Pelayanan Sektor Keamanan oleh Negara : Konteks Kepolisian[1]
Oleh : A. Wahyurudhanto[2]
Abstrak:
Membahas pelayanan sektor keamanan oleh negara, tentu tidak akan bisa
keluar dari konteks pembahasan mengenai posisi dan peran negara. Kehadiran
negara menjadi sangat penting ketika warga negaranya merasa memang dalam
kehidupoannya sehari-hari merasa dilindungi dan diayomi. Prinsip kewajiban
kehadiran negara yang menjadi ukuran peran negara dalam menunjukkan betapa signifikannya
indikator keamanan dalam proses berjalannya sistem pemerintahan yang normal. Sektor
keamanan dalam suatu masyarakat dan negara yang tetap mampu menjalankan
berbagai nilai yang terkandung dalam konsep tata pemerintahan yang baik, besar
kemungkinan akan mampu pula mempertahankan situasi stabil yang kondusif bagi
perpolitikan, perekonomian dan kehidupan sosial pada umumnya. Untuk itu
diperlukan lembaga yang dapat menjaga dan memberikan jaminan bagi masyarakat
untuk dapat beraktivitas dalam
keseharian dengan wajar dan beradab, lembaga tersebut adalah kepolisian.
Kata Kunci : Sektor Keamanan, Negara, Kepolisian,
Publik, Mengayomi
I.
PENDAHULUAN
Para pemikir klasik mendefinisikan
negara antara lain sebagaimana dikemukakan Thomas Aquinas, bahwa negara
merupakan lembaga sosial manusia paling tinggi dan luas yang menjamin kemampuan
lingkungan sosial yang lebih kecil seperti koda dan desa. (Mariana, 2011; hal
77). Salah satu teori terbentuknya negara adalah Teori Kontrak Sosial yang
menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena anggota masyarakat
mengadakan kontrak sosial untuk membentuk negara. Dalam teori ini, sumber
kewenangan adalah masyarakat itu sendiri. Bahasan tentang teori kontrak sosial
ini bisa dilihat dari tiga karya pemikir utamanya, yaitu Thomas Hobbes, John
Locke, dan Jean Jacques Rousseau.
Teori kontrak sosial berkembang dan
dipengaruhi oleh pemikiran Zaman
Pencerahan (Enlightenment Era) yang
ditandai dengan rasionalisme, realisme, dan humanisme, yang menempatkan manusia
sebagai pusat gerak dunia. Pemikiran bahwa manusia adalah sumber kewenangan
secara jelas menunjukkan kepercayaan terhadap manusia untuk mengelola dan
mengatasi kehidupan politik dan bernegara. Hobbes, Locke dan Rousseau sama-sama
berangkat dari, dan membahas tentang, kontrak sosial dalam analisis-analisis
politik mereka. Mereka sama-sama mendasarkan analisis-analisis mereka pada
anggapan dasar bahwa manusialah sumber kewenangan. Akan tetapi tentang
bagaimana, siapa mengambil kewenangan itu dari sumbernya, dan pengoperasian
kewenangan selanjutnya, mereka berbeda satu dari yang lain. Perbedaan-perbedaan
itu mendasar satu dengan yang lain, baik di dalam konsep maupun (apalagi!) di
dalam praksisnya.
Salah satu faktor penyebab perbedaan
itu adalah latar belakang pribadi dan kepentingan masing-masing. Hobbes hidup
dalam kondisi negara yang tidak stabil. [3] Sementara Locke hidup dalam pengaruh
liberalisme yang mulai tumbuh di Eropa[4]. Dan Rousseau mengalami situasi otoriter
kerajaan sampai dia terlibat dalam Revolusi Perancis.[5] Dalam membangun teori kontrak sosial, Hobbes,
Locke dan Rousseau memulai dengan konsep kodrat manusia, kemudian konsep-konsep
kondisi alamiah, hak alamiah dan hukum alamiah.
Oleh karena kondisi alamiah, karena
ulah beberapa orang yang biasanya punya power,
tidaklah menjamin keamanan penuh, maka seperti halnya Hobbes, Locke juga
menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman penuh menuju
kondisi aman secara penuh. Manusia menciptakan kondisi artifisial (buatan)
dengan cara mengadakan kontrak sosial. Masing-masing anggota masyarakat tidak
menyerahkan sepenuhnya semua hak-haknya, akan tetapi hanya sebagian saja.
Antara pihak (calon) pemegang pemerintahan dan masyarakat tidak hanya hubungan
kontraktual, akan tetapi juga hubungan saling kepercayaan (fiduciary trust). (Locke, 1960: 84)
Locke menegaskan bahwa ada tiga
pihak dalam hubungan saling percaya itu, yaitu yang menciptakan kepercayaan itu
(the trustor), yang diberi
kepercayaan (the trustee), dan yang
menarik manfaat dari pemberian kepercayaan itu (the beneficiary). Antara trustor
dan trustee terjadi kontrak yang
menyebutkan bahwa trustee harus patuh
pada beneficiary, sedangkan antara trustee dan beneficiary tidak terjadi kontrak sama sekali. Trustee hanya menerima obligasi dari beneficiary secara sepihak. Dari pemahaman tentang hubungan saling
percaya dan kontraktual itu tampak bahwa pemegang pemerintahan atau yang diberi
kepercayaan mempunyai hak-hak dan kewenangan yang sangat terbatas, karena
menurut Locke masyarakatlah yang dapat bertindak sebagai trustor sekaligus
beneficiary. Dari uraian Locke, tampak nyata bahwa sumber kewenangan dan
pemegang kewenangan dalam teori Locke tetaplah masyarakat. Oleh karena itu
kewajiban dan kepatuhan politik masyarakat kepada pemerintah hanya berlangsung
selama pemerintah masih dipercaya. Apabila hubungan kepercayaan (fiduciary trust) putus, pemerintah tidak
mempunyai dasar untuk memaksakan kewenangannya, karena hubungan kepercayaan
maupun kontraktual sifatnya adalah sepihak.
Maka membahas pelayanan sektor keamanan oleh negara, tentu tidak akan bisa
keluar dari konteks pembahasan mengenai posisi dan peran negara. Kehadiran
negara menjadi sangat penting ketika warga negaranya merasa memang dalam
kehidupoannya sehari-hari merasa dilindungi dan diayomi. Prinsip kewajiban
kehadiran negara yang menjadi ukuran peran negara dalam proses pemerintahan
yang selalau digloriakan oleh Presiden RI Jokowi menunjukkan betapa signifikannya
indikator keamanan dalam proses berjalannya sistem pemerintahan yang normal
yang mengedepankan kepentingan publik dalam setiap kiprahnya.
II.
Peran Negara
Mengenai pandangan yang menyangkut
unsur pokok bagi sebuah negara, ada yang menyebut empat unsur, ada pula yang
lebih. Pandangan yang menyebutkan unsur pokok sebuah negara terdapat empat
unsur dikemukakan oleh Affandi (dalam Mariana, 2001: 93) sebagai berikut :
1.
Penduduk, yakni sejumlah
orang-orang yang berkediaman tetap di dalam suatu daerah tertentu yang
dijadikan wilayah negara;
2.
Wilayah atau daerah,
yaitu suatu bagian tertentu dari permukaan bumi yang didiami secara tetap oleh
penduduk sebuah negara;
3.
Pemerintah, yaitu suatu
organisasi politik yang menyatakan dan melaksanakan kehendak serta
undang-undang negara;
4.
Kedaulatan, yaitu
kekuasaan tertinggi dari negara terhadap orang-orang dan badan-badan serta
organisasi-organisasi yang berada dalam batas wilayah negara. Di samping itu
kedaulatan tersebut merupakan pula kebebasan negara dari suatu kekuasaan lain
yang berada di luar negara tersebut.
Keempat
unsur pokok tersebut sesuai dengan apa yang ditentukan dalam perjanjian
internasional yang diadakan oleh beberapa negara Amerika latin dan Amerika
Serikat pada tahun 1933 di kota Montevideo.
Berkaitan
dengan negara sebagai kajian studi, dalam perkembangannya kajian itu lebih
fokus pada penyelenggaraan negara, yang merupakan kajian dalam ilmu
pemerintahan. Dalam studi pemerintahan bisa dibahas masalah eksekutif, baik pada tingkat
“presidency” maupun pada tingkat
lokal. Demikian juga bisa dikaji persoalan “legislatures”
terutama yang berkaitan dengan sejarah, kedudukan, fungsi serta peranan lembaga
tersebut. Pemahaman terhadap lembaga MA, MPR, TNI, masalah kepartaian dan
pemilu, perilaku politik, sosialisasi politik, politik pembuatan kebijakan,
analisis dan implementasi serta evaluasi kebijakan yang ditempuh. Jadi, ruang
lingkup ilmu pemerintahan adalah “hubungan antara pemerintah dan rakyat dalam
rangka mencapai kesejahteraan bersama”. Dari berbagai pendapat serta pandangan
sebagaimana diungkapkan di atas masih terlihat bahwa belum ada kesamaan
pendapat mengenai objek formal ilmu pemerintahan yang memang sangat luas bidang
cakupannya.
Konsep ilmu pemerintahan
ini secara hakekat bisa dipahami merupakan turunan dari pemikiran Thomas Hobbes
yang menekankan perlunya adanya hukum dan keteraturan dalam pengelolaan negara
oleh pemerintah yang berkuasa. Hobbes dalam dua bukunya yang terkenal, yaitu De Cive (tentang warga negara) dan Leviathan (tentang negara), secara tegas
mengilustrasikan fungsi negara adalah menjaga adanya keseimbangan karena
keadaan yang bebas atau tanpa ikatan, yang menurutnya disebut sebagai keadaan in abstracto. (dalam Sinamo, 2011: 32).
Dalam bukunya
disebutkan, kondisi in abstracto
tersebut bisa menyebabkan kondisi omnium
contra omnes, yaitu terjadi permusuhan antar manusia. Oleh karena itu
diperlukan aparatur yang disebut negara untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Kondisi buruk yang dikhawatirkan tersebut adalah :
a.
Competition, atau persaingan. Arttinya ada
kecenderungan manusia selalu berlomba untuk mengatasi manusia yang lain. Dari
sinilah kemudian muncul adanya hegemoni, baik itu hegemoni sosial maupun
hegemoni politik. Hegemoni akan bermuara pada kekuasaan, yang pada alam
demokrasi dikelola oleh partai-partai politik.[6]
b.
Defentio, atau defend
atau mempertahankan diri. Di sini dimaksudkan bahwa ada kecenderungan
manusia tidak suka dikuasai atau dikooptasi oleh orang lain. Akibatnya akan
muncul pembelaan diri, karena adanya tekanan dari pihak lain yang membuatnya
tidak nyaman. Tekanan dan hasrat mempertahankan diri ini jikka tidak dikelola
akan menyebabkan konflik berupa gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat.
c.
Gloria atau pujian. Yaitu kondisi bahwa manusia selalu
ingin dihormati, disegani, dan dipuji, Maka mekanisme kehidupan berbangsa dan
bernegara telah secara otomatis memberikan ruang untuk kondisi ini, seperti
halnya kedaulatan rakyat. Hak rakyat yang dalam eksplisit muncul pada Hak Asasi
Manusia merupakan bukti adanya kebutuhan akan gloria ini. Tugas negara akan menjaga agar kondisi selalu ada dan
tidak ada penghambat untuk aktualisasi hak-hak manusia.
Oleh karena itu dalam
perkembangannya maka munculnya peradaban-peradaban dengan perangkat hukum untuk
menjaga tegaknya negara beserta warga negara dengan hak-haknya. Melalui
tahapan-tahapan pemerintahan di belahan dunia, termasuk di Indonesia, maka
munculah kesepahaman dunia akan perlunya kehidupan yang lebih baik untuk
mewujudkan negara kesejahteraan dan negara berkeadilan.
Pola pemikiran
Hobbes tersebut sangatlah dipengaruhi oleh pengalaman sehari-hari dalam aktivitasnya
selama era pergolakan. Hobbes sangat terkesan oleh tuntutan akan kekuasaan
politik yang kuat untuk mengeluarkan tatanan yang ada dari pergolakan yang
mengancam masyarakat sipil. Hobbes mendeskripsikan keinginan manusia dan etika dari
segi gerakan. Berpegang pada pandangannya bahwa yang riil hanyalah tubuh dan
gerakannya, ia menyatakan bahwa perasaan harus mencakup gerakan partikel-partikel.
Obyek-obyek eksternal menekan organ-organ indra dan menimbulkan gerakan yang
terus bergerak ke dalam sampai ia mencapai pusat organ otak. Disini terjadi
reaksi terhadap gerakan yang menimbulkan upaya atau tindakan keluar pada subyek
yang sadar menuju obyek yang ditangkap.
Berawal dari premis-premis psikologi yang dibangunnya, Thomas Hobbes
menyimpulkan bahwa keadaan normal manusia adalah keadaan konflik terus menerus,
perasaan yang brutal dalam meraih kedudukan dan kekuasaan. Teori dan
ajaran Thomas Hobbes dalam bidang hukum bahwa hukum sebagai kebutuhan dasar
bagi keamanan individu. Di tengah orang-orang liar yang suka saling memangsa,
hukum merupakan alat yang penting bagi terciptanya masyarakat yang aman dan
damai. Bagi Hobbes, sesuai posisinya sebagai penganut materialisme, manusia
(sejak zaman purbakala) dikuasai oleh nafsu-nafsu alamiah untuk memperjuangkan
kepentingannya sendiri. Tidak ada pengertian adil atau tidak adil. Yang ada,
hanyalah nafsu-nafsu manusia. Dalam keadaan seperti itu terjadilah bellum omnium contra omnes di mana
setiap orang selalu memperlihatkan keinginannya yang sungguh-sungguh egoistis.
Konsep
negara seperti dinyatakan oleh Hobbes sampai sekarang maskih aktual dan menjadi
aspirasi dalam pengembangan pengelolaan negara dalam zaman modern seperti
sekarang ini, dimana negara adalah pemerintahan yang kuat untuk memberikan
jaminan keamanan bagi warganya. Termasuk di Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) yang telah memilih demokrasi sebagai ideologi dalam perilaku
pemerintahan, sangat terasa bahwa semangat yang dikembangkan oleh Hobbes saat
ini teraktualisasi. Pemerintah sebagai penyelenggara negara kemudian diartikan
sebagai sekelompok orang yang bertanggung jawab atas penggunaan kekuasaan. (The International Encyclopedia of Social
Science, 1947, dalam Labolo, 2006: 16). Proses dimana pemerintahan
seharusnya bekerja menurut fungsi-fungsinya banyak dirumuskan sarjana pemerintahan seperti
Rosenbloom atau Michael Goldsmith yang lebih menegaskan mengenai fungsi negara.
Ryass Rasyid
(dalam Lamboto, 1996: 22) membagi tugas negara atau fungsi pemerintahan menjadi
empat bagian, yaitu pelayanan (public
service), pembangunan (development),
pemberdayaan (empowering), dan
pengaturan (regulation). Menurutnya,
dengan mengutip Franklin D. Rosevelt, fungsi-fungsi pemerintahan yang
dijalankan pada saat tertentu akan menggambarkan kualitas pemerintahan itu
sendiri. Pada bagian lain, Rasyid menegaskan bahwa tujuan utama dibentuknya
pemerintahan adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban dimana masyarakat
bisa menjalankan kehidupan secara wajar. Kondisi ini yang biasa disebut sebagai
keadaan keamanan dan ketertiban masyarakat yang terjaga.
Dalam kaitan
untuk menjaga kondisi kemanan dan ketertiban masyarakat ini, untuk mengemban
tugas negara tersebut menurut Ndraha (2000: 78-79), pemerintah mempunyai dua
fungsi dasar, yaitu fungsi primer atau
fungsi pelayanan, dan fungsi sekunder atau fungsi pemberdayaan. Fungsi primer,
yaitu fungsi pemerintah sebagai provider jasa-jasa publik yang tidak dapat
diprivatisasikan, termasuk di sini jasa pertahanan dan keamanan, layanan sipil,
dan layanan birokrasi. Fungsi pelayanan akan membuahkan keadilan bagi
masyarakat. Dengan demikian pelayanan sektor keamanan dan ketertiban masyarakat
pada hakekatnya adalah salah satu fungsi negara atau pemerintahan.
Kepolisian
Negara RI (Polri) sebagai bagian dari pemerintahan negara, dengan demikian
merupakan representasi dari negara yang mempunyai salah satu kewajiban yaitu
memberikan pelayanan dalam sektor keamanan dan ketertiban masyarakat. Oleh
karena itu, dalam kaitan dengan pelayanan sektor keamanan oleh negara, posisi
Polri sangatlah dominan sebagai pelaksana pemerintahan yang dalam satu tugas
pokoknya adalah memberikan rasa aman dan jaminan keamanan serta ketertiban
masyarakat.
III.
Keamanan Nasional
Pemahaman mengenai pengertian
keamanan nasional di Indonesia sampai sekarang tidak pernah menemui kata
sepakat. Banyak kepentingan yang menjadikan untuk menyepakati definisi keamanan
nasional tidak pernah mencapai titik
temu. Salah satunya dalam pandangan Dewan Pertahanan Nasional. Dalam buku “Keamanan Nasional : Sebuah Konsep dan Sistem
Keamanan bagi Bangsa Indonesia” dinyatakan bahwa reformasi
sektor keamanan (security sector reform) yang telah dilakukan Indonesia
sejak memasuki era reformasi masih menimbulkan berbagai problematika yang
terkait dengan konsep dan sistem keamanan nasional. Problematika tersebut
terlihat dalam berbagai fenomena seperti perdebatan mengenai pengertian tentang
keamanan nasional, dan keamanan negara; perdebatan mengenai fungsi keamanan
dengan fungsi pertahanan; regulasi yang belum lengkap dan belum
tersinkronisasi; dan status kementerian dan lembaga yang terkait dengan fungsi
keamanan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Kesemuanya itu telah
menimbulkan polemik yang berkepanjangan.
(Darmono, dkk, 2010 : 2-3).
Munculnya polemik menunjukkan bahwa semua pihak sangat berkepentingan
dan memberikan perhatian yang sunguh-sungguh terhadap sektor keamanan. Namun
di sisi lain, polemik yang demikian tidak bisa dibiarkan begitu saja karena
akan sangat mempengaruhi efektifitas operasionalisasi sektor keamanan dalam
menjalankan tugas dan fungsi yang diemban. Tidak ada yang dapat menjamin masa
depan keamanan negara bangsa ketika konsep keamanan nasional masih saja harus
terus berkutat dalam polemik tersebut.
Perdagangan bebas yang
sedang berlangsung di belahan dunia telah mempertajam persaingan antar bangsa
dalam mempertahankan kepentingan ekonominya.
Demikian pula persaingan antar negara-negara maju dalam bidang ekonomi
telah memicu penguasaan sumber-sumber ekonomi di dunia seperti energi, dan
sumber daya alam lainnya. Kondisi ini juga telah menimbulkan keresahan internal
khususnya akibat praktek perdagangan bebas negara antar kawasan, dan memicu
ketegangan hubungan dan pertikaian kepentingan antar negara. Negara-negara yang
lemah dalam sistem keamanan nasionalnya sudah barang tentu akan menanggung
resiko yang lebih besar. Dalam pemikiran
Dewan Pertahanan Nasional setidaknya ada lima
pokok-pokok pikiran yang mendasari mengenai pemahaman keamanan nasional,
yaitu:
Pertama, menempatkan keamanan nasional Indonesia
sebagai konsep keamanan bangsa Indonesia yang berorientasi pada kepentingan nasional berdasarkan filosofi Pancasila dan
amanat Pembukaan UUD RI 1945 untuk mempertahankan eksistensi negara bangsa
serta jati dirinya di tengah dinamika dan perubahan zaman.
Kedua, memperkenalkan konsep keamanan nasional
bagi bangsa Indonesia yang berdasarkan pertimbangan empiris, teoritis, dan
tuntutan zaman, sehingga tidak melupakan kegagalan dan keberhasilan masa lalu,
dapat mengakomodasi berbagai kepentingan dalam masyarakat, perbedaan pemahaman
serta pengertian tentang keamanan, dan tentu saja merespon dinamika
perkembangan zaman. Dengan demikian diharapkan ada persamaan persepsi tentang
keamanan nasional.
Ketiga, menempatkan konsep keamanan nasional
bangsa Indonesia sebagai kesepakatan bersama antara pemikiran dan pandangan
para ilmuwan, praktisi, birokrat, politisi, kalangan militer dan civil society
dengan tetap merujuk kepentingan nasional dalam kerangka menyelamatkan bangsa
dan negara dengan menjunjung prinsip-prinsip demokrasi, akuntabilitas,
transparansi, dan partisipasi. Konsep keamanan nasional yang demikian itu akan
responsif terhadap dinamika perkembangan lingkungan, baik lingkungan global,
regional, maupun nasional. Implementasinya dikelola secara sinergis oleh semua
kementerian dan lembaga serta didukung partisipasi masyarakat, berjangkauan
kedepan, dan adaptif terhadap dinamika perkembangan lingkungan.
Keempat, mengantisipasi dinamika
eksternal baik pada tingkat regional maupun global terkait paradigma keamanan.
Diakui bahwa konsep keamanan pada era globalisasi sangat dipengaruhi oleh
perkembangan kesadaran atas pentingnya demokrasi dan HAM bagi perdamaian dan
keselamatan umat manusia di dunia.
Kesemuanya itu mengakibatkan pergeseran paradigma konsep keamanan
nasional. Konsep keamanan nasional yang
semula hanya berorientasi pada state centered security kini bergeser dan
semakin meluas sehingga orientasinya mencakup state centered security dan
people centered security. Keamanan bukan hanya menjadi domain
kepentingan negara tetapi juga domain kepentingan individu dan masyarakat pada
umumnya, serta terkait dengan perkembangan internasional. Karenanya keamanan
menjadi bersifat comprehensive, tidak bersifat tunggal tetapi majemuk
sehingga pengelolaannya menjadi tanggung jawab kolektif.
Kelima, merespon kompleksitas dan interrelasi
antar berbagai bentuk dan jenis ancaman, baik yang ancaman tradisional maupun
nontradisional. Ancaman tradisional berubah dalam magnitude dan
kualitasnya, sedangkan ancaman nontradisional semakin kompleks, antara lain
dalam bentuk gerakan separatis, terorisme internasional, kejahatan etnis,
kemiskinan kronis yang terus berlangsung, human trafficking, climate change,
health pandemic, keruntuhan ekonomi dan krisis keuangan.
Pengertian tentang
pemahaman keamanan nasional tersebut kemudian menjadi bahan perdebatan terutama
di kalangan militer maupun sipil. Bagi kalangan sipil, persoalan keamanan
nasional harus dilepaskan dari pengaruh militer. Namun dari pandangan lain
menyebutkan bahwa keamanan nasional adalah tanggung jawab bersama, sehingga
semua komponen harus memikirkan dan ikut berperan.
Pandangan lain menyebutkan
perlunyanya dibangun kesepahaman tentang makna yang terkandung dalam rumusan
Pasal 30 UUD 1945 yang dikaitkan dengan makna yang tertuang dalam Ketetapan MPR
Nomor VI dan VII sebagai suatu kesatuan yang melengkapi yang bersama-sama
ditetapkan dalam Sidang Umum MPR tahun 2000. Ada dua permasalahan yang perlu
dikaji dari rumusan pasal 30 UUD 1945, yaitu frasa “usaha pertahanan dan
keamanan negara”. Pertama, apakah Hankamneg merupakan dua fungsi (konsep),
yaitu fungsi pertahanan dan keamanan (negara), atau merupakan satu kesatuan
fungsi. Persandingan kata “pertahanan” (upaya atau proses) dan kata “keamanan”
(kondisi atau outcomes) menimbulkan
persoalan dari segi semantik bahasa, sehingga tidak mungkin dipandang sebagai
dua fungsi. Dengan mengkaitkan pada Tap
MPR Nomor VI dengan TAP MPR Nomor VII, maka yang menjadi tugas Polri hanya
menyangkut “keamanan dan ketertiban masyarakat” dalam menjamin “keamanan dalam
negeri”. Akibatnya muncul pertanyaan, siapa yang menjadi aktor keamanan negara.[7]
IV.
Keamanan Publik
Pemahaman mengenai pertahanan dan
keamanan ini sangat lekat, karena pada Undang Undang Dasar RI 1945 jelas-jelas
disebutkan bahwa keamanan masuk dalam pembahasan pertahanan negara. Pada UUD RI
1945 asli, Pasal 30 ayat (1) menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak
dan wajib ikut serta dalam usaha
pembelaan negara. Kemudian pada UUD RI 1945 setelah amandemen, pada Pasal 30
ayat (2), yang merupakan bagian dari Bab XII tentang Pertahanan Negara,
disebutkan : Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai
kekuatan pendukung.
Kerancuan ini menyebabkan pembahasan
konsep keamanan selalu terkait dengan konsep pertahanan, karena adanya
pemahaman bahwa persoalan keamanan selalu terkait dengan pertahanan, maka wajar
jika berkembang adalah wacana mengenai keamanan nasional. Padahal pada
hakekatnya, wilayah yang menjadi tanggung-jawab Polri adalah keamanan dalam negeri yang sering juga disebut sebagai keamanan
publik. Karena yang harus dikelola bukan hanya warga negara Indonesia saja,
tetapi juga warga negara asing yang berada di Indonesia. Hal inilah yang
menjadikan konsep keamanan publik lebih tepat dalam pembahasan penelitian ini.
Keamanan publik atau keamanan umum
tidak terbahas dalam UUD 1945 karena adanya pemahaman bahwa keamanan adalah
bagian dari pertahanan. Nomenklatur keamanan umum justru terdapat pada
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan pada Undang Undang Dasar
Sementara 1950. Pada Kontitusi RIS, pada Bagian 6 tentang Pertahanan Kebangsaan
dan Keamanan Umum, ditegaskan dalam Pasal 185 ayat (2) bahwa untuk menjamin
ketertiban, ketentraman dan keamanan umum, maka atas permintaan pemerintah
daerah bagian, Pemerintah Republik Indonesia Serikat dapat memberi bantuan
ketentraman kepada daerah bagian itu. Sedangkan pada Undang Undang Dasar
Sementara 1950, Pasal 130 menyebutkan, untuk memelihara ketertiban dan keamanan
umum diadakan suatu alat kekuasaan
kepolisian yang diatur dengan
undang-undang. Pada UUDS 1950 ini jelas sekali posisi kepolisian, yang
wilayahnya adalah keamanan umum, bukan pertahanan negara yang memang akan
membahas keamanan secara luas yang didefinisikan sebagai keamanan
nasional.
Menurut Adrianus Meliala (artikel,
2010) sektor keamanan (security sector)
pada dasarnya adalah suatu konsep yang umum dipergunakan oleh lembaga-lembaga
multilateral terhadap keberadaan dan aktivitas beberapa lembaga yang secara
langsung maupun tidak langsung terlibat dan memiliki peranan dalam penciptaan
dan pemeliharaan situasi aman di suatu masyarakat atau negara. Pihak-pihak
tersebut adalah: kepolisian, militer, imigrasi, bea dan cukai, intelijen,
kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, badan anti narkotika, badan anti
terror dan badan-badan lain yang memiliki akses pada upaya paksa (forced measures) berdasarkan legalitas
yang ada serta penggunaan senjata. Jumlah, bentuk, penamaan mapun struktur
tiap-tiap lembaga relatif bervariasi antar negara.
Menyadari definisinya, demikian pula
saat menyadari pihak-pihak yang dapat dikategorikan sebagai elemen sektor
keamanan, maka segera dapat diperkirakan aspek strategis dari sektor ini bagi
situasi kemasyarakatan maupun situasi kenegaraan pada umumnya. Sektor keamanan
dalam suatu masyarakat dan negara yang tetap mampu menjalankan berbagai nilai
yang terkandung dalam konsep tata pemerintahan yang baik, besar kemungkinan
akan mampu pula mempertahankan situasi stabil yang kondusif bagi perpolitikan,
perekonomian dan kehidupan sosial pada umumnya. Sebaliknya, sektor
keamanan yang buruk dapat menjadi indikator masyarakat atau negara tengah
berada dibawah pemerintahan yang otoriter, totaliter serta tidak demokratis.
Sektor ini kemudian saling mengkait dengan sektor ekonomi serta hukum,
misalnya, menuju kondisi makro yang semakin memburuk.
Sementara Juwono Sudarsono (2008)
berpendapat bahwa melihat keamanan nasional harus berpijak pada UUD 1945.
Menurutnya, dalam Undang-Undang Dasar
1945 Bab XII berjudul "Pertahanan dan Keamanan Negara". Dalam bab
itu, Pasal 30 Ayat (1) menyebut tentang hak dan kewajiban tiap warga negara
ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Ayat (2) menyebut
"usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat
sebagai kekuatan pendukung". Ayat (3) menyebut tugas TNI sebagai
"mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara".
Ayat (4) menyebut tugas Polri sebagai "melindungi, mengayomi, melayani
masyarakat, dan menegakkan hukum". Ayat (5) menggariskan, susunan dan
kedudukan, hubungan kewenangan TNI dan Polri dalam menjalankan tugas, serta
hal-hal lain yang terkait dengan pertahanan dan keamanan, diatur dengan
undang-undang (UU). Dari pembacaan
Pasal 30 secara utuh Juwono menyatakan dapat disimpulkan, meski TNI dan Polri berbeda dalam struktur organisasi,
namun dalam menjalankan tugas dan fungsi masing-masing keduanya bekerja sama
dan saling mendukung dalam suatu "sistem pertahanan dan keamanan rakyat
semesta". Pengaturan tentang sinkronisasi tugas pertahanan negara (hanneg)
dan keamanan negara (kamneg) itulah yang seyogianya ditata ulang melalui
undang-undang yang membangun adanya "ke-sistem-an" yang baik dan
benar.
Sementara dalam pandangan Hermawan
Sulistyo (2006), perspektif tentang negara adalah konsepsi abstrak mengenai nation-state, yang sosoknya diwakili
oleh Pemerintah, sementara perspektif tentang Nasional lebih merujuk pada
entitas fisik kewilayanan atau batas-batas teritorial suatu nation-state. Oleh karena itu, keamanan
negara merujuk pada pemeliharaan dan kelangsungan kehidupan nation-state, yang
dapat diukur dari parameter-parameter survuvalitas Pemerintah, dalam pengertian
sebagai sosok atau wujud kongkret negara. Pemerintah dimaknakan bukan sebagai
rejim pemerintahan. Pemerintah atau
rejim pemerintahan dapat, bahkan harus, berganti-ganti, tetapi Pemerintah
sebagai representasi Negara tidak dapat dan tidak boleh berubah-ubah. Karena
itu membahas mengenai keamanan nasional,
sekalipun banyak institusi pemerintahan yang ”dibebani” (imbued)
dengan kewenangan dan tugas seperti itu, fokus perhatian harus ditujukan pada
dua institusi terpenting dalam domain ini, yaitu TNI dan Polri. Kedua institusi
ini memang dibentuk untuk itu. Salah satu alasan adalah, militer dan polisi
diberi kewenangan untuk menggunakan kekerasan dan senjata. Kewenangan tersebut
dijabarkan ke dalam sejumlah parameter guna mengukur derajat kinerja
masing-masing. Bagi Polri, rumusan umum yang diterima adalah terciptanya keamanan dan rasa aman masyarakat. Keduanya konsep ini dioperasionalkan
lagi ke dalam sejumlah indikator seperti
perlindungan bagi keselamatan nyawa dan harta benda masyarakat. Sebaliknya,
tentara bertugas menjaga dan memelihara keutuhan nation-state
dalam pengertian fisik teritorial. Diantara keduanyalah masih terbentang
perbedaan tafsir atas apa yang umum disebut sebagai “wilayah abu-abu” (grey
area). Harus ditegaskan di sini, bahwa “wilayah abu-abu” bagi polisi lebih
menyangkut pada protap mekanisme pengambilan keputusan, prosedur operasi
gabungan (seperti dalam hal BKO) dan rincian lain yang landasan kewenangannya
sudah jelas.Tetapi, sejarah peradaban yang menyangkut Negara dan Pemerintah
sebagai representasinya, secara tegas dan formal telah memisahkan kedua
institusi terebut sebagai institusi
militer dan institusi sipil.
TNI adalah institusi militer, dan Polri adalah institusi sipil, derivasi lebih
lanjut dari status, fungsi dan peran tersebut bersifat kompleks dan bervariasi
dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Salah satu contoh kecil adalah
perbedaan tugas untuk membunuh
bagi militer dan melumpuhkan
bagi polisi. Tafsir atas peran ini masih beragam, sebagaimana tampak pada
perdebatan mengenai Protap Dalmas yang disusun Polri
Situasi saat ini menjadikan fenomena
fundamental yang mengubah wacana politik, keamanan dan pertahanan. Fenomena itu
adalah perkembangan teknologi, gelombang demokratisasi, interdependensi
hubungan antar bangsa. Dalam
pandangan Kusnanto Anggoro (2003)[8], dengan
globalisasi sebagai impuls utamanya, fenomena itu telah memporakporandakan
kerangka lama hubungan antar negara, dan secara berarti mengubah gravitasi
politik domestiknegara-negara. Bersama dengan kompleksitas politik dalam
negeri, semua itu mempengaruhi “keamanan
nasional” (national security) suatu negara. Sebab itu, masa transisi
dari negara otoriter menuju negara demokrasi memerlukan berbagai penataan ulang
perundangan yang mengatur tentang "keamanan nasional". Dalam konsep-konsep tradisional, para ilmuwan
biasanya menafsirkan keamanan - yang
secara sederhana dapat dimengerti sebagai suasana bebas dari segala bentuk
ancaman bahaya, kecemasan, dan ketakutan - sebagai kondisi tidak adanya
ancamanfisik (militer) yang berasal dari luar.
Walter Lippmann (dalam Anggoro,
2003) merangkum kecenderungan
tersebut dengan pernyataannya
yang terkenal, “suatu bangsa berada dalam keadaan aman selama bangsa itu tidak
dapat dipaksa untuk mengorbankan nilai-nilai yang dianggapnya penting (vital),
dan jika dapat menghindari perang atau jika terpaksa melakukannya, dapat
keluar sebagai pemenang.” Dengan semangat yang sama, kolom keamanan
nasional dalam International Encyclopedia of the Social Sciences mendefinisikan
keamanan sebagai “kemampuan suatu bangsa untuk melindungi nilai-nilai
internalnya dari ancaman luar".
Tiga ciri penting dari pengertian
tradisional itu adalah: pertama, identifikasi “nasional” sebagai
“negara”; kedua, ancaman diasumsikan berasal dari luar wilayah negara;
dan, ketiga, penggunaan kekuatan militer untuk menghadapi
ancaman-ancaman itu. Tak heran jika Arnold Wolfers sampai pada kesimpulan,
bahwa masalah utama yang dihadapi setiap negara adalah membangun kekuatan untuk menangkal (to deter)
atau mengalahkan (to defeat) suatu serangan. Padahal, konstruksi
nasionalitas dan nasionalisme tidak selamanya dapat diwujudkan secara utuh
dalam konstruksi kenegaraan. Di samping
itu. Ancaman militer mungkin juga bukan merupakan satu-satunya jenis
ancaman yang dihadapi oleh negara maupun warga negaranya. Apa yang selama ini
dikenal sebagai “keamanan dalam negeri”
dapat menjangkau spektrum yang luas, mulai dari kemiskinan, epidemi dan bencana
alam, kerusuhan sosial, pertikaian antar golongan, kejahatan, pemberontakan
bersenjata sampai dengan gerakan separatis bersenjata. Hal ini akan menjadi
acuan dalam konsep pertahanan, dalam arti keamanan dalam negeri untuk ketahanan
negara. Namun dalam hal penyelenggaraan operasional mewujudkan keamanan dalam
negeri sebagai kondisi stabilitas keamanan keamanan dan ketertiban masyarakat,
pemahaman keamanan umum atau keamanan publik akan lebih tepat untuk
dipergunakan. Hal inilah yang dapat
membedakan mengenai pendekatan untuk melakukan pelayanan sektor keamanan dan
ketertiban masyarakat akan menggunakan pendekatan keamanann (security approach) dan dilakukan oleh
Polri, sedangkan pelayanan sektor ketertiban umum yang lebih dekat dengan
mewujudkan ketentraman dilakukan oleh pemerintah daerah dengan pendekatan
kesejahteraan (prosperity approach).
V.
Konteks Kepolisian
Demokrasi
berkembang menjadi sebuah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu
negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas
negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu
pilar demokrasi adalah prinsip trias
politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif
dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling
lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain.
Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar
ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol
berdasarkan prinsip checks and balances. Untuk itu
diperlukan lembaga yang dapat menjaga dan memberikan jaminan bagi masyarakat
untuk dapat beraktivitas dalam keseharian
dengan wajar dan beradab, lembaga tersebut adalah kepolisian.
Jika kita merujuk pada berbagai
literatur, dari sejarah kepolisian diperoleh petunjuk bahwa
peralihan sistem Monarki menjadi Republik di abad pertengahan membawa pengaruh
besar dalam Kepolisian, pengaruh itu berbentuk perilaku organisasi dan individu polisinya. Di alam
sistem Monarki, polisi cenderung menegakkan peraturan demi langsung lestarinya
Pemerintahan Raja, yang lalu bertindak sangat represif. Sedang dalam sistem Republik polisi cenderung menegakkan peraturan demi
kesejahteraan rakyat. Bahkan pada deretan negara Republik polisinya pun berbeda perilakunya. Semakin demokratis
satu Republik, polisinya semakin menghormati supremasi hukum. Disini lalu
terjadi perubahan parameter bukan bentuk negara yang menentukan jenis dan
kultur kepolisian - tetapi kadar demokrasilah yang menentukan kultur
profesionalisme dan modernisasi dari organ kepolisian.
Pengertian Police
dalam Black s Law Dictionary adalah :The governmental department
charged with the preservation ofpublic order, the promotion of public safety,
and the prevention anddetection of crime.(Garner, 1999: 1178). Arti kepolisian disini
ditekankan pada tugas-tugas yang harus dijalankan sebagai departemen
pemerintahan atau bagian dari pemerintahan,
yakni memelihara keamanan, ketertiban, ketentraman masyarakat,
mencegah dan menindak pelaku kejahatan.
Maka, secara definitif, polisi
adalah lembaga negara yang melakukan operasi di bawah otoritas nasional, atau
idealnya di bawah kendali otoritas sipil (politik) negara tersebut. Secara umum, polisi merupakan perwakilan
negara yang paling jelas terlihat dalam masyarakat. Oleh karena itu terdapat
badan kepolisian yang berbeda-beda di setiap negara. Karakteristik institusi
sebuah kepolisian akan selalu tergantung pada negara dan penduduknya. Mereka
akan selalu mencerminkan bangsa (atau wilayah) dalam budaya politiknya, sejarah,
perkembangan masyarakat, serta perekonomian negara tersebut. (Anneke Osse,
dalam Nuraini Siregar, 2010: 13).
Semua
kepolisian di berbagai negara menyelenggarakan fungsi utama; represif,
preventif dan pre-emptif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
dijabarkan dalam tujuan, tugas pokok, tugas-tugas, wewenang dan tanggung jawab
dari kepolisian yang bersangkutan. Keberhasilan
kepolisian diukur dari tercapainya tujuan dilaksanakannya tugas pokok,
tugas-tugas serta wewenang secara efisien dan efektif. Keberhasilan pelaksanaan tugas pokok, tugas-tugas dan wewenang tergantung
pula dari pengaturan dan kemampuan manajemen yang juga disebut kemampuan
manajemen operasional yang pada dasarnya merupakan model birokrasi yang
diterapkan oleh organisasi polisi.Dengan
maraknya kejahatan baru seperti terorisme, money
laundering, korupsi, kolusi dan nepotisme, cyber crime, white slavery,
dan lain-lain transnational crime,
maka ruang lingkup birokrasi pada organisasi polisi juga akan bertambah luas dan kompleks.
Menurut
Satjipto Raharjo polisi merupakan alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman,dan
memberikan perlindungan kepada masyarakat (Satjipto Raharjo, 2009:111). Selanjutnya Satjipto Raharjo yang mengutip pendapat Bitner menyebutkan bahwa apabila hukum bertujuan untuk menciptakan ketertibandalam
masyarakat, diantaranya melawan kejahatan. Akhirnya polisi yangakan menentukan
secara konkrit apa yang disebut sebagai penegakanketertiban
(Satjipto Rahardjo, 2009:117).
Jika kita merujuk pada berbagai
pendapat yang berkembang, setidaknya ada tiga
parameter untuk mendudukan jati diri polisi : (1) legitimasi (legitimacy); (2) fungsi (function); dan (3) struktur
(structure). Parameter legitimasi
menunjukkan dari mana
sebaiknya polisi mendapat mandat kekuasaan dan kepada siapa harus
bertanggungjawab. Parameter fungsi
menunjukkan bagaimana polisi diperankan dalam pemeliharaan hukum (maintenance
of law) dan pencegahan serta pendeteksian
pelanggar
hukum. Sedangkan parameter struktur menunjukkan
bagaimana besaran organisasi, spesialisasi dan tipe paksaan yang dianggap
layak. Ada
keberagaman dalam penerapan parameter itu antara satu negara dengan negara
lain. Untuk
parameter legitimasi misalnya, terdapat
pemberian monopoli kepada polisi dari suatu elite dalam masyarakat (publik) atau elite
politik di parlemen (undang-undang).
Demikian pula dalam hal penerapan parameter fungsi. Misalnya dalam
tugas-tugas yang dilekatkan pada polisi antara pemeliharaan hukum dengan ketertiban (order), pencegahan, dan pendeteksian tidaklah
sama antar setiap negara. Untuk parameter struktur juga terdapat variasi dalam
pengorganisasian polisi, sentralisasi atau desentralisasi.
Oleh karena itu di berbagai negara
terdapat model kepolisian yang berbeda-beda. Untuk memahami model kepolisian di
suatu negara, kita harus melihat sistem kepolisian yang diterapkan, meliputi
aspek –aspek organisasi, pembinaan Personel, dan dukungan administrasi. Untuk
memahami secara tepat model yang diterapkan, menurut Terril (dalam Muhammad,
2001: 2), beberapa pendekatan yang bisa dilakukan, yaitu melalui pendekatan
antropologis, struktur lembaga pemerintahan khususnya lembaga peradilan pidana,
sistem politik, falsafah atau prinsip-prinsip yang dianut, serta cara yang
biasanya dilakukan untuk menganalisa dan memecahkan masalah.
Secara umum model kepolisian di
dunia terbagi dalam tiga kelompok sistem, yaitu:
1.
Fragmented System of Policing (Sistem
kepolisian terpisah atau berdiri sendiri). Disebut juga sistem Desentralisasi yang ekstrim atau tanpa
sistem, dimana adanya kekhawatiran terhadap penyalahgunaan dari suatu
organisasi Polisi yang otonom dan dilakukan pembatasan kewenangan Polisi. Sistem
ini dianut oleh negara-negara yaitu Belgia, Kanada, Belanda, Switzerland,
Amerika Serikat.
2.
Centralized System of Policing (Sistem
Kepolisian Terpusat) . Berada langsung dibawah kendali pemerintah.
Negara-negara yang menganut system ini adalah Perancis, Italia, Finlandia,
Israel, Thailand, Taiwan, Irlandia, Denmark, Swedia. Indonesia termasuk dalam
sistem ini. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 5
ayat 2 yang menyebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah kepolisian
nasional yang merupakan satu kesatuan.
3.
Integrated System of Policing (Sistem
Kepolisian Terpadu), disebut juga sistem
desentralisasi moderat atau kombinasi atau kompromi, merupakan sistem kontrol
yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah agar terhindar dari penyalahgunaan organisasi Polisi
Nasional serta efektif, efisien, dan seragam dalam pelayanan. Negara-negara yang menganut hal ini adalah
Jepang, Australia, Brasilia, dan Inggris.
Masing-masing
sistem kepolisian tersebut memiliki kelebihan serta kelemahan tersendiri
sehingga memang benar apabila disebutkan bahwa ”tidak ada satu sistem
kepolisian yang sempurna”. Oleh karena itulah dalam praktik kepolisian dipandang perlu untuk
menelaah lebih lanjut terkait dengan berbagai kelemahan maupun kelebihan
dimaksud melalui suatu metode perbandingan antar sistem kepolisian
dalam rangka mendapatkan pemahaman secara integral tentang perbedaan yang
terdapat antara suatu sistem kepolisian pada suatu negara tertentu dengan sistem
kepolisian negara lain.
VI.
Penutup
Secara umum model kepolisian sebagai
pilihan kelembagaan kepolisian suatu negara tidak dapat berjalan dengan baik
jika kepolisian tidak mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari masyarakat.
Monica Den Boer (2011: 17) menyatakan tidak ada satu bentuk baku dari model
perpolisian, karena akan tergantung dari strategi, kebijakan, program,
dan mandat yang selalu berubah-ubah sesuai dengan dinamika organisasi dan
pengaruh global maupun internal suatu negara. Lembaga kepolisian memiliki
tanggung-jawab dan tugas yang sangat beragam, dimana penegakan hukum hanyalah
salah satunya saja.
Polisi harus menjaga dan memperbaiki
ketertiban masyarakat dan menyediakan bantuan serta pertolongan dalam keadaan
darurat. (Crawshaw dalam Boer, 2011; 7). Hal ini karena tugas utama polisi
adalah memberikan pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat, seperti doktrin
yang dipakai oleh polisi seluruh dunia, termasuk di Indonesia yaitu “to protect and to serve”. Namun khusus
di Indonesia, sesuai dengan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara RI, doktrin melindungi dan melayaniu tersebut ditambah dengan mengayomi.
Kosa kata “mengayomi” menunjukkan bahwa tujuan utama kehadiran polisi
sebagai representasi negara bukan hanya sekadar mewujudkan keamanan daman
negeri saja, tetapi mampu membuat semua warga negara merasa “aman”. Soal rasa
tidak bisa dilihat dari sekadar fisik saja, tetapi harus bisa dirasakan.
Kedamaian sejatinya menjadi frasa yang tepat untuk menunjukkan rasa “aman”
tersebut. Pelayanan sektor keamanan dalam konteks kepolisian, pada hakikatnya
adalah mewujudkan rasa “terayomi” tersebut. Maka tidaklah salah jika dalam
Undang-Undang Noor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI terdapat kosa kata
melindungi, mengayomi, dan melayani, karena inilah esensi peran negara dalam
sektor keamanan. (*)
Daftar Pustaka
Amal,
Ichlasul (editor). 1996. Teori-teori
Mutakhir Partai Politik. Yogyakarta : PT Tiara Wacana.
Anggoro, Kusnanto. 2009. Post-Conflict
Peace Building: Naskah Akademik untuk Penyusunan Manual. Jakarta : ProPatria
Institute.
Baldwin,
Robert and Richard Kinsey (diterjemahkan Kunarto). 2002. Police Powers and Politics (Kewenangan Polisi dan Politik). Jakarta
: Penerbit Cipta Manunggal.
Basah,
Sjachran. 2011 (cetakan kesembilan). Ilmu
Negara; Pengantar, Metode, dan Sejarah Perkembangan. Bandung : Penerbit PT
Citra Aditya Bakti.
Bayley,
David H. 1998. Police for The Future –
Polisi Masa Depan. Terjemahan Kunarto dan Khobibah M. Arief Dimyati.
Jakarta : Cipta Manunggal.
Belson,
William A. 1975. The Public and the
Police. London : Harper & Row Publishers.
Boer, Monica
den and Changwon Pyo. 2011. Good Policing
: Instruments, Models and Practices. Published : Asia – Europe Foundation
and Hanns Seidel Foundation Indonesia.
Bruce, David
and Rached Neild. 2005. The Police That
We Want : A Handbook for Oversight of Police in South Africa. The Centre
for the Study of Violence and Reconciliation.
Bruce,
Tammy. 2003. The New Thought Police :
Inside the Left’s Assault on Free Speech and Free Minds. New York : Three
Rivers Press.
Bryan A.
Garner. 1999. Black s Law Dictionary, Seventh Edition, West Group, St.
Paul, Minn.
Budiardjo,
Miriam. 2010 (edisi revisi; cetakan kedua). Dasar-dasar
Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Campbell,
Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial.
Terjemahan oleh F. Budi Hardiman. Yogyakarta : Kanisiun.
Darmono,
dkk. 2010. Keamanan Nasional : Sebuah
Konsep dan Sistem Keamanan bagi Bangsa Indonesia. Jakarta : Dewan Ketahanan
Nasional.
Djamin,
Awaloedin. 2007. Kedudukan Kepolisian
Negara RI dalam Sistem Ketatanegaraan Dulu, Kini dan Esok. Jakarta : PTIK
Press.
Green, Gion
and Raymond C. Farber. 1978. Introduction
to Security. Los Angeles, California: Security World Publishing.
Habermas,
Jurgen. 2007. Ruang Publik : Sebuah
Kajian tentang Kategori Masyarakat Borjuis. Terjemahan Yudi Santoso.
Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Hasanuddin,
TB. 2013. Arsitektur Keamanan Nasional.
Jakarta : Penerbit Wahana Semesta Intermedia.
Hungtinton,
Samuel P & Joan M. Nelson. 1994. Partisipasi
Politik di Negara Berkembang (dari judul asli : No Easy Choice Political
Participation in Developing Countries). Terjemahan oleh Sahat Simamora.
Jakarta : PT Rineka Cipta.
Ibrahim,
Amin. 2006. Model Ketahanan Nasional
sebagai Model Administrasi Negara untuk Memberdayakan Otonomi Daerah.
Bandung : Penerbit Mandar Maju
Kantaprawira,
Rusadi. 1990 (cetakan kedua). Sistem
Politik Indonesia : Suatu Model Pengantar. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Labolo,
Muhadam dkk (Ed). 2008. Beberapa Pandangan Dasar tentang Ilmu
Pemerintahan. Malang : Bayumedia Publishing.
Lippmann,
Walter. 1999. Filsafat Publik.
Terjemahan Rahman Zainuddin. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Losco,
Joseph & Leonard Williams. 2005. Political
Theory, Kajian Klasik dan Komtemporer. Terjemahan Haris Munandar. Jakarta :
PT Rajagrafindo Persada.
Mariana,
Dede. 2011. Ilmu Pemerintahan.
Bandung : Penerbit Pusat Kajian Pemberdayaan Desa
Muradi.
2014. Politics and Governance in Indonesia: The Police in the Era of Reformasi.
Routledge.
Rahardjo,
Satjipto. 2003. Sisi-sisi Lain dari Hukum
di Indonesia. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Sabine,
George H. 1977 (cetakan ketiga). Teori-teori
Politik : Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya. Terjemahan Soewarno
Hadiatmodjo. Jakarta : Penerbit Binacipta
Shapland,
Joana & Jon Vagg. 1988. Policing by
The Public. London : Routledge.
Shively, W.
Phillips. 1983. Power and Choice : An
Introduction to Political Science. New York : McGraw-Hill.
Stone,
Deborah A. 1988. Policy Paradox and
Political Reason. Braindeis : Harper Collins Publishers.
Sujito, Arie
(et. al). 2002. Demiliterisasi,
Demokratisasi dan Desentralisasi. Yogyakarta : Institute for Research and
Empowerment.
Suseno,
Frans Magnis. 2003. Etika Politik :
Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama.
Walker,
Samuel. 2001. Police Accountability : the
Role of Citizen Oversight. Terjemahan oleh Tim PTIK. Omaha, USA :
Wadsworth.
Wulan, G.
Ambar. 2009. Polisi dan Politik;
Intelijen Kepolisian pada Masa Revolusi Tahunh 1945-1949. Jakarta :
Rajawali Pers.
[1] Tulisan ini sebagian besar diambil dari Disertasi
penulis yang berjudul : “Implementasi
Kebijakan Pelayanan Sektor Keamanan Dan Ketertiban Masyarakat Dalam Konteks
Otonomi Daerah” (2014)
[2] Dr. A.
Wahyurudhanto, M.Si, menyelesaikan program Doktor Ilmu Administrasi,
konsentrasi Ilmu Pemerintahan di FISIP Universitas Padjadjaran, dosen tetap
pada program sarjana dan pascasarjana di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian – PTIK,
beralamat di wrudhanto@gmail.com
[3] Hobbes
(1588-1679) hidup pada kondisi negaranya sedang kacau balau karena Perang
Saudara; bahwa Hobbes menginginkan negaranya stabil dan Hobbes mempunyai ikatan
karier dan politik dengan kalangan kerajaan, sehingga dalam persaingan kerajaan
versus parlemen Hobbes memihak kerajaan dan antiparlemen yang dianggap sumber
utama perang saudara.
[4] Locke hidup (1632-1704) setengah abad lebih
muda daripada Hobbes. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Locke merasa hidup
di tengah-tengah kekuasaan kerajaan despotik; bahwa Locke mendapat pengaruh
dari semangat liberalisme yang sedang bergelora di Eropa pada waktu itu; dan
bahwa Locke mempunyai ikatan karier dan politik dengan kalangan parlemen yang
sedang bersaing dengan kerajaan, sehingga Locke cenderung memihak parlemen dan
menentang kekuasaan raja.
[5] Rousseau (1712-1778) hidup dalam abad berbeda
dan negara berbeda pula. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Rousseau berasal
dari kalangan biasa yang merasakan kesewenang-wenangan kerajaan; dan bahwa
Rousseau mengilhami dan terlibat dalam Revolusi Perancis.
[6] Kondisi
di Indonesia pada Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Umum Presiden / Wakil
Presiden pada tahun 2014, bersamaan dengan dilakukannya penelitian ini
menunjukkan betapa persaingan antarpartai pendukung Presiden Terpilih Joko
Widodo – Jusuf Kalla dengan pendukung pasangan Prabowo – Hatta Rajasa
menunjukkan adanya persaingan keras antara elit dan pendukung. Di sini peran
Polri untuk menjaga agar persaingan tersebut tidak sampai menimbulkan konflik
dominan sangat signifikan.
[7] Lebih lengkap bisa dibaca pada Kajian
Konstitusional tentang Peranan Polri dalam Pengelolaan Keamanan Negara, Markas
Besar Kepolisian Negara RI, 2005.
[8] Disampaikan
dalam Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VllI, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen
Kehakiman dan HAM RI, di Hotel Kartika Plaza, Denpasar, 14 Juli 2003.
*** Tulisan ini sudah dimuat di Jurnal Ilmu Kepolisian, Edisi 085, Juni 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar