Media
dan Kepolisian
Perkembangan teknologi
informasi telah membuat media menjadi bagian yang dominan dalam kehidupan
manusia. Media telah memberikan pengaruh, baik positif maupun negatif terhadap
segala aspek kehidupoan manusia, baik kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan
berkelompok, ataupun dalam bernegara. Pengertian media dalam kaitan dengan
penyebaran informasi bisa kita kelompokan dalam dua bagian besar, yaitu media
massa dan media sosial. Masing-masing, baik media massa maupun media sosial
mempunyai karakter dan perlakuan yang berbeda. Namun, keduanya saat ini telah
mampu membuat peradaban baru dalam kehidupan manusia, terutama dalam penyebaran
informasi secara serentak dan masif.
Teknologi informasi telah
mengeser dominasi media cetak sebagai salah satu produk media massa, yang
sekarang cenderung “dikuasai” oleh media televisi. Walau posisi media cetak
tetap eksis, namun pengaruhnya dibanding media televisi memang terasa beda.
Apalagi dengan kemajuan teknologi, dimana siaran langsung (live), sekarang bukan lagi barang mewah. Siaran apapun bisa
dilakukan secara live, tergantung maunya televisi tersebut. Kemajuan teknologi komunikasi massa secara visual
ditampakkan dengan semakin menariknya tayangan yang di sajikan
oleh televisi. Bukan itu saja, program
siarannya pun kini semakin bervariasi. Dari siaran komedi sampai siaran
pariwisata. Dari siaran pendidikan sampai siaran hiburan dan dari siaran yang
mengandung nilai humor sampai ke siaran yang mengandung kekerasan. Semuanya di
rangkum oleh televisi kita saat ini. Bagian dalam media
massa, sekarang kita kenal adanya media online,
yang dalam hitungan detik demi detik bisa menginformasikan berbagai informasi.
Karena sifatnya yang hanya mampu menyajikan berita sepotong-potong, maka sering
kita sebut sebagai “mutilatiuon news”,
dimana berita yang diinformasikan sangat tergantung dimensi waktu. Kondisi ini
yang menyebabkan media online sangat
rentan terhadap kesalahan persepsi, karena sifat pemberitaannya yang
sepotong-potong.
Sementara media sosial, adalah
media interaksi dalam kmomunikasi yang menggunakan media online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi,
berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan
dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial
yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Jejaring sosial
yang kita kenal saat ini seperti Facebook,
Twitter, Instagram, Line, dan lain-lain. Menurut Andreas Kaplan dan Michael
Haenlein, media sosial adalah "sebuah
kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan
teknologi Web 2.0 , dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content". Kekuatan
media sosial yang bisa secara cepat menyampaikan informasi, menjadikan media
sosial saat ini menjadi kekuatan baru. Apalagi sekarang juga berkembang
aplikasi komunikasi seperyi Whats Apps
yang dalam impelemntasinya mampu melahirkan banyak Grup Whats Apps (WAG). “Netizen”,
sebagai “warga negara” dari media sosial yang mengandalkan pada teknologi
internet telah menjadi publik tersendiri yang bisa memberikan pengaruh pada
banyak hal dalam kehidupan manusia, termasuk dalam aspek sosial-politik. Kasus
dugaan penistaan agama yang akhirnya menyeret Gubernur Non Aktif Jakarta Basuki
Tjahaya Purnama (Ahok) sebagai tersangka, serta Buni Yani yang disangka sebagai
pemicu “hiruk-pikuk”, harus kita akui karena adanya “peran” dari media sosial.
Posisi
Media dan Kepolisian
Salah satu dampak media massa adalah perannya
dalam proses pembentukan opini publik. Saat ini, tak bisa dimungkiri bahwa
opini publik bisa berfungsi sebagai madu atau racun. Sebagai madu, opini publik
bisa menjadi suplemen untuk memperkuat eksistensi ataupun image. Tetapi
bisa juga menjadi racun, yang jika tidak bisa diatasi akan menjadi mesin
penghancur yang sangat dahsyat. Peran media massa salah satunya adalah
membentuk opini. Namun repotnya, media bisa juga berpihak untuk kepentingan
tertentu, sehingga opini yang terbentuk menjadi tidak netral lagi karena sudah
memberikan dukungan pada posisi tertentu. Kritik yang sekarang mumcul, adalah
jika dulu media massa memainkan peran sebagai watch dog untuk penguasa atau kelompok kepentingan yang berseberangan
dengan publik. Sekarang sudah berubah, karena paradigma yang muncul adalah
media massa justru sebagai “pengawal” untuk kepentingan yang berseberangan
dengan publik tersebut.
Sosiolog Dennis Pirages
dalam bukunya Managing Political
Conflict (New York,
Praeger Publishers, 1976) menyatakan, “No regime permits the media to gather
and disseminate information with complete impunity”. Pendapat ini
menunjukkan, bahwa sebenarnya dalam media massa selalu terjadi tarik menarik dari banyak
kepentingan, atau dalam arti yang lebih transparan, terjadi tarik menarik antar
banyak kekuatan. Di negara-negara yang dikategorikan sedang berkembang
(termasuk di sini Indonesia),
media massa
nyaris menanggung beban sebagai agen pembangunan atau agen perubahan. Beban itu tidak semata-mata di level praksis yang
menempatkan media sebagai medium netral untuk mengagendakan pesan-pesan
pembangunan dari pemerintah, tetapi juga di level ideologis. Namun fakta yang
berkembang saat ini justru media massa sering dikritik karena jauh dari
netralitas.
Sama dengan media sosial, yang memainkan peran lebih mandiri, karena tidak
terikat dalam organisasi media seperti disyaratkan dalam Undang-Undang Pers
maupun Undang-Undang Penyiaaran. Media sosial lebih dinamis, karena bertindak
atas kehendak sendiri, sehingga seringkali lepas dari kontrol kepentingan
publik. Hal ini bisa terjadi karena pengelolaan media sosial dilakukan
sendiri-sendiri oleh yang kita kenal sebagai ”netizen” tersebut. Sudah tidak
jelas lagi antara berita resmi dan ”hoax”
yang merupakan sampah informasi. Karena sifatnya yang sangat individual tersebut,
dalam perkembangan saat ini menunjukkan bahwa media sosial justru lebih sering
menjadi sarana penyebar kabar bohong, atau informasi yang provokatif, sehingga
justru sangat berpotensi menimbulkan
konflik atau kegaduhan.
Dalam konteks kinerja kepolisian, posisi media, baik media massa maupun
media sosial menjadi sosok yang bisa memberikan dua peran, yaitu peran membantu
meciptakan situasi yang kondusif, serta peran yang justru mengganggu tugas
kepolisian. Persoalannya, dalam era demokrasi seperti sekarang ini, kebebasan
lebih ditonjolkan dibanding semangat bertanggung-jawab. Hal inilah yang
menjadikan kita harus semakin mampu melakukan kontemplasi dan pemahaman kritis
untuk memposisikan media massa dan media sosial sebagai ”rekan” dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Euforia kebebasan yang tidak
terkontrol harus berani kita kritisi. Kesantunan dalam berkomunikasi harus
mampu dibangun sebagai budaya baru di Indonesia. Dan yang terpenting,
menempatkan kepentingan publik dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan
Indonesia, kini harus menjadi kesadaran semua pihak. Maka kepada poengelola
media massa, para pengguna media sosial, harus semakin disadarkan mengenai dampak
negatif jika kita tidak bertanggung-jawab dalam mengakrabi kemajuan teknologi
informasi tersebut. Tugas polisi untuk membangun peradaban dan sekaligus
memelihara ketentraman dalam kehidupan sosial maupun kehidupan berbangsa, tidak
bisa lepas dari peran media yang mampu menempatkan diri pada posisi yang tepat
dan proposional.
Dr.
A. Wahyurudhanto, M.Si
Pimpinan Redaksi ”Jurnal Ilmu Kepolisian”
** Tulisan ini sudah dimuat di Jurnal Ilmu Kepolisian, Edisi 086, September 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar