Minggu, 02 Juli 2017

Artikel : Media dan Kepolisian



Media dan Kepolisian

Perkembangan teknologi informasi telah membuat media menjadi bagian yang dominan dalam kehidupan manusia. Media telah memberikan pengaruh, baik positif maupun negatif terhadap segala aspek kehidupoan manusia, baik kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan berkelompok, ataupun dalam bernegara. Pengertian media dalam kaitan dengan penyebaran informasi bisa kita kelompokan dalam dua bagian besar, yaitu media massa dan media sosial. Masing-masing, baik media massa maupun media sosial mempunyai karakter dan perlakuan yang berbeda. Namun, keduanya saat ini telah mampu membuat peradaban baru dalam kehidupan manusia, terutama dalam penyebaran informasi secara serentak dan masif.
Teknologi informasi telah mengeser dominasi media cetak sebagai salah satu produk media massa, yang sekarang cenderung “dikuasai” oleh media televisi. Walau posisi media cetak tetap eksis, namun pengaruhnya dibanding media televisi memang terasa beda. Apalagi dengan kemajuan teknologi, dimana siaran langsung (live), sekarang bukan lagi barang mewah. Siaran apapun bisa dilakukan secara live, tergantung maunya televisi tersebut. Kemajuan teknologi komunikasi massa secara visual ditampakkan dengan semakin menariknya tayangan yang di sajikan oleh televisi. Bukan itu saja, program siarannya pun kini semakin bervariasi. Dari siaran komedi sampai siaran pariwisata. Dari siaran pendidikan sampai siaran hiburan dan dari siaran yang mengandung nilai humor sampai ke siaran yang mengandung kekerasan. Semuanya di rangkum oleh televisi kita saat ini. Bagian dalam media massa, sekarang kita kenal adanya media online, yang dalam hitungan detik demi detik bisa menginformasikan berbagai informasi. Karena sifatnya yang hanya mampu menyajikan berita sepotong-potong, maka sering kita sebut sebagai “mutilatiuon news”, dimana berita yang diinformasikan sangat tergantung dimensi waktu. Kondisi ini yang menyebabkan media online sangat rentan terhadap kesalahan persepsi, karena sifat pemberitaannya yang sepotong-potong.
Sementara media sosial, adalah media interaksi dalam kmomunikasi yang menggunakan media online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Jejaring sosial yang kita kenal saat ini seperti Facebook, Twitter, Instagram, Line, dan lain-lain. Menurut Andreas Kaplan dan Michael Haenlein, media sosial adalah  "sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 , dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content". Kekuatan media sosial yang bisa secara cepat menyampaikan informasi, menjadikan media sosial saat ini menjadi kekuatan baru. Apalagi sekarang juga berkembang aplikasi komunikasi seperyi Whats Apps yang dalam impelemntasinya mampu melahirkan banyak Grup Whats Apps (WAG). “Netizen”, sebagai “warga negara” dari media sosial yang mengandalkan pada teknologi internet telah menjadi publik tersendiri yang bisa memberikan pengaruh pada banyak hal dalam kehidupan manusia, termasuk dalam aspek sosial-politik. Kasus dugaan penistaan agama yang akhirnya menyeret Gubernur Non Aktif Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) sebagai tersangka, serta Buni Yani yang disangka sebagai pemicu “hiruk-pikuk”, harus kita akui karena adanya “peran” dari media sosial.

Posisi Media dan Kepolisian
Salah satu dampak media massa adalah perannya dalam proses pembentukan opini publik. Saat ini, tak bisa dimungkiri bahwa opini publik bisa berfungsi sebagai madu atau racun. Sebagai madu, opini publik bisa menjadi suplemen untuk memperkuat eksistensi ataupun image. Tetapi bisa juga menjadi racun, yang jika tidak bisa diatasi akan menjadi mesin penghancur yang sangat dahsyat. Peran media massa salah satunya adalah membentuk opini. Namun repotnya, media bisa juga berpihak untuk kepentingan tertentu, sehingga opini yang terbentuk menjadi tidak netral lagi karena sudah memberikan dukungan pada posisi tertentu. Kritik yang sekarang mumcul, adalah jika dulu media massa memainkan peran sebagai watch dog untuk penguasa atau kelompok kepentingan yang berseberangan dengan publik. Sekarang sudah berubah, karena paradigma yang muncul adalah media massa justru sebagai “pengawal” untuk kepentingan yang berseberangan dengan publik tersebut.
Sosiolog Dennis Pirages dalam bukunya Managing Political Conflict (New York, Praeger Publishers, 1976) menyatakan, “No regime permits the media to gather and disseminate information with complete impunity”. Pendapat ini menunjukkan, bahwa sebenarnya dalam media massa  selalu terjadi tarik menarik dari banyak kepentingan, atau dalam arti yang lebih transparan, terjadi tarik menarik antar banyak kekuatan. Di negara-negara yang dikategorikan sedang berkembang (termasuk di sini Indonesia), media massa nyaris menanggung beban sebagai agen pembangunan atau agen perubahan. Beban itu tidak semata-mata di level praksis yang menempatkan media sebagai medium netral untuk mengagendakan pesan-pesan pembangunan dari pemerintah, tetapi juga di level ideologis. Namun fakta yang berkembang saat ini justru media massa sering dikritik karena jauh dari netralitas.
Sama dengan media sosial, yang memainkan peran lebih mandiri, karena tidak terikat dalam organisasi media seperti disyaratkan dalam Undang-Undang Pers maupun Undang-Undang Penyiaaran. Media sosial lebih dinamis, karena bertindak atas kehendak sendiri, sehingga seringkali lepas dari kontrol kepentingan publik. Hal ini bisa terjadi karena pengelolaan media sosial dilakukan sendiri-sendiri oleh yang kita kenal sebagai ”netizen” tersebut. Sudah tidak jelas lagi antara berita resmi dan ”hoax” yang merupakan sampah informasi. Karena sifatnya yang sangat individual tersebut, dalam perkembangan saat ini menunjukkan bahwa media sosial justru lebih sering menjadi sarana penyebar kabar bohong, atau informasi yang provokatif, sehingga justru sangat berpotensi menimbulkan  konflik atau kegaduhan.
Dalam konteks kinerja kepolisian, posisi media, baik media massa maupun media sosial menjadi sosok yang bisa memberikan dua peran, yaitu peran membantu meciptakan situasi yang kondusif, serta peran yang justru mengganggu tugas kepolisian. Persoalannya, dalam era demokrasi seperti sekarang ini, kebebasan lebih ditonjolkan dibanding semangat bertanggung-jawab. Hal inilah yang menjadikan kita harus semakin mampu melakukan kontemplasi dan pemahaman kritis untuk memposisikan media massa dan media sosial sebagai ”rekan” dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Euforia kebebasan yang tidak terkontrol harus berani kita kritisi. Kesantunan dalam berkomunikasi harus mampu dibangun sebagai budaya baru di Indonesia. Dan yang terpenting, menempatkan kepentingan publik dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia, kini harus menjadi kesadaran semua pihak. Maka kepada poengelola media massa, para pengguna media sosial, harus semakin disadarkan mengenai dampak negatif jika kita tidak bertanggung-jawab dalam mengakrabi kemajuan teknologi informasi tersebut. Tugas polisi untuk membangun peradaban dan sekaligus memelihara ketentraman dalam kehidupan sosial maupun kehidupan berbangsa, tidak bisa lepas dari peran media yang mampu menempatkan diri pada posisi yang tepat dan proposional.

Dr. A. Wahyurudhanto, M.Si
Pimpinan Redaksi ”Jurnal Ilmu Kepolisian”

** Tulisan ini sudah dimuat di Jurnal Ilmu Kepolisian, Edisi 086, September 2016. 

Tidak ada komentar: