Minggu, 02 Juli 2017

Artikel : Pelayanan Sektor Keamanan oleh Negara : Konteks Kepolisian




Pelayanan Sektor Keamanan oleh Negara : Konteks Kepolisian[1]

Oleh : A. Wahyurudhanto[2]

Abstrak:
Membahas pelayanan sektor keamanan oleh negara, tentu tidak akan bisa keluar dari konteks pembahasan mengenai posisi dan peran negara. Kehadiran negara menjadi sangat penting ketika warga negaranya merasa memang dalam kehidupoannya sehari-hari merasa dilindungi dan diayomi. Prinsip kewajiban kehadiran negara yang menjadi ukuran peran negara dalam menunjukkan betapa signifikannya indikator keamanan dalam proses berjalannya sistem pemerintahan yang normal. Sektor keamanan dalam suatu masyarakat dan negara yang tetap mampu menjalankan berbagai nilai yang terkandung dalam konsep tata pemerintahan yang baik, besar kemungkinan akan mampu pula mempertahankan situasi stabil yang kondusif bagi perpolitikan, perekonomian dan kehidupan sosial pada umumnya. Untuk itu diperlukan lembaga yang dapat menjaga dan memberikan jaminan bagi masyarakat untuk  dapat beraktivitas dalam keseharian dengan wajar dan beradab, lembaga tersebut adalah kepolisian.

Kata Kunci : Sektor Keamanan, Negara, Kepolisian, Publik, Mengayomi


I.               PENDAHULUAN
Para pemikir klasik mendefinisikan negara antara lain sebagaimana dikemukakan Thomas Aquinas, bahwa negara merupakan lembaga sosial manusia paling tinggi dan luas yang menjamin kemampuan lingkungan sosial yang lebih kecil seperti koda dan desa. (Mariana, 2011; hal 77). Salah satu teori terbentuknya negara adalah Teori Kontrak Sosial yang menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena anggota masyarakat mengadakan kontrak sosial untuk membentuk negara. Dalam teori ini, sumber kewenangan adalah masyarakat itu sendiri. Bahasan tentang teori kontrak sosial ini bisa dilihat dari tiga karya pemikir utamanya, yaitu Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean Jacques Rousseau.
 Teori kontrak sosial berkembang dan dipengaruhi oleh pemikiran  Zaman Pencerahan (Enlightenment Era) yang ditandai dengan rasionalisme, realisme, dan humanisme, yang menempatkan manusia sebagai pusat gerak dunia. Pemikiran bahwa manusia adalah sumber kewenangan secara jelas menunjukkan kepercayaan terhadap manusia untuk mengelola dan mengatasi kehidupan politik dan bernegara. Hobbes, Locke dan Rousseau sama-sama berangkat dari, dan membahas tentang, kontrak sosial dalam analisis-analisis politik mereka. Mereka sama-sama mendasarkan analisis-analisis mereka pada anggapan dasar bahwa manusialah sumber kewenangan. Akan tetapi tentang bagaimana, siapa mengambil kewenangan itu dari sumbernya, dan pengoperasian kewenangan selanjutnya, mereka berbeda satu dari yang lain. Perbedaan-perbedaan itu mendasar satu dengan yang lain, baik di dalam konsep maupun (apalagi!) di dalam praksisnya.
Salah satu faktor penyebab perbedaan itu adalah latar belakang pribadi dan kepentingan masing-masing. Hobbes hidup dalam kondisi negara yang tidak stabil. [3]  Sementara Locke hidup dalam pengaruh liberalisme yang mulai tumbuh di Eropa[4].  Dan Rousseau mengalami situasi otoriter kerajaan sampai dia terlibat dalam Revolusi Perancis.[5]  Dalam membangun teori kontrak sosial, Hobbes, Locke dan Rousseau memulai dengan konsep kodrat manusia, kemudian konsep-konsep kondisi alamiah, hak alamiah dan hukum alamiah.
Oleh karena kondisi alamiah, karena ulah beberapa orang yang biasanya punya power, tidaklah menjamin keamanan penuh, maka seperti halnya Hobbes, Locke juga menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman penuh menuju kondisi aman secara penuh. Manusia menciptakan kondisi artifisial (buatan) dengan cara mengadakan kontrak sosial. Masing-masing anggota masyarakat tidak menyerahkan sepenuhnya semua hak-haknya, akan tetapi hanya sebagian saja. Antara pihak (calon) pemegang pemerintahan dan masyarakat tidak hanya hubungan kontraktual, akan tetapi juga hubungan saling kepercayaan (fiduciary trust). (Locke, 1960: 84)
Locke menegaskan bahwa ada tiga pihak dalam hubungan saling percaya itu, yaitu yang menciptakan kepercayaan itu (the trustor), yang diberi kepercayaan (the trustee), dan yang menarik manfaat dari pemberian kepercayaan itu (the beneficiary). Antara trustor dan trustee terjadi kontrak yang menyebutkan bahwa trustee harus patuh pada beneficiary, sedangkan antara trustee dan beneficiary tidak terjadi kontrak sama sekali. Trustee hanya menerima obligasi dari beneficiary secara sepihak. Dari pemahaman tentang hubungan saling percaya dan kontraktual itu tampak bahwa pemegang pemerintahan atau yang diberi kepercayaan mempunyai hak-hak dan kewenangan yang sangat terbatas, karena menurut Locke masyarakatlah yang dapat bertindak sebagai trustor sekaligus beneficiary. Dari uraian Locke, tampak nyata bahwa sumber kewenangan dan pemegang kewenangan dalam teori Locke tetaplah masyarakat. Oleh karena itu kewajiban dan kepatuhan politik masyarakat kepada pemerintah hanya berlangsung selama pemerintah masih dipercaya. Apabila hubungan kepercayaan (fiduciary trust) putus, pemerintah tidak mempunyai dasar untuk memaksakan kewenangannya, karena hubungan kepercayaan maupun kontraktual sifatnya adalah sepihak.
Maka membahas pelayanan sektor keamanan oleh negara, tentu tidak akan bisa keluar dari konteks pembahasan mengenai posisi dan peran negara. Kehadiran negara menjadi sangat penting ketika warga negaranya merasa memang dalam kehidupoannya sehari-hari merasa dilindungi dan diayomi. Prinsip kewajiban kehadiran negara yang menjadi ukuran peran negara dalam proses pemerintahan yang selalau digloriakan oleh Presiden RI Jokowi menunjukkan betapa signifikannya indikator keamanan dalam proses berjalannya sistem pemerintahan yang normal yang mengedepankan kepentingan publik dalam setiap kiprahnya.

II.            Peran Negara

Mengenai pandangan yang menyangkut unsur pokok bagi sebuah negara, ada yang menyebut empat unsur, ada pula yang lebih. Pandangan yang menyebutkan unsur pokok sebuah negara terdapat empat unsur dikemukakan oleh Affandi (dalam Mariana, 2001: 93) sebagai berikut :
1.          Penduduk, yakni sejumlah orang-orang yang berkediaman tetap di dalam suatu daerah tertentu yang dijadikan wilayah negara;
2.          Wilayah atau daerah, yaitu suatu bagian tertentu dari permukaan bumi yang didiami secara tetap oleh penduduk sebuah negara;
3.          Pemerintah, yaitu suatu organisasi politik yang menyatakan dan melaksanakan kehendak serta undang-undang negara;
4.          Kedaulatan, yaitu kekuasaan tertinggi dari negara terhadap orang-orang dan badan-badan serta organisasi-organisasi yang berada dalam batas wilayah negara. Di samping itu kedaulatan tersebut merupakan pula kebebasan negara dari suatu kekuasaan lain yang berada di luar negara tersebut.
Keempat unsur pokok tersebut sesuai dengan apa yang ditentukan dalam perjanjian internasional yang diadakan oleh beberapa negara Amerika latin dan Amerika Serikat pada tahun 1933 di kota Montevideo.
Berkaitan dengan negara sebagai kajian studi, dalam perkembangannya kajian itu lebih fokus pada penyelenggaraan negara, yang merupakan kajian dalam ilmu pemerintahan.  Dalam studi pemerintahan bisa dibahas masalah eksekutif, baik pada tingkat “presidency” maupun pada tingkat lokal. Demikian juga bisa dikaji persoalan “legislatures” terutama yang berkaitan dengan sejarah, kedudukan, fungsi serta peranan lembaga tersebut. Pemahaman terhadap lembaga MA, MPR, TNI, masalah kepartaian dan pemilu, perilaku politik, sosialisasi politik, politik pembuatan kebijakan, analisis dan implementasi serta evaluasi kebijakan yang ditempuh. Jadi, ruang lingkup ilmu pemerintahan adalah “hubungan antara pemerintah dan rakyat dalam rangka mencapai kesejahteraan bersama”. Dari berbagai pendapat serta pandangan sebagaimana diungkapkan di atas masih terlihat bahwa belum ada kesamaan pendapat mengenai objek formal ilmu pemerintahan yang memang sangat luas bidang cakupannya.
Konsep ilmu pemerintahan ini secara hakekat bisa dipahami merupakan turunan dari pemikiran Thomas Hobbes yang menekankan perlunya adanya hukum dan keteraturan dalam pengelolaan negara oleh pemerintah yang berkuasa. Hobbes dalam dua bukunya yang terkenal,  yaitu  De Cive (tentang warga negara) dan Leviathan (tentang negara), secara tegas mengilustrasikan fungsi negara adalah menjaga adanya keseimbangan karena keadaan yang bebas atau tanpa ikatan, yang menurutnya disebut sebagai keadaan in abstracto. (dalam Sinamo, 2011: 32).
Dalam bukunya disebutkan, kondisi in abstracto tersebut bisa menyebabkan kondisi omnium contra omnes, yaitu terjadi permusuhan antar manusia. Oleh karena itu diperlukan aparatur yang disebut negara untuk mengatasi permasalahan tersebut. Kondisi buruk yang dikhawatirkan tersebut adalah :
a.          Competition, atau persaingan. Arttinya ada kecenderungan manusia selalu berlomba untuk mengatasi manusia yang lain. Dari sinilah kemudian muncul adanya hegemoni, baik itu hegemoni sosial maupun hegemoni politik. Hegemoni akan bermuara pada kekuasaan, yang pada alam demokrasi dikelola oleh partai-partai politik.[6]
b.          Defentio, atau defend atau mempertahankan diri. Di sini dimaksudkan bahwa ada kecenderungan manusia tidak suka dikuasai atau dikooptasi oleh orang lain. Akibatnya akan muncul pembelaan diri, karena adanya tekanan dari pihak lain yang membuatnya tidak nyaman. Tekanan dan hasrat mempertahankan diri ini jikka tidak dikelola akan menyebabkan konflik berupa gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat.
c.          Gloria atau pujian. Yaitu kondisi bahwa manusia selalu ingin dihormati, disegani, dan dipuji, Maka mekanisme kehidupan berbangsa dan bernegara telah secara otomatis memberikan ruang untuk kondisi ini, seperti halnya kedaulatan rakyat. Hak rakyat yang dalam eksplisit muncul pada Hak Asasi Manusia merupakan bukti adanya kebutuhan akan gloria ini. Tugas negara akan menjaga agar kondisi selalu ada dan tidak ada penghambat untuk aktualisasi hak-hak manusia.
Oleh karena itu dalam perkembangannya maka munculnya peradaban-peradaban dengan perangkat hukum untuk menjaga tegaknya negara beserta warga negara dengan hak-haknya. Melalui tahapan-tahapan pemerintahan di belahan dunia, termasuk di Indonesia, maka munculah kesepahaman dunia akan perlunya kehidupan yang lebih baik untuk mewujudkan negara kesejahteraan dan negara berkeadilan.
Pola  pemikiran  Hobbes tersebut sangatlah dipengaruhi oleh  pengalaman sehari-hari dalam aktivitasnya selama era pergolakan. Hobbes sangat terkesan oleh tuntutan akan kekuasaan politik yang kuat untuk mengeluarkan tatanan yang ada dari pergolakan yang mengancam masyarakat sipil.  Hobbes mendeskripsikan keinginan manusia dan etika dari segi gerakan. Berpegang pada pandangannya bahwa yang riil hanyalah tubuh dan gerakannya, ia menyatakan bahwa perasaan harus mencakup gerakan partikel-partikel. Obyek-obyek eksternal menekan organ-organ indra dan menimbulkan gerakan yang terus bergerak ke dalam sampai ia mencapai pusat organ otak. Disini terjadi reaksi terhadap gerakan yang menimbulkan upaya atau tindakan keluar pada subyek yang sadar menuju obyek yang ditangkap.
Berawal dari premis-premis psikologi yang dibangunnya, Thomas Hobbes menyimpulkan bahwa keadaan normal manusia adalah keadaan konflik terus menerus, perasaan yang brutal dalam meraih kedudukan dan kekuasaan. Teori dan ajaran Thomas Hobbes dalam bidang hukum bahwa hukum sebagai kebutuhan dasar bagi keamanan individu. Di tengah orang-orang liar yang suka saling memangsa, hukum merupakan alat yang penting bagi terciptanya masyarakat yang aman dan damai. Bagi Hobbes, sesuai posisinya sebagai penganut materialisme, manusia (sejak zaman purbakala) dikuasai oleh nafsu-nafsu alamiah untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri. Tidak ada pengertian adil atau tidak adil. Yang ada, hanyalah nafsu-nafsu manusia. Dalam keadaan seperti itu terjadilah bellum omnium contra omnes di mana setiap orang selalu memperlihatkan keinginannya yang sungguh-sungguh egoistis.
Konsep negara seperti dinyatakan oleh Hobbes sampai sekarang maskih aktual dan menjadi aspirasi dalam pengembangan pengelolaan negara dalam zaman modern seperti sekarang ini, dimana negara adalah pemerintahan yang kuat untuk memberikan jaminan keamanan bagi warganya. Termasuk di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang telah memilih demokrasi sebagai ideologi dalam perilaku pemerintahan, sangat terasa bahwa semangat yang dikembangkan oleh Hobbes saat ini teraktualisasi. Pemerintah sebagai penyelenggara negara kemudian diartikan sebagai sekelompok orang yang bertanggung jawab atas penggunaan kekuasaan. (The International Encyclopedia of Social Science, 1947, dalam Labolo, 2006: 16). Proses dimana pemerintahan seharusnya bekerja menurut fungsi-fungsinya banyak  dirumuskan sarjana pemerintahan seperti Rosenbloom atau Michael Goldsmith yang lebih menegaskan mengenai fungsi negara.
Ryass Rasyid (dalam Lamboto, 1996: 22) membagi tugas negara atau fungsi pemerintahan menjadi empat bagian, yaitu pelayanan (public service), pembangunan (development), pemberdayaan (empowering), dan pengaturan (regulation). Menurutnya, dengan mengutip Franklin D. Rosevelt, fungsi-fungsi pemerintahan yang dijalankan pada saat tertentu akan menggambarkan kualitas pemerintahan itu sendiri. Pada bagian lain, Rasyid menegaskan bahwa tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban dimana masyarakat bisa menjalankan kehidupan secara wajar. Kondisi ini yang biasa disebut sebagai keadaan keamanan dan ketertiban masyarakat yang terjaga.
Dalam kaitan untuk menjaga kondisi kemanan dan ketertiban masyarakat ini, untuk mengemban tugas negara tersebut menurut Ndraha (2000: 78-79), pemerintah mempunyai dua fungsi  dasar, yaitu fungsi primer atau fungsi pelayanan, dan fungsi sekunder atau fungsi pemberdayaan. Fungsi primer, yaitu fungsi pemerintah sebagai provider jasa-jasa publik yang tidak dapat diprivatisasikan, termasuk di sini jasa pertahanan dan keamanan, layanan sipil, dan layanan birokrasi. Fungsi pelayanan akan membuahkan keadilan bagi masyarakat. Dengan demikian pelayanan sektor keamanan dan ketertiban masyarakat pada hakekatnya adalah salah satu fungsi negara atau pemerintahan.
Kepolisian Negara RI (Polri) sebagai bagian dari pemerintahan negara, dengan demikian merupakan representasi dari negara yang mempunyai salah satu kewajiban yaitu memberikan pelayanan dalam sektor keamanan dan ketertiban masyarakat. Oleh karena itu, dalam kaitan dengan pelayanan sektor keamanan oleh negara, posisi Polri sangatlah dominan sebagai pelaksana pemerintahan yang dalam satu tugas pokoknya adalah memberikan rasa aman dan jaminan keamanan serta ketertiban masyarakat.


III.          Keamanan Nasional

Pemahaman mengenai pengertian keamanan nasional di Indonesia sampai sekarang tidak pernah menemui kata sepakat. Banyak kepentingan yang menjadikan untuk menyepakati definisi keamanan nasional  tidak pernah mencapai titik temu. Salah satunya dalam pandangan Dewan Pertahanan Nasional. Dalam buku “Keamanan Nasional : Sebuah Konsep dan Sistem Keamanan bagi Bangsa Indonesia” dinyatakan bahwa reformasi sektor keamanan (security sector reform) yang telah dilakukan Indonesia sejak memasuki era reformasi masih menimbulkan berbagai problematika yang terkait dengan konsep dan sistem keamanan nasional. Proble­matika tersebut terlihat dalam berbagai fenomena seperti perdebatan mengenai pengertian tentang keamanan nasional, dan keamanan negara; perdebatan menge­nai fungsi keamanan dengan fungsi pertaha­nan; regulasi yang be­lum lengkap dan belum tersinkronisasi; dan status kementerian dan lembaga yang terkait dengan fungsi keama­nan dalam sistem ke­tatanegaraan Indonesia. Kesemuanya itu telah menimbulkan polemik yang berkepanjangan.  (Darmono, dkk, 2010 : 2-3).  Munculnya polemik menunjukkan bahwa semua pihak sangat berke­pentingan dan memberikan perhatian yang sunguh-sung­guh terhadap sektor keamanan. Namun di sisi lain, pole­mik yang demikian tidak bisa dibiarkan begitu saja karena akan sangat mempengaruhi efektifitas operasionalisasi sek­tor keamanan dalam menjalankan tugas dan fungsi yang diemban. Tidak ada yang dapat menjamin masa depan keamanan negara bangsa ketika konsep keamanan nasional masih saja harus terus berkutat dalam polemik tersebut.
Perdagangan bebas yang sedang berlangsung di belahan dunia telah mempertajam persaingan antar bangsa dalam mempertahankan kepentingan ekonominya.  Demikian pula persaingan antar negara-negara maju dalam bidang ekonomi telah memicu penguasaan sumber-sumber eko­nomi di dunia seperti energi, dan sumber daya alam lain­nya. Kondisi ini juga telah menimbulkan keresahan in­ternal khususnya akibat praktek perdagangan bebas negara antar kawasan, dan memicu ketegangan hubungan dan pertikaian kepentingan antar negara. Negara-negara yang lemah dalam sistem keamanan nasionalnya sudah barang tentu akan menanggung resiko yang lebih besar.  Dalam pemikiran Dewan Pertahanan Nasional setidaknya ada lima  pokok-pokok pikiran yang mendasari mengenai pemahaman keamanan nasional, yaitu:
Pertama, me­nempatkan keamanan nasional Indonesia sebagai konsep keamanan bangsa Indonesia yang berorientasi pada kepen­tingan  nasional berdasarkan filosofi Pancasila dan amanat Pembukaan UUD RI 1945 untuk mempertahankan eksis­tensi negara bangsa serta jati dirinya di tengah dinamika dan perubahan zaman.
Kedua, memperkenalkan konsep keamanan nasional bagi bangsa Indonesia yang berdasar­kan pertimbangan empiris, teoritis, dan tuntutan zaman, sehingga tidak melupakan kegagalan dan keberhasilan masa lalu, dapat mengakomodasi berbagai kepentingan dalam masyarakat, perbedaan pemahaman serta penger­tian tentang keamanan, dan tentu saja merespon dinamika perkembangan zaman. Dengan demikian diharapkan ada persamaan persepsi tentang keamanan nasional.
Ketiga, me­nempatkan konsep keamanan nasional bangsa Indonesia sebagai kesepakatan bersama antara pemikiran dan pan­dangan para ilmuwan, praktisi, birokrat, politisi, kalangan militer dan civil society dengan tetap merujuk kepenting­an nasional dalam kerangka menyelamatkan bangsa dan negara dengan menjunjung prinsip-prinsip demokrasi, akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi. Konsep kea­manan nasional yang demikian itu akan responsif terhadap dinamika perkembangan lingkungan, baik lingkungan global, regional, maupun nasional. Implementasinya di­kelola secara sinergis oleh semua kementerian dan lembaga serta didukung partisipasi masyarakat, berjangkauan kede­pan, dan adaptif terhadap dinamika perkembangan ling­kungan.
 Keempat, mengantisipasi dinamika eksternal baik pada tingkat regional maupun global terkait paradigma keamanan. Diakui bahwa konsep keamanan pada era glo­balisasi sangat dipengaruhi oleh perkembangan kesadaran atas pentingnya demokrasi dan HAM bagi perdamaian dan keselamatan umat manusia di dunia.  Kesemuanya itu mengakibatkan pergeseran paradigma konsep keamanan nasional.  Konsep keamanan nasional yang semula hanya berorientasi pada state centered security kini bergeser dan semakin meluas sehingga orientasinya mencakup state cen­tered security dan people centered security. Keamanan bukan hanya menjadi domain kepentingan negara tetapi juga do­main kepentingan individu dan masyarakat pada umum­nya, serta terkait dengan perkembangan internasional. Ka­renanya keamanan menjadi bersifat comprehensive, tidak bersifat tunggal tetapi majemuk sehingga pengelolaannya menjadi tanggung jawab kolektif. 
Kelima, merespon kom­pleksitas dan interrelasi antar berbagai bentuk dan jenis ancaman, baik yang ancaman tradisional maupun nontra­disional. Ancaman tradisional berubah dalam magnitude dan kualitasnya, sedangkan ancaman nontradisional sema­kin kompleks, antara lain dalam bentuk gerakan separatis, terorisme internasional, kejahatan etnis, kemiskinan kronis yang terus berlangsung, human trafficking, climate change, health pandemic, keruntuhan ekonomi dan krisis keuangan.
Pengertian tentang pemahaman keamanan nasional tersebut kemudian menjadi bahan perdebatan terutama di kalangan militer maupun sipil. Bagi kalangan sipil, persoalan keamanan nasional harus dilepaskan dari pengaruh militer. Namun dari pandangan lain menyebutkan bahwa keamanan nasional adalah tanggung jawab bersama, sehingga semua komponen harus memikirkan dan ikut berperan.
Pandangan lain menyebutkan perlunyanya dibangun kesepahaman tentang makna yang terkandung dalam rumusan Pasal 30 UUD 1945 yang dikaitkan dengan makna yang tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor VI dan VII sebagai suatu kesatuan yang melengkapi yang bersama-sama ditetapkan dalam Sidang Umum MPR tahun 2000. Ada dua permasalahan yang perlu dikaji dari rumusan pasal 30 UUD 1945, yaitu frasa “usaha pertahanan dan keamanan negara”. Pertama, apakah Hankamneg merupakan dua fungsi (konsep), yaitu fungsi pertahanan dan keamanan (negara), atau merupakan satu kesatuan fungsi. Persandingan kata “pertahanan” (upaya atau proses) dan kata “keamanan” (kondisi atau outcomes) menimbulkan persoalan dari segi semantik bahasa, sehingga tidak mungkin dipandang sebagai dua fungsi.  Dengan mengkaitkan pada Tap MPR Nomor VI dengan TAP MPR Nomor VII, maka yang menjadi tugas Polri hanya menyangkut “keamanan dan ketertiban masyarakat” dalam menjamin “keamanan dalam negeri”. Akibatnya muncul pertanyaan, siapa yang menjadi aktor keamanan negara.[7]

IV.          Keamanan Publik

Pemahaman mengenai pertahanan dan keamanan ini sangat lekat, karena pada Undang Undang Dasar RI 1945 jelas-jelas disebutkan bahwa keamanan masuk dalam pembahasan pertahanan negara. Pada UUD RI 1945 asli, Pasal 30 ayat (1) menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib  ikut serta dalam usaha pembelaan negara. Kemudian pada UUD RI 1945 setelah amandemen, pada Pasal 30 ayat (2), yang merupakan bagian dari Bab XII tentang Pertahanan Negara, disebutkan : Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.
Kerancuan ini menyebabkan pembahasan konsep keamanan selalu terkait dengan konsep pertahanan, karena adanya pemahaman bahwa persoalan keamanan selalu terkait dengan pertahanan, maka wajar jika berkembang adalah wacana mengenai keamanan nasional. Padahal pada hakekatnya, wilayah yang menjadi tanggung-jawab Polri adalah keamanan dalam negeri yang sering juga disebut sebagai keamanan publik. Karena yang harus dikelola bukan hanya warga negara Indonesia saja, tetapi juga warga negara asing yang berada di Indonesia. Hal inilah yang menjadikan konsep keamanan publik lebih tepat dalam pembahasan penelitian ini.
Keamanan publik atau keamanan umum tidak terbahas dalam UUD 1945 karena adanya pemahaman bahwa keamanan adalah bagian dari pertahanan. Nomenklatur keamanan umum justru terdapat pada Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan pada Undang Undang Dasar Sementara 1950. Pada Kontitusi RIS, pada Bagian 6 tentang Pertahanan Kebangsaan dan Keamanan Umum, ditegaskan dalam Pasal 185 ayat (2) bahwa untuk menjamin ketertiban, ketentraman dan keamanan umum, maka atas permintaan pemerintah daerah bagian, Pemerintah Republik Indonesia Serikat dapat memberi bantuan ketentraman kepada daerah bagian itu. Sedangkan pada Undang Undang Dasar Sementara 1950, Pasal 130 menyebutkan, untuk memelihara ketertiban dan keamanan umum diadakan suatu alat kekuasaan  kepolisian yang  diatur dengan undang-undang. Pada UUDS 1950 ini jelas sekali posisi kepolisian, yang wilayahnya adalah keamanan umum, bukan pertahanan negara yang memang akan membahas keamanan secara luas yang didefinisikan sebagai keamanan nasional. 
Menurut Adrianus Meliala (artikel, 2010) sektor keamanan (security sector) pada dasarnya adalah suatu konsep yang umum dipergunakan oleh lembaga-lembaga multilateral terhadap keberadaan dan aktivitas beberapa lembaga yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dan memiliki peranan dalam penciptaan dan pemeliharaan situasi aman di suatu masyarakat atau negara. Pihak-pihak tersebut adalah: kepolisian, militer, imigrasi, bea dan cukai, intelijen, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, badan anti narkotika, badan anti terror dan badan-badan lain yang memiliki akses pada upaya paksa (forced measures) berdasarkan legalitas yang ada serta penggunaan senjata. Jumlah, bentuk, penamaan mapun struktur tiap-tiap lembaga relatif bervariasi antar negara. 
Menyadari definisinya, demikian pula saat menyadari pihak-pihak yang dapat dikategorikan sebagai elemen sektor keamanan, maka segera dapat diperkirakan aspek strategis dari sektor ini bagi situasi kemasyarakatan maupun situasi kenegaraan pada umumnya. Sektor keamanan dalam suatu masyarakat dan negara yang tetap mampu menjalankan berbagai nilai yang terkandung dalam konsep tata pemerintahan yang baik, besar kemungkinan akan mampu pula mempertahankan situasi stabil yang kondusif bagi perpolitikan, perekonomian dan kehidupan sosial pada umumnya. Sebaliknya, sektor keamanan yang buruk dapat menjadi indikator masyarakat atau negara tengah berada dibawah pemerintahan yang otoriter, totaliter serta tidak demokratis. Sektor ini kemudian saling mengkait dengan sektor ekonomi serta hukum, misalnya, menuju kondisi makro yang semakin memburuk.
Sementara Juwono Sudarsono (2008) berpendapat bahwa melihat keamanan nasional harus berpijak pada UUD 1945. Menurutnya, dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab XII berjudul "Pertahanan dan Keamanan Negara". Dalam bab itu, Pasal 30 Ayat (1) menyebut tentang hak dan kewajiban tiap warga negara ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Ayat (2) menyebut "usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung". Ayat (3) menyebut tugas TNI sebagai "mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara". Ayat (4) menyebut tugas Polri sebagai "melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum". Ayat (5) menggariskan, susunan dan kedudukan, hubungan kewenangan TNI dan Polri dalam menjalankan tugas, serta hal-hal lain yang terkait dengan pertahanan dan keamanan, diatur dengan undang-undang (UU). Dari pembacaan Pasal 30 secara utuh Juwono menyatakan dapat disimpulkan, meski TNI dan Polri berbeda dalam struktur organisasi, namun dalam menjalankan tugas dan fungsi masing-masing keduanya bekerja sama dan saling mendukung dalam suatu "sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta". Pengaturan tentang sinkronisasi tugas pertahanan negara (hanneg) dan keamanan negara (kamneg) itulah yang seyogianya ditata ulang melalui undang-undang yang membangun adanya "ke-sistem-an" yang baik dan benar.
Sementara dalam pandangan Hermawan Sulistyo (2006), perspektif tentang negara adalah konsepsi abstrak mengenai nation-state, yang sosoknya diwakili oleh Pemerintah, sementara perspektif tentang Nasional lebih merujuk pada entitas fisik kewilayanan atau batas-batas teritorial suatu nation-state. Oleh karena itu, keamanan negara merujuk pada pemeliharaan dan kelangsungan kehidupan nation-state, yang dapat diukur dari parameter-parameter survuvalitas Pemerintah, dalam pengertian sebagai sosok atau wujud kongkret negara. Pemerintah dimaknakan bukan sebagai rejim pemerintahan.  Pemerintah atau rejim pemerintahan dapat, bahkan harus, berganti-ganti, tetapi Pemerintah sebagai representasi Negara tidak dapat dan tidak boleh berubah-ubah. Karena itu membahas mengenai keamanan nasional,  sekalipun banyak institusi pemerintahan yang ”dibebani” (imbued) dengan kewenangan dan tugas seperti itu, fokus perhatian harus ditujukan pada dua institusi terpenting dalam domain ini, yaitu TNI dan Polri. Kedua institusi ini memang dibentuk untuk itu. Salah satu alasan adalah, militer dan polisi diberi kewenangan untuk menggunakan kekerasan dan senjata. Kewenangan tersebut dijabarkan ke dalam sejumlah parameter guna mengukur derajat kinerja masing-masing. Bagi Polri, rumusan umum yang diterima adalah terciptanya keamanan dan rasa aman masyarakat. Keduanya konsep ini dioperasionalkan lagi  ke dalam sejumlah indikator seperti perlindungan bagi keselamatan nyawa dan harta benda masyarakat. Sebaliknya, tentara bertugas menjaga dan memelihara keutuhan  nation-state dalam pengertian fisik teritorial. Diantara keduanyalah masih terbentang perbedaan tafsir atas apa yang umum disebut sebagai “wilayah abu-abu” (grey area). Harus ditegaskan di sini, bahwa “wilayah abu-abu” bagi polisi lebih menyangkut pada protap mekanisme pengambilan keputusan, prosedur operasi gabungan (seperti dalam hal BKO) dan rincian lain yang landasan kewenangannya sudah jelas.Tetapi, sejarah peradaban yang menyangkut Negara dan Pemerintah sebagai representasinya, secara tegas dan formal telah memisahkan kedua institusi terebut sebagai institusi militer dan institusi sipil. TNI adalah institusi militer, dan Polri adalah institusi sipil, derivasi lebih lanjut dari status, fungsi dan peran tersebut bersifat kompleks dan bervariasi dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Salah satu contoh kecil adalah perbedaan tugas untuk membunuh bagi militer dan melumpuhkan bagi polisi. Tafsir atas peran ini masih beragam, sebagaimana tampak pada perdebatan mengenai Protap Dalmas yang disusun Polri
Situasi saat ini menjadikan fenomena fundamental yang mengubah wacana politik, keamanan dan pertahanan. Fenomena itu adalah perkembangan teknologi, gelombang demokratisasi, interdependensi hubungan antar bangsa. Dalam  pandangan  Kusnanto Anggoro (2003)[8], dengan globalisasi sebagai impuls utamanya, fenomena itu telah memporakporandakan kerangka lama hubungan antar negara, dan secara berarti mengubah gravitasi politik domestiknegara-negara. Bersama dengan kompleksitas politik dalam negeri, semua  itu mempengaruhi “keamanan nasional” (national security) suatu negara. Sebab itu, masa transisi dari negara otoriter menuju negara demokrasi memerlukan berbagai penataan ulang perundangan yang mengatur tentang "keamanan nasional".  Dalam konsep-konsep tradisional, para ilmuwan biasanya menafsirkan keamanan  - yang secara sederhana dapat dimengerti sebagai suasana bebas dari segala bentuk ancaman bahaya, kecemasan, dan ketakutan - sebagai kondisi tidak adanya ancamanfisik (militer) yang berasal dari luar.
Walter Lippmann (dalam Anggoro, 2003) merangkum kecenderungan  tersebut  dengan pernyataannya yang terkenal, “suatu bangsa berada dalam keadaan aman selama bangsa itu tidak dapat dipaksa untuk mengorbankan nilai-nilai yang dianggapnya penting (vital), dan jika dapat menghindari perang atau jika terpaksa melakukannya, dapat keluar  sebagai pemenang.”  Dengan semangat yang sama, kolom keamanan nasional dalam International Encyclopedia of the Social Sciences mendefinisikan keamanan sebagai “kemampuan suatu bangsa untuk melindungi nilai-nilai internalnya dari ancaman luar".
Tiga ciri penting dari pengertian tradisional itu adalah: pertama, identifikasi “nasional” sebagai “negara”; kedua, ancaman diasumsikan berasal dari luar wilayah negara; dan, ketiga, penggunaan kekuatan militer untuk menghadapi ancaman-ancaman itu. Tak heran jika Arnold Wolfers sampai pada kesimpulan, bahwa masalah utama yang dihadapi setiap negara adalah membangun  kekuatan untuk menangkal (to deter) atau mengalahkan (to defeat) suatu serangan. Padahal, konstruksi nasionalitas dan nasionalisme tidak selamanya dapat diwujudkan secara utuh dalam konstruksi kenegaraan. Di samping  itu. Ancaman militer mungkin juga bukan merupakan satu-satunya jenis ancaman yang dihadapi oleh negara maupun warga negaranya. Apa yang selama ini dikenal sebagai  “keamanan dalam negeri” dapat menjangkau spektrum yang luas, mulai dari kemiskinan, epidemi dan bencana alam, kerusuhan sosial, pertikaian antar golongan, kejahatan, pemberontakan bersenjata sampai dengan gerakan separatis bersenjata. Hal ini akan menjadi acuan dalam konsep pertahanan, dalam arti keamanan dalam negeri untuk ketahanan negara. Namun dalam hal penyelenggaraan operasional mewujudkan keamanan dalam negeri sebagai kondisi stabilitas keamanan keamanan dan ketertiban masyarakat, pemahaman keamanan umum atau keamanan publik akan lebih tepat untuk dipergunakan.  Hal inilah yang dapat membedakan mengenai pendekatan untuk melakukan pelayanan sektor keamanan dan ketertiban masyarakat akan menggunakan pendekatan keamanann (security approach) dan dilakukan oleh Polri, sedangkan pelayanan sektor ketertiban umum yang lebih dekat dengan mewujudkan ketentraman dilakukan oleh pemerintah daerah dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach).

V.             Konteks Kepolisian

Demokrasi berkembang menjadi sebuah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.  Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances. Untuk itu diperlukan lembaga yang dapat menjaga dan memberikan jaminan bagi masyarakat untuk  dapat beraktivitas dalam keseharian dengan wajar dan beradab, lembaga tersebut adalah kepolisian.
Jika kita merujuk pada berbagai literatur, dari sejarah kepolisian diperoleh petunjuk bahwa peralihan sistem Monarki menjadi Republik di abad pertengahan membawa pengaruh besar dalam Kepolisian,  pengaruh itu berbentuk perilaku organisasi dan individu polisinya. Di alam sistem Monarki, polisi cenderung  menegakkan  peraturan   demi  langsung  lestarinya Pemerintahan Raja, yang lalu bertindak sangat represif. Sedang dalam sistem Republik polisi cenderung menegakkan peraturan demi kesejahteraan  rakyat. Bahkan pada deretan negara Republik  polisinya pun berbeda perilakunya.  Semakin  demokratis satu Republik, polisinya semakin menghormati supremasi hukum. Disini lalu terjadi perubahan parameter bukan bentuk negara yang menentukan jenis dan kultur kepolisian - tetapi kadar demokrasilah yang menentukan kultur profesionalisme dan modernisasi dari organ kepolisian.
Pengertian Police dalam Black s Law Dictionary adalah :The governmental department charged with the preservation ofpublic order, the promotion of public safety, and the prevention anddetection of crime.(Garner, 1999: 1178). Arti kepolisian disini ditekankan pada tugas-tugas yang harus dijalankan  sebagai  departemen pemerintahan atau bagian dari pemerintahan, yakni memelihara  keamanan,  ketertiban,  ketentraman masyarakat, mencegah dan menindak pelaku kejahatan.
Maka, secara definitif, polisi adalah lembaga negara yang melakukan operasi di bawah otoritas nasional, atau idealnya di bawah kendali otoritas sipil (politik) negara tersebut.  Secara umum, polisi merupakan perwakilan negara yang paling jelas terlihat dalam masyarakat. Oleh karena itu terdapat badan kepolisian yang berbeda-beda di setiap negara. Karakteristik institusi sebuah kepolisian akan selalu tergantung pada negara dan penduduknya. Mereka akan selalu mencerminkan bangsa (atau wilayah) dalam budaya politiknya, sejarah, perkembangan masyarakat, serta perekonomian negara tersebut. (Anneke Osse, dalam Nuraini Siregar, 2010: 13).
Semua kepolisian di berbagai negara menyelenggarakan fungsi utama; represif, preventif dan pre-emptif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang dijabarkan dalam tujuan, tugas pokok, tugas-tugas, wewenang dan tanggung jawab dari kepolisian yang bersangkutan. Keberhasilan kepolisian diukur dari tercapainya tujuan dilaksanakannya tugas pokok, tugas-tugas serta wewenang secara efisien dan efektif. Keberhasilan pelaksanaan tugas pokok, tugas-tugas dan wewenang tergantung pula dari pengaturan dan kemampuan manajemen yang juga disebut kemampuan manajemen operasional yang pada dasarnya merupakan model birokrasi yang diterapkan oleh organisasi polisi.Dengan maraknya kejahatan baru seperti terorisme, money laundering, korupsi, kolusi dan nepotisme, cyber crime, white slavery, dan lain-lain transnational crime, maka ruang lingkup birokrasi pada organisasi polisi  juga akan bertambah luas dan kompleks.
Menurut Satjipto Raharjo polisi merupakan alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman,dan memberikan perlindungan kepada masyarakat (Satjipto Raharjo, 2009:111). Selanjutnya Satjipto Raharjo yang mengutip pendapat  Bitner menyebutkan bahwa apabila hukum bertujuan untuk menciptakan ketertibandalam masyarakat, diantaranya melawan kejahatan. Akhirnya polisi yangakan menentukan secara konkrit apa yang disebut sebagai penegakanketertiban (Satjipto Rahardjo, 2009:117).
Jika kita merujuk pada berbagai pendapat yang berkembang, setidaknya ada tiga parameter untuk mendudukan jati diri polisi : (1) legitimasi (legitimacy); (2) fungsi (function); dan (3) struktur (structure). Parameter legitimasi menunjukkan  dari mana sebaiknya polisi mendapat mandat kekuasaan dan kepada siapa harus bertanggungjawab.  Parameter  fungsi menunjukkan bagaimana polisi diperankan dalam pemeliharaan hukum (maintenance of law) dan pencegahan serta  pendeteksian  pelanggar hukum. Sedangkan parameter struktur  menunjukkan bagaimana besaran organisasi, spesialisasi dan tipe paksaan yang dianggap layak.  Ada keberagaman dalam penerapan parameter itu antara satu negara dengan negara lain.  Untuk parameter legitimasi misalnya, terdapat pemberian monopoli kepada polisi dari suatu elite dalam masyarakat (publik)  atau elite politik di parlemen (undang-undang).  Demikian pula dalam hal penerapan parameter fungsi. Misalnya dalam tugas-tugas yang dilekatkan pada polisi antara pemeliharaan hukum dengan ketertiban (order), pencegahan, dan pendeteksian tidaklah sama antar setiap negara. Untuk parameter struktur juga terdapat variasi dalam pengorganisasian polisi, sentralisasi atau desentralisasi.
Oleh karena itu di berbagai negara terdapat model kepolisian yang berbeda-beda. Untuk memahami model kepolisian di suatu negara, kita harus melihat sistem kepolisian yang diterapkan, meliputi aspek –aspek organisasi, pembinaan Personel, dan dukungan administrasi. Untuk memahami secara tepat model yang diterapkan, menurut Terril (dalam Muhammad, 2001: 2), beberapa pendekatan yang bisa dilakukan, yaitu melalui pendekatan antropologis, struktur lembaga pemerintahan khususnya lembaga peradilan pidana, sistem politik, falsafah atau prinsip-prinsip yang dianut, serta cara yang biasanya dilakukan untuk menganalisa dan memecahkan masalah.
Secara umum model kepolisian di dunia terbagi dalam tiga kelompok sistem, yaitu:
1.              Fragmented System of Policing (Sistem kepolisian terpisah atau berdiri sendiri). Disebut juga sistem  Desentralisasi yang ekstrim atau tanpa sistem, dimana adanya kekhawatiran terhadap penyalahgunaan dari suatu organisasi Polisi yang otonom dan dilakukan pembatasan kewenangan Polisi. Sistem ini dianut oleh negara-negara yaitu Belgia, Kanada, Belanda, Switzerland, Amerika Serikat.
2.              Centralized System of Policing (Sistem Kepolisian Terpusat) . Berada langsung dibawah kendali pemerintah. Negara-negara yang menganut system ini adalah Perancis, Italia, Finlandia, Israel, Thailand, Taiwan, Irlandia, Denmark, Swedia. Indonesia termasuk dalam sistem ini. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 5 ayat 2 yang menyebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah kepolisian nasional yang merupakan satu kesatuan.
3.               Integrated System of Policing (Sistem Kepolisian Terpadu),  disebut juga sistem desentralisasi moderat atau kombinasi atau kompromi, merupakan sistem kontrol yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah agar terhindar  dari penyalahgunaan organisasi Polisi Nasional serta efektif, efisien, dan seragam dalam pelayanan.  Negara-negara yang menganut hal ini adalah Jepang, Australia, Brasilia, dan Inggris.
Masing-masing sistem kepolisian tersebut memiliki kelebihan serta kelemahan  tersendiri sehingga memang benar apabila disebutkan bahwa ”tidak ada satu sistem kepolisian yang sempurna”. Oleh karena itulah dalam praktik kepolisian  dipandang  perlu untuk menelaah lebih lanjut terkait dengan berbagai kelemahan  maupun kelebihan dimaksud melalui suatu metode perbandingan antar  sistem  kepolisian dalam rangka mendapatkan pemahaman secara integral tentang perbedaan yang terdapat  antara suatu sistem kepolisian pada suatu negara tertentu dengan sistem kepolisian negara lain.

VI.          Penutup

Secara umum model kepolisian sebagai pilihan kelembagaan kepolisian suatu negara tidak dapat berjalan dengan baik jika kepolisian tidak mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari masyarakat. Monica Den Boer (2011: 17) menyatakan tidak ada satu bentuk baku dari model perpolisian, karena  akan  tergantung dari strategi, kebijakan, program, dan mandat yang selalu berubah-ubah sesuai dengan dinamika organisasi dan pengaruh global maupun internal suatu negara. Lembaga kepolisian memiliki tanggung-jawab dan tugas yang sangat beragam, dimana penegakan hukum hanyalah salah satunya saja.
Polisi harus menjaga dan memperbaiki ketertiban masyarakat dan menyediakan bantuan serta pertolongan dalam keadaan darurat. (Crawshaw dalam Boer, 2011; 7). Hal ini karena tugas utama polisi adalah memberikan pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat, seperti doktrin yang dipakai oleh polisi seluruh dunia, termasuk di Indonesia yaitu “to protect and to serve”. Namun khusus di Indonesia, sesuai dengan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, doktrin melindungi dan melayaniu tersebut ditambah dengan mengayomi.
Kosa kata “mengayomi” menunjukkan bahwa tujuan utama kehadiran polisi sebagai representasi negara bukan hanya sekadar mewujudkan keamanan daman negeri saja, tetapi mampu membuat semua warga negara merasa “aman”. Soal rasa tidak bisa dilihat dari sekadar fisik saja, tetapi harus bisa dirasakan. Kedamaian sejatinya menjadi frasa yang tepat untuk menunjukkan rasa “aman” tersebut. Pelayanan sektor keamanan dalam konteks kepolisian, pada hakikatnya adalah mewujudkan rasa “terayomi” tersebut. Maka tidaklah salah jika dalam Undang-Undang Noor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI terdapat kosa kata melindungi, mengayomi, dan melayani, karena inilah esensi peran negara dalam sektor keamanan. (*)

Daftar Pustaka


Amal, Ichlasul (editor). 1996. Teori-teori Mutakhir Partai Politik. Yogyakarta : PT Tiara Wacana.
Anggoro, Kusnanto. 2009. Post-Conflict Peace Building: Naskah Akademik untuk Penyusunan Manual. Jakarta : ProPatria Institute.
Baldwin, Robert and Richard Kinsey (diterjemahkan Kunarto). 2002. Police Powers and Politics (Kewenangan Polisi dan Politik). Jakarta : Penerbit Cipta Manunggal.
Basah, Sjachran. 2011 (cetakan kesembilan). Ilmu Negara; Pengantar, Metode, dan Sejarah Perkembangan. Bandung : Penerbit PT Citra Aditya Bakti.
Bayley, David H. 1998. Police for The Future – Polisi Masa Depan. Terjemahan Kunarto dan Khobibah M. Arief Dimyati. Jakarta : Cipta Manunggal.
Belson, William A. 1975. The Public and the Police. London : Harper & Row Publishers.
Boer, Monica den and Changwon Pyo. 2011. Good Policing : Instruments, Models and Practices. Published : Asia – Europe Foundation and Hanns Seidel Foundation Indonesia.
Bruce, David and Rached Neild. 2005. The Police That We Want : A Handbook for Oversight of Police in South Africa. The Centre for the Study of Violence and Reconciliation.
Bruce, Tammy. 2003. The New Thought Police : Inside the Left’s Assault on Free Speech and Free Minds. New York : Three Rivers Press.
Bryan A. Garner. 1999. Black s Law Dictionary, Seventh Edition, West Group, St. Paul, Minn.
Budiardjo, Miriam. 2010 (edisi revisi; cetakan kedua). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Campbell, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial. Terjemahan oleh F. Budi Hardiman. Yogyakarta : Kanisiun.
Darmono, dkk. 2010. Keamanan Nasional : Sebuah Konsep dan Sistem Keamanan bagi Bangsa Indonesia. Jakarta : Dewan Ketahanan Nasional.
Djamin, Awaloedin. 2007. Kedudukan Kepolisian Negara RI dalam Sistem Ketatanegaraan Dulu, Kini dan Esok. Jakarta : PTIK Press.
Green, Gion and Raymond C. Farber. 1978. Introduction to Security. Los Angeles, California: Security World Publishing.
Habermas, Jurgen. 2007. Ruang Publik : Sebuah Kajian tentang Kategori Masyarakat Borjuis. Terjemahan Yudi Santoso. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Hasanuddin, TB. 2013. Arsitektur Keamanan Nasional. Jakarta : Penerbit Wahana Semesta Intermedia.
Hungtinton, Samuel P & Joan M. Nelson. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang (dari judul asli : No Easy Choice Political Participation in Developing Countries). Terjemahan oleh Sahat Simamora. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Ibrahim, Amin. 2006. Model Ketahanan Nasional sebagai Model Administrasi Negara untuk Memberdayakan Otonomi Daerah. Bandung : Penerbit Mandar Maju
Kantaprawira, Rusadi. 1990 (cetakan kedua). Sistem Politik Indonesia : Suatu Model Pengantar. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Labolo, Muhadam dkk  (Ed). 2008. Beberapa Pandangan Dasar tentang Ilmu Pemerintahan. Malang : Bayumedia Publishing.
Lippmann, Walter. 1999. Filsafat Publik. Terjemahan Rahman Zainuddin. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Losco, Joseph & Leonard Williams. 2005. Political Theory, Kajian Klasik dan Komtemporer. Terjemahan Haris Munandar. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.
Mariana, Dede. 2011. Ilmu Pemerintahan. Bandung : Penerbit Pusat Kajian Pemberdayaan Desa
Muradi. 2014. Politics and Governance in Indonesia: The Police in the Era of Reformasi. Routledge.
Rahardjo, Satjipto. 2003. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Sabine, George H. 1977 (cetakan ketiga). Teori-teori Politik : Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya. Terjemahan Soewarno Hadiatmodjo. Jakarta : Penerbit Binacipta
Shapland, Joana & Jon Vagg. 1988. Policing by The Public. London : Routledge.
Shively, W. Phillips. 1983. Power and Choice : An Introduction to Political Science. New York : McGraw-Hill.
Stone, Deborah A. 1988. Policy Paradox and Political Reason. Braindeis : Harper Collins Publishers.
Sujito, Arie (et. al). 2002. Demiliterisasi, Demokratisasi dan Desentralisasi. Yogyakarta : Institute for Research and Empowerment.
Suseno, Frans Magnis. 2003. Etika Politik : Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Walker, Samuel. 2001. Police Accountability : the Role of Citizen Oversight. Terjemahan oleh Tim PTIK. Omaha, USA : Wadsworth.
Wulan, G. Ambar. 2009. Polisi dan Politik; Intelijen Kepolisian pada Masa Revolusi Tahunh 1945-1949. Jakarta : Rajawali Pers.


[1] Tulisan ini sebagian besar diambil dari Disertasi penulis yang berjudul : “Implementasi Kebijakan Pelayanan Sektor Keamanan Dan Ketertiban Masyarakat Dalam Konteks Otonomi Daerah”  (2014)

[2] Dr. A. Wahyurudhanto, M.Si, menyelesaikan program Doktor Ilmu Administrasi, konsentrasi Ilmu Pemerintahan di FISIP Universitas Padjadjaran, dosen tetap pada program sarjana dan pascasarjana di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian – PTIK, beralamat di wrudhanto@gmail.com

[3]    Hobbes (1588-1679) hidup pada kondisi negaranya sedang kacau balau karena Perang Saudara; bahwa Hobbes menginginkan negaranya stabil dan Hobbes mempunyai ikatan karier dan politik dengan kalangan kerajaan, sehingga dalam persaingan kerajaan versus parlemen Hobbes memihak kerajaan dan antiparlemen yang dianggap sumber utama perang saudara.

[4]    Locke hidup (1632-1704) setengah abad lebih muda daripada Hobbes. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Locke merasa hidup di tengah-tengah kekuasaan kerajaan despotik; bahwa Locke mendapat pengaruh dari semangat liberalisme yang sedang bergelora di Eropa pada waktu itu; dan bahwa Locke mempunyai ikatan karier dan politik dengan kalangan parlemen yang sedang bersaing dengan kerajaan, sehingga Locke cenderung memihak parlemen dan menentang kekuasaan raja.

[5]    Rousseau (1712-1778) hidup dalam abad berbeda dan negara berbeda pula. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Rousseau berasal dari kalangan biasa yang merasakan kesewenang-wenangan kerajaan; dan bahwa Rousseau mengilhami dan terlibat dalam Revolusi Perancis.
[6]    Kondisi di Indonesia pada Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Umum Presiden / Wakil Presiden pada tahun 2014, bersamaan dengan dilakukannya penelitian ini menunjukkan betapa persaingan antarpartai pendukung Presiden Terpilih Joko Widodo – Jusuf Kalla dengan pendukung pasangan Prabowo – Hatta Rajasa menunjukkan adanya persaingan keras antara elit dan pendukung. Di sini peran Polri untuk menjaga agar persaingan tersebut tidak sampai menimbulkan konflik dominan sangat signifikan.
[7]    Lebih lengkap bisa dibaca pada Kajian Konstitusional tentang Peranan Polri dalam Pengelolaan Keamanan Negara, Markas Besar Kepolisian Negara RI, 2005.
[8]    Disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VllI, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM RI, di Hotel Kartika Plaza, Denpasar, 14 Juli 2003.

*** Tulisan ini sudah dimuat di Jurnal Ilmu Kepolisian, Edisi 085, Juni 2016.

Tidak ada komentar: