Polri Merawat Kebinekaan
Oleh
A Wahyurudhanto
HARI ini, 1 Juli 2017, insan
Bhayangkara, para polisi Indonesia merayakan HUTke-71. Ada pesan kuat mengapa
Hari Bhayangkara memilih 1 Juli 1946 sebagai hari bersejarah. Tanggal 1 Juli 1946
bukanlah hari kelahiran Polri, karena sejatinya polisi Indonesia ada sejak
negara ini diproklamirkan. Artinya sejak pemerintahan berjalan maka polisi
Indonesia eksis. Namun, saat itu polisi Indonesia masih dibawah Kementerian
Dalam Negeri.
Tanggal 1 Juli 1946 menjadi hari
penting, karena saat itulah pemerintah menetapkan Djawatan Kepolisian Negara
bertanggung- jawab langsung kepada Perana Menteri. Jadi, 1 Juli bukanlah hari
lahir Polri, tetapi hari dinyatakannya Polri sebagai Kepolisian Nasional. Inilah
yang saya maksud pesan kuat dari penetapan Hari Bhayangkara, bahwa Polri tidak
hanya berurusan mengamankan situasi dalam negeri, tetapi juga bertanggung jawab
atas keutuhan negeri ini, menjaga NKRI agar tetap kokoh berdiri, baik secara
moral maupun dalam pelaksanaan tugas pokoknya.
Jika kita melihat kondisi Indonesia
saat ini, secara umum terasa masih dalam kondisi kokoh, dengan semoboyan NKRI
harga mati tetap menggema. Tapi kalau mau jujur, dan melihat secara terbuka
keadaan sebenarnya, ada kerapuhan memprihatinkan. Sisa-sisa Pilkada DKI Jakarta
yang efeknya menyebar kemanamana masih terasa. Politik identitas yang dibangun
dalam rangka kepentingan politik yang berujung pada kekuasaan telah membuat
situasi arus bawah tidak solid. Fanatisme identitas yang dibangun oleh kekuatan
politik, baik itu dengan basis agama, etnis, fanatisme kedaerahan, atau
kelompok tertentu telah membuka mata kita bahwa ada persoalan di negeri ini
yang harus diselesaikan.
Tak bisa dipungkiri, Pilkada
serentak di satu sisi menunjukkan keberhasilan, berlangsungan aman dan lancar
tanpa gangguan kamtibmas signifikan. Namun pada sisi lain telah menimbulkan
ekses negatif yaitu berkembangnya politisasi identitas. Politisasi identitas
sejatinya adalah bibit intoleransi, karena jika tidak terkelola dengan baik
akan menuju pengkotak-kotakan warga. Jika secara masif tidak terkendali, hal
itu jelas akan menjadi sumber perpecahan warga yang akan memicu konflik sosial.
Konflik sosial yang masif, dan tidak bisa dikendalikan akan menjadi bola liar,
merupakan awal dari reruntuhan kesatuan dan persatuan yang telah diperjuangkan
para founding fathers negeri ini. Oleh karena itu, bagi bangsa Indonesia
merawat keragaman menjadi sangat penting. Inilah tugas kita bersama, dan Polri
dengan Hari Bhayangkara sebenarnya telah diingatkan, bahwa hal ini juga
merupakan bagian utama dari tugasnya.
Tidak Mudah
Tentu saja hal ini tidak mudah.
Apalagi persoalan yang dihadapi Polri saat ini sangatlah kompleks. Tidak hanya
menangani masalah kriminalitas, juga berbagai model kejahatan, dimana Polri
dituntut untuk selalu mampu mengatasinya. Belakangan ancaman teror tidak hanya
menyasar lingkungan masyarakat, tetapi sudah secara terang-terangan menjadikan
polisi sasaran utama. Kejadian terakhir, diserangnya markas penjagaan Polda
Sumatera Utara tepat pada Idul Fitri pekan lalu, yang menewaskan anggota yang
sedang berdinas merupakan bukti yang tidak bisa dibantah.
Memang selama ini masih muncul
kritik bahwa Polri institusi yang kaku, konservatif, bersikap bertahan, dan
pada sebagian anggota masih bersikap militeristik. Namun, seperti pernah
dinyatakan David H Bayley dalam bukunya Police for The Future (1994;
diterjemahkan oleh Kunarto, 1998), kondisi tersebut pada saat bersamaan, secara
lambat tapi pasti kepolisian mulai mengkritik dan menilai kembali hampir semua
yang mereka lakukan, tujuan dan misi, strategi-strategi inti, skala kepolisian,
struktur organisasi, praktik manajemen, budaya kerja, otonomi polisi, dan
budaya organisasi. Dalam implementasinya, Polri telah melakukan perbaikan. Ini
artinya kesadaran internal Polri untuk selalu memperbaiki diri, meningkatkan
pelayanan, meningkatkan profesionalisme, secara nyata telah dilakukan.
Dengan demikian, bagi Polri, di
tengah beban berat ini, dalam rangka mewujudkan “pesan“ penetapan 1 Juli
sebagai Hari Bhayangkara, menjaga kebhinnekaan merupakan misi yang harus
dijalankan. Keragaman bagi Bangsa Indonesia adalah keniscayaan. Mengutip pidato
Presiden Joko Widodo pada hari lahir Pancasila 1 Juni 2017: “Harus diingat
bahwa kodrat bangsa lndonesia adalah kodrat keberagaman. Takdir Tuhan untuk
kita adalah keberagaman. Dari Sabang sampai Merauke adalah keberagaman. Dari
Miangas sampai Rote adalah keberagaman. Berbagai etnis, berbagai bahasa lokal,
berbagai adat istiadat, berbagai agama, kepercayaan, serta golongan bersatu
padu membentuk lndonesia. ltulah Bhinneka tunggal ika kita, Indonesia.“
Bagi Polri, merawat kebhinnekaan
adalah keniscayaan. Tidak ada wilayah di bumi Indonesia yang tidak ada anggota
Polri. Dengan kewenangan yang dipunyai, peran luhur untuk menjadi perekat
bangsa bisa dilakukan oleh Polri, dengan pelibatan semua fungsi yang ada, oleh
seluruh jajaran yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu,
pelibatan seluruh anggota Polri melalui tugas pokoknya sebagai anggota Polri
dan perannya sebagai bagian dari komunitas warga, akan sangat berarti melalui
sikap ikut menjaga dan mengajak penyebaran “virus“ toleransi dalam rangka
merawat kebhinnekaan, untuk NKRI tetap kokoh berdiri. Selamat Hari Bhayangkara.
(21)
—
Dr A Wahyurudhanto MSi, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian PTIK,
Jakarta.
*** Tulisan ini sudah dimuat di Harian Suara Merdeka, 1 Juli 2017.