Keamanan Nasional
Belakangan ini, wacana tentang
masalah
Keamanan Nasional (Kamnas) kembali
menghangat, setelah selama bertahun-tahun didiskusikan dalam berbagai forum. Hal
ini bisa kita lihat sebagai suatu kewajaran, jika kita sadar inilah konsekuensi
sejak adanya keputusan politik mengenai pemisahan TNI – Polri. Wacana ini
muncul dan terkesan kemudian menjadi materi “perdebatan” di area publik, karena
adanya perbedaan sudut pandang mengenai apa yang sudah dirumuskan pada Pasal
30 UUD 1945 yang dikaitkan dengan makna yang tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor
VI dan VII sebagai suatu kesatuan yang melengkapi yang bersama-sama ditetapkan
dalam Sidang Umum MPR tahun 2000.
Ada
dua permasalahan yang sampai
saat ini menjadi perdebatan dari rumusan pasal 30
UUD 1945, yaitu frasa “usaha pertahanan dan keamanan negara”. Pertama, apakah
Hankamneg merupakan dua fungsi (konsep), yaitu fungsi pertahanan dan keamanan
(negara), atau merupakan satu kesatuan fungsi. Persandingan kata “pertahanan”
(upaya atau proses) dan kata “keamanan” (kondisi atau outcomes) menimbulkan persoalan dari segi semantik bahasa, sehingga
tidak mungkin dipandang sebagai dua fungsi.
Pada naskah kajian
konstitusional tentang Peranan Polri dalam Pengelolaan Keamanan Negara (Markas
Besar Kepolisian Negara RI, 2005),
secara tegas disebutkan bahwa dengan mengkaitkan pada
Tap MPR Nomor VI dengan TAP MPR Nomor VII, maka yang menjadi tugas Polri hanya
menyangkut “keamanan dan ketertiban masyarakat” dalam menjamin “keamanan dalam
negeri”. Sehingga kemudian menjadi perdebatan, kalau
begitu siapa yang menjadi penjuru untuk sektor keamanan negara, karena pada Tap
MPR Nomor VI dan VII Tahun 2000, sudah secara tegas disebutkan, urusan keamanan
adalah wilayahnya Polri, dan urusan pertahanan sebagai wilayahnya TNI.
Jika merujuk pada pandangan
konvensional, konsep keamanan nasional lebih ditekankan pada kemampuan
pemerintah untuk melindungi integritas teritorial suatu negara dari ancaman
yang datang dari luar dan maupun dari dalam negara tersebut (Institute for Defense Security and Peace
Studies /
IDSPS, pada Cahya Suryana,
2008). Keamanan nasional merupakan elemen yang melekat dalam tujuan
penyelenggaraan negara. Terwujudnya negara yang aman dan damai merupakan upaya
menciptakan suatu kondisi yang bebas dari bahaya dan segala bentuk gangguan
atau ancaman baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Rasa aman dan damai
tercermin dari keadaan tenteram, tidak ada rasa takut ataupun khawatir, tidak
terjadi konflik antar individu atau kelompok, tidak ada kerusuhan, serta hidup
rukun dalam suatu sistem hukum.
Statement yang dilontarkan
oleh IDSPS (2008) lebih tegas lagi ketika menyatakan, bahwa
keamanan nasional merupakan perwujudan dari konsep keamanan menyeluruh yang
memiliki empat dimensi yaitu pertahanan negara, stabilitas dalam negeri,
ketertiban publik, dan keamanan insani. Keempat dimensi tersebut mendefinisikan
keamanan nasional sebagai upaya politik pemerintah yang bertujuan menciptakan
kondisi aman bagi terselenggaranya pemerintahan serta kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kondisi aman merupakan prasarat meraih untuk kepentingan nasional yang terbebas
dari berbagai bentuk gangguan dan ancaman yang berasal dari dalam dan luar
negeri. Dalam perdebatan
publik, juga muncul pendapat yang dikemukakan oleh Indonesian
Working Group on Security Sector Reform, bahwa pemahaman tentang keamanan nasional yang
mencakup aspek keamanan manusia (human security) dan kedaulatan negara (sovereignty). (Propatria, 2003).
Wacana ini berkembang
dengan masif, ketika kemudian perdebatan ini
mencoba merujuk dengan apa yang sudah ditegaskan dalam UUD 1945. Pemahaman
mengenai pertahanan dan keamanan ini sangat lekat, karena pada Undang Undang
Dasar RI 1945 jelas-jelas disebutkan bahwa keamanan masuk dalam pembahasan
pertahanan negara. Pada UUD RI 1945 asli, Pasal 30 ayat (1) menyebutkan bahwa
tiap-tiap warga negara berhak dan wajib
ikut serta dalam usaha pembelaan negara. Kemudian pada UUD RI 1945
setelah amandemen, pada Pasal 30 ayat (2), yang merupakan bagian dari Bab XII
tentang Pertahanan Negara, disebutkan: Usaha pertahanan dan keamanan negara
dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan
utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.
***
Maka, Menyikapi wacana tentang
keamanan, terutama setelah RUU Keamanan Nasional masuk dalam Program Legislasi
Nasional 2014-2019, kita perlu mendudukan masalah ini bagi kepentingan
kemaslahatan bangsa. Sampai saat ini, harus diakui, pro dan kontra mengenai
perlu atau tidaknya pembahasan RUU tentang Keamanan Nasional masih
mengemuka. Bagus Anwar, mahasiswa
Pascasarjana Ketahanan Nasional UGM, dalam blog Kompasiana, menuliskan, mengenai Rancangan
Undang-Undang Keamanan Nasional, masih banyak pasal-pasal yang kontroversial, karena
ditakutkan adidaya militer akan kembali muncul seperti pada zaman orde baru.
Bukan berarti harus meniadakan undang-undang Keamanan Nasional. Akan tetapi
menilik, memilih dan memiliah kembali aturan yang seharusnya ada dalam
Undang-undang Keamanan Nasional.
Supaya kestabilan keamanan dalam intern negara sendiri akan terwujud. Keamanan
Nasional sendiri tentunya harusnya dibuat dengan landasan asas demokrasi dan
membatasi kemutlakan militer dalam menangani hal-hal yang sifatnya bukan
tanggung jawabnya. Supaya supremasi hukum dan hak-hak individual masyarakat pun
bisa tercapai.
Dalam pandangannya dinyatakan,
Indonesia
merupakan salah satu negara yang belum memiliki UU Keamanan Nasional.
Keberadaan UU ini diharapkan dapat meningkatkan keamanan di Indonesia. Karena
melihat intensitas kerusuhan yang terus meningkat. Namun bila sejumlah pasal
tidak dikaji ulang, dikhawatirkan berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Karenanya perlu diatur lebih baik agar warga yang berkehidupan di Indonesia
tidak melanggar peraturan yang ada. Tentu saja pandangan ini dilatarbelakangi dengan pemikiran bahwa Negara
Indonesia perlu memiliki sistem dan aturan mengenai keamanan nasional yang
diatur dalam bentuk Undang-undang. Tidak salah memang pendapat ini, tetapi dengan regulasi yang sudah ada,
bukankah ini kesannya menjadi berlebihan, karena memunculkan pemikiran bahwa
ada kekhawatiran masalah keamanan di negeri ini akan menjadi masalah jika tidak
ada payung hukum, yaitu Undang-Undang Keamanan Nasional.
***
Kiranya perlu dipahami, bahwa
pemisahan bidang pertahanan dan
keamanan bukan berarti bahwa upaya pertahanan hanya menjadi tanggung jawab TNI
dan hanya dilaksanakan oleh TNI semata, sedangkan upaya keamanan hanya menjadi
tanggung jawab Polri yang hanya dilaksanakan oleh Polri semata, karena baik
bidang pertahanan ataupun bidang keamanan semuanya tidak hanya dilakukan oleh
TNI dan Polri, melainkan juga oleh segenap komponen bangsa atau komponen
masyarakat. Tidak bisa dimungkiri, bahwa munculnya
RUU Kamnas pada perkembangannya telah memicu perdebatan seputar beberapa
substansi dalam RUU. Perdebatan ini terjadi dikarenakan adanya perbedaan
pandangan dan persepsi terkait makna dan konsepsi dari Keamanan Nasional itu
sendiri.
Sejatinya Pasal 30 UUD 1945, hanya mengenal konsep
pertahanan negara dan keamanan negara, tidak mengenal konsep Keamanan
Nasional. Oleh karena itu, secara
filosofis dan konstitusional, konsep Keamanan Nasional sebenarnya tidak dikenal
dan tidak memiliki dasar di Indonesia.
Perdebatan mengenai pengertian dan ruang lingkup tersebut kemudian
memunculkan alternatif istilah “keamanan negara” (Kamneg) yang memberikan
batasan terhadap ruang lingkup yang lebih spesifik. Argumen dibalik pemilihan “Keamanan Nasional”
adalah bahwa dimensi-dimensi non militer memiliki dampak yang signifikan
terhadap keamanan dan stabilitas, dan oleh karenanya maka pengelolaan keamanan
seharusnya mencakup baik pertahanan negara, keamanan negara, keamanan umum,
maupun keamanan individu.
Dalam tataran yang lebih operasional, sebenarnya telah
ada beberapa peraturan perundang-undangan di bidang keamanan yakni UU Nomor 3
Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, dan
tentunya sebagai pilar utama dalam keamanan adalah UU Nomor 2 Tahun 2002
tentang Polri, sebagai basis dasar legal dalam memperkuat sistem keamanan.
Sebelum beberapa peraturan perundangan tersebut terbentuk, juga terdapat TAP
MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR Nomor
VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri, yang merupakan pijakan awal
dalam melakukan perubahan di sektor keamanan di masa reformasi. Harus diakui
terbentuknya beberapa aturan tersebut merupakan capaian positif dari reformasi
sektor keamanan. Tentu saja harus diakui bahwa beberapa aturan tersebut masih
memiliki berbagai kelemahan dan kekurangan sehingga menimbulkan masalah
tersendiri dalam tingkatan konsepsional dan implementasi. Namun, yang penting,
jangan sampai kemudian pandangan tersebut berubah, bahwa karena ada kelemahan-kelemahan
legislasi bidang keamanan berarti harus penataan ulang sistem keamanan.
Sektor
keamanan (security sector) menurut Adrianus Meliala (2010), pada
dasarnya adalah suatu konsep yang umum dipergunakan oleh lembaga-lembaga
multilateral terhadap keberadaan dan aktivitas beberapa lembaga yang secara
langsung maupun tidak langsung terlibat dan memiliki peranan dalam penciptaan
dan pemeliharaan situasi aman di suatu masyarakat atau negara. Pihak-pihak
tersebut adalah: kepolisian, militer, imigrasi, bea dan cukai, intelijen,
kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, badan anti narkotika, badan anti
terror dan badan-badan lain yang memiliki akses pada upaya paksa (forced measures) berdasarkan legalitas
yang ada serta penggunaan senjata. Jumlah, bentuk, penamaan mapun struktur
tiap-tiap
lembaga relatif bervariasi antar negara.
Kesimpulannya, tentu saja dibutuhkan langkah strategis
dalam penyusunan regulasi tentang Keamanan Nasional yang membutuhkan pelibatan
aktif dari Polri, TNI dan BIN, serta Kementerian Pertahanan, Kementerian Luar
Negeri, dan Kementerian Dalam Negeri, serta yang utamanya adalah kebijaksanaan
Presiden dalam mengeluarkan kebijakan agar tidak terjadi gejala “konflik
institusi.”. Penyebutan istilah “nasional” untuk menunjukkan adanya semangat
kehadiran negara penting, tetapi jangan sampai merusak semangat reformasi,
sehingga harus dihindari terjadinya celah peluang penggabungan kembali struktur
dan organisasi TNI dan Polri dalam satu kesatuan sebagaimana terjadi di masa
Orde Baru.
Kita menyadari sepenuhnya bahwa ancaman terhadap
keamanan nasional tidak bisa dihadapi secara terpisah dan tidak bisa dilakukan
secara sendiri-sendiri. Eskalasi keamanan yang semakin meningkat tentu saja membutuhkan
penanganan secara bersama dan dihadapi secara terintegratif antar aktor
keamanan khususnya antara TNI dan Polri. Pada posisi ini, menjadi dirasa sangat
penting perlu ada pengaturan tugas perbantuan dari TNI ke Polri/Pemerintah
dengan tetap memperhatikan tingkat eskalasi ancaman yang berkembang dan sesuai
dengan fungsi dan tugasnya masing-masing. (*)
A.Wahyurudhanto
Pimpinan Redaksi “Jurnal Ilmu Kepolisian”
***Artikel ini dimuat di Jurnal Ilmu Kepolisian, Edisi 085, Tahun 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar