Minggu, 02 Juli 2017

Artikel : Keamanan Nasional



Keamanan Nasional

Belakangan ini, wacana tentang masalah Keamanan Nasional (Kamnas) kembali menghangat, setelah selama bertahun-tahun didiskusikan dalam berbagai forum. Hal ini bisa kita lihat sebagai suatu kewajaran, jika kita sadar inilah konsekuensi sejak adanya keputusan politik mengenai pemisahan TNI – Polri. Wacana ini muncul dan terkesan kemudian menjadi materi “perdebatan” di area publik, karena adanya perbedaan sudut pandang mengenai apa yang sudah dirumuskan pada Pasal 30 UUD 1945 yang dikaitkan dengan makna yang tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor VI dan VII sebagai suatu kesatuan yang melengkapi yang bersama-sama ditetapkan dalam Sidang Umum MPR tahun 2000.
Ada dua permasalahan yang sampai saat ini menjadi perdebatan dari rumusan pasal 30 UUD 1945, yaitu frasa “usaha pertahanan dan keamanan negara”. Pertama, apakah Hankamneg merupakan dua fungsi (konsep), yaitu fungsi pertahanan dan keamanan (negara), atau merupakan satu kesatuan fungsi. Persandingan kata “pertahanan” (upaya atau proses) dan kata “keamanan” (kondisi atau outcomes) menimbulkan persoalan dari segi semantik bahasa, sehingga tidak mungkin dipandang sebagai dua fungsi.  Pada naskah kajian konstitusional tentang Peranan Polri dalam Pengelolaan Keamanan Negara (Markas Besar Kepolisian Negara RI, 2005), secara tegas disebutkan bahwa dengan mengkaitkan pada Tap MPR Nomor VI dengan TAP MPR Nomor VII, maka yang menjadi tugas Polri hanya menyangkut “keamanan dan ketertiban masyarakat” dalam menjamin “keamanan dalam negeri”.  Sehingga kemudian menjadi perdebatan, kalau begitu siapa yang menjadi penjuru untuk sektor keamanan negara, karena pada Tap MPR Nomor VI dan VII Tahun 2000, sudah secara tegas disebutkan, urusan keamanan adalah wilayahnya Polri, dan urusan pertahanan sebagai wilayahnya TNI.
Jika merujuk pada pandangan konvensional, konsep keamanan nasional lebih ditekankan pada kemampuan pemerintah untuk melindungi integritas teritorial suatu negara dari ancaman yang datang dari luar dan maupun dari dalam negara tersebut (Institute for Defense Security and Peace Studies / IDSPS, pada Cahya Suryana, 2008). Keamanan nasional merupakan elemen yang melekat dalam tujuan penyelenggaraan negara. Terwujudnya negara yang aman dan damai merupakan upaya menciptakan suatu kondisi yang bebas dari bahaya dan segala bentuk gangguan atau ancaman baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Rasa aman dan damai tercermin dari keadaan tenteram, tidak ada rasa takut ataupun khawatir, tidak terjadi konflik antar individu atau kelompok, tidak ada kerusuhan, serta hidup rukun dalam suatu sistem hukum.
Statement yang dilontarkan oleh IDSPS (2008) lebih tegas lagi ketika menyatakan, bahwa keamanan nasional merupakan perwujudan dari konsep keamanan menyeluruh yang memiliki empat dimensi yaitu pertahanan negara, stabilitas dalam negeri, ketertiban publik, dan keamanan insani. Keempat dimensi tersebut mendefinisikan keamanan nasional sebagai upaya politik pemerintah yang bertujuan menciptakan kondisi aman bagi terselenggaranya pemerintahan serta kehidupan berbangsa dan bernegara. Kondisi aman merupakan prasarat meraih untuk kepentingan nasional yang terbebas dari berbagai bentuk gangguan dan ancaman yang berasal dari dalam dan luar negeri. Dalam perdebatan publik, juga muncul pendapat yang dikemukakan oleh Indonesian Working Group on Security Sector Reform,  bahwa pemahaman tentang keamanan nasional yang mencakup aspek keamanan manusia (human security) dan kedaulatan negara (sovereignty). (Propatria, 2003).
Wacana ini berkembang  dengan masif, ketika kemudian perdebatan ini mencoba merujuk dengan apa yang sudah ditegaskan dalam UUD 1945. Pemahaman mengenai pertahanan dan keamanan ini sangat lekat, karena pada Undang Undang Dasar RI 1945 jelas-jelas disebutkan bahwa keamanan masuk dalam pembahasan pertahanan negara. Pada UUD RI 1945 asli, Pasal 30 ayat (1) menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib  ikut serta dalam usaha pembelaan negara. Kemudian pada UUD RI 1945 setelah amandemen, pada Pasal 30 ayat (2), yang merupakan bagian dari Bab XII tentang Pertahanan Negara, disebutkan: Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.
***
Maka, Menyikapi wacana tentang keamanan, terutama setelah RUU Keamanan Nasional masuk dalam Program Legislasi Nasional 2014-2019, kita perlu mendudukan masalah ini bagi kepentingan kemaslahatan bangsa. Sampai saat ini, harus diakui, pro dan kontra mengenai perlu atau tidaknya pembahasan RUU tentang Keamanan Nasional masih mengemuka.  Bagus Anwar, mahasiswa Pascasarjana Ketahanan Nasional UGM, dalam blog Kompasiana, menuliskan, mengenai Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional, masih banyak pasal-pasal yang kontroversial, karena ditakutkan adidaya militer akan kembali muncul seperti pada zaman orde baru. Bukan berarti harus meniadakan undang-undang Keamanan Nasional. Akan tetapi menilik, memilih dan memiliah kembali aturan yang seharusnya ada dalam Undang-undang Keamanan Nasional. Supaya kestabilan keamanan dalam intern negara sendiri akan terwujud. Keamanan Nasional sendiri tentunya harusnya dibuat dengan landasan asas demokrasi dan membatasi kemutlakan militer dalam menangani hal-hal yang sifatnya bukan tanggung jawabnya. Supaya supremasi hukum dan hak-hak individual masyarakat pun bisa tercapai.
Dalam pandangannya dinyatakan, Indonesia merupakan salah satu negara yang belum memiliki UU Keamanan Nasional. Keberadaan UU ini diharapkan dapat meningkatkan keamanan di Indonesia. Karena melihat intensitas kerusuhan yang terus meningkat. Namun bila sejumlah pasal tidak dikaji ulang, dikhawatirkan berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Karenanya perlu diatur lebih baik agar warga yang berkehidupan di Indonesia tidak melanggar peraturan yang ada. Tentu saja pandangan ini dilatarbelakangi dengan pemikiran bahwa Negara Indonesia perlu memiliki sistem dan aturan mengenai keamanan nasional yang diatur dalam bentuk Undang-undang. Tidak salah memang pendapat ini, tetapi dengan regulasi yang sudah ada, bukankah ini kesannya menjadi berlebihan, karena memunculkan pemikiran bahwa ada kekhawatiran masalah keamanan di negeri ini akan menjadi masalah jika tidak ada payung hukum, yaitu Undang-Undang Keamanan Nasional.
***
Kiranya perlu dipahami, bahwa pemisahan bidang pertahanan dan keamanan bukan berarti bahwa upaya pertahanan hanya menjadi tanggung jawab TNI dan hanya dilaksanakan oleh TNI semata, sedangkan upaya keamanan hanya menjadi tanggung jawab Polri yang hanya dilaksanakan oleh Polri semata, karena baik bidang pertahanan ataupun bidang keamanan semuanya tidak hanya dilakukan oleh TNI dan Polri, melainkan juga oleh segenap komponen bangsa atau komponen masyarakat. Tidak bisa dimungkiri, bahwa munculnya RUU Kamnas pada perkembangannya telah memicu perdebatan seputar beberapa substansi dalam RUU. Perdebatan ini terjadi dikarenakan adanya perbedaan pandangan dan persepsi terkait makna dan konsepsi dari Keamanan Nasional itu sendiri.
Sejatinya Pasal 30 UUD 1945, hanya mengenal konsep pertahanan negara dan keamanan negara, tidak mengenal konsep Keamanan Nasional.  Oleh karena itu, secara filosofis dan konstitusional, konsep Keamanan Nasional sebenarnya tidak dikenal dan tidak memiliki dasar di Indonesia.  Perdebatan mengenai pengertian dan ruang lingkup tersebut kemudian memunculkan alternatif istilah “keamanan negara” (Kamneg) yang memberikan batasan terhadap ruang lingkup yang lebih spesifik.  Argumen dibalik pemilihan “Keamanan Nasional” adalah bahwa dimensi-dimensi non militer memiliki dampak yang signifikan terhadap keamanan dan stabilitas, dan oleh karenanya maka pengelolaan keamanan seharusnya mencakup baik pertahanan negara, keamanan negara, keamanan umum, maupun keamanan individu. 
Dalam tataran yang lebih operasional, sebenarnya telah ada beberapa peraturan perundang-undangan di bidang keamanan yakni UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, dan tentunya sebagai pilar utama dalam keamanan adalah UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, sebagai basis dasar legal dalam memperkuat sistem keamanan. Sebelum beberapa peraturan perundangan tersebut terbentuk, juga terdapat TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri, yang merupakan pijakan awal dalam melakukan perubahan di sektor keamanan di masa reformasi. Harus diakui terbentuknya beberapa aturan tersebut merupakan capaian positif dari reformasi sektor keamanan. Tentu saja harus diakui bahwa beberapa aturan tersebut masih memiliki berbagai kelemahan dan kekurangan sehingga menimbulkan masalah tersendiri dalam tingkatan konsepsional dan implementasi. Namun, yang penting, jangan sampai kemudian pandangan tersebut berubah, bahwa karena ada kelemahan-kelemahan legislasi bidang keamanan berarti harus penataan ulang sistem keamanan.
Sektor keamanan (security sector) menurut Adrianus Meliala (2010), pada dasarnya adalah suatu konsep yang umum dipergunakan oleh lembaga-lembaga multilateral terhadap keberadaan dan aktivitas beberapa lembaga yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dan memiliki peranan dalam penciptaan dan pemeliharaan situasi aman di suatu masyarakat atau negara. Pihak-pihak tersebut adalah: kepolisian, militer, imigrasi, bea dan cukai, intelijen, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, badan anti narkotika, badan anti terror dan badan-badan lain yang memiliki akses pada upaya paksa (forced measures) berdasarkan legalitas yang ada serta penggunaan senjata. Jumlah, bentuk, penamaan mapun struktur tiap-tiap lembaga relatif bervariasi antar negara. 
Kesimpulannya, tentu saja dibutuhkan langkah strategis dalam penyusunan regulasi tentang Keamanan Nasional yang membutuhkan pelibatan aktif dari Polri, TNI dan BIN, serta Kementerian Pertahanan, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Dalam Negeri, serta yang utamanya adalah kebijaksanaan Presiden dalam mengeluarkan kebijakan agar tidak terjadi gejala “konflik institusi.”. Penyebutan istilah “nasional” untuk menunjukkan adanya semangat kehadiran negara penting, tetapi jangan sampai merusak semangat reformasi, sehingga harus dihindari terjadinya celah peluang penggabungan kembali struktur dan organisasi TNI dan Polri dalam satu kesatuan sebagaimana terjadi di masa Orde Baru.
Kita menyadari sepenuhnya bahwa ancaman terhadap keamanan nasional tidak bisa dihadapi secara terpisah dan tidak bisa dilakukan secara sendiri-sendiri. Eskalasi keamanan yang semakin meningkat tentu saja membutuhkan penanganan secara bersama dan dihadapi secara terintegratif antar aktor keamanan khususnya antara TNI dan Polri. Pada posisi ini, menjadi dirasa sangat penting perlu ada pengaturan tugas perbantuan dari TNI ke Polri/Pemerintah dengan tetap memperhatikan tingkat eskalasi ancaman yang berkembang dan sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing. (*)

A.Wahyurudhanto
Pimpinan Redaksi “Jurnal Ilmu Kepolisian”

***Artikel ini dimuat di Jurnal Ilmu Kepolisian, Edisi 085, Tahun 2015






Tidak ada komentar: