Minggu, 02 Juli 2017

Artikel : Pemolisian dan Kinerja Polri



Pemolisian dan Kinerja Polri

Berbicara mengenai pemolisian sebagai terjemahan dari policing, maka kita akan selalu fokus pada pemberdayaan segenap komponen dan segala sumber daya yang dapat dilibatkan dalam pelaksanaan tugas atau fungsi kepolisian. Dalam hal ini guna mendukung penyelenggaraan fungsi kepolisian agar mendapatkan hasil yang lebih optimal. Dengan demikian pemolisian akan berbicara mengenai berbagai hal-ikhwal tentang kepolisian, yang berujung pada konteks bagaimana kinerja kepolisian mampu memberikan peran yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Secara universal tugas polisi yaitu melakukan perlindungan (to protect) dan pelayanan (to serve). Di Indonesia, hal ini ditanbah dengan unsur ”melayani”. Peran ini secara filosofis sangatlah mendalam, karena melakukan perlindungan dan pelayanan adalah peran hakiki untuk menempatkan manusia sebagai makhluk yang harus dijaga kehormatannya. Sedangkan mengayomi, adalah peran yang hanya dapat dirasakan, unsur kemistri kedekatannya akan lebih menyentuh kadar emosional.
Almarhum Profesor Satjipto Rahardjo pernah mengemukakan rumus unik panduan polisi ketika menjalankan tugas. Menurutnya, keberhasilan tugas polisi ditentukan dengan rumus “O 2 + H”. Unik memang, seperti rumus kimia saja. Tetapi ketika dijelaskan bahwa maksud O 2 + H itu maksudnya adalah Otot, Otak dan Hati Nurani, baru kita mafhum, apa yang menjadi pemikiran beliau. Menurut Prof Tjip, polisi dalam pekerjaannya menghadapi berbagai risiko bahaya yang besar. Dan kehadiran bahaya tersebut secara sosiologis mewarnai pekerjaan polisi, bahkan mewarnai  kepribadian kerja dari polisi itu sendiri.  Karena itu wajar polisi disebut sebagai aparat hukum istimewa, karena posisinya yang sedemikian rupa sehingga dekat dengan masyarakat. Interaksi antara  masyarakat dengan polisi itu sangat intensif sekali, sehingga menjadikan pekerjaan polisi agak khas dibanding aparat penegak hukum yang lainnya seperti hakim dan jaksa. Tapi yang terjadi saat ini, justru kedekatan tersebut ternyata bisa menjadi bumerang bagi polisi. Karena kedekatan jika tidak diimbangi hati nurani akan menghasilkan tindakan kolutif.
Oleh karena itu, dikaitkan dengan kinerja Polri saat ini, sangatlah tepat dengan arah kebijakan yang diterapkan oleh Kapolri. Setelah dilantik sebagai Kapolri, Jenderal Polisi Tito Karnavian mempunyai Program “Promoter” yaitu Profesional, Modern dan Terpercaya. Profesional, maksudnya adakah meningkatkan kompetensi SDM Polri yang semakin berkualitas melalui peningkatan kapasitas pendidikan dan pelatihan, serta melakukan pola-pola pemolisian berdasarkan prosedur baku yang sudah dipahami, dilaksanakan, dan dapat diukur keberhasilannya. Modern, yaitu melakukan modernisasi dalam layanan publik yang didukung teknologi sehingga semakin mudah dan cepat diakses oleh masyarakat, termasuk pemenuhan kebutuhan Almatsus dan Alpakam yang makin modern. Serta terpercaya, yaitu melakukan reformasi internal menuju Polri yang bersih dan bebas dari KKN, guna terwujudnya penegakan hukum yang obyektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
Tentu saja untuk mencapai keberhasilan program Promoter ini tidaklah mudah. Di sinilah berbagai aktivitas yang berkaitan dengan pemolisian harus didisain sedemikian rupa, sehingga langkah menuju pencapaian tersebut dapat efektif. Diperlukan pola pemolisian yang tepat. Kondisi Indonesia dengan geografis yang spesifik, dengan penduduk yang sangat plural, tentu saja membutuhkan penanganan secara khusus. Banyak keberhasilan yang sudah dicapai oleh Polri. Pengungkakan tindak pidana terorisme, bahkan prestasi yang terakhir (Desember 2016), adalah mampu mencegah rencana teror bom, telah menunai pujian dan apresiasi dari banyak pihak. Belum lagi keberhasilan dalam mencegah peredaran narkoba, serta inovasi-inovasi di bidang lalu lintas. Pendeknya sederet preestasi bisa kita tunjukkan.
Tetapi yang masih memperihatinkan, adalah kepercayaan masyarakat yang belum bisa total memberikan dukungan pada eksistensi dan apresiasi positif atas kinerja Polri. Legitimasi Polri masih kadang-kadang merosot. Banyak kejadian yang sebetulnya hanya dilakukan oleh oknum Polri, atau kritik yang masif melalui media massa atau media sosial oleh masyarakat, sering kali berdampak negatif pada organisasi. Ini menunjukkan bahwa masih ada hal-hal yang bisa menjadi penghambat legitimasi masyarakat terhafdapo kinerja Polri. Padahal, salah satu faktor dominan untuk keberhasilan kinerja Polri adalah adanya kepercayaan yang tinggi dari masyarakat, inilah faktor legitimasi. Jika legitimasi sudah kuat, maka jalan untuk lebih meningkatkan kinerja akan semakin lempang. Di sinilah perumusan kebijakan mengenai pemolisian yang konteks dengan situasi dan kondisi internal serta eksternal Polri harus mampu diformulasikan, agar langkah-langkah yang dilakukan Polri bisa selalu mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Legitimasi adalah modal sosial yang sangat dominan dalam rangka menjadikan Polri semakin kokoh untuk menjalankan tugas pokoknya. (*)

Dr. A. Wahyurudhanto, M.Si
Pemimpin Redaksi “Jurnal Ilmu Ke;polisian”

** Tulisan ini sudah dimuat di Jurnal Ilmu Kepolisian, Edisi 087, Desember 2016 

Tidak ada komentar: