Lady
Gaga dan Performance Polisi
Dan
aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa.
Kampus telah diserbu mobil berlapis baja.
Kata-kata telah dilawan dengan senjata.
Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini.
Kenapa keamanan justeru menciptakan ketakutan dan ketegangan.
Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sehat.
Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan.
Kampus telah diserbu mobil berlapis baja.
Kata-kata telah dilawan dengan senjata.
Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini.
Kenapa keamanan justeru menciptakan ketakutan dan ketegangan.
Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sehat.
Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan.
(dari
Puisi “Pamflet Cinta” Karya WS Rendra)
Publik
Indonesia pada akhir bulan Mei 2012 lalu dibuat heboh dengan berita mengenai
rencana pentas Lady Gaga. Rencana pentas penyanyi pop asal Amerika Serikat
dalam konser bertajuk “The Born This Way
Ball” menuai pro dan kontra. Pihak promotor yang mengaku sudah menjual
lebih dari 50.000 tiket awalnya bertahan dengan terus mengurus proses
perizinan. Namun pro kontra tersebut akhirnya mencapai anti klimaks ketika pada
tanggal 27 Mei 2012 pihak promotor memutuskan pembatalasn konser. Yang menarik,
keputusan pembatalan pentas bukan dilakukan oleh pihak promotor tetapi oleh manajemen
Lady Gaga.
Yang
tidak enak adalah alasan yang dikemukakan oleh manajemen Lady Gaga, bahwa
pembatalan konser tersebut karena tidak adanya jaminan keamanan. Ketiadaan
jaminan keamanan tersebut menyusul munculnya kontroversi protes sebagian
masyarakat. Terlebih lagi ketika kepolisian enggan memberikan jaminan keamanan
dengan memberikan pernyataan tidak memberikan rekomendasi terselenggaranya
konser. Bahkan pihak promotor menegaskan, pembatalan konser bukan karena
desakan mengubah atau menyensor konsernya.
Pembatalan
ini tidak serta merta menghentikan polemik. Tetap saja polemik berkepanjangan.
Kepolisian, dalam hal ini Polda Metro Jaya, membantah tidak mampu menjaga
keamanan seandainya konser digelar. “Itu adalah persepsi mereka. Tidak benar
kami tidak mampu menjaga keamanan sebuah pertunjukkan,” Kata Kombes Rikwanto,
Kabid Humas Polda Metro Jaya.
Polemik
yang muncul mengenai rencana konser Lady Gaga dan kemudian justru posisi Polri
yang dipojokkan menunjukkan betapa pelik serta kompleksnya tugas polisi. Bagi
polisi, selalu saja kebijakan yang diambil bisa menjadi buah simalakama. Kalau
rekomendasi dikeluarkan, pasti penolakan dari sebagian kelompok masyarakat
“garis keras” akan berimplikasi pada potensi kerawanan bahkan bisa menjurus
pada konflik sosial. Sementara ketika rekomendasi tidak dikeluarkan, kritik
tajam diarahkan polisi dengan tuduhan hanya berpihak pada kelompok kecil
masyarakat. Bahkan tuduhan lebih kejam menyebutkan polisi di bawah pengaruh
intimidasi kelompok preman berjubah.
Ini
adalah problem tugas polisi Indonesia. Heteregonitas bangsa Indonesia telah
memberikan berbagai potensi konflik. Situasi ini ditambah dengan pengaruh
demokratisasi yang dibaca tidak selalu sebagai hal yang positif. Sehingga
demokratisasi artinya semua hak harus diakui, tanpa pernah ada dialog bahwa
menghormati hak orang lain juga seharusnya menjadi syarat utama. Oleh karena
itu kemudian paham yang ingin memaksakan kehendak menggunakan polisi sebagai
sarana legitimasi. Inilah sebenarnya awal dari ideologi kekerasan yang tidak
lagi menghormati hak orang lain.
Kutipan
puisi WS Rendra di awal tulisan ini ingin memberikan gambaran bahwa keamanan
yang diharapkan masyarakat adalah situasi aman dan rasa aman, yang lebih
ditandai dengan perasaan aman baik untuk beraktivitas maupun melakukan
kolektifitas. Maka keamanan memang tidak seharusnya memunculkan ketakutan dan
ketegangan. Sehingga Rendra dari kacamata budayawan dengan tegas menyatakan
bahwa sumber keamanan adalah hukum dan akal sehat.
Dari
kaca mata polisi pernyataan Rendra tersebut sejalan dengan semangat tugas pokok
polisi, yaitu sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Menegakkan
hukum dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat, agar
dengan akal sehat penegakan hukum akan dirasakan sebagai bentuk pengayoman yang
mampu menciptaklan rasa aman.
Maka
performance polisi akan ditunjukkan
denagan bukti semangat melindungi dan melayani (to protect and to serve). Kontroversi pentas Lady Gaga harus diakui
telah mengganggu kesan mengenai performance
polisi. Kontroversi tersebut telah menyudutkan Polri seolah-olah hanya berpihak
pada kelompok kecil yang selalu menggunakan kekerasan dalam menunjukkan
keyakinannya. Jadi kesannya bahwa polisi akan cenderung membela yang berani
keras, sehingga kelompok lemah justru semakin tidak mendapat perhatian. Kesan
ini tentu saja tidak menguntungkan bagi Polri yang kini secara terus menerus
ingin membangun kepercayaan publik.
Kontroversi
konser Lady Gaga telah memberikan pelajaran baru bagi kita bahwa posisi Polri
untuk memberikan jaminan keamanan adalah peran vital yang harus menjadi
legitimasi di masyarakat. Performance Polisi melalui kepercayaan masyarakat
atas apa yang dilakukan polisi berdasarkan kewenangan dan tugas pokoknya harus
secara terus menerus diberi legitimasi. Sepanjang setiap langkah polisi selalu
dijadikan kontroversi, maka pada akhirnya kekerasan – yang dalam bahasa WS
Rendra disebut penindasan – akan semakin subur. Tentu hal ini yang tidak kita
harapkan. Kepercayaan publik harus merupakan stempel bagi legitimasi performance polisi. Artinya, sepanjang
setiap persoalan dijadikan kontroversi dengan latar belakang subyektivitas
kepentingan kelompok, maka harapan menjadikan polisi yang mandiri dan
profesional akan semakin jauh, karena sudah pasti intervensi akan selalu
dilakukan, oleh siapapun, terutama yang selalu merasa paling benar. (A. Wahyurudhanto)
· Tulisan
ini sudah dimuat di Jurnal Studi Kepolisian, Edisi 077, Juni 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar