Indonesia, baik ITB, UI, UGM, IPB maupun lain-lainnya, tetapi tetap saja tidak merubah nasib bangsa.
Sudah saatnya kaum terpelajar berbuat sesuatu sebagaimana yang diperbuat oleh Budi Utomo pada 1900-an.
Membaca tetralogi Buru karya Pramudya, kita akan melihat bahwa dahulu banak intelektual muda yang dilahirkan dari kaum patria pada saat itu, memilih meninggalkan kesempatan kemapanan yang mereka miliki untuk memperjuangkan rakyat.
Yang terjadi sekarang adalah anak-anak pejabat sekarang lebih memilih untuk mendapatkan proyek bisnis melalui jejaring kekuasaan yang masih dimiliki oleh orang tuanya. Demikian juga "orang-orang pintar" lulusan luar negeri. Setiap percakapan dengan mereka, kita akan mengetahui bahwa cita-cita terbesarnya adalah "memiliki usaha sendiri", bukan memperjuangkan nasib rakyat.
Jadi menurut penulis, bangsa kita (mungkin) akan berubah, ketika kaum terpelajar Indonesia, yang sekarang sedang bekerja di banyak perusahaan asing, baik di luar negeri maupun dalam negeri, terketuk untuk berbuat sesuatu untuk negeri.
Kenapa harus institusi asing? karena institusi dalam negeri sudah dipenuhi dengan budaya "rendahan" seperti korupsi, ABS dan lain-lain, sehingga kaum terpelajar yang hidup dalam institusi dalam negeri baik swasta maupun negara akan memilih berkompromi dengan situasi.
Dan mengapa kaum terpelajar yang bekerja di institusi asing yang akan menjadi penggerak?
pertama adalah karena mereka biasa hidup dalam budaya kerja yang mengutamakan kompetisi sehat, akuntabilitas dll. Mereka terbiasa mendapatkan sesuatu karena kinerja dan kemampuan, Sehingga pola pikir seperti menyogok untuk jadi PNS akan menjadi sesuatu yang aneh untuk mereka.
Kedua, pada suatu tingkat jabatan tertentu, mereka akan tersandung pada masalah kebangsaan. Contoh : banyak pemuda indonesia bekerja di singapura. tetapi pada tingkat tertentu, jabatan yang diberikan akan mempertimbangkan bahwa yang bersangkutan bukanlah penduduk singapura, sehingga akan memiliki option untuk pindah kewarganegaraan atau tidak mendapatkan promosi. Perasaan kecewa akan membangkitkan semangat kebangsaan, dan mudah-mudahan akan berefek pada nasionalisme (ada cerita bahwa sebenarnya soekarno menjadi nasionalis karena cintanya ditolak oleh seorang noni belanda, karena dia seorang bumiputera).
Keseluruhan pemikiran diatas tentunya hanyal opini yang belum didukung dengan fakta ilmiah dan masih sangat bisa diperdebatkan.