Sabtu, 30 Juni 2012

Lady Gaga dan Performance Polisi


Lady Gaga dan Performance Polisi

Dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa.
Kampus telah diserbu mobil berlapis baja.
Kata-kata telah dilawan dengan senjata.
Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini.
Kenapa keamanan justeru menciptakan ketakutan dan ketegangan.
Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sehat.
Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan.
(dari Puisi “Pamflet Cinta” Karya WS Rendra)

Publik Indonesia pada akhir bulan Mei 2012 lalu dibuat heboh dengan berita mengenai rencana pentas Lady Gaga. Rencana pentas penyanyi pop asal Amerika Serikat dalam konser bertajuk “The Born This Way Ball” menuai pro dan kontra. Pihak promotor yang mengaku sudah menjual lebih dari 50.000 tiket awalnya bertahan dengan terus mengurus proses perizinan. Namun pro kontra tersebut akhirnya mencapai anti klimaks ketika pada tanggal 27 Mei 2012 pihak promotor memutuskan pembatalasn konser. Yang menarik, keputusan pembatalan pentas bukan dilakukan oleh pihak promotor tetapi oleh manajemen Lady Gaga.
Yang tidak enak adalah alasan yang dikemukakan oleh manajemen Lady Gaga, bahwa pembatalan konser tersebut karena tidak adanya jaminan keamanan. Ketiadaan jaminan keamanan tersebut menyusul munculnya kontroversi protes sebagian masyarakat. Terlebih lagi ketika kepolisian enggan memberikan jaminan keamanan dengan memberikan pernyataan tidak memberikan rekomendasi terselenggaranya konser. Bahkan pihak promotor menegaskan, pembatalan konser bukan karena desakan mengubah atau menyensor konsernya.
Pembatalan ini tidak serta merta menghentikan polemik. Tetap saja polemik berkepanjangan. Kepolisian, dalam hal ini Polda Metro Jaya, membantah tidak mampu menjaga keamanan seandainya konser digelar. “Itu adalah persepsi mereka. Tidak benar kami tidak mampu menjaga keamanan sebuah pertunjukkan,” Kata Kombes Rikwanto, Kabid Humas Polda Metro Jaya.
Polemik yang muncul mengenai rencana konser Lady Gaga dan kemudian justru posisi Polri yang dipojokkan menunjukkan betapa pelik serta kompleksnya tugas polisi. Bagi polisi, selalu saja kebijakan yang diambil bisa menjadi buah simalakama. Kalau rekomendasi dikeluarkan, pasti penolakan dari sebagian kelompok masyarakat “garis keras” akan berimplikasi pada potensi kerawanan bahkan bisa menjurus pada konflik sosial. Sementara ketika rekomendasi tidak dikeluarkan, kritik tajam diarahkan polisi dengan tuduhan hanya berpihak pada kelompok kecil masyarakat. Bahkan tuduhan lebih kejam menyebutkan polisi di bawah pengaruh intimidasi kelompok preman berjubah.
Ini adalah problem tugas polisi Indonesia. Heteregonitas bangsa Indonesia telah memberikan berbagai potensi konflik. Situasi ini ditambah dengan pengaruh demokratisasi yang dibaca tidak selalu sebagai hal yang positif. Sehingga demokratisasi artinya semua hak harus diakui, tanpa pernah ada dialog bahwa menghormati hak orang lain juga seharusnya menjadi syarat utama. Oleh karena itu kemudian paham yang ingin memaksakan kehendak menggunakan polisi sebagai sarana legitimasi. Inilah sebenarnya awal dari ideologi kekerasan yang tidak lagi menghormati hak orang lain.
Kutipan puisi WS Rendra di awal tulisan ini ingin memberikan gambaran bahwa keamanan yang diharapkan masyarakat adalah situasi aman dan rasa aman, yang lebih ditandai dengan perasaan aman baik untuk beraktivitas maupun melakukan kolektifitas. Maka keamanan memang tidak seharusnya memunculkan ketakutan dan ketegangan. Sehingga Rendra dari kacamata budayawan dengan tegas menyatakan bahwa sumber keamanan adalah hukum dan akal sehat.
Dari kaca mata polisi pernyataan Rendra tersebut sejalan dengan semangat tugas pokok polisi, yaitu sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Menegakkan hukum dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat, agar dengan akal sehat penegakan hukum akan dirasakan sebagai bentuk pengayoman yang mampu menciptaklan rasa aman.
Maka performance polisi akan ditunjukkan denagan bukti semangat melindungi dan melayani (to protect and to serve). Kontroversi pentas Lady Gaga harus diakui telah mengganggu kesan mengenai performance polisi. Kontroversi tersebut telah menyudutkan Polri seolah-olah hanya berpihak pada kelompok kecil yang selalu menggunakan kekerasan dalam menunjukkan keyakinannya. Jadi kesannya bahwa polisi akan cenderung membela yang berani keras, sehingga kelompok lemah justru semakin tidak mendapat perhatian. Kesan ini tentu saja tidak menguntungkan bagi Polri yang kini secara terus menerus ingin membangun kepercayaan publik.
Kontroversi konser Lady Gaga telah memberikan pelajaran baru bagi kita bahwa posisi Polri untuk memberikan jaminan keamanan adalah peran vital yang harus menjadi legitimasi di masyarakat. Performance Polisi melalui kepercayaan masyarakat atas apa yang dilakukan polisi berdasarkan kewenangan dan tugas pokoknya harus secara terus menerus diberi legitimasi. Sepanjang setiap langkah polisi selalu dijadikan kontroversi, maka pada akhirnya kekerasan – yang dalam bahasa WS Rendra disebut penindasan – akan semakin subur. Tentu hal ini yang tidak kita harapkan. Kepercayaan publik harus merupakan stempel bagi legitimasi performance polisi. Artinya, sepanjang setiap persoalan dijadikan kontroversi dengan latar belakang subyektivitas kepentingan kelompok, maka harapan menjadikan polisi yang mandiri dan profesional akan semakin jauh, karena sudah pasti intervensi akan selalu dilakukan, oleh siapapun, terutama yang selalu merasa paling benar. (A. Wahyurudhanto)
 
·       Tulisan ini sudah dimuat di Jurnal Studi Kepolisian, Edisi 077, Juni 2012.


Tidak ada komentar: