Minggu, 13 Februari 2011

Mengapa Eksistensi Negara dan Polisi Digugat ?

Mengapa Eksistensi Negara dan Polisi Digugat ?


Kalau menyebut siapa “orang hebat” di tahun 2010, dan diramalkan akan semakin hebat, pasti koita harus menyebut salah satunya adalah Gayus HP Tambunan. “Hanya” pegawai negeri dengan pangkat III A, namun kekayaannya sungguh menakjubkan. Dan yang lebih hebat, akibat “nyanyiannya” petinggi-petinggi penting satu demi satu terjungkal dan siap untuk mengikuti jejaknya masuk bui. Jika dihitung-hitung mulai kasus Gayus menyeruak, sudah puluhan orang jadi korban. Mulai dari yang berpangkat “kroco” sampai jenderal. Semua jalur penegak hukum  -- mulai dari kepolisian, kejaksaan, sampai kehakiman -- sudah harus “menyumbangkan” korban atas kehebatan Gayus.
Jika kita simak lagi kasus-kasus yang berkaitan dengan Gayus, semuanya diawali dengan upaya implementasi “prosedur yang benar”, atau dengan kata lain awal mula kasus selalu bukan karena tindak pidana, karena selalu diawali dengan proses menerapkan prosedur tetap (Standar Operating Procedure). Pada penyalahgunaan penetapan pajak, yang dilakukan adalah menyesuaikan dengan aturan yang berlaku, pada penetapan pasal sangkaan di pengadilan yang dilakukan adalah menyesuaikan dengan pasal dalam KUHP,  pada kasus “jalan-jalan” ke luar tembol sel,  yang dilakukan adalah izin berobat, yang memang secara prosedural ada aturannya. Pergi ke luar negeri pun menggunakan paspor resmi (walau akhirnya terbukti asli tapi palsu). Sehingga langkah-langkah aparat penegak hukum pada awalnya “didisain” tidak menyalahi aturan.
Cara berpikir ini tidak salah jika merujuk pada pendapat Max Weber mengenai birokratisasi, bahwa unsur prosedur adalah salah satu langkah dalam rangka efektifitas birokrasi. Budaya birokrasi Indonesia yang terpengaruh oleh alam Belanda sangat getol dengan menempatkan prosedur sebagai alasan yang dianggap paling masuk akal dan “tidak melanggar aturan” dalam rangka upaya penyalahgunaan jabatan. Lihat saja bagaimana para anggota DPR yang dengan tegap melancong ke luar negeri dengan alasan karena sudah dianggarkan dan direncanakan. Bahkan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam sebuah wawancara di majalah (Prisma, Juli 2010) secara terbuka membela koleganya Gubernur Kepri yang terkena kasus korupsi proyek pengadaan mobil pemadam kebakaran. “Dia cuma menyetujui untuk tidak melakukan tender, penunjukkan langsung. Jadi yang masuk penjara belum tentu semuanya maling,” begitu katanya.
Eko Prasojo (2010), mengutip pendapat Gerald E Caiden (1991) sebagai  berikut: Vices, maladies, and sickness of bureaucracy constitute bureaupathologies. They are not individual failings of individuals who compose organizations but the systematic shortcomings of organizations that cause individuals within them to be quilty of malpractices. Hal tersebut senada dengan fenomena tentang Gayus yang kita saksikan dalam pentas media akhir-akhir ini. Gayus Tambunan mendadak saja menjadi orang yang terkenal saat ini di Indonesia. Bukan karena prestasinya di birokrasi meningkatkan penerimaan pajak, melainkan justru karena perbuatannya telah memperkokoh keyakinan tentang buruknya birokrasi Indonesia. Tidak semua birokrat seperti Gayus, tetapi kelemahan sistem organisasi  negara telah membentuk citra menyeluruh mengenai buruknya birokrasi Indonesia.
Apa yang terjadi oleh yang dilakukan Gayus sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam birokrasi di Indonesia. Selain itu, jumlahnya pun tidak begitu besar dibandingkan dengan kasus- kasus serupa yang belum atau tidak terungkap. Akan tetapi, tetap harus disyukuri bahwa akhirnya kesadaran tentang korupsi dalam birokrasi semakin terbuka lebar dengan terkuaknya kasus Gayus. Maladministrasi yang saat ini mungkin dapat disebut dengan Gayusisme atau nama lain yang barangkali akan segera muncul sebenarnya bukanlah kesalahan yang bersifat individual, tetapi timbul karena kelemahan sistematik dari organisasi birokrasi. Rumah tahanan, penjara, dan lembaga pemasyarakatan mungkin akan penuh dengan birokrat-birokrat yang merupakan golongan Gayusisme. Namun, apakah kita akan memenjarakan semua birokrat-birokrat dengan predikat Gayusisme tersebut dan mengatakan bahwa hal tersebut sebagai penyimpangan dan kesalahan yang bersifat individual.
Caiden (seperti dikutip oleh Eko Prasojo, 2010) mendefinisikan maladministrasi sebagai ”administrative action (or inaction) based on or influenced by improper consideration or condut”. Pakar administrasi negara yang lain, seperti Kenneth Wheare, menyebutkan berbagai bentuk maladministrasi, seperti ilegalitas, korupsi, neglect (kelalaian), perversity (ketidakwajaran), turpitude (kejahatan/kekejian), discourtesy (ketidaksopanan), dan misconduct (kelakuan menyimpang).  Maladministrasi sebagai bentuk patologi birokrasi terjadi secara sistematik, bukan individual. Kelemahan dan kegagalan organisasi untuk membentuk sistem yang mencegah terjadinya penyakit-penyakit birokrasi akan menyebabkan perilaku menyimpang yang diterima secara kolektif. Bahkan, individu yang memiliki karakter unggul dan idealisme yang tinggi tidak akan bisa bertahan lama ketika masuk dalam birokrasi karena serangan penyakit yang demikian kompleks. Birokrat yang semacam ini memiliki tiga pilihan, yaitu menjadi bagian dari sistem yang sakit, dianggap sebagai pesakitan karena tidak menjadi bagian dari sistem, atau keluar dari sistem birokrasi.
Menyikapi hal ini, jalan keluarnya tidak bisa lagi menggunakan regulasi formal. Harus ada keberanian dari lapisan elite pengambil kebijakan untuk mengambil sikap yang mungkin tidak populer. Pers telah membantu mendorong secara terus menerus dengan menjalankan peran sebagai agen akuntabilitas. Namun seperti pernah dilontarkan oleh Ashadi Siregar (2001), pers hanyalah media yang memungkinkan fakta-fakta dari suatu lingkungan untuk direplikasi, sehingga orang dari lingkungannya yang sama dapat berkonfirmasi, dan orang dari lingkungannya lainnya akan berinformasi. Sehingga jika sekarang eksistensi negara dan polisi digugat, ini bukan persoalan internal polisi, tetapi ini adalah buah dari peran negara yang gagal menjalankan fungsinya bagi kepentingan rakyat. Gugatan ini muncul karena rakyat semakin tidak percaya. Maka kalau Polri mempunyai grand strategy mewujudkan kepercayaan masyarakat, itu sudah jalan yang benar. Tetapi persoalannya, Polri adalah bagian dari negara, yang jelas tidak bisa berjalan sendirian. (A. Wahyurudhanto)

n Tulisan ini sudah dimuat di Jurnal Studi Kepolisian, Edisi 74, Januari-April 2011

Tidak ada komentar: