Minggu, 26 Juni 2011

Polisi dalam Hiruk Pikuk Demokratisasi

Artikel ini sudah dimuat di:
Jurnal Studi Kepolisian Edisi 075 (Juni 2011)


Polisi dalam Hiruk-pikuk Demokratisasi

Oleh : Wahyurudhanto[1]

Abstrak :
Demokrasi berkembang menjadi sebuah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Persoalan utama dalam negara yang tengah melalui proses transisi menuju de-mokrasi seperti Indonesia saat ini adalah pelembagaan demokrasi. Yaitu bagaimana menjadikan perilaku pengambilan keputusan untuk dan atas nama orang banyak bisa berjalan sesuai dengan norma-norma demokrasi.  Saat ini kondisi di Indonesia menganut demokrasi yang tidak jelas, yaitu presidensiil dengan aroma parlementer. Sehingga memandang birokrasi secara teoritis pada kalangan birokrat di Indonesia akan jauh dari ideal yang ada. Birokrasi di Indonesia belum sepenuhnya menjiwai roh demokrasi, yaitu pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, oleh rakyat. Hal ini karena kepentingan elite masih lebih dominan dengan bungkus demokrasi yang dilakukan oleh para birokrat. Inilah yang kemudian menjadi problem bagi Polri. Sebagai alat negara yang bertanggung-jawab untuk mewujudkan keamanan dalam negeri, posisi Polri menjadi sulit dalam menyikapi situasi saat ini, situasi dimana hiruk-pikuk demokratisasi sedang terjadi di Indonesia.

Kata Kunci :
Demokratisasi, Birokrasi, Presidensiil, Parlementer, Tupoksi Polri, Kamdagri

 Pendahuluan
Pengertian tentang demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa (etimologis) dan istilah (terminologis). Secara etimologis "demokrasi" terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu "demos" yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan "cratein"  yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demos-cratein ataudemos-cratos (demokrasi) adalah keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.
Karena itu pemahaman sederhana mengenai hakekat demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat (goverment of the people), pemerintahan oleh rakyat (goverment by the people), dan pemerintahan untuk rakyat (goverment for the people). Bagaimana hakekat demokrasi dimaknai dalam pandangan hidup di negara kita, bisa kita simak dari sikap pada pendiri negara ketika merumuskan Undang Undang Dasar 1945. UUD 1945 secara eksplisit telah menyatakan ada beberapa lembaga negara sebagai pemegang kekuasaan yang masing-masing mempunyai fungsi, wewenang dan kedudukan yang berbeda. Adanya pembagian itu sebenarnya merupakan delegasi kekuasaan dari pada rakyat selaku pemegang kedaulatan.[1]
Bahwa di Indonesia yang memegang kedaulatan adalah rakyat yang berarti bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, jelas-jelas disebut di dalam Undang-Undang Dasar 1945, yakni di dalam pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan Rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawatan Rakyat”. Jadi  pada dasarnya secara formal, MPR adalah merupakan penjelmaaan dari seluruh rakyat Indonesia, anggota-anggotanya merupakan penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia, anggota-anggotanya merupakan wakil langsung dari rakyat. Walau pada UUD 1945 Amandemen  ada perubahan mengenai pasal ini, namun  inti pemikiran bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan masih tetap dicantumkan. Dalam perubahan, isi pasal 1 ayat (2) tersebut berubah menjadi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Jika kita melihat teori lain mengenai demorasi, seperti yang dinyatakan oleh Joseph A. Schumpeter,[2] demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Sidney Hook berpendapat demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang di berikan secara bebas dari rakyat dewasa.
Sementara Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl[3] menyatakan demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warganegara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang terpilih. Dan Hendry B. Mayo[4] mengartikan demokrasi sebagai sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik

Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Awal mula berkembangnya gagasan dan konsep demokrasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan situasi sosial politik masa kolonial pada tahun-tahun pertama abad 20 yang ditandai dengan beberapa perkembangan penting: Pertama, mulai terbuka terhadap arus informasi politik di tingkat global. Kedua, migrasi para para aktifis politik berhaluan radikal Belanda, umumnya mereka adalah para buangan politik, ke Hindia Belanda. Di wilayah yang baru ini mereka banyak memperkenalkan ide-ide dan gagasan politik modern kepada para pemuda bumiputera. Dapat dicatat disini para migran politiktersebut antara lain; Bergsma, Baars, Sneevliet, dan beberapa yang lain. Ketiga, transformasi pendidikan di kalangan masyarakat pribumi.[5]
Di Indonesia, fenomena demokrasi dapat ditemui dalam sejarah perkembangan politik pasca kolonial. Fokus demokrasi pada masa demokrasi parlementer (1955-1959), demokrasi terpimpin (1959-1965) bentukkan Presiden Soekarno, demokrasi Pancasila masa Orde Baru, dan karakteristik demokrasi setelah berakhirnya kekuasaan otoritarian (periode transisi dan konsolidasi demokrasi 1998-2007).
 Momentum historis perkembangan demokrasi setelah kemerdekaan di tandai dengan keluarnya Maklumat No. X pada 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Hatta. Dalam maklumat ini dinyatakan perlunya berdirinya partai-partai politik sebagai bagian dari demokrasi, serta rencana pemerintah menyelenggarakan pemilu pada Januari 1946. Maklumat Hatta berdampak sangat luas, melegitimasi partai-partai politik yang telah terbentuk sebelumnya dan mendorong terus lahirnya partai-partai politik baru.
Pada tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil menyelesaikan regulasi pemilu dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 Pemilu. Pemilu multipartai secara nasional disepakati dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk pemilhan parlemen) dan 15 Desember 1955 (untuk pemilihan anggota konstituante). Pemilu pertama nasional di Indonesia ini dinilai berbagai kalangan sebagai proses politik yang mendekati kriteria demokratis, sebab selain jumlah parpol tidak dibatasi, berlangsung dengan langsung umum bebas rahasia (luber), serta mencerminkan pluralisme dan representativness.
Fragmentasi politik yang kuat berdampak kepada ketidakefektifan kinerja parlemen hasil pemilu 1955 dan pemerintahan yang dibentuknya. Parlemen baru ini tidak mampu memberikan terobosan bagi pembentukan pemerintahan yang kuat dan stabil, tetapi justru mengulangi kembali fenomena politik sebelumnya, yakni gonta-ganti pemerintahan dalam waktu yang relatif pendek.
Ketidakefektifan kinerja parlemen memperkencang serangan-serangan yang mendelegitimasi parlemen dan partai-partai politik pada umumnya. Banyak kritikan dan kecaman muncul, bahkan tidak hanya dilontarkan tokoh-tokoh anti demokrasi. Hatta dan Syahrir menuduh para politisi dan pimpinan partai-partai politik sebagai orang yang memperjuangkan kepentingannya sendiri dan keuntungan kelompoknya, bukan mengedepankan kepentingan rakyat. Namun begitu, mereka tidak menjadikan demokrasi parlementer sebagai biang keladi kebobrokan dan kemandegan politik. Hal ini berbeda dengan Soekarno yang menempatkan demokrasi parlementer atau demokrasi liberal sebagai sasaran tembak. Soekarno lebih mengkritik pada sistemnya. Kebobrokan demokrasi liberal yang sedang diterapkan, dalam penilaian Soekarno, merupakan penyebab utama kekisruhan politik. Maka, yang paling mendesak untuk keluar dari krisis politik tersebut adalah mengubur demokrasi liberal yang dalam pandangannya tidak cocok untuk dipraktikkan di Indonesia. Akhirnya, Soekarno menyatakan demokrasi parlementer tidak dapat digunakan untuk revolusi, parliamentary democracy is not good for revolution.
Demokrasi Terpimpin Soekarno kemudian runtuh setelah terjadinya peristiwa perebutan kekuasaan yang melibatkjan unsur komunis (PKI) dan angkatan bersenjata, yang dikenal dengan Gerakan 30 September 1965. Perebutan kekuasaan ini mengakibatkan hancurnya kekuasaan PKI serta secara bertahap berakhirnya kekuasaan Orde Lama Soekarno. Muncul kekuasaan baru dibawah militer dibawah Letjen. Soeharto yang menyatakan diri sebagai Orde Baru. Konsepsi demokrasi Soeharto, rencana praksis politiknya, awalnya tidak cukup jelas. Ia lebih sering mengemukakan gagasan demokrasinya, yang kemudian disebutnya sebagai Demokrasi Pancasila, dalam konsep yang sangat abstrak. Pada dasarnya, konsep dasar Demokrasi Pancasila memiliki titik berangkat yang sama dengan konsep Demokrasi Terpimpin Soekarno, yakni suatu demokrasi asli Indonesia. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang sesuai dengan tradisi dan filsafat hidup masyarakat Indonesia. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang sehat dan bertanggungjawab, berdasarkan moral dan pemikiran sehat, berlandaskan pada suatu ideologi tunggal, yaitu Pancasila.
Langkah politik awal yang dilakukan Soeharto untuk membuktikan bahwa dirinya tidak anti demokrasi adalah dengan merespons penjadwalan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), sebagaimana dituntut oleh partai-partai politik. Soeharto sendiri pada hakekatnya tidak menghendaki pemilu dengan segera, sampai dengan terkonsolidasikannya kekuatan Orde Baru. Sebagai upaya lanjut mengatasi peruncingan ideologi Soeharto melakukan inisiatif penggabungan partai politik pada 1973, dari 10 partai menjadi 3 partai politik (Partai Persatuan Pembangunan, Golkar, Partai Demokrasi Indonesia). Golkar sendiri yang notabene, dibentuk dan dikendalikan oleh penguasa tidak bersedia menyatakan diri sebagai parpol melainkan organisasi kekaryaan. Fusi atau penggabungan partai ini merupakan wujud kekesalan Soeharto terhadap parpol dan hasratnya untuk membangun kepolitikan kekeluargaan. Menjaga citra sebagai negara demokrasi terus dijaga oleh rezim Orde Baru.
Terhadap tuntutan demokrasi yang berkembang kuat sejak pertengahan 1980-an, sebuah momen perkembangan yang oleh Huntington dinamakan gelombang demokrasi ketiga Soeharto menjawab dengan kebijakan mulur mungkret liberalisasi politik terbatas, yang oleh para pengkritik disebut sebagai demokrasi seolah-olah (democracy as if), tetapi sekaligus mempertahankan instrumen represif terhadap kelompok yang mencoba-coba keluar dari aturan main yang ditentukan rezim.
Praktik democracy dictatorship yang diterapkan Soeharto mulai tergerus dan jatuh dalam krisis bersamaan dengan runtuhnya mitos ekonomi Orde Baru sebagai akibat terjadinya krisis moneter mulai 1997. Krisis moneter yang semakin parah menjadikan porak porandanya ekonomi nasional yang ditandai dengan runtuhnya nilai mata uang rupiah, inflasi, tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK), dan semakin besarnya pengangguran. Krisis ekonomi memacu berlangsungya aksi-aksi protes dikalangan mahasiswa menuntut Soeharto mundur.

            Demokratisasi Pasca Orde Baru
Berakhirnya Orde Baru melahirkan kembali fragmentasi ideologi dalam masyarakat. Berbagai kelompok dengan latar belakang ideologi yang beranekaragam, mulai dari muslim radikal, sosialis, nasionalis, muncul dan bersaing untuk mendapatkan pengaruh politik. Sebelum pemilu multi partai 1999 diselenggarakan, berlangsung pertikaian di kalangan pro demokrasi soal bagaimana transisi demokrasi harus berjalan dan soal memposisikan elite-elite lama dalam proses transisi. Beberapa kemajuan penting dalam arsitektur demokrasi yang dilakukan pemerintahan Habibie antara lain; adanya kebebasan pers, pembebasan para tahanan politik (tapol), kebebasan bagi pendirian partai-partai politik, kebijakan desentralisasi (otonomi daerah), amandemen konstitusi antara lain berupa pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode, pencabutan beberapa UU politik yang represif dan tidak demokratis, dan netralitas birokrasi dan militer dari politik praktis.
Kesuksesan dalam melangsungkan demokrasi prosedural ini merupakan prestasi yang mendapatkan pengakuan internasional, tetapi di lain pihak, transisi juga ditandai dengan meluasnya konflik kesukuan, agama, dan rasial yang terjadi di beberapa wilayah di tanah air sejak 1998. Misalnya di Ambon, Poso, Sambas dan lainnya.
Pemerintahan baru hasil pemilu 1999 yang memunculkan pasangan Abdurrahman Wahid-Megawati jauh dari performance yang optimal. Abdurramah Wahid atau Gus Dur pada akhirnya dipaksa lengser setelah kurang dari dua tahun berkuasa. Lengsernya Wahid yang terpilih dengan legitimasi demokratis dan dikenal luas sebagai pendukung militan demokrasi, menjadi sebuah tragedi transisi demokrasi. Selanjutnya Megawati yang memegang tampuk pemerintahan mencoba untuk secara tegas memegang sistem presidensiil, namun arus kekuatan partai demikian kuat, sehingga kesan menuju ke demokrasi parlementer semakin terasa. Kini di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono, “stempel”-nya adalah demokrasi presidensiil, namun citarasanya adalah demokrasi parlementer.
Maka demokrasi di Indonesia dengan pasang surutnya, tahapannya bisa kita simpulkan sebagai berikut:
1.    Masa Republik Indonesia I, yaitu masa demokrasi yang menonjolkan peranan parlemen  serta partai-partai dan yang karena itu dapat dinamakan demokrasi parlementer.
2.    Masa Republik Indonesia II, yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang dalam banyak aspek telah menimpang dari demokrasi konstitusional yang secara fomil merupakan landasannya, dan menunjukan beberapa aspek demokrasi rakyat.
3.    Masa Republik Indonesia III, yaitu masa demokrasi Pancasila yang merupakan demokrasi yang menonjolkan sistem Presidensiil.
4.    Masa Republik Indonesia IV, yaitu masa demokrasi Pancasila pada era reformasi yang lebih menjurus ke demokrasi liberal.
5.    Masa Republik Indonesia V, yaitu masa demokrasi Pancasila pada era reformasi dengan model demokrasi yang tidak jelas, yaitu presidensiil dengan aroma parlementer.
Sementara Demokrasi Barat cenderung diekspresikan dalam urusan kepentingan politik mengejar kemenangan dan kekuasaan. Dalam demokrasi Barat adalah normal kalau partai politik mengejar kekuasaan agar dengan kekuasaan itu dapat mewujudkan kepentingannya dengan seluas-luasnya (The Winner takes all). Ia hanya mengakomodasi kepentingan pihak lain karena dan kalau itu sesuai dengan kepentingannya. Jadi sikap Win-Win Solution yang sekarang juga sering dilakukan di Barat bukan karena prinsip kebersamaan, melainkan karena faktor manfaat semata-mata.[6]  Karena itu untuk konteks Indonesia, demokrasi yang tepat bukanlah yang meniru model barat, namun disesuaikan dengan roh bangsa Indonesia yang lebih cenderung membutuhkan adanya keselarasan dalam kehidupan sosial-politik.

Polisi dalam Hiruk-pikuk Demokratisasi

Demokrasi berkembang menjadi sebuah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Persoalan utama dalam negara yang tengah melalui proses transisi menuju de-mokrasi seperti Indonesia saat ini adalah pelembagaan demokrasi. Yaitu bagaimana menjadikan perilaku pengambilan keputusan untuk dan atas nama orang banyak bisa berjalan sesuai dengan norma-norma demokrasi, umumnya yang harus diatasi adalah merubah lembaga feodalistik (perilaku yang terpola secara feodal, bahwa ada kedudukan pasti bagi orang-orang berda-sarkan kelahiran atau profesi sebagai bangsawan politik dan yang lain sebagai rakyat biasa) menjadi lembaga yang terbuka dan mencerminkan keinginan orang banyak untuk mendapatkan kesejahteraan.[7] Untuk melembagakan demokrasi diper-lukan hukum dan perundang-undangan dan perangkat struktural yang akan terus mendorong terpolanya perilaku demokratis sampai bisa menjadi pandangan hidup. Karena diyakini bahwa dengan demikian kesejahteraan yang sesungguhnya baru bisa dicapai, saat tiap individu terlindungi hak-haknya bahkan dibantu oleh negara untuk bisa teraktualisasikan, saat tiap individu berhubungan dengan individu lain sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku.
Menurut David Held, bahwa setiap model demokrasi memiliki ciri-ciri yang hampir mirip, sehingga dari satu model ke model lainnya memiliki keterkaitan yang saling melengkapi.[8] Mencermati model demokrasi yang berkembang setidaknya kita akan melihat beberapa perubahan mana demokrasi, yaitu pemikiran tentang kejadian sebuah kota sehingga pembicaraan yang terjadi adalah mengenai self-governe. Kejadian tersebut banyak terjadi di Italia, dimana kota-kota di Italia mulai merdeka dan bebas dari penaklukan dan invasi oleh kota-kota sekitarnya. Ini awal yang besar dari awal demokrasi yang sebenarnya, meskipun kita juga bisa melihat apakah memang benar bahwa demokrasi ini adalah berawal dari Athena. Sebab kita bisa melihat bahwa demokrasi yang mestinya melibatkan seluruh masyarakat, namun masih ada tiga kalangan yang belum terlibat dalam direct demokrasi ini; pertama adalah budak, kedua adalah anak-anak dan perempuan dan ketiga, pendatang. Dari ketiga kalangan ini, pada akhir abad ke-17 dan 18, baru menempatkan budak dan pendatang sebagai bagian dari demokrasi. Sementara perempuan dan anak-anak belum. Maka, jika saat ini banyak tuntutan terhadap kuota perempuan dalam sebuah lembaga demokrasi, ini bukan saja merupakan pengembalian hak terhadap perempuan, tetapi juga pelunasan hutang demokrasi terhadap mereka.
Mencermati perkembangan demokrasi di Indonesia, terutama pasca Orde Baru dan memasuki Era Reformasi ini, pelaksanaan demokrasi deliberatif dengan menempatkan kuota bagi perwakilan daerah dan perempuan makin terbuka. Justru perkembangan politik berdemokrasi yang dilihat makin mahal, paling tidak jika dikaitkan dengan jumlah anggaran Pemilu dan ongkos politik Pilkada yang tinggi, respon pelaku/elite politik negeri ini segera merespon demokrasi sebagai penyebab lambannya pencapaian tujuan kesejahteraan rakyat.
Jika kita melihat demokrasi pada konteks Indonesia, pasca kolonial, kita mendapati peran demokrasi yang makin luas. Di zaman Soekarno, kita mengenal beberapa model demokrasi. Partai-partai Nasionalis, Komunis bahkan Islamis hampir semua menga-takan bahwa demokrasi itu adalah sesuatu yang ideal. Bahkan bagi mereka, demokrasi bukan hanya merupakan sarana, tetapi demokrasi akan mencapai sesuatu yang ideal. Bebas dari penjajahan dan mencapai kemerdekaan adalah tujuan saat itu, yaitu mencapai sebuah demokrasi. Pancasila adalah rumusan yang menga-komodasi demokrasi. Sila keempat misalnya, rumusan ini persis dengan pikiran Josep Blater, yang artinya bahwa pemimpin kita telah memenuhi demokrasi melebihi setengah abad yang lalu. Mereka percaya bahwa, keputusan politik, demokratis, bukan semata-mata didukung oleh mayoritas, tetapi memiliki dua unsur yaitu keputusan rasional dan imparsial. Keputusan rasional merupakan keputusan politik yang berdasar fakta. Imparsial, atau inklusif, ialah bahwa setiap pendapat harus menga-komodasi bagaimana setiap orang meman-dang dan sehingga bukan hanya terjebak pada masalah mayoritas-minoritas semata.
Dalam fakta di Indonesia oleh kalangan birokrat, demokrasi baru pada tahap citra diri untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Oleh karena itu, tren yang sedang ber-langsung pada komunitas elite politik adalah, yang hendak maju dalam panggung kekuasaan merupakan orang-orang yang mampu mengangkat citra dari sang aktor. Artinya, praktek demokrasi yang ditampilkan masih permukaan dan artifisial. Dalam pandangan Miftah Thoha, masalah pelik yang ada dalam birokrasi Indonesia adalah menetralisasikan birokrasi dari pengaruh kekuatan partai politik.[9]
Sehingga memandang birokrasi secara teoritis pada kalangan birokrat di Indonesia akan jauh dari ideal yang ada. Birokrasi di Indonesia belum sepenuhnya menjiwai roh demokrasi, yaitu pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, oleh rakyat. Hal ini karena kepentingan elite masih lebih dominan dengan bungkus demokrasi yang dilakukan oleh para birokrat. Inilah yang kemudian menjadi problem bagi Polri. Sebagai alat negara, posisi Polri menjadi sulit dalam menyikapi situasi saat ini, situasi dimana hiruk-pikuk demokratisasi sedang terjadi di Indonesia. Tuduhan bahwa Polri selalu menjadi “bemper” kekuasaan menjadi kritik yang  saat ini terus menerus diterima oleh institusi ini.
Tuduhan ini seolah-olah menjadi pembenar bahwa posisi polisi selalu untuk mengamankan kekuasaan. Jika kita merujuk pada berbagai literatur, dari sejarah kepolisian diperoleh petunjuk bahwa peralihan sistem Monarkhi menjadi Republik di abad pertengahan membawa pengaruh besar dalam Kepolisian, pengaruh itu berbentuk perilaku organisasi dan individu polisinya. Di alam sistem Monarkhi, polisi cenderung menegakkan peraturan demi langsung lestarinya Pemerintahan Raja, yang lalu bertindak sangat represif. Sedang dalam sistem Republik polisi cenderung menegakkan peraturan demi kesejahteraan rakyat. Bahkan pada deretan negara Republik polisinya pun berbeda perilakunya. Semakin demokratis satu Republik, polisinya semakin menghormati supremasi hukum.
 Disini lalu terjadi perubahan parameter bukan bentuk negara yang menentukan jenis dan kultur kepolisian - tetapi kadar demokrasilah yang menentukan kultur profesionalisme dan modernisasi dari organ kepolisian. Di dunia ini terdapat lebih dari 200 negara yang mengaku atau menyebut dirinya Negara Demokrasi, dengan kadar kedemokrasiannya berbeda-beda. Jenis demokrasi dari 200 negara lebih itu lalu membentang dalam satu spektrum dari mulai jenis negara demokratis murni seperti AS dan Inggris - sampai demokrasi Korea Utara yang berkadar otoriter penuh. Dimana letak Indonesia pada deretan negara demokratis itu? Kalau kita tarik garis tengah dari spektrum, maka Indonesia berat ke kiri bahkan mendekati Korea Utara dan berdekatan dengan Myanmar. Sekarang di Indonesia terjadi Reformasi yang mengarah pada demokratisasi. Sampai seberapa jauhkah demokratisasi di Indonesia akan bergeser ke kanan - sejauh itu pulalah jenis, kultur dan kinerja polisi Indonesia akan bergeser. Jadi yang pertama dan utama sebagai penentu kadar kemandirian serta profesionalisme polisi adalah kadar demokrasi dari suatu negara.
Oleh karena itu tidak salah jika ada yang menyatakan bahwa Polri merupakan endapan citra sebagai aparat penjamin kekuasaan kolonial yang dikonfrontasikan dengan masyarakat masih aktual. Ditetapkan UU Nomor 2 Tahun 20002 tentang Kepolisian Negara R.I seharusnya membawa ke arah kelembagaan polisi menjadi semakin jelas, kuat dan legal. UU kepolisian yang lahir dalam suasana tuntutan masyarakat ke arah pemerintahan yang demokratis, sesungguhnya merupakan landasan konstitusional untuk mengubah jati diri Polri yang selama ini militeristik menjadi polisi sipil yang profesional dan memenuhi prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good govemance).

Polri dan Demokratisasi

Polri sebagai pengawal demokratisasi adalah berarti bahwa Polri harus mampu memposisikan diri pada sistem birokrasi yang mengedepankan demokratisasi. Implementasi pada organisasi Polri akan menggunakan dasar hukum bagi kepolisian yang diatur dengan peraturan perundang-undangan yang mencakup tugas pokok, wewenang dan tanggung jawab kepolisian. Di Indonesia, semenjak kemerdekaan ada UU No. 13 Tahun 1961, UU No. 26 Tahun 1997 dan yang terakhir adalah UU No. 2 Tahun 2002. di samping UU tentang Kepolisian, terdapat banyak UU yang terkait, seperti Kitab UU Hukum Pidana (KUHP), Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Keadaan Bahaya, UU Pertahanan Negara dan banyak lagi peraturan perundang-undangan (seperti UU Kepegawaian, UU Terorisme, UU Anti Korupsi, UU yang memberi tugas, wewenang dan tanggung jawab kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan sebagainya.
Semua kepolisian di berbagai negara menyelenggarakan fungsi utama; represif, preventif dan pre-emptif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang dijabarkan dalam tujuan, tugas pokok, tugas-tugas, wewenang dan tanggung jawab dari kepolisian yang bersangkutan. Keberhasilan kepolisian diukur dari tercapainya tujuan dilaksanakannya tugas pokok, tugas-tugas serta wewenang secara efisien dan efektif. Keberhasilan pelaksanaan tugas pokok, tugas-tugas dan wewenang tergantung pula dari pengaturan dan kemampuan manajemen yang juga disebut kemampuan manajemen operasional yang pada dasarnya merupakan model birokrasi yang diterapkan oleh Polri. Birokrasi pada kepolisian nasional, seperti Polri memerlukan pengaturan menurut hirarki kelembagaan dari Mabes Polri, Polda, Polres, Polsek sampai Polsubsektor, yang mencakup semua unsur operasional seperti Intelkam, Reserse Kriminal, Sabhara, Polantas, Brimob, Pol Air, Pol Udara, Satwa Polisi. Kepolisian modern didukung oleh ilmu dan teknologi kepolisian seperti pengetahuan scientific criminal investigation, laboratorium forensik, information technology, peralatan dan kendaraan pengendalian huru-hara, peralatan anti teror, kapal polisi, pesawat udara polisi, police vehicles lainnya, senjata api, borgol, pentungan dan sebagainya. Ini semua termasuk teknologi kepolisian yang memerlukan pengetahuan khusus, baik dalam pemilihannya maupun dalam penggunaannya.
Dengan maraknya kejahatan baru seperti terorisme, money laundering, korupsi, kolusi dan nepotisme, cyber crime, white slavery, dan lain-lain transnational crime, maka ruang lingkup birokrasi pada organisasi Polri juga bertambah luas dan kompleks. Walaupun keberhasilan Polri diukur dari keberhasilan manajemen operasional, namun seperti organisasi besar lainnya, hal itu tidak mungkin dicapai tanpa dukungan model birokrasi yang profesional dan tepat. Dalam ukuran universal, Polri adalah organisasi besar dan kompleks, dilihat dari luasnya tugas pokok dan tugas-tugasnya dari luas wilayah tanggung jawabnya, dari jumlah personil yang dikelolanya, dari sudut anggaran keuangan dan peralatannya. Saat ini dengan anggota hampir 400.000 orang dan anggaran yang dikelola dalam satu tahun mencapai Rp 30 Trilyun, tentu saja membutuhkan model birokrasi yang bisa menjawab tantangan tugas.
Menurut UU No. 2 Tahun 2002, Polri juga wajib membina, mengkoordinasi dan mengawasi Polsus, PPNS, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa, menyangkut pihak luar Polri namun penting untuk membantu keberhasilan pelaksanaan tugas pokok Polri. Pengamanan swakarsa juga luas sekali, dari siskamling di daerah pedesaan dan pemukiman sampai dengan industrial security yang telah menjadi disiplin tersendiri di perguruan tinggi terutama di negara-negara maju. UU No. 2 Tahun 2002 juga memberi wewenang pada Polri untuk mengeluarkan perijinan untuk hal-hal tertentu. Ini memerlukan pengetahuan mengenai perijinan dan substansi ijin tersebut.
Sehingga dalam birokrasi kepolisian RI, keterkaitan tidak hanya antara kelembagaan secara vertikal dari Mabes sampai Subsektor, tapi juga secara horisontal antara unit-unit organisasi di Mabes, Mapolda, Mapolres dan Mapolsek. Keterkaitan juga terdapat antara manajemen operasional dan manajemen pembinaan, juga antara semua unsur dalam lingkup manajemen operasional dan antara semua unsur dalam lingkup manajemen pembinaan. Mengkoordinasikan semua unsur-unsur tersebut agar merupakan kesatuan yang serasi yang saling terkait, bukanlah merupakan hal yang mudah. Hal yang juga penting dalam UU No. 2 Tahun 2002 adalah tugas dan wewenang pengaturan (regulerende functie). Tugas dan wewenang ini menyangkut public policy, karena yang diatur adalah masyarakat atau sebagian masyarakat.
Penutup

Jika kita merujuk pada berbagai pendapat yang berkembang, setidaknya ada tiga parameter untuk mendudukan jati diri polisi : (1) lejitimasi (legitimacy); (2) fungsi (function); dan (3) struktur (structure). Parameter lejitimasi menunjukkan dari mana sebaiknya polisi mendapat mandat kekuasaan dan kepada siapa harus bertanggungjawab. Parameter fungsi menunjukkan bagaimana polisi diperankan dalam pemeliharaan hukum (maintenance of law) dan pencegahan serta pendeteksian pelanggar hukum. Sedangkan parameter struktur menunjukkan bagaimana besaran organisasi, spesialisasi dan tipe paksaan yang dianggap layak. Ada keberagaman dalam penerapan parameter itu antara satu negara dengan negara lain. Untuk parameter lejitimasi misalnya, terdapat pemberian monopoli kepada polisi dari suatu elite dalam masyarakat (publik) atau elite politik di parlemen (undang-undang). Demikian pula dalam hal penerapan parameter fungsi. Misalnya dalam tugas-tugas yang dilekatkan pada polisi antara pemeliharaan hakum dengan ketertiban (order), pencegahan, dan pendeteksian tidaklah sama antar setiap negara. Untuk parameter struktur juga terdapat variasi dalam pengorganisasian polisi, sentralisasi atau desentralisasi.
Kini wacana yang selalu  muncul adalah posisi ideal Polri di bawah departemen atau langsung di bawah Presiden sesuai UU Nomor 2 Tahun 2002. Permasalahan apakah Polri akan berada di bawah satu departemen atau tetap dengan kondisi sekarang sebenarnya terkait pada dua sudut pandang yang berbeda. Perspektif pertama pendekatan penataan kelembagaan politik menjadi satu penegas pentingnya Polri hanya mengurusi hal-hal operasional saja, tidak pada perumusan kebijakan. Pandangan ini cenderung menisbihkan esensi dan realitas di Polri sendiri sebagai polisi yang cenderung memiliki watak korporat yang kental sebagaimana TNI. Artinya Polri harus berada di bawah satu departemen yang sesungguhnya juga tidak terlalu baik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Perspektif yang kedua lebih pada bagaimana membangun paradigma tentang akuntabiltas pada substansi, bukan pada wadah. Posisi di manapun Polri akan terukur sejauhmana akuntabilitas Polri dapat dipertanggungjawabkan. Artinya peluang untuk tetap di posisi seperti sekarang besar peluangnya selama pengawasan yang aktif dapat dilakukan. Dari dua perspektif tersebut dapat dilihat bahwa berbagai skenario yang dimunculkan akan mengacu pada sejauh mana Polri secara kelembagaan dapat dikontrol oleh masyarakat.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka membicarakan  mengenai Polri dalam hiruk-pikuk demokratisasi, adalah sama dengan membahas mengenai dimana posisi ideal Polri pada era demokratisasi pasca orde reformasi saat ini. Maka posisi ideal Polri seyogyanya dilihat dari konteks substansi. Karena dengan memperdebatkan mengenai posisi Polri dengan berpijak pada pengalaman sejarah, pengaruh sosial, pengaruh politik, serta belajar dari perkembangan organisasi Polri, justru pembahasan akan berkembang menjadi konflik kepentingan. Posisi sekarang di bawah presiden sudah ideal, namun diperlukan lembaga serta mekanisme kontrol yang ketat sehingga penyimpangan dan pengaruh negatif bisa ditekan. Apabila akan memposisikan Polri dalam wacana reposisi, maka konteks substansi (cetak tebal dari penulis)  sebagai penjaga ketertiban masyarakat, lawan kejahatan, serta penegak hukum harus dikedepankan, sehingga posisi Polri akan mampu memberikan kontribusi bagi perlidungan, pengayoman, dan pelayanan pada masyarakat dalam rangka mewujudkan keamanan dalam negeri. (*)





[1] Mahfud MD, Moh, 2001, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 84.
[2] Dalam Jamalludin Rahman, 2009, Teori Siklus Demokrasi,  http://www.psik-indonesia.org/home.php?page= fullnews&id=33, diakses 4 Juni 2010.

[3] Ibid
[4] Ibid
[5]  M. Masad Masrur, tulisan tidak dipublikasikan.

[6] Suryohadiprojo, Sayidiman, 2008, Pancasila dan Demokrasi, makalah.
[8] Held, David, 2007, Models of Democracy, Polity dan Akbar Tanjung Institute, Jakarta.
[9] Thoha, Miftah, 2003, Birokrasi dan Politik diu Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 166.


Tidak ada komentar: