Minggu, 26 Juni 2011

File Artikel

Artikel ini sudah dimuat di Jurnal Studi Kepolisian Edisi 075 (Januari 2011)


Pelayanan Sektor Keamanan oleh Negara

dalam Konteks Otonomi Daerah

Oleh : A. Wahyurudhanto[1]



Abstrak:
Implementasi Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI dan Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 telah menimbulkan masalah dalam kewajiban negara memberikan kualitas pelayanan sektor keamanan bagi masyarakat. Benturan regulasi dan benturan kepentingan antara pusat dan daerah menimbulkan rendahnya kualitas pelayanan sektor keamanan dalam konteks implementasi daerah, yang berujung pada pelayanan sektor keamanan yang kontra-produktif karena masyarakat tidak menemukan rasa aman dan jaminan keamanan bagi aktivitasnya sebagai warga negara. Formulasi model pelayanan sektor keamanan dalam konteks otonomi daerah harus melihat realitas adanya konflik kepentingan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, karena Satpol PP sebagai kepanjangan kebijakan kepala daerah mempunyai implikasi politik pada dinamika politik daerah, sementara Polri sebagai alat negara di bawah Presiden juga mempunyai implikasi kepentingan nasional yang bisa murni dalam rangka mensejahterakan rakyat namun juga bisa mengkooptasi kepentingan masyarakat karena tekanan politik dari pemegang otoritas politik negara.


Kata Kunci :

Reformasi Sektor Keamanan, Polisi, Satpol PP, Otonomi Daerah



Pendahuluan
Kehadiran negara dalam dinamika kehidupan manusia sudah berjalan sejak ratusan tahun lalu, semenjak lima abad sebelum masehi di Yunani dikenal adanya kota-kota yang mempunyai pemerintahan, yang selanjutnya disebut sebagai negara kota. Istilah negara secara spesifik ditegaskan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (h. 777) sebagai suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan diaati oleh rakyat. Atau dalam definisi kedua, disebutkan negara adalah suatu kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintahan yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.
 
Jika kita mengacu pada beberapa literatur yang memberikan definisi mengenai negara, diantara John Locke yang menyebutkanbahwa negara didirikan untuk melindungi hak milik pribadi. (dalam Suseno, 2003 : 221). Oleh karena itu menurut Locke suatu negara harus punya konstitusi atau Undang Undang Dasar. Sehingga Locke membagi kekuasaan negara menjadi tiga bagian, kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan membuat undang-undang yang merupakan kekuasan tertinggi, kekuasaan eksekutif sebagai yang menjalankan undang-undang, sementara legislatif dibatasi oleh hukum kodrat yaitu terutama oleh tuntutan untuk menghormati hak-hak asasi manusia. Ajaran ini kemudian disempurnakan oleh Montesquieu dalam buku Esprit des Lois yang membedakan tiga fungsi negara, yaitu fungsi legslatif, eksekutif, dan yudikatif. Konsep ideal inilah yang kemudian kita kenal sebagai trias politika.
Jika mengacu pada pemikiran tersebut, sebenarnya kita bisa memahami mengenai konsep berdirinya negara seperti dikemukan oleh Thomas Hobbes yang terkenal dengan bukunya Leviathan. Hobbes menyebutkan bahwa negara harus berada dalam pemerintahan yang berdasarkan hukum dan keadilan. Dalam pandangan Hobbes, pemegang kekuasaan tidaklah membrikan cara-cara sebagaimana mungkin dimiliki oleh orang-orang tertentu, baik untuk menjaga kelangsungan mereka sendiri, atau kelangsungan publik. Kekayaan bersama atau pemegang kedaulatan bisa tiada sama sekali. Di sisi lain, jika seandainya suatu kekayaan bersama atau publik tidak termasuk dalam kekuasaan pemegang kedaulatan, kekayaan-kekayaan pribadi manusia segera akan menempatkan mereka dalam kekacauan dan perang, dari pada mengamankan atau menjaga mereka. (dalam Losco, 2005 : 122-123). Oleh karena itu peranan negara dalam memberikan rasa aman bagi warganya, dalam pandangan Hobbes sangatlah dominan. Ini bertentangan dengan faham Machiavelli yang merangkul kesewenang-wenangan.
Definisi lain walau senada dengan yang di atas, dikemukakan oleh Miriam Budiardjo. Menurutnya, negara adalah suatu organisasi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. (Budiardjo, 2010 : 17). Sehingga dalam pemahaman ini ditekankan bahwa negara adalah inti dari politik yang memusatkan perhatiannya pada lembaga-lembaga kenegaraan serta bentuk formalnya. Definisi ini memang bersifat tradisional sehingga dirasa sempit ruang lingkupnya.
Dalam konteks berdirinya Negara Republik Indonesia, sangat terasa kentalnya pemikiran Hobbes tersebut. Hal ini tercantum jelas pada alinea pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri keadilan. Seperti dikemukakan oleh pemikir-pemikir mengenai politik negara sebelumnya, dalam suatu negara harus ada pemerintahan. Pada alinea keempat hal tersebut jelas, dengan dinyatakan, kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Jadi jelas bahwa pemerintahan yang dibentuk dalam Negara Republik Indonesia salah satunya dimaksudkan untuk memajukan kesejahteraan. Dalam perkembangan dinamika politik Indonesia, terjadi situasi masyarakat yang sudah tidak lagi percaya pada pemerintahan rezim (saat itu) Orde Baru, sehingga munculah gelombang reformasi pada tahun 1998 yang menurunkan kekuasan Orde Baru setelah 32 tahun menjadi penguasa di Negara Republik Indonesia. Dalam konteks penyelenggara keamanan yang selama ini menjadi domain Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), terjadi perubahan paradigma dengan memisahkan istilah pertahanan dan keamanan. Dalam menyikapi paradigma ini, lahirlah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), nomor VI dan VII mengenai pemisahaan TNI dan Polri. Perkembangan dari pemisahan tersebut undang-undang yang mengatur Polri diperbarui menjadi Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.

Pelayanan Sektor Keamanan
Sejalan dengan bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah menjadi salah satu topik sentral yang banyak dibicarakan. Hal ini karena pada pasa Orde Baru kekuasaan tersentral pada Presiden, sehingga daerah praktis tidak mempunyai kemandirian. Otonomi Daerah menjadi wacana dan bahan kajian dari berbagai kalangan, baik pemerintah, lembaga perwakilan rakyat, kalangan akademisi, pelaku ekonomi bahkan masyarakat awam. Sampai kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menganut prinsip otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab. Baru berjalan lima tahun, undang-undang ini kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang memberikan kewenangan lebih kepada kepala daerah karena pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung.
Dalam konteks negara memberikan rasa aman bagi warganya sesuai konstitusi kewenangan itu diberikan kepada Polri. Namun dalam ketentuan perundang-undangan, kewenangan tersebut juga ada pada pemerintah daerah atas dasar asas pemberian otonomi pada daerah. Kewenangan Polri seperti diatur dalam UU RI Nomor 2 Tahun 2002 adalah sebagai penyelenggara salah satu fungsi pemerintahan di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam operasionalisasinya, Polri tidak hanya bertanggungjawab atas keamanan dan ketertiban secara nasional saja, tetapi juga secara lokal yang merupakan kewenangan kepolisian di tingkat kewilayahan. Sementara Kepala Daerah sesuai dengan UU RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berkewajiban untuk menjaga ketentraman dan ketertiban di daerah. Terkait dengan kepentingan keamanan lokal, maka diperlukan adanya mekanisme mengenai pendelegasian wewenang, sehingga diperlukan kesepahaman dan sinergisitas antara Polri di daerah (dalam tingkat kewilayahan) dengan pemerintahan daerah (baik di tingkat propinsi, maupun di tingkat  kabupaten/kota).
Jika mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, pada Undang Undang Dasar 1945 pasal 30 disebutkan pada ayat (2) Untuk pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung. Pada ayat (3) disebutkan, Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Sementara pada ayat (4), disebutkan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, men gayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Persoalan yang muncul dalam implementasi dan UU No 2 Tahun 2002 dan UU No 32 Tahun 2004, yaitu pada perbedaan pemahaman dan tataran kewenangan mengenai ketertiban masyarakat. Salah satu tugas pokok Polri adalah memelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat. Sementara UU No 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa Kepala Daerah bertanggung-jawab atas Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat di wilayahnya. Terdapat perbedaan yang mendasar antara kepolisian dan pemerintahan daerah, yaitu pada kewenangannya yang otonom. Masing-masing daerah mempunyai wewenang untuk menentukan nasib daerahnya karena kewenangan yang otonom tersebut, sedangkan lembaga kepolisian merupakan kepolisian nasional yang berpusat di Markas Besar Kepolisian (Mabes Polri) dan mempunyai mekanisme tersendiri dalam upaya mengefektifkan sistem operasional kepolisian.
Sistem Kepolisian Nasional yang dianut oleh Polri saat ini dinilai cenderung sentralistik karena pada sistem ini pengambilan kebijakan terpusat hanya pada satu pintu, yaitu Kapolri. Sekalipun di berbagai negara yang mempunyai karakteristik heterogen dari sisi suku etnik dan rentang wilayah yang luas mempunyai sistem kepolisian daerah, namun saat ini sistem kepolisian nasional masih dipercayai sebagai suatu sistem yang tepat untuk kondisi dan situasi di Indonesia. Sehingga dalam perlakuan hukum, tidak bisa dilakukan asas desentralisasi karena sistem hukum nasional tersebut. Namun Dalam hal sistem manajemen operasional Polri, pola-pola desentralisasi bisa diakomodasi.
Yang menjadi masalah dengan pengambilan kebijakan yang tersentralistik adalah munculnya konsekuensi lemahnya pengawasan. Dengan jauhnya rentang kebijakan dan pelaksanaan, maka rentang pengawasan juga akan ikut menjauh. Sehingga diperlukan pengawasan yang melibatkan publik, agar dalam implementasi di daerah pun juga bisa dilakukan pengawaasan yang efektif. Dengan sendirinya karena implementasi di tingkat lokal diawasi oleh publik, perencanaan pada tingkat lokal untuk tugas-tugas kepolisian juga melibatkan masyarakat lokal.

Otonomi Daerah
Merujuk pada kewajiban Kepala Daerah sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang merupakan revisi atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, salah satu kewajiban Kepala Daerah adalah memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat. Sementara Polri seperti ditegaskan pada pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara memiliki tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Masyarakat di sini meliputi semua orang yang tinggal dan atau berada dalam daerah dimana Kepala Daerah bertugas.
Dalam pasal 27 huruf c UU Nomor 32/2004 dirumuskan salah satu kewajiban Kepala Daerah adalah memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat. Di sisi lain Polri memiliki tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat sesuai dengan rumusan pada pasal 13 UU Nomor 2/2002. Dengan demikian dapat dipahami apa yang menjadi tugas pokok kepolisian di daerah tersebut juga menjadi kewajiban kepala daerah untuk menjalankannya. Di sinilah letak persinggungannya. Maka dalam implementasi fungsi pemerintahan untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, harus dipahami bahwa keamanan di tingkat nasional adalah kewenangan Polri, karena itu perencanaan, pelaksanaan dan pengawasannya harus dilakukan oleh Polri.
Memelihara keamanan yang berkaitan dengan lokal akan lebih dekat pada fungsi menjaga ketertiban. Hal ini merupakan kewenangan Polri bersama Pemerintah Daerah, karena itu harus disusun bersama antara keduabelah pihak ini, dalam hal ini Polri di tingkat kewilayahan dan Pemda. Untuk mewujudkan keterpaduan tugas dan kewenangan ini diperlukan desentralisasi pada sistem manajemen kepolisian. Untuk karakteristik negara kepulauan di Indonesia, sistem desentralistik akan lebih menggairahkan partisipasi masyarakat dan lebih mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Hal ini akan memberikan ruang yang lebih luas bagi tuntutan akuntabilitas dan trasparansi pejabat kepolisian. Desentralisasi tidak harus dilihat sebagai suatu sistem yang akan menghilangkan sistem kepolisian nasional, karena pemahaman dasar yang dipergunakan adalah desentralisasi sistem manajemen kepolisian sebagai upaya untuk menata sistem manajemen kepolisian yang ada sekarang ini agar lebih menjamin sistem perencanaan dan pengawasan yang lebih baik, sebagai aktualisasi otonomi daerah yang sementara ini disepakati sebagai sistem mekanisme politik yang cocok untuk karakteristik geografis dan masyarakat Indonesia.
Fungsi negara salah salah satunya adalah memberikan perlindungan bagi warganya dengan memberikan jaminan keamanan dan rasa aman. Salah satu bukti kegagalan negara dalam memberikan jaminan dan keamanan dan rasa aman dalam rangka penyelengggaraan pemerintahan adalah terjadinya kasus kerusuhan di Koja, Tanjung Priuk, Jakarta Utara pada tanggal 14 April 2010 lalu. Kerusuhan tersebut diakibatkan sikap represif Satpol PP dalam menjalankan perintah institusi dalam hal ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam pembebasan tanah yang sudah dikuasasi oleh PT Pelindo. Dalam kejadian tersebut, berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh PMI, korban kekerasan oleh Satpol PP tercatat 3 orang meninggal, 231 orang luka-luka (termasuk 20 orang anak berusia 13-17 tahun) dan puluhan kendaraan milik negara dikabar.
Sementara, bersamaan dengan kejadian tersebut ada statement dari institusi yang seharusnya bertanggung-jawab terhadap keamanan publik, yakni Polri dalam hal ini Polda Metro Jaya, bahwa jajarannya lamban mengurusi kejadian. Seperti dikutip Oke Zone (6 Juni 2010), Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Wahyono menampik jika jajarannya lamban dalam menangani rusuh berdarah di kawasan Makam Mbah Priok, Koja. Dalam keterangan persnya pada tanggal 6 Juni 2010, Kapolda memaparkan, manajemen yang dilakukan Polda dalam mengelola pengamanan adalah diperbantukan kepada Pemkot Jakarta Utara setelah mendapat instruksi dari Gubernur DKI. Instruksi tersebut berisi perintah kepada Walikota Jakarta Utara dan Kasatpol PP untuk melakukan penertiban. Data ini menunjukkan tidak adanya koordinasi maupun sinergisitas dalam penanganan keamanan bagi warga negara. Jatuhnya korban menunjukkan tidak adanya perencanaan maupun antisipasi.
Sebagai suatu kasus, kejadian kerusuhan di Koja, Tanjung Priuk, Jakarta Utara pada bulan April 2010 menunjukkan pada kita semua  adanya benturan pejabat negara dalam hal ini Kepolisian dan Pemerintah  Daerah dalam implementasi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 32 tentang Pemerintah Daerah, terutama dalam tanggung jawab memberikan rasa aman bagi warga negara dan memberikan jaminan keamanan dalam bentuk tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.
Implementasi kebijakan pelayanan sektor keamanan di Indonesia sering menimbulkan masalah. Masalah yang sering muncul adalah konflik antara masyarakat dengan aparatur negara, baik itu polisi maupun Satuan Polisi Pamong Praja sebagai organ dari pemerintah daerah, maupun konflik internal antar penyelenggara aparatur negara baik  berupa miskomunikasi maupun pembiaran konflik karena aroganisme sektoral. Hal ini akibat implementasi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI yang memberikan kewenangan pada polisi untuk melakukan kebijakan pelayanan sektor keamanan yang di lapangan sering berbenturan dengan aparat Satuan Pamong Praja karena adanya perintah undang-undang sebagai implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan pada kepala daerah untuk bertanggung-jawab pada keamanan di wilayahnya. Persoalan ini justru pada banyak kasus berimbas pada konflik antara masyarakat dan aparatur karena perbedaan persepsi mengenai pelayanan sektor keamanan dan perbedaan kepentingan mengenai pengelolaan sektor keamanan.
Mengutip hasil penelitian oleh The Ridep Institute dan Friedrich Ebert Stiftung (2005) dengan judul “ Evaluasi Kolektif Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia : TNI dan Polri” ditemukan hal-hal  bahwa pada periode Orde Reformasi, agenda Reformasi Sektor Keamanan  yang diajukan masyarakat sipil menjadi paket yang integral dalam agenda transisi demokrasi, yang pokok-pokok isunya adalah delegitimasi kekuasaan rezim Soeharto, penghapusan peran politik ABRI (Dwifungsi), pertanggungjawaban hukum atas ‘kejahatan’ di masa lalu, payung hukum demokratis untuk aktor keamanan (TNI, Polri, dan BIN), pemisahan TNI dan Polri, profesionalitas Aktor Keamanan (termasuk penghapusan kegiatan ekonomidan bisnis), pengembangan proyeksi pertahanan dan keamanan yang komprehensif (gagasan konsep Keamanan Nasional), serta penguatan supremasi otoritas politik sipil.
Namun, Reformasi Sektor Keamanan yang dilakukan oleh masyarakat sipil menghadapi dua tantangan utama, yaitu: 1). Persoalan dan hambatan berasal dari resistensi dan respons pengambil kebijakan dan aktor keamanan; serta 2). Persoalan dan hambatan dari dalam komunitas Masyarakat Sipil sendiri. Resistensi aktor keamanan tampak dalam upaya mereka merespon tuntutan reformasi, dimana TNI mengembangkan tafsir sendiri akan konsep demokrasi dan peran yang mereka akan jalankan, termasuk mencakup peran politik dan penegakan keamanan. Konsep paradigma baru TNI menyatakan bahwa peran mereka di masa depan tetap tidak dapat dipisahkan dari keterpaduan peran pertahanan keamanan negara dan pembangunan bangsa. Dalam ’paradigma baru’nya, pandangan-pandangan konservatif tersebut muncul dalam pernyataan-pernyataan seperti, ”…(s)ikap dan komitmen TNI sangat jelas bahwa pilihan bentuk Negara Kesatuan sudah final, dan menolak bentuk negara federasi karena dapat menjadikan disintegrasi bangsa. …(m)emarjinalkan TNI dengan back to barracks, berarti mengeliminasi hak politik anggota TNI sebagai warga negara, sekaligus memisahkan TNI dari rakyat yang menjadi tumpuan kekuatan dan basis jati diri TNI.” Tafsir tersebut kemudian dikembangkan dalam rumusan Peran Sosial Politik TNI yang tidak selalu harus didepan, berubah dari menduduki menjadi mempengaruhi, berubah dari mempengaruhi secara langsung menjadi tidak langsung dan bersedia melakukan political and role sharringdengan komponen bangsa lainnya.
Senada dengan penelitian tersebut, dalam temuan penelitian yang dilakukan oleh S. Yunanto dkk (2008) dengan judul “Efektifitas Strategi Organisasi Masyarakat Sipil dalam Advokasi Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia 1998-2006” terdapat temuan menarik, yaitu  bahwa strategi-strategi yang digunakan oleh kalangan organisasi masyarakat sipil dalam mempromosikan dan mengadvokasi Reformasi Sektor Keamanan umumnya masih konvensional dan bersifat mempengaruhi dari luar, berupa pengembangan wacana, pengorganisasian tekanan terhadap pemerintah-parlemen-institusi keamanan, serta pengorganisiran komunitas. Strategi semacam ini di samping masih merupakan pilihan dominan juga dinilai dianggap relevan untuk mendorong, mempengaruhi, menekan, dan bahkan merubah kebijakan-kebijakan strategis pemerintah.  
Sebagai konsekuensi pilihan strategi-strategi konvensional tersebut,  pada akhirnya menyisakan beberapa agenda tindak lanjut yang cukup berat, yaitu, pertama, fakta bahwa isu Reformasi Sektor Keamanan di kalangan masyarakat dan pemerintahan sipil belum tersosialisasi dengan baik, terutama dalam kontribusinya untuk membentuk kultur masyarakat dan pemerintahan sipil yang peka dan tanggap terhadap kebutuhan Reformasi Sektor Keamanan sehingga mampu mengambil peran aktif sebagai inisiator dan alat kontrol proses reformasi. Kedua, fakta bahwa Reformasi Sektor Keamanan sendiri masih jauh dari harapan, meskipun beberapa capaian strategis di tingkatan legislasi muncul. Tujuan Reformasi Sektor Keamanan yang pada dasarnya mentransformasi kebijakan sektor keamanan yang demokratis, membentuk militer yang professional, badan intelijen yang akuntabel, serta aparat kepolisian yang bersifat sipil masih belum tercapai sampai dengan delapam tahun masa transisi demokrasi Indonesia.

Peran Negara dalam Sektor Keamanan

Membahas mengenai peran negara, kita bisa menelaah dari teori tentang terbentuknya negara. Terdapat empat teori terbentuknya negara, yaitu teori alamiah, teori ciptaan Tuhan, teori kekuatan, dan teori kontrak sosial. Masing-masing teori itu juga memberikan penjelasan tentang di mana sumber kewenangan politik. (Dikutip dari http://rizkisaputro.wordpress.com/2007/07/24/ teori-  kontrak - sosial - hobbes - locke - dan -rousseau/ , diunduh 15 Juni 2010).  Teori alamiah menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena kebutuhan manusia untuk aktualisasi kemanusiaannya. Negara adalah wadah tertinggi untuk aktualisasi manusia. Selain negara, dua wadah lain yang tingkatnya lebih rendah adalah keluarga dan desa. Di dalam keluarga, manusia mengakutalisasikan diri di bidang fisik, karena keluarga menyediakan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan fisik manusia. Di dalam desa, manusia mengaktualisasi diri di bidang sosial, karena desa menyediakan pemenuhan hasrat untuk berkawan dan bermasyarakat. Di dalam negara, manusia mengaktualisasikan diri di bidang moral dan politik untuk menjadi manusia sepenuhnya karena manusia mampu mengaktualisasikan hasrat moral dan politik yang tidak bisa terpenuhi di dalam wadah keluarga dan desa. Oleh karena itu manusia bisa sempurna hanya bila mereka berperan dalam negara.
Teori ciptan Tuhan menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena diciptakan oleh Tuhan. Penguasa atau pemerintah suatu negara ditunjuk atau ditentukan oleh Tuhan, sehingga walau pun penguasa atau pemerintah mempunyai kewenangan, sumber kewenangan tetap adalah Tuhan. Oleh karena sumber kewenangan adalah Tuhan, penguasa atau pemerintah bertanggungjawab kepada Tuhan, bukan kepada rakyat yang dikuasai atau diperintah.
Teori kekuatan menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena hasil penaklukan dan kekerasan antarmanusia. Yang kuat dan mampu menguasai yang lain membentuk negara dan memaksakan haknya untuk menguasai dan memerintah negara. Sumber kewenangan dalam teori ini adalah kekuatan itu sendiri, karena kekuatan itu yang membenarkan kekuasaan dan kewenangan.
Teori kontrak sosial menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena anggota masyarakat mengadakan kontrak sosial untuk membentuk negara. Dalam teori ini, sumber kewenangan adalah masyarakat itu sendiri. Secara garis besar dan untuk keperluan analisis, keempat teori itu seolah-olah berdiri sendiri secara tegar. Akan tetapi bila dilihat lebih seksama, di dalam masing-masing teori itu terdapat nuansa-nuansa perbedaan penjelasan dan argumentasi, terutama pada pengoperasian kewenangan. Bahkan, dari variasi argumentasi itu sering muncul argumentasi yang bisa menjadi pendukung atau inspirasi dari teori lain. Teori ciptaan Tuhan, misalnya, mengandung variasi pemikiran tentang pengoperasian kewenangan. Kongfucu, misalnya, menyatakan bahwa Tuhan memberi mandat (the mandate of heaven) kepada raja untuk memerintah rakyatnya. Apabila raja dianggap tidak memerintah dengan baik, maka mandat itu dicabut oleh Tuhan. Tetapi bagaimana dan kapan mandat harus dicabut, rakyatlah yang mengetahui dengan melihat gejala-gejala alam, seperti adanya bencana banjir, gempa bumi, kelaparan dan sebagainya.
Hobbes, Locke dan Rousseau sama-sama berangkat dari, dan membahas tentang, kontrak sosial dalam analisis-analisis politik mereka. Mereka sama-sama mendasarkan analisis-analisis mereka pada anggapan dasar bahwa manusialah sumber kewenangan. Akan tetapi tentang bagaimana, siapa mengambil kewenangan itu dari sumbernya, dan pengoperasian kewenangan selanjutnya, mereka berbeda satu dari yang lain. Perbedaan-perbedaan itu mendasar satu dengan yang lain, baik di dalam konsep maupun (apalagi!) di dalam praksisnya.
Salah satu faktor penyebab perbedaan itu adalah latarbelakang pribadi dan kepentingan masing-masing. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Hobbes (1588-1679) hidup pada kondisi negaranya sedang kacau balau karena Perang Saudara; bahwa Hobbes menginginkan negaranya stabil dan Hobbes mempunyai ikatan karier dan politik dengan kalangan kerajaan, sehingga dalam persaingan kerajaan versus parlemen Hobbes memihak kerajaan dan antiparlemen yang dianggap sumber utama perang saudara.
Locke hidup (1632-1704) setengah abad lebih muda daripada Hobbes. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Locke merasa hidup di tengah-tengah kekuasaan kerajaan despotik; bahwa Locke mendapat pengaruh dari semangat liberalisme yang sedang bergelora di Eropa pada waktu itu; dan bahwa Locke mempunyai ikatan karier dan politik dengan kalangan parlemen yang sedang bersaing dengan kerajaan, sehingga Locke cenderung memihak parelemen dan menentang kekuasaan raja.
Sedangkan Rousseau (1712-1778) hidup dalam abad berbeda dan negara berbeda pula. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Rousseau berasal dari kalangan biasa yang merasakan kesewenang-wenangan kerajaan; dan bahwa Rousseau mengilhami dan terlibat dalam Revolusi Perancis. Dalam membangun teori kontrak sosial, hobbes, Locke dan Rousseau memulai dengan konsep kodrat manusia, kemudian konsep-konsep kondisi alamiah, hak alamiah dan hukum alamiah. Pada intinya, arah dari konsep negara yang didisain adalah kedaulatan rakyat, inilah fondasi dari konsep demokrasi.
Dalam konteks Indonesia, parameter demokrasi tersebut sudah jelas ditegaskan dalam pembukaan UUD 1945. Disebutkan pada awal pembukaan, Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Kemudian, dan perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Alinea selanjutnya menunjukkan bahwa berdirinya negara Indonesia karena kuasa Tuhan. Disebutkan, Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Dan sebagai penegasan mengenai kekuasan dan kontrol rakyat, nampak pada alinea terakhir, yaitu kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatam yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di sini jelas, bahwa dasar pendirian negara Indonesia seluruhnya berasaskan pada parameter negara demokratis.
Pelayanan sektor keamanan merupakan salah satu kewajiban dari negara. Seperti ditegaskan dalam UUD 1945 pada alinea keempat yang menyatakan  untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Di negara Republik Indonesia, tanggung jawab keamanan ada pada institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Namun dalam ketentuan perundang-undangan, kewenangan tersebut juga ada pada pemerintah daerah atas dasar asas pemberian otonomi pada daerah. Kewenangan Polri seperti diatur dalam UU RI Nomor 2 Tahun 2002 adalah sebagai penyelenggara salah satu fungsi pemerintahan di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Dalam operasionalisasinya, Polri tidak hanya bertanggungjawab atas keamanan dan ketertiban secara nasional saja, tetapi juga secara lokal yang merupakan kewenangan kepolisian di tingkat kewilayahan. Sementara Kepala Daerah sesuai dengan UU RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berkewajiban untuk menjaga ketentraman dan ketertiban di daerah. Polri dalam operasionalnys mempunyai anggota sebagai pelaksana Manajemen Operasional Polri, sementara Pemerintah Daerah sesuai amanat undang-undang dapat membentuk Satuan Pamong Praja (Satpol PP) yang bertanggung-jawab memberikan pelayanan sektor keamanan di bawah kendali Gubernur dan Bupati/Walikota. Sehingga dalam implementasi kebijakan mengenai pelayanan sektor keamanan muncul persoalan mengenai kualitas pelayanan pada sektor keamanan.
Reformasi sektor keamanan yang bergulir bersamaan dengan reformasi nasional menuntut adanya profesionalisme serta pemerintahan sipil yang kuat dalam memberikan pelayanan sektor keamanan. Konflik kepentingan serta persoalan mekanisme birokrasi yang sudah diatur dengan berbagai regulasi menimbulkan konflik pada para aktor keamanan maupun dengan masyarakat yang seharusnya menerima outcome berupa rasa aman dan jaminan  keamanan dalam melakukan aktivitas sosial sebagai bagian dari warga negara. Otonomi daerah yang bertujuan memberikan kualitas hidup yang lebih baik bagi masyarakat justru sering menimbulkan masalah dalam implementasinya, antara lain dalam kewajiban negara memberikan pelayanan pada sektor keamanan.

Bahan Bacaan :

Asshidiqie, Jimly. 2007. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer.
Bayley, David H. 1998. Police for The Future – Polisi Masa Depan. Terjemahan Kunarto dan Khobibah M. Arief Dimyati. Jakarta : Cipta Manunggal.
Belson, William A. 1975. The Public and the Police. London : Harper & Row Publishers.
Blau, Peter M & Marshall W Meyer. 2000. Birokrasi dalam Masyarakat Modern. Terjemahan Slamet Riyanto. Jakarta : Penerbit Prestasi Pustakaraya.
Bruce, Tammy. 2003. The New Thought Police : Inside the Left’s Assault on Free Speech and Free Minds. New York : Three Rivers Press.
Budiardjo, Miriam. 2010 (edisi revisi; cetakan kedua). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Djamin, Awaloedin. 2007. Kedudukan Kepolisian Negara RI dalam Sistem Ketatanegaraan Dulu, Kini dan Esok. Jakarta : PTIK Press.
Gadjong, Agussalim Andi. 2007. Pemerintahan Daerah : Kajian Politik dan Hukum. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.
Habermas, Jurgen. 2007. Ruang Publik : Sebuah Kajian tentang Kategori Masyarakat Borjuis. Terjemahan Yudi Santoso. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Hoogerwerf, 1983. Ilmu Pemerintahan. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Kaho, Josef Riwu. 2001 (cetakan kelima). Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia (Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya). Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Lane, Jan-Erik. 1995 (second edition). The Public Sector : Concept, Models and Approach, London : Sage Publications Ltd.
Makaarim A. Mufti. 2008. Masyarakat Sipil dan Reformasi Sektor Keamanan. Makalah untuk Simposium “10 Tahun Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia”, Jakarta, 28-29 Mei 2008.
Pramusinto, Agus & Erwan Agus Purwanto (Ed). 2009. Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan, dan Pelayanan Publik. Yogyakarta : Penerbit Gava Media.
Prasojo, Eko, dkk. 2006. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah : Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural. Jakarta : Penerbit Departemen Ilmu Administrasi Fisip Universitas Indonesia.
Stone, Deborah A. 1988. Policy Paradox and Political Reason. Braindeis : Harper Collins Publishers.
Walker, Samuel. 2001. Police Accountability : the Role of Citizen Oversight. Terjemahan oleh Tim PTIK. Omaha, USA : Wadsworth.


[1] Drs. A. Wahyurudhanto, M.Si, dosen pada STIK-PTIK, saat ini sedang mengambil program S-3 Ilmu Sosial, konsentrasi Ilmu Pemerintahan pada Universitas Padjadjaran Bandung.

Tidak ada komentar: