Pemolisian
dan Kinerja Polri
Berbicara mengenai
pemolisian sebagai terjemahan dari policing,
maka kita akan selalu fokus
pada pemberdayaan segenap komponen dan segala sumber daya yang dapat dilibatkan
dalam pelaksanaan tugas atau fungsi kepolisian. Dalam hal ini guna mendukung
penyelenggaraan fungsi kepolisian agar mendapatkan hasil yang lebih optimal.
Dengan demikian pemolisian akan berbicara mengenai berbagai hal-ikhwal tentang
kepolisian, yang berujung pada konteks bagaimana kinerja kepolisian mampu memberikan
peran yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Secara universal tugas polisi
yaitu melakukan perlindungan (to protect)
dan pelayanan (to serve). Di
Indonesia, hal ini ditanbah dengan unsur ”melayani”. Peran ini secara filosofis
sangatlah mendalam, karena melakukan perlindungan dan pelayanan adalah peran
hakiki untuk menempatkan manusia sebagai makhluk yang harus dijaga
kehormatannya. Sedangkan mengayomi, adalah peran yang hanya dapat dirasakan,
unsur kemistri kedekatannya akan lebih menyentuh kadar emosional.
Almarhum Profesor Satjipto Rahardjo pernah mengemukakan rumus unik panduan
polisi ketika menjalankan tugas. Menurutnya, keberhasilan tugas polisi
ditentukan dengan rumus “O 2 + H”. Unik memang, seperti rumus kimia saja.
Tetapi ketika dijelaskan bahwa maksud O 2 + H itu maksudnya adalah Otot, Otak
dan Hati Nurani, baru kita mafhum, apa yang menjadi pemikiran beliau. Menurut
Prof Tjip, polisi dalam pekerjaannya menghadapi berbagai risiko bahaya yang
besar. Dan kehadiran bahaya tersebut secara sosiologis mewarnai pekerjaan
polisi, bahkan mewarnai kepribadian
kerja dari polisi itu sendiri. Karena
itu wajar polisi disebut sebagai aparat hukum istimewa, karena posisinya yang
sedemikian rupa sehingga dekat dengan masyarakat. Interaksi antara masyarakat dengan polisi itu sangat intensif
sekali, sehingga menjadikan pekerjaan polisi agak khas dibanding aparat penegak
hukum yang lainnya seperti hakim dan jaksa. Tapi yang terjadi saat ini, justru
kedekatan tersebut ternyata bisa menjadi bumerang bagi polisi. Karena kedekatan
jika tidak diimbangi hati nurani akan menghasilkan tindakan kolutif.
Oleh karena itu, dikaitkan
dengan kinerja Polri saat ini, sangatlah tepat dengan arah kebijakan yang
diterapkan oleh Kapolri. Setelah dilantik sebagai Kapolri, Jenderal Polisi Tito
Karnavian mempunyai Program “Promoter” yaitu Profesional, Modern dan
Terpercaya. Profesional, maksudnya adakah meningkatkan kompetensi SDM Polri
yang semakin berkualitas melalui peningkatan kapasitas pendidikan dan
pelatihan, serta melakukan pola-pola pemolisian berdasarkan prosedur baku yang
sudah dipahami, dilaksanakan, dan dapat diukur keberhasilannya. Modern, yaitu melakukan
modernisasi dalam layanan publik yang didukung teknologi sehingga semakin mudah
dan cepat diakses oleh masyarakat, termasuk pemenuhan kebutuhan Almatsus dan
Alpakam yang makin modern. Serta terpercaya, yaitu melakukan reformasi internal
menuju Polri yang bersih dan bebas dari KKN, guna terwujudnya penegakan hukum
yang obyektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
Tentu saja untuk mencapai
keberhasilan program Promoter ini tidaklah mudah. Di sinilah berbagai aktivitas
yang berkaitan dengan pemolisian harus didisain sedemikian rupa, sehingga
langkah menuju pencapaian tersebut dapat efektif. Diperlukan pola pemolisian yang
tepat. Kondisi Indonesia dengan geografis yang spesifik, dengan penduduk yang
sangat plural, tentu saja membutuhkan penanganan secara khusus. Banyak
keberhasilan yang sudah dicapai oleh Polri. Pengungkakan tindak pidana terorisme,
bahkan prestasi yang terakhir (Desember 2016), adalah mampu mencegah rencana
teror bom, telah menunai pujian dan apresiasi dari banyak pihak. Belum lagi
keberhasilan dalam mencegah peredaran narkoba, serta inovasi-inovasi di bidang
lalu lintas. Pendeknya sederet preestasi bisa kita tunjukkan.
Tetapi yang masih
memperihatinkan, adalah kepercayaan masyarakat yang belum bisa total memberikan
dukungan pada eksistensi dan apresiasi positif atas kinerja Polri. Legitimasi
Polri masih kadang-kadang merosot. Banyak kejadian yang sebetulnya hanya
dilakukan oleh oknum Polri, atau kritik yang masif melalui media massa atau
media sosial oleh masyarakat, sering kali berdampak negatif pada organisasi.
Ini menunjukkan bahwa masih ada hal-hal yang bisa menjadi penghambat legitimasi
masyarakat terhafdapo kinerja Polri. Padahal, salah satu faktor dominan untuk
keberhasilan kinerja Polri adalah adanya kepercayaan yang tinggi dari
masyarakat, inilah faktor legitimasi. Jika legitimasi sudah kuat, maka jalan
untuk lebih meningkatkan kinerja akan semakin lempang. Di sinilah perumusan
kebijakan mengenai pemolisian yang konteks dengan situasi dan kondisi internal serta
eksternal Polri harus mampu diformulasikan, agar langkah-langkah yang dilakukan
Polri bisa selalu mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Legitimasi adalah
modal sosial yang sangat dominan dalam rangka menjadikan Polri semakin kokoh
untuk menjalankan tugas pokoknya. (*)
Dr. A. Wahyurudhanto, M.Si
Pemimpin
Redaksi “Jurnal Ilmu Ke;polisian”
** Tulisan ini sudah dimuat di Jurnal Ilmu Kepolisian, Edisi 087, Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar