Pilkada, Polri, dan
Demokratisasi
Berbicara mengenai pemilihan kepala daerah di Indonesia,
kita melihat dari masa ke masa selalu ada perubahan yang evolusioner. Pada
mulanya, penguasa lokal ditentukan dengan sistem dinasti (keluarga) secara
turun temurun. Kemudian, pada
masa Orde Baru, model pemilihan kepala daerah berbeda lagi. Masa inilah masa
yang disebut sebagai masa “demokrasi seolah-olah”. Pemilihan kepala daerah
dilakukan oleh DPRD, dengan pemilihan yang katanya disebut sebagai pemilihan
yang “Luber”. Namun kenyataannya, siapa yang akan jadi pemenang sudah diatur
terlebih dahulu. Sehingga pemilihan yang dilakukan secara tertutup oleh anggota
DPRD sebenarnya hanyalah sebuah “sandiwara” saja. Pada proses ini akan ada
calon yang disebut sebagai calon pendamping. Ikut dalam pemilihan kepala
daerah, tetapi jauh-jauh hari sudah tahu akan kalah.
Karenanya, Orde Baru sering disebut sebagai bureaucratic
government, yaitu sebuah pemerintahan yang dikendalikan oleh birokrasi, dan
karena birokrasi di Indonesia dikendalikan oleh ABG, yaitu ABRI (Militer dan
Polisi), Birokrasi, dan (Partai) Golkar, maka sumbernya selalu dari birokrat
atau ABRI. Kondisi inilah yang menyebabkan para petinggi daerah lebih tunduk
pada penguasa di Jakarta (baca: Presiden
dan Mendagri) dari pada dengan rakyat di daerahnya. Pada masa ini proses
pembelajaran politik berupa membangun partisipasi, transparansi, dan
akuntabilitas kepala daerah kepada masyarakat tidak terjadi. Masyarakat
diposisikan pada obyek yang harus mengikuti apa yang dimaui oleh pusat.
Tahun 1988 kemudian menjadi masa bangkitnya demokrasi dan
desentralisasi. Semenjak Orde Baru runtuh, tatanan politik di Indonesia berubah
total. Kekuasaan yang tadinya terpusat pada ABG plus C (Cendana) menjadi cair. Kini kekuasaan justru terpencar ke parlemen, partai,
swasta, masyarakat sipil, maupun preman. Termasuk para ”preman politik”. Maka
yang berlangsung kemudian, peta politik di Indonesia telah bergeser dari yang
tadinya bureaucratic government menjadi party government, executive
heavy menjadi legislatine heavy dan floating mass menjadi mass
society. Konfigurasi ini menjadikan iklim politik di Indonesia menjadi
“aneh”. Aneh dalam arti yang terjadi bukan lagi etika politik yang berlangsung
secara wajar, tetapi adalah bagaimana memaksakan irama politik untuk
kepentingan-kepentingan sesaat. Yang terjadi bukanlah bagaimana memperjuangkan
nilai-nilai ideal jangka panjang dalam kultur politik yang sehat, tetapi justru
“atraksi-atraksi” demi memperjuangkan kepentingan individu dan kelompok.
Akibatnya aroma yang muncul pun menjadi tidak sedap.
Intrik, manipulasi, konspirasi, money politics menjadikan aroma yang
selalu menghiasi percaturan politik saat itu. Partisipasi masyarakat juga tidak terbangun, karena
semuanya dikendalikan oleh parlemen, yakni DPRD. Media massa pun kemudian
selalu dihiasi dengan fakta-fakta berlangsungnya proses politik yang tidak
sehat dan tidak beradab. Fakta yang kita temui, pilkada sering menghasilkan
kepala daerah yang bermasalah. Mulai dari ijazah palsu, preman, pelaku
kriminal, koruptor, sampai kepala daerah yang tidak mempunyai kapabilitas
intelektual yang memadai. Kondisi
inilah yang kemudian menjadikan rakyat semakin tidak percaya dengan para
wakilnya di DPRD maupun dengan pimpinannya yang duduk di jajaran eksekutif.
Ketidakpercayaan (distrust) dan kekecewaan masyarakat terhadap parpol,
DPRD, dan proses Pilkada, sayangnya saat itu tidak berubah menjadi sebuah
gerakan kolektif masyarakat lokal untuk menentang elite lokal secara serius.
Namun kesadaran untuk memperbaiki diri selalu muncul,
sampai pada akhirnya dicoba dengan sebuah momentum baru bagi kancah
perpolitikan lokal di Indonesia. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005 mengenai Tata
Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah,
merupakan tonggak baru penegakan kedaulatan rakyat daerah di Indonesia. Kedua
produk perundangan tersebut memuat ketentuan mengenai pemilihan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah secara langsung (selanjutnya lebih dikenal sebagai
pilkada langsung).
Sudah diperbaiki mekanismenya, dengan harapan akan
memberikan hasil yang lebih baik, tetapi kenyataan yang muncul, pesta demokrasi
tingkat lokal ternyata menjadikan ”demokrasi biaya tinggi”. Kesadaran untuk
berbenah, akhirnya bersandar pada regulasi baru, yaitu pelaksanaan pemilihan
kepala daerah secara serentak. Tanggal 9
Desember 2015 telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai hari
pemungutan suara bagi sebagian wilayah pemerintahan di Indonesia. Sesuai dengan
pengaturan yang telah ditentukan, sejak diberlakukannya UU No 8 tahun 2015
tentang Pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang baru, proses pemilihan Bupati,
walikota dan gubernur beserta wakilnya akan dilakukan secara serempak.
***
Dengan mempertimbangkan masa berlakunya pemerintahan
masing-masing kepala daerah tersebut, KPU telah membaginya ke dalam dua masa
pemilihan serempak, yakni 2015 dan 2017. Untuk tahun 2015 yang pelaksanaannya
jatuh pada 9 Desember 2015, pilkada yang dimaksud akan dilakukan di 260 daerah
tingkat II (kabupaten dan kota) serta 9 daerah tingkat I atau provinsi. Sisanya
akan menyelenggarakan Pemilukada pada April 2017. Pemilihan kepala daerah pada
tanggal 9 Desember secara umum berjalan dengan baik. Namun begitu, untuk pihak
yang keberatan akan hasil pilkada bisa mengajukan gugatan sengketa pilkada. Sesuai
dengan ketentuan Pasal 157 ayat (5) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota Menjadi Undang-Undang, MK membuka pendaftaran perselisihan hasil
pilkada serentak pasca penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh KPU
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota pada 16-22 Desember 2015. Pada
tenggang waktuyang ditetapkan ditutup, totalkeseluruhan jumlah gugatan yang
masuk ke MK berjumlah 145 gugatan yang berasal dari 10 kota, 103 kabupaten dan
6 provinsi.
Kini saat Jurnal Ilmu
Kepolisian edisi ini terbit, kita sedang menunggu keputusan sidang sengketa
pilkada oleh Mahkamah Konstitusi. Namun, terlepas dari segala kekuarangan yang
ada, kita boleh bangga, bahwa Pilkada berjalan dengan sukses, demokrasi lokal
bisa terlaksana, dan keberhasilan tersebut tidak bisa lepas dari peran
Kepolisian Negara RI. Melalui tugas pokok dan fungsinya, jajaran Polri telah
mampu menjaga pesta demokrasi ini berjalan dengan lancar. Tentu kini
pertanyaannya, lalu apa hubungan antara Pilkada dan Polri ? Bukankah anggota
Polri tidak ikut dalam pilkada. Justru di sinilah kuncinya, netralitas yang
benar-benar terjaga telah menjadikan pelaksanaan Pilkada Serentak berjalan
dengan lancar.
Kapolri, Jenderal Badrodin
Haiti, jauh-jauh hari sudah menyatakan, bahwa
dalam rangka pelaksanaan pilkada serentak, tugas Polri adalah mewujudkan
kamtibmas yang kondusif sehingga Pelaksanaan Pilkada serentak berlangsung
lancar. Dengan kondisi seperti itu, masyarakat bisa melaksanakan hak pilih
dengan aman dan demokratis.
Selain itu juga ada kewajiban menjaga keamanan, dan melaksanakan penegakan
hukum. Dalam menjaga keamanan misalnya, Polri mempunyai
kewajiban pengawalan distribusi logistik pilkada sehingga tidak ada yang
tersendat. Selain itu, kepolisian juga akan menjamin rasa aman penyelenggara
pemilu seperti ketua KPU dan Bawaslu dan jajarannya. Oleh karena itu dalam setiap tahapan pemilu, Polri
selalu hadir. Mulai dari rapat-rapat awal, distribusi logistik pilkada,
kampanye, saat hari H, sampai pasca Pilkada, yaitu penentuan pemenang pilkada,
dan pada kegiatan selanjutnya adalah pelantikan kepala daerah terpilih.
Jika kita menyimak evolusi
penyelenggaraan pilkada di Indonesia, paradigma pemilih yang ditunjukkan dengan
perilaku masyarakaat dan suasana pilkada, maka pelaksanaan pilkada serentak
menunjukkan ada “budaya baru” yang harus bisa diinisasi oleh masyarakat,
penyelenggara pemilu yaitu KPU, serta oleh aparatur negara. Polri ternyata
berhasl menempatkan diri, tanpa harus ikut terbawa pada euforia atau fanatisme
demokrasi yang kadang kala justru kontra produktif dengan implementasi
demokrasi yang kita harapkan. Poin inilah yang harus diapreasiasi, disamping
keberhasilan tugas-tugas kepolisian yang lainnya.
Salah satu hal menonjol yang
selama ini terus dilakukan oleh Polri, adalah upaya mewujudkan tingkat
ketenangan dalam masyarakat, karena hal inilah yang menjadi prasyarat yang
diperlukan untuk menjamin masyarakat yang sejahtera. Kaitan antara keamanan
dana penikmatan hak-hak sipil dan politik, maupun ekonomi, sosial dan budaya
secara penuh, kini semakin diakui sebagai bentuk perwujudan kehidupan yang
beradab. Demokratisasi melalui pemilihan kepala daerah serentak, merupakan
salah satu cara untuk mencapai keberadaban tersebut. Dan di sini, Polri telah
menunjukkan posisinya secara jelas dan tegas. Harapannya, tentu saja, pilkada
serentak periode berikutnya dapat berjalan dengan lebih baik. Demokratisasi
yang ditunjukkan dengan pelaksanaan pilkada serentak yang aman dan lancar,
adalah bukti keseriusan Polri untuk mengawal keberadaban kehidupan publik
melalui jaminan terlaksananya demokratisasi di negeri ini.
A.Wahyurudhanto
Pimpinan
Redaksi “Jurnal Ilmu Kepolisian”
** Artikel ini sudah dimuat di Jurnal Ilmu Kepolisian, Edisi 084, Desember 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar