Timbangan
Buku
Intoleransi adalah Titik Awal
Terorisme
Judul
Buku : Dari Radikalisme Menuju
Terorisme : Studi Relasi dan Transformasi Organisasi Islam radikal di Jawa
Tengah dan DI Yogyakarta.
Penyusun
: Tim SETARA Institute
Editor
: Ismail Hasani & Bonar
Tigor Naipospos
Penerbit : Pustaka Masyarakat Setara
Edisi
: Februari 2012
Tebal
Buku : vi + 328 halaman
Buku-buku tentang terorisme sudah banyak
yang diterbitkan. Berbagai analisis dikemukakan dalam buku-buku yang sudah
diterbitkan. Namun buku yang satu ini mempunyai sisi menarik, karena merupakan
hasil penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian yang mengambil fokus tentang
Organisasi Islam Radikal di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta dilakukan dengan mengkombinasikan
dua pendekatan, kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dengan
metoda survai dilakukan di dua wilayah dengan 1.200 responden, dan studi
kualitatif dilakukan dengan metoda wawancara ke berbagai sumber yang relevan.
(hal. 4).
Penelitian yang kemudian menjadi naskah
buku ini sejak awal sudah mempunyai tujuan untuk mengetahui relasi dan
transformasi kelompok radikal dengan kelompok teroris, dan dalam rangka
menyusun langkah-langkah deradikalisasi untuk mengikis radikalisme, memberantas
potensi terorisme guna mengokohkan implementasi empat pilar hidup berbangsa dan
bernegara untuk mencapai tujuan dan cita-cita nasional Indonesia. Jadi sejak
awal sebelum penulisan buku ini, sudah disadari bahwa formulasi Empat Pilar
Hidup Berbangsa dan Bernegara yang terdiri dari Pancasila, UUD Negara RI 1945,
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhineka Tunggal Ika sebagai
tolok ukur penyelenggaraan negara, tetap saja belum mampu mengatasi berbagai
aksi-aksi radikalisme.
Studi yang dilakukan pun sejak awal
sudah mengembangkan asumsi dasar bahwa intoleransi adalah titik awal dari
terorisme, dan terorisme adalah puncak dari intoleransi. (hal. 187) Bertolak
dari asumsi dasar inilah studi dilakukan, sehingga memang pemikiran-pemikiran mengenai praktik
deradikalisasi dan arah deradikalisasi sangat mendominasi analisis dan
pembuktian-pembuktian dari temuan yang merupakan hasil dari studi ini.
Disebutkan bahwa deradikalisasi bukanlah hal baru bagi Indonesia. Dalam konteks
gerakan Islam Radikal, deradikalisasi terhadap eks NII, Komando Jihad,
Mujahidin Kayamanya, Laskar Jihad, dan Jamaah Tarbiyah merupakan contoh dan
pembelajaran bagi kinerja deradikalisasi yang saat ini gencar dilakukan. (hal.
191).
Tontonan
Global
Jika melihat kecenderungan yang terjadi,
para pelaku teror berharap, aksi mereka akan menjadi “tontonan global” yang
disaksikan jutaan orang di mana-mana. Karena, semakin banyak dan gencar media
massa menyebarluaskannya, semakin dahsyat pula efek negatif yang
ditimbulkannya. Jika hal itu tercapai, maka para pelakunya berharap dapat
memperoleh “keuntungan politik” (politicus horrobilis) atau melakukan
“pertukaran politik” (political exchange) demi mencapai tujuannya.
Walter laqueur, dalam tulisannya berjudul
“reflections on terrorism”, yang
dimuat di buku yang berjudul “the global agenda, issues and perspectives”,
menyebutkan aksi terorisme biasanya melibatkan sejumlah orang, tapi hanya dalam
kelompok kecil saja. Sebagai faham, ia meniscayakan kekerasan sebagai jalan
untuk mencapai tujuan-tujuannya, baik yang bersifat politik, agamis, motif
balas dendam, dan lain sebagainya. Karena itulah ia juga dapat digolongkan
sebagai kekerasan kolektif, sedangkan sebagai kejahatan ia merupakan kejahatan
luar biasa (extra ordinary crime). Berdasarkan itu, sebenarnya hal yang
wajar jika secara yuridis ia harus diperhadapkan dengan produk hukum yang “luar
biasa” pula.
Dalam perspektif politik, akar
terorisme, salah satunya, adalah ekstremisme. Orang-orang dengan isme ini merasa
atau memikirkan dirinya lebih unggul dari orang-orang lain yang tidak sama atau
sekelompok dengan mereka. Sebaliknya, mereka memandang orang-orang lain jauh
lebih rendah atau dengan cara yang melecehkan. Sebagaimana temuan studi yang
ditulis di buku ini, bahwa intoleransi adalah titik awal dari terorisme, maka
kerja-kerja deradikalisasi tidak cukup hanya diarahkan terhadap mereka yang
menjadi teroris tapi juga terhadap kelompok organisasi radikal, kelompok
intoleran, termasuk masyarakat luas agar tidak mengikuti pandangan-pandangan
radikal dan mengalami transformasi sebagai teroris. (hal. 193).
Hasil studi memberikan kesimpulan bahwa
program deradikalisasi harus diarahkan secara fokus kepada tiga kelompok.
Pertama adalah masyarakat umum, dengan tujuan untuk melindungi masyarakat agar
tidak mengikuti pandangan-pandangan keagamaan yang ekslusif dan puritan dan
agar tidak ikut terlibat dalam aksi-aksi radikal dan intoleran. Dalam bahasa
BNPT, kegiatan semacam ini masuk dalam kategori kontra radikalisasi. Yang kedua
adalah pada kelompok radikal, yang dimaksudkan untuk menjinakkan sejumlah
ideologi radikal yang diyakini oleh mereka dengan menggunakan counter narative. Salah satu dari
ideologi radikal yang harus dijinakkan adalah ajaran mati syahid yang disalahpahami
oleh para teroris. Dan yang ketiga adalah kelompok jihadis atau teroris.
Deradikalisasi dalam konteks ini dimaksudkan untuk memutus para mantan teroris
dari kelompoknya, hingga mereka tidak kembali melakukan aksi kekerasan.
Menyelamatkan
Keluarga
Pada bagian akhir dari buku ini
ditegaskan, bahwa kunci utama dari aktor deradikalisasi adalah pemerintah. Dengan segenap agenda pembangunan yang
dijalankannya, program-program pemerintahan yang mendorong pembangunan
masyarakat yang toleran, moderat dan rukun harus diintensifkan sebagai bagian
dari upaya menekan laju radikalisme dan terorisme. (hal. 201). Karena
deradikalisasi tak hanya dimaksudkan untuk menyelamatkan masyarakat luas dari
aksi-aksi radikalisme dan terorisme, melainkan juga dimaksudkan untuk
menyelamatkan keluarga pelaku aksi kekerasan bahkan juga diri pelaku.
Buku ini mempunyai kekuatan karena
merupakan hasil riset di wilayah penelitian yang memang sarat dengan
kasus-kasus terorisme. Deradikalisai adalah jawabannya. Namun buku ini juga
menunjukkan banyak faktor yang menjadikan deradikalisasi dalam praktiknya akan
mengalami banyak hambatan karena yang dihadapi adalah “menjinakkan” pemikiran.
Terlepas dari ini semua, kehadiran buku ini akan membuka banyak pemikiran bahwa
deradikalisasi harus dijalankan tentu dengan berbagai hambatan yang harus
diupayakan bisa diatasi, karena tujuan utamanya adalah menjaga tegaknya
kehidupan berbangsa dan bernegara. (A. Wahyurudhanto, dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian - PTIK)
· Tulisan
ini sudah dimuat di Jurnal Studi Kepolisian, Edisi 077, Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar