Minggu, 02 Juli 2017

Artikel : Pilkada, Polri, dan Demokratisasi



Pilkada, Polri, dan Demokratisasi


Berbicara mengenai pemilihan kepala daerah di Indonesia, kita melihat dari masa ke masa selalu ada perubahan yang evolusioner. Pada mulanya, penguasa lokal ditentukan dengan sistem dinasti (keluarga) secara turun temurun. Kemudian, pada masa Orde Baru, model pemilihan kepala daerah berbeda lagi. Masa inilah masa yang disebut sebagai masa “demokrasi seolah-olah”. Pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD, dengan pemilihan yang katanya disebut sebagai pemilihan yang “Luber”. Namun kenyataannya, siapa yang akan jadi pemenang sudah diatur terlebih dahulu. Sehingga pemilihan yang dilakukan secara tertutup oleh anggota DPRD sebenarnya hanyalah sebuah “sandiwara” saja. Pada proses ini akan ada calon yang disebut sebagai calon pendamping. Ikut dalam pemilihan kepala daerah, tetapi jauh-jauh hari sudah tahu akan kalah.
Karenanya, Orde Baru sering disebut sebagai bureaucratic government, yaitu sebuah pemerintahan yang dikendalikan oleh birokrasi, dan karena birokrasi di Indonesia dikendalikan oleh ABG, yaitu ABRI (Militer dan Polisi), Birokrasi, dan (Partai) Golkar, maka sumbernya selalu dari birokrat atau ABRI. Kondisi inilah yang menyebabkan para petinggi daerah lebih tunduk pada penguasa di Jakarta (baca:  Presiden dan Mendagri) dari pada dengan rakyat di daerahnya. Pada masa ini proses pembelajaran politik berupa membangun partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas kepala daerah kepada masyarakat tidak terjadi. Masyarakat diposisikan pada obyek yang harus mengikuti apa yang dimaui oleh pusat.
Tahun 1988 kemudian menjadi masa bangkitnya demokrasi dan desentralisasi. Semenjak Orde Baru runtuh, tatanan politik di Indonesia berubah total. Kekuasaan yang tadinya terpusat pada ABG plus C (Cendana) menjadi cair. Kini kekuasaan justru terpencar ke parlemen, partai, swasta, masyarakat sipil, maupun preman. Termasuk para ”preman politik”. Maka yang berlangsung kemudian, peta politik di Indonesia telah bergeser dari yang tadinya bureaucratic government menjadi party government, executive heavy menjadi legislatine heavy dan floating mass menjadi mass society. Konfigurasi ini menjadikan iklim politik di Indonesia menjadi “aneh”. Aneh dalam arti yang terjadi bukan lagi etika politik yang berlangsung secara wajar, tetapi adalah bagaimana memaksakan irama politik untuk kepentingan-kepentingan sesaat. Yang terjadi bukanlah bagaimana memperjuangkan nilai-nilai ideal jangka panjang dalam kultur politik yang sehat, tetapi justru “atraksi-atraksi” demi memperjuangkan kepentingan individu dan kelompok.
Akibatnya aroma yang muncul pun menjadi tidak sedap. Intrik, manipulasi, konspirasi, money politics menjadikan aroma yang selalu menghiasi percaturan politik saat itu. Partisipasi masyarakat juga tidak terbangun, karena semuanya dikendalikan oleh parlemen, yakni DPRD. Media massa pun kemudian selalu dihiasi dengan fakta-fakta berlangsungnya proses politik yang tidak sehat dan tidak beradab. Fakta yang kita temui, pilkada sering menghasilkan kepala daerah yang bermasalah. Mulai dari ijazah palsu, preman, pelaku kriminal, koruptor, sampai kepala daerah yang tidak mempunyai kapabilitas intelektual yang memadai. Kondisi inilah yang kemudian menjadikan rakyat semakin tidak percaya dengan para wakilnya di DPRD maupun dengan pimpinannya yang duduk di jajaran eksekutif. Ketidakpercayaan (distrust) dan kekecewaan masyarakat terhadap parpol, DPRD, dan proses Pilkada, sayangnya saat itu tidak berubah menjadi sebuah gerakan kolektif masyarakat lokal untuk menentang elite lokal secara serius.
Namun kesadaran untuk memperbaiki diri selalu muncul, sampai pada akhirnya dicoba dengan sebuah momentum baru bagi kancah perpolitikan lokal di Indonesia. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005 mengenai Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah, merupakan tonggak baru penegakan kedaulatan rakyat daerah di Indonesia. Kedua produk perundangan tersebut memuat ketentuan mengenai pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung (selanjutnya lebih dikenal sebagai pilkada langsung).
Sudah diperbaiki mekanismenya, dengan harapan akan memberikan hasil yang lebih baik, tetapi kenyataan yang muncul, pesta demokrasi tingkat lokal ternyata menjadikan ”demokrasi biaya tinggi”. Kesadaran untuk berbenah, akhirnya bersandar pada regulasi baru, yaitu pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara serentak. Tanggal 9 Desember 2015 telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai hari pemungutan suara bagi sebagian wilayah pemerintahan di Indonesia. Sesuai dengan pengaturan yang telah ditentukan, sejak diberlakukannya UU No 8 tahun 2015 tentang Pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang baru, proses pemilihan Bupati, walikota dan gubernur beserta wakilnya akan dilakukan secara serempak.
***
Dengan mempertimbangkan masa berlakunya pemerintahan masing-masing kepala daerah tersebut, KPU telah membaginya ke dalam dua masa pemilihan serempak, yakni 2015 dan 2017. Untuk tahun 2015 yang pelaksanaannya jatuh pada 9 Desember 2015, pilkada yang dimaksud akan dilakukan di 260 daerah tingkat II (kabupaten dan kota) serta 9 daerah tingkat I atau provinsi. Sisanya akan menyelenggarakan Pemilukada pada April 2017. Pemilihan kepala daerah pada tanggal 9 Desember secara umum berjalan dengan baik. Namun begitu, untuk pihak yang keberatan akan hasil pilkada bisa mengajukan gugatan sengketa pilkada. Sesuai dengan ketentuan Pasal 157 ayat (5)  UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, MK membuka pendaftaran perselisihan hasil pilkada serentak pasca penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota   pada 16-22 Desember 2015. Pada tenggang waktuyang ditetapkan ditutup, totalkeseluruhan jumlah gugatan yang masuk ke MK berjumlah 145 gugatan yang berasal dari 10 kota, 103 kabupaten dan 6 provinsi.
Kini saat Jurnal Ilmu Kepolisian edisi ini terbit, kita sedang menunggu keputusan sidang sengketa pilkada oleh Mahkamah Konstitusi. Namun, terlepas dari segala kekuarangan yang ada, kita boleh bangga, bahwa Pilkada berjalan dengan sukses, demokrasi lokal bisa terlaksana, dan keberhasilan tersebut tidak bisa lepas dari peran Kepolisian Negara RI. Melalui tugas pokok dan fungsinya, jajaran Polri telah mampu menjaga pesta demokrasi ini berjalan dengan lancar. Tentu kini pertanyaannya, lalu apa hubungan antara Pilkada dan Polri ? Bukankah anggota Polri tidak ikut dalam pilkada. Justru di sinilah kuncinya, netralitas yang benar-benar terjaga telah menjadikan pelaksanaan Pilkada Serentak berjalan dengan lancar.
Kapolri, Jenderal Badrodin Haiti, jauh-jauh hari sudah menyatakan, bahwa  dalam rangka pelaksanaan pilkada serentak, tugas Polri adalah mewujudkan kamtibmas yang kondusif sehingga Pelaksanaan Pilkada serentak berlangsung lancar. Dengan kondisi seperti itu, masyarakat bisa melaksanakan hak pilih dengan aman dan demokratis. Selain itu juga ada kewajiban menjaga keamanan, dan melaksanakan penegakan hukum. Dalam menjaga keamanan misalnya, Polri mempunyai kewajiban pengawalan distribusi logistik pilkada sehingga tidak ada yang tersendat. Selain itu, kepolisian juga akan menjamin rasa aman penyelenggara pemilu seperti ketua KPU dan Bawaslu dan jajarannya. Oleh karena itu dalam setiap tahapan pemilu, Polri selalu hadir. Mulai dari rapat-rapat awal, distribusi logistik pilkada, kampanye, saat hari H, sampai pasca Pilkada, yaitu penentuan pemenang pilkada, dan pada kegiatan selanjutnya adalah pelantikan kepala daerah terpilih.
Jika kita menyimak evolusi penyelenggaraan pilkada di Indonesia, paradigma pemilih yang ditunjukkan dengan perilaku masyarakaat dan suasana pilkada, maka pelaksanaan pilkada serentak menunjukkan ada “budaya baru” yang harus bisa diinisasi oleh masyarakat, penyelenggara pemilu yaitu KPU, serta oleh aparatur negara. Polri ternyata berhasl menempatkan diri, tanpa harus ikut terbawa pada euforia atau fanatisme demokrasi yang kadang kala justru kontra produktif dengan implementasi demokrasi yang kita harapkan. Poin inilah yang harus diapreasiasi, disamping keberhasilan tugas-tugas kepolisian yang lainnya.
Salah satu hal menonjol yang selama ini terus dilakukan oleh Polri, adalah upaya mewujudkan tingkat ketenangan dalam masyarakat, karena hal inilah yang menjadi prasyarat yang diperlukan untuk menjamin masyarakat yang sejahtera. Kaitan antara keamanan dana penikmatan hak-hak sipil dan politik, maupun ekonomi, sosial dan budaya secara penuh, kini semakin diakui sebagai bentuk perwujudan kehidupan yang beradab. Demokratisasi melalui pemilihan kepala daerah serentak, merupakan salah satu cara untuk mencapai keberadaban tersebut. Dan di sini, Polri telah menunjukkan posisinya secara jelas dan tegas. Harapannya, tentu saja, pilkada serentak periode berikutnya dapat berjalan dengan lebih baik. Demokratisasi yang ditunjukkan dengan pelaksanaan pilkada serentak yang aman dan lancar, adalah bukti keseriusan Polri untuk mengawal keberadaban kehidupan publik melalui jaminan terlaksananya demokratisasi di negeri ini.

A.Wahyurudhanto
Pimpinan Redaksi “Jurnal Ilmu Kepolisian” 

** Artikel ini sudah dimuat di Jurnal Ilmu Kepolisian, Edisi 084, Desember 2015.

Tidak ada komentar: