Minggu, 26 Juni 2011

Nilai Luhur Polisi

Tulisan ini sudah dimuat di:
Jurnal Studi Kepolisian Edisi 075 (Juni 2011)


Nilai Luhur Polisi

“Kekuasaan ibarat pedang bermata dua. Kalau tidak pandai menggunakannya, maka bisa mendatangkan bahaya, baik bagi pemiliknya maupun pada orang lain. Ingat, hanya orang-orang berilmu yang mampu menggunakan kekuasaan yang ada dalam tangannya, untuk menolong orang-orang yang lemah dan tidak bersalah. Karena itu Hoegeng harus sekolah baik-baik, supaya bisa jadi Komisaris Polisi, untuk menolong orang yang lemah dan tidak bersalah.” (Pesan Ating Natadikusumah pada Hoegeng kecil)

Hoegeng kecil bukanlah dari kalangan rakyat jelata, bapaknya tergolong pejabat pada jaman Hindia Belanda, Soekarjo Kario Hatmodjo adalah Kepala Kejaksaan Karesidenan Pekalongan. Saat masih kecil, Hoegeng Imam Santoso – yang kemudian lebih dikenal dengan nama Hoegeng – terkesan dengan sosok Pak Ating, polisi dengan pangkat Komisaris Polisi Kelas I yang merupakan sahabat ayahnya, saat itu menjabat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Karesidenan Pekalongan. Penampilan Ating Natadikusumah yang gagah, postur tinggi besar, kulit kekuning-kuningan, saat bertugas selalu mengendarai sepeda motor Harley Davidson, dan sepucuk pistol terselip di pinggangnya, merupakan idola Hoegeng Kecil. Sosok inilah yang menjadikannya bercita-cita menjadi polisi.
Kelak Hoegeng kecil ini menjadi orang pertama di jajaran Kepolisian RI. Ating sendiri sempat menjabat sebagai Kepala Kepolisian RI Wilayah Jakarta (setingkat Kapolda). Pesan yang disampaikan oleh sahabat ayahnya tersebut terus terngiang-ngiang pada diri Hoegeng dan selalu dijadikan pegangan ketika berdinas sebagai anggota Polri. Kisah tersebut diungkapkan dalam buku memoar tentangnya yang berjudul “Hoegeng : Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif pada Pemimpin Bangsa” (Penerbit Bentang, 2009.
Sosok Hoegeng sampai kini tetap menjadi sosok yang legendaris di negeri ini. Bukan bermaksud untuk mengkultuskan, namun dalam setiap perbincangan, selalu disebut bahwa Hoegeng adalah satu dari tiga polisi yang “bersih”. Dua yang lain adalah polisi tidur dan patung polisi. Anekdot ini menggambarkan, betapa sulitnya mencari polisi sekaliber Hoegeng. Sehingga dalam berbagai kesempatan sosok Hogeng selalu dijadikan contoh polisi yang layak diteladani.
Pesan yang dijadikan pegangan dalam menjalankan profesinya dijalankan dengan konsekuen. Tentu saja sikap ini kemudian membawa risiko, karena ternyata tidak semua orang – terutama penguasa – yang suka dengan sikap tersebut. Nasib Hoegeng pun tidak mulus, sempat menjadi Kapolri, sebelum akhirnya dicopot oleh Soeharto karena berseberangan. Hoegeng terkenal kukuh dan sangat berani memperjuangkan kepolisian yang bersih. Menolong orang lemah dan tidak bersalah, pada hakekatnya adalah implementasi dari tugas utama polisi, yaitu to protect and to serve (melindungi dan melayani). Di Indonesia, tugas tersebut ditambah, mengayomi. Sebenarnya itulah nilai luhur polisi.
Pada saat didirikan, doktrin Polri adalah Tata Tentrem Kerta Raharja. Doktrin ini mengajarkan bahwa untuk mencapai tujuan nasional yang berupa masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (Raharja), dipersyaratkan suasana gairah untuk membangun (Kerta). Kerta hanya akan terwujud melalui pembinaan tentrem atau terwujudnya keamanan dalam negeri. Tentrem yang mengandung dimensi security, surety, safety, dan peace hanya terwujud jika ada Tata, yakni ketertiban yang berdasarkan hukum. Doktrin ini akan membimbing semua insan Polri untuk berperilaku yang bisa diteladani dan dalam bertugas akan selalu teguh dalam profesi, karena yang dibela adalah masyarakat yang lemah dan tidak bersalah. Semuanya demi tujuan bersama, masyarakat yang adil dan makmur.
Namun dalam perjalanan ternyata banyak cerita yang “tidak enak”. Inilah yang kemudian memunculkan Grand Strategy Polri 2005-2025 yang diawali dengan tahap membangun kepercayaan. Krisis kepercayaan diyakini sebagai akar permasalahan yang harus dibenahi sejak awal. Kemudian dilakukanlah reformasi instrumental, reformasi struktural, dan reformasi kultural. Ujung-ujungnya, sampai sekarang reformasi kultural diakui belum berjalan dengan memadai. Apa penyebabnya? Yang jelas tentu saja karena nilai luhur polisi yang secara universal adalah nilai yang mulia telah dikebiri. Tulisan yang selalu dibawa kemana-mana karena melekat pada tanda kewenangan, yaitu Rastraswakottama hanya menjadi simbul. Arti yang terkandung, yaitu abdi utama dari negara, sepertinya sekarang sudah terlupakan. Inilah jatidiri Polri, sebagai abdi utama dari negara, karena polisi lah yang selalu menjaga kehidupan masyarakat agar bisa beraktivitas dengan tenang, merasakan ketentraman, karena terayomi oleh negara.
Kalau sekarang Polri sedang getol-getolnya mengedepankan revitalisasi, sebenarnya inilah momentum untuk melakukan revitalisasi terhadap nilai luhur Polri. Nilai luhur Polri adalah juga nilai luhur polisi secara universal, yaitu melindungi dan melayani. Bagi bangsa Indonesia, tambahan mengayomi menunjukkan bahwa rasa aman tidak bisa hanya berupa kondisi fisik aman saja, tetapi juga secara batin bisa dirasakan oleh masyarakat. Aman harus dapat menjadi suasana hati. Tata Tentrem Kerta Raharja, bukanlah hal yang muluk, bisa diwujudkan. Polisi Indonesia bisa berada di garda depan untuk mewujudkannya, karena inilah nilai yang seharusnya dipegang dan dilaksanakan oleh semua anggota Polri. Hoegeng sudah memberikan teladan, tinggal bagaimana para generasi penerus Polri menyikapinya. Reformasi kultural yang masih dinilai gagal menunjukkan bahwa ada masalah dalam internalisasi nilai luhur Polri. (A. Wahyurudhanto) 




Tidak ada komentar: