Sabtu, 30 Juni 2012

Polisi, Nasionalisme dan Nilai-nilai Kebangsaan


Polisi, Nasionalisme dan Nilai-nilai Kebangsaan

“...kita sekalian, ya engkau, ya engkau, ya engkau, ya engkau, ya seluruh Rakyat Indonesia yang laki, yang perempuan, yang kaya, yang miskin, yang tua, yang muda, kita sekalian adalah Bhayangkara daripada Republik Indonesia yang kita proklamirkan 17 Agustus “45.... Mari sekarang ini, memperdalam kita punya tekad, memperteguh kita punya tekad untuk melanjutkan Revolusi!”
(Amanat Presiden Sukarno pada Upacara Hari Angkatan Kepolisian ke-19, tanggal 1 Juli 1964)

Kutipan dari pidato Presiden Sukarno tersebut disampaikan 47 tahun yang lalu, namun semangatnya masih terasa sampai sekarang. Dengan tegas Presiden Sukarno menyatakan, bahwa tugas-tugas kepolisian tidak hanya semata-mata urusan polisi, karena sebenarnya tugas untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat adalah tugas seluruh anggota bangsa negeri ini, tugas seluruh masyarakat. Akhir-akhir ini, dalam beberapa berita di media massa kita melihat bentrokan polisi dan masyarakat sering terjadi. Kemudian tuduhan bahwa polisi telah melakukan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia), bahkan pelanggaran HAM berat, seolah-olah sudah menjadi vonis bagi polisi.
Benarkah polisi melakukan pelanggaran HAM. Pihak kepolisian tidak serta merta membenarkan, tetapi juga tidak membantah. Pada beberapa kasus polisi menunjukkan sikapnya dengan telah menjatuhkan hukuman pada anggota Polri yang dinilai telah melanggar prosedur. Namun pada sisi lain, polisi juga menunjuk perilaku masyarakat dalam unjuk rasa yang anarkis. Memang serba dilematis pekerjaan polisi. Namun inilah resiko profesi yang harus dihadapi. Semangat melindungi, mengayomi dan melayani harus terus bisa dijaga, walau dalam pelaksanaan tugas sering kali berbenturan dengan perilaku-perilaku anarkis yang mau tidak mau harus dengan sabar dihadapi.
Kritik yang selama ini sering dilontarkan adalah mengenai keberpihakan polisi. Berpihak pada penguasa dan pada pemilik modal, kritik inilah yang belakangan ini banyak dinyatakan untuk memojokkan berbagai kebijakan polisi yang tidak berpihak pada publik. Apakah benar kritik tersebut, tentu saja sulit kalau melihat dari aspek para pengkritik, karena seringkali berbagai kepentingan melingkupi latar belakang kritik tersebut. Namun bagi polisi tentu saja juga tidak arif jika hanya selalu membela diri dengan argumen-argumen, karena yang kemudian terpampang di media adalah “debat kusir” di mana masing-masing pihak mengklaim sebagai yang paling benar, sebagai yang paling masuk akal. Kondisi inilah yang kini harus dipahami dengan mendalam, karena berkaitan dengan kewibawaan institusi negara yang oleh Undang-Undang diberi mandat untuk mewujudkan keamanan dalam negeri.
Jika menyimak kritik-kritik yang berkaitan dengan keberpihakan polisi, selalu muncul pendapat bahwa yang dilakukan polisi saat ini sudah over-represif, sehingga bertindak brutal atas nama ketertiban. Apalagi belakangan ini konflik aparat polisi dengan masyarakat justru terjadi di area pertambangan maupun perkebunan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh pihak asing. Lengkaplah sudah “tuduhan” bahwa polisi bekerja sebagai pengaman pemilik modal, bukan pengaman kepentingan publik. Alih-alih kritik ini dikaitkan dengan posisi polisi yang berada sebagai bagian dari kekuasaan, yang dalam bebagai hal juga dikritik mulai menjauh dari kepentingan publik.
Kondisi ini tentu saja tidak boleh dibiarkan. Kehadiran polisi adalah suatu keniscayaan. Polisi sendiri tentu juga tidak ingin negeri ini selalu diwarnai dengan konflik aparat dengan masyarakat. Tentu ada yang tidak beres di tengah situasi seperti sekarang ini. Dari mana perbaikan akan dimulai juga harus diawali dengan kesadaran seluruh masyarakat bahwa kehadiran polisi bukan untuk melawan masyarakat, tetapi justru bersama masyarakat menjaga ketertiban di negeri ini dalam rangka mewujudkan keamanan dalam negeri. Karena keamanan dalam negeri adalah prasyarat untuk bisa berjalannya tata kehidupan sosial, ekonomi, politik, maupun demokrasi di negeri ini.
Benar kata Bung Karno seperti dinyatakan dalam pidato saat Hari Bhayangkara tahun 1964 yang sengaja dikutip sebagai pembuka editorial ini. Bahwa kita semua adalah Bhayangkara republik ini.  Menyimak sejarah kehadiran Bhayangkara, Kesatuan Bhayangkara sudah ada sejak zaman Singasari, sebelum Wisnuwardhana memerintah (1248-1268 Masehi). Dalam Nagarakretagama pupuh IX pada 1 dijelaskan, bahwa sehubungan dengan mangkatnya Tohjaya di Katang Lambang pada tahun 1248 di daerah Pasuruan, maka di antara barisan pengawal yang berkewajiban menjaga keamanan kraton adalah Kesatuan Bhayangkara. Di tangan Gajah Mada, Kesatuan Bhayangkara menjadi kekuatan sipil yang sangat berpengaruh pada zamannya. Sehingga keselamatan para raja dan keluarganya berada mutlak di bawah kewenangan dan tanggungjawab Kesatuan Bhayangkara. Kesatuan Bhayangkara, sebagai kekuatan sipil telah memberikan kepercayaan yang sangat kuat di hati masyarakat, sebagai pengayom dan pelindung rakyat. (Renny Masmada, Kompasiana, 26 Desember 2011)
Setelah Majapahit resmi menjadi Mahapatih dan Pasukan Bhayangkara juga ikut menjadi pasukan paling elit kerajaan, Gajah Mada secara signifikan melakukan perbaikan dan pengembangan konsepsi keamanan dalam negeri dengan memberikan porsi yang sangat besar pada kesatuan Bhayangkara. Sumpah Amukti Palapa yang diucapkan Gajah Mada di paseban agung Majapahit memuat gagasan yang sangat besar terhadap penyatuan seluruh Nusantara di perairan Dwipantara. Dengan menjunjung tinggi Kitab Perundangan Kutaramanawa Dharmasastra, Majapahit terbukti mampu menegakkan perangkat sistem hukum di seluruh wilayah Negara besar ini. Para penegak hukum tanpa pandang bulu memberikan concern yang sangat besar terhadap penegakkan hukum di setiap jengkal wilayah hukum Majapahit. (Ngashim, 2011, dalam Kompasiana)
Bhayangkara kini sudah diadopsi oleh Polri sebagai perwujudan citra institusi yang sesuai Undang-Undang mempunyai tugas pokok sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, dan sebagai pelindung, pengayom serta pelayan masyarakat. Sejak kehadiran polisi Indonesia yang lahir bersamaan dengan kemerdekaan negeri ini, sudah disepakati semangat nasionalisme adalah nilai dasar dari polisi Indonesia. Dengan sendirinya nilai-nilai kebangsaan adalah jiwa dari seluruh kinerja kepolisian. Maka kalau sekarang ini muncul kritik mengenai krisis kebangsaan polisi, masing-masing dari kita semua tentu saja harus mau berinstrospeksi. Apakah benar yang dikatakan oleh pengkritik, juga apakah benar klarifikasi yang dilakukan oleh Polri, ada baiknya masing-masing kita tidak melakukan klaim yang sepihak dan merasa yang paling benar.
Sebagai Bhayangkara negeri ini, kesadaran bahwa mewujudkan keamanan dalam negeri adalah tugas kita bersama, maka sesuai dengan kapasitas masing-masing kita berupaya untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Polisi dengan kewenangan yang dipunyai tentu juga disertai dengan tanggung jawab yang harus diemban. Masyarakat dengan kapasitas yang dipunyai tentu juga harus menyadari pentingnya kehadiran polisi. Kesantunan dalam melontarkan kritik kepada polisi tentunya juga harus menjadi potret budaya manusia Indonesia. Kesamaan tekad untuk menjadi Bhayangkara sejati adalah wujud kesamaan semangat nasionalisme dan nilai-nilai kebangsaan. Polisi siap menjadi garda depan untuk menjaga negeri ini dengan semangat nasionalisme. Tetapi tentu saja semangat ini juga harus didukung dengan semangat dari masyarakat yang tidak semena-mena memperlakukan polisi dengan selalu menunjukkan tindakan anarkis dan menghujat. 
Kesadaran untuk membangun negeri ini dengan saling melengkapi adalah jawabannya. Saling melengkapi adalah bentuk dari nasionalisme yang sudah sejak jaman Patih Gajahmada ditunjukkan oleh Kesatuan Bhayangkara, sebagai kekuatan sipil yang mampu memberikan kepercayaan yang sangat kuat di hati masyarakat, sebagai pengayom dan pelindung rakyat. Bhayangkara lahir karena kebutuhan masyarakat dan Bhayangkara bisa berperan bagi masyarakat karena dukungan masyarakat. Hal ini bisa terjadi karena semangat nilai-nilai kebangsaan yang sama. (A. Wahyurudhanto)

·  Tulisan ini sudah dimuat di Jurnal Studi Kepolisian, Edisi 076 (Nov 2011)

Tidak ada komentar: