Sabtu, 11 September 2010

Polisi dan Mutu Publik

Polisi Menjaga Mutu Publik

Almarhum Profesor Satjipto Rahardjo dalam salah satu cerahmahnya pernah mengemukakan rumus unik yang harus menjadi panduan polisi ketika bekerja. Menurutnya, keberhasilan tugas polisi ditentukan dengan rumus “O 2 + H”. Unik memang, seperti rumus kimia saja. Tetapi ketika dijelaskan bahwa maksud O 2 + H itu maksudnya adalah Otot, Otak dan Hati Nurani, baru kita mafhum, apa yang menjadi pemikiran beliau. Menurut Prof Tjip, polisi dalam pekerjaannya menghadapi berbagai risiko bahaya yang besar. Dan kehadiran bahaya tersebut secara sosiologis mewarnai pekerjaan polisi, bahkan mewarnai kepribadian kerja dari polisi itu sendiri. Polisi harus senantiasa waspada dan curiga, karena kalau tidak bisa kecolongan.

Karena itu wajar jika menyebut polisi adalah aparat hukum istimewa , karena posisinya yang sedemikian rupa sehingga dekat dengan masyarakat. Interaksi antara masyarakat dengan polisi itu sangat intensif sekali, sehingga menjadikan pekerjaan polisi agak khas dibanding aparat penegak hukum yang lainnya seperti hakim dan jaksa. Tapi yang terjadi saat ini, justru kedekatan tersebut ternyata bisa menjadi bumerang bagi polisi. Fenomena “markus” atau makelar kasus menunjukkan hal itu. Tidak bisa dimungkiri, bahwa ternyata kedekatan tersebut justru menjadi pintu masuk bagi persekongkolan tidak sehat.

Mengapa bisa begitu ? Padahal sudah ada kode etik, sudah Tri Brata, tetapi slogan ternyata hanya sekedar slogan. Sementara tuntutan masyarakat terhadap kinerja polisi sedemikian tinggi. Memang polisi bukan “superman” tetapi masyarakat dengan ekspetasinya berharap polisi bisa berperan sebagai superman. Sehingga kritik demi kritik, terus berdatangan tidak ada habisnya. Polisi sendiri tidak tinggal diam. Berbagai upaya dilakukan. Secara konsep usaha untuk memenuhi ekspetasi masyarakat pun dilakukan. Melalui Grand Strategy yang disusun dalam tiga tahap, Polri ingin menjadi institusi yang mampu memenuhi keunggulan. Maka setelah tahap pertama berakhir tahun lalu, yaitu trust building, tahun ini sampai 2014 nanti memasuki tahap kedua yaitu partnership building. Dan nanti tahun 2015-2025, diharapkan sudah bisa memasuki tahap ketiga, yaitu strive for excellence.

Ini artinya, tahun ini adalah awal untuk ancang-ancang untuk menuju keunggulan yang diharapkan, yaitu mewujudkan profil polisi yang profesional, bermoral dan modern. Namun, fakta yang ada, harapan pencapaian tahap pertama, yaitu meraih kepercayaan masyarakat sepertinya belum maksimal tercapai. Walau sudah di-“dongkrak” dengan program quick wins, yang tadinya hanya empat unggulan, sekarang menjadi 21 unggulan. Namun tetap saja kepercayaan publik tak bisa diraih secara maksimal. Berbagai survai yang dilakukan internal Polri maupun eksternal Polri masih menunjukkan kisaran 60 sampai 70 persen. Memang harus diakui ada peningkatan dalam setiap periode. Tetapi yang terjadi justru situasi fluktuatif lebih sering, kadang di atas, tetapi kadang justru terjerembab ke bawah.

Mengapa hal ini bisa terjadi ? Jawaban pertama karena memang masih banyak kendala, baik dari lingkungan internal Polri sendiri maupun dari eksternal. Dan yang kedua karena ekspetasi yang tinggi dari masyarakat akan kiprah Polri. Tidak mudah memang untuk memenuhi harapan masyarakat. Tugas pokok Polri sudah jelas, dicantumkan dalam dokumen yuridis, yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 pasal 13. Disebutkan, tugas Polri, yang pertama adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua menegakkan hukum. Dan ketiga, sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Jika kita kita resapi apa yang menjadi tugas pokok Polri, dan kita simak dengan penghayatan yang penuh kewenangan yang diberikan Undang-undang kepada Polri untuk menjalankan tugas pokok tersebut. Maka akan bisa kita temukan simpulannya, yaitu tidak lain dan tidak bukan tugas Polri adalah menjaga agar warganya bisa tenang beraktivitas, terayomi oleh negara dan warganya, hidup tenteram, serta meningkat kesejahteraannya. Peningkatan kesejahteraan ini sering disebut dengan prasyarat untuk bisa melakukan peningkatan kualitas hidup.

Maka sejatinya yang dilakukan oleh polisi adalah menjaga mutu publik. Kualitas hidup akan menentukan mutu publik, maka akan bisa dirasakan bagaimana tingginya peradaban publik, bisa dirasakan bagaimana perilaku publik yang santun, terpelajar, tidak arogan, bisa menghargai perbedaaan. Tentu pada awalnya sebelum menjaga mutu publik, polisi harus menjaga mutunya terlebih dahulu. Dalam konteks ini maka budaya polisi Indonesia harus mencerminkan kualitas mereka. Mengutip pandangan almarhum Profesor Parsudi Suparlan, kebudayaan Polri adalah kebudayaan yang dimiliki oleh organisasi Polri, yang berisi pengetahuan, keyakinan-keyakinan mengenai dirinya dan posisinya dalam lingkungan tersebut. Yang digunakan sebagai acuan atau pedoman organisasi Polri dalam melaksanakan pemolisiannya maupun tindakan para petugas kepolisian untuk pemenuhan kebutuhan baik biologi, sosial maupun adab sebagai manusia (2005).

Sehingga kita bisa menarik benang merah, bahwa perilaku polisi sangat menentukan bagaimana respons masyarakat. Tahap membangun kepercayaan publik yang tidak bisa maksimal, karena respon masyarakat yang juga tidak maksimal. Ekspetasi masyarakat yang sangat tinggi terhadap polisi harus disikapi bukan sebagai beban, namun sebagai pemicu untuk mau bekerja secara “bener” dan “pener”. Kosa kata yang diambil dari bahasa Jawa ini mempunyai nilai filosofis yang tinggi. Bener berarti harus profesional, dan pener berarti harus arif, harus bijaksana. Harus kita akui banyak kritik atas soliditas Polri yang oleh kacamata luar dinilai mulai rapuh, karena tidak bisa menyinergikan antara “bener” dan “pener” ini. Karena pener berarti harus memahami budaya polisi Indonesia yang mempunyai etika, sopan santun, baik dalam bertutur kata, bertindak, maupun berinteraksi dengan lingkungan internal dan eksternal Polri. Salah melangkah pasti fatal akibatnya. Sebagai institusi yang harus mampu menjaga mutu masyarakatnya, mutu publik, maka polisi Indonesia harus lebih dahulu menjaga mutu institusinya dan mutu personelnya. Sulit memang, tetapi melalui kerja keras dan kesadaran bahwa Polri adalah institusi yang harus dijaga martabat dan wibawanya, Insya Allah akan mampu terlewati. (Drs. A. Wahyurudhanto, M.Si)

n Tulisan ini telah dimuat dalam Jurnal Kepolisian, Edisi 073 (Juni-Sept 2010)

Tidak ada komentar: