Minggu, 02 Juli 2017

Artikel : Polri Merawat Kebinekaaan




Polri Merawat Kebinekaan

Oleh A Wahyurudhanto

HARI ini, 1 Juli 2017, insan Bhayangkara, para polisi Indonesia merayakan HUTke-71. Ada pesan kuat mengapa Hari Bhayangkara memilih 1 Juli 1946 sebagai hari bersejarah. Tanggal 1 Juli 1946 bukanlah hari kelahiran Polri, karena sejatinya polisi Indonesia ada sejak negara ini diproklamirkan. Artinya sejak pemerintahan berjalan maka polisi Indonesia eksis. Namun, saat itu polisi Indonesia masih dibawah Kementerian Dalam Negeri.
Tanggal 1 Juli 1946 menjadi hari penting, karena saat itulah pemerintah menetapkan Djawatan Kepolisian Negara bertanggung- jawab langsung kepada Perana Menteri. Jadi, 1 Juli bukanlah hari lahir Polri, tetapi hari dinyatakannya Polri sebagai Kepolisian Nasional. Inilah yang saya maksud pesan kuat dari penetapan Hari Bhayangkara, bahwa Polri tidak hanya berurusan mengamankan situasi dalam negeri, tetapi juga bertanggung jawab atas keutuhan negeri ini, menjaga NKRI agar tetap kokoh berdiri, baik secara moral maupun dalam pelaksanaan tugas pokoknya.
Jika kita melihat kondisi Indonesia saat ini, secara umum terasa masih dalam kondisi kokoh, dengan semoboyan NKRI harga mati tetap menggema. Tapi kalau mau jujur, dan melihat secara terbuka keadaan sebenarnya, ada kerapuhan memprihatinkan. Sisa-sisa Pilkada DKI Jakarta yang efeknya menyebar kemanamana masih terasa. Politik identitas yang dibangun dalam rangka kepentingan politik yang berujung pada kekuasaan telah membuat situasi arus bawah tidak solid. Fanatisme identitas yang dibangun oleh kekuatan politik, baik itu dengan basis agama, etnis, fanatisme kedaerahan, atau kelompok tertentu telah membuka mata kita bahwa ada persoalan di negeri ini yang harus diselesaikan.
Tak bisa dipungkiri, Pilkada serentak di satu sisi menunjukkan keberhasilan, berlangsungan aman dan lancar tanpa gangguan kamtibmas signifikan. Namun pada sisi lain telah menimbulkan ekses negatif yaitu berkembangnya politisasi identitas. Politisasi identitas sejatinya adalah bibit intoleransi, karena jika tidak terkelola dengan baik akan menuju pengkotak-kotakan warga. Jika secara masif tidak terkendali, hal itu jelas akan menjadi sumber perpecahan warga yang akan memicu konflik sosial. Konflik sosial yang masif, dan tidak bisa dikendalikan akan menjadi bola liar, merupakan awal dari reruntuhan kesatuan dan persatuan yang telah diperjuangkan para founding fathers negeri ini. Oleh karena itu, bagi bangsa Indonesia merawat keragaman menjadi sangat penting. Inilah tugas kita bersama, dan Polri dengan Hari Bhayangkara sebenarnya telah diingatkan, bahwa hal ini juga merupakan bagian utama dari tugasnya.
Tidak Mudah
Tentu saja hal ini tidak mudah. Apalagi persoalan yang dihadapi Polri saat ini sangatlah kompleks. Tidak hanya menangani masalah kriminalitas, juga berbagai model kejahatan, dimana Polri dituntut untuk selalu mampu mengatasinya. Belakangan ancaman teror tidak hanya menyasar lingkungan masyarakat, tetapi sudah secara terang-terangan menjadikan polisi sasaran utama. Kejadian terakhir, diserangnya markas penjagaan Polda Sumatera Utara tepat pada Idul Fitri pekan lalu, yang menewaskan anggota yang sedang berdinas merupakan bukti yang tidak bisa dibantah.
Memang selama ini masih muncul kritik bahwa Polri institusi yang kaku, konservatif, bersikap bertahan, dan pada sebagian anggota masih bersikap militeristik. Namun, seperti pernah dinyatakan David H Bayley dalam bukunya Police for The Future (1994; diterjemahkan oleh Kunarto, 1998), kondisi tersebut pada saat bersamaan, secara lambat tapi pasti kepolisian mulai mengkritik dan menilai kembali hampir semua yang mereka lakukan, tujuan dan misi, strategi-strategi inti, skala kepolisian, struktur organisasi, praktik manajemen, budaya kerja, otonomi polisi, dan budaya organisasi. Dalam implementasinya, Polri telah melakukan perbaikan. Ini artinya kesadaran internal Polri untuk selalu memperbaiki diri, meningkatkan pelayanan, meningkatkan profesionalisme, secara nyata telah dilakukan.
Dengan demikian, bagi Polri, di tengah beban berat ini, dalam rangka mewujudkan “pesan“ penetapan 1 Juli sebagai Hari Bhayangkara, menjaga kebhinnekaan merupakan misi yang harus dijalankan. Keragaman bagi Bangsa Indonesia adalah keniscayaan. Mengutip pidato Presiden Joko Widodo pada hari lahir Pancasila 1 Juni 2017: “Harus diingat bahwa kodrat bangsa lndonesia adalah kodrat keberagaman. Takdir Tuhan untuk kita adalah keberagaman. Dari Sabang sampai Merauke adalah keberagaman. Dari Miangas sampai Rote adalah keberagaman. Berbagai etnis, berbagai bahasa lokal, berbagai adat istiadat, berbagai agama, kepercayaan, serta golongan bersatu padu membentuk lndonesia. ltulah Bhinneka tunggal ika kita, Indonesia.“
Bagi Polri, merawat kebhinnekaan adalah keniscayaan. Tidak ada wilayah di bumi Indonesia yang tidak ada anggota Polri. Dengan kewenangan yang dipunyai, peran luhur untuk menjadi perekat bangsa bisa dilakukan oleh Polri, dengan pelibatan semua fungsi yang ada, oleh seluruh jajaran yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu, pelibatan seluruh anggota Polri melalui tugas pokoknya sebagai anggota Polri dan perannya sebagai bagian dari komunitas warga, akan sangat berarti melalui sikap ikut menjaga dan mengajak penyebaran “virus“ toleransi dalam rangka merawat kebhinnekaan, untuk NKRI tetap kokoh berdiri. Selamat Hari Bhayangkara. (21)

Dr A Wahyurudhanto MSi, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian PTIK, Jakarta.

*** Tulisan ini sudah dimuat di Harian Suara Merdeka, 1 Juli 2017.

Tidak ada komentar: