Sabtu, 11 September 2010

Satpol PP dan Otonomi Daerah

Posisi Satpol PP dalam Konteks Reformasi Sektor Keamanan dan Otonomi Daerah di Indonesia[1]

Zakarias Poerba[2] dan A. Wahyurudhanto[3]

Abstrak:

Berbagai kasus menunjukkan ada masalah selama ini mengenai posisi Satpol PP, yaitu muncul kesan bahwa keberadaan Satpol PP tidak sesuai dengan paradigma baru kepemerintahan yang sekarang sedang dianut oleh negeri ini. Apalagi jika dikaitkan dengan semangat good governance, dimana kinerja birokrat harus diproyeksikan bagi kepentingan dan kesejahtaraan masyarakat. Potret kiprah Satpol PP dalam memainkan perannya sebagai bagian dari birokrasi, oleh masyarakat saat ini dinilai tidak mencerminkan paradigma baru mengenai konsep birokrasi yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Kondisi ini sangatlah tidak menguntungkan bagi citra birokrasi karena akan berdampak pada stigma buruk oleh masyarakat, yang pada akhirnya menimbulkan efek tidak produktifnya kinerja birokrasi dalam melayani masyarakat. Dalam konteks reformasi Sektor Keamanan dan Otonomi Daerah di Indonesia, posisi Satpol PP menjadi sangatlah penting, karena perannya dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan.

Kata Kunci: keamanan, ketertiban, resformasi keamanan, otonomi daerah.

Pendahuluan

Di kalangan masyarakat luas, pemahaman mengenai siapa dan bagaimana Satuan Polisi Pamong Praja ( selanjutnya disebut dengan akronim Satpol PP) masih beragam. Namun yang paling menonjol, Satpol PP dalam benak masyarakat adalah sosok ‘Tibum’ (akronim dari Petugas Ketertiban Umum ), yaitu aparat Pemda yang pada masa lalu yang memang tugasnya melakukan penertiban umum. Pemahaman tersebut tidaklah terlalu salah, karena memang salah satu fungsi dari Satpol PP adalah menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum.

Jika melihat keberadaan Satpol PP bisa kita kaji dari dua aspek. Yang pertama adalah aspek sosiologis. ‘Satuan Polisi Pamong Praja’, dari pilihan kata untuk penyebutan sudah jelas bahwa dimaksudkan instusi ini adalah polisi milik pamong praja atau polisi untuk pamong praja. Pamong Praja adalah kata lain dari Pegawai Negeri Sipil (PNS), maka Satpol PP adalah penegak hukum di kalangan pamong praja. Dari unsur kata-kata pembentukannya, Satpol PP mempunyai tugas pembinaan ke dalam atau dalam lingkup internal aparatur pemerintahan. Namun jika diartikan sebagai polisi milik pamong praja, maka tugasnya adalah bagaimana membantu pelaksanaan kinerja pamong praja. Di sini semakin jelas bahwa peran Satpol PP memang melekat pada kinerja pamong praja, dalam hal ini birokrat.

Kedua, ditinjau dari aspek hukum keberadaan Satpol PP didasarkan pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja. Dalam PP Nomor 32/2004, disebutkan bahwa Satpol PP bertugas membantu kepala daerah dalam penegakan peraturan daerah (Perda) dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban masyarakat. Dari aspek hukum terlihat bahwa Satpol PP juga mempunyai tugas pembinaan ke masyarakat atau tugas eksternal.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pada pasal 5 bahwa kewenangan Polisi Pamong Praja adalah :

a. menertibkan dan menindak warga masyarakat atau badan hukum yang mengganggu ketentraman dan ketertiban umum.

b. melakukan pemeriksaan terhadap warga atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.

c. melakukan tindakan represif non yustisial terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.

Dari rumusan tersebut di atas secara jelas ditegaskan bahwa Satpol PP mempunyai tugas untuk melakukan penertiban terhadap masyarakat. Sebutan tindakan represif non yustisial, menunjukkan bahwa Satpol PP bisa melakukan tindakan-tindakan yang tergolong kegiatan penindakan. Namun dengan penyebutan ’non yustisial’ menjadi tidak jelas, tindakan apa yang bisa dikategorikan didalam ’bukan dalam wilayah hukum’ itu. Karena sanksi atas tindakan pelanggaran sudah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Namun jika melihat lagi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 149, pada ayat (1) disebutkan bahwa Anggota Satuan Polisi Pamong Praja dapat diangkat sebagai ’Penyidik Pegawai Negeri Sipil’ (PPNS). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Satpol PP sesuai dengan UU Nomor 32/2004 menjadi harus seirama dengan yang diatur pada Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI serta Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dalam dua undang-undang tersebut ditegaskan bahwa penyidik selain Polisi adalah juga Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Ini artinya bahwa dalam rangka penyidikan terhadap pelanggaran atas ketentuan Perda, Satpol PP yang sudah diangkat sebagai PPNS bisa melakukan aktivitas menjalankan hukum negara (pro justisia).

Melihat ketentuan yuridis yang ada, menunjukkan bahwa posisi Satpol PP sangatlah strategis, karena posisi Satpol PP sangatlah dominan dalam proses penegakan hukum atas Peraturan Daerah ataupun Keputusan Daerah. Apalagi jika statusnya juga sebagai PPNS maka yang dilakukan akan merupakan bagian dari sistem peradilan pidana (criminal justice system). Ini artinya bukan lagi represif non yustisial tetapi bisa melakukan represif pro justisia.

Yang menjadi masalah selama ini, muncul kesan bahwa keberadaan Satpol PP tidak sesuai dengan paradigma baru kepemerintahan yang sekarang sedang dianut oleh negeri ini. Kejadian di Koja, Jakarta Utara medio Bulan Mei 2010 ketika massa harus berhadapan dengan Satpol PP yang akan menggusur mereka yang mengakibatkan jatuh korban jiwa baik pada pihak Satpol PP maupun masyarakat menunjukkan ada yang tidak pas dalam kinerja Satpol PP. Pasca reformasi tahun 1998 muncul paradigma baru yang menempatkan kembali posisi birokrat bukan dalam status sebagai “penguasa” namun sebagai abdi masyarakat. Konsep Pamong Praja kembali dihadirkan, dalam pemaknaan bahwa pemerintah harus bisa melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Apalagi jika dikaitkan dengan semangat good governance, dimana kinerja birokrat harus diproyeksikan bagi kepentingan dan kesejahtaraan masyarakat.

Potret kiprah Satpol PP dalam memainkan perannya sebagai bagian dari birokrasi, oleh masyarakat saat ini dinilai tidak mencerminkan paradigma baru mengenai konsep birokrasi, yaitu sebagai sebuah negara demokratis maka orientasinya harus selalu berpihak pada rakyat. Dari berbagai berita yang muncul di media massa, dikesankan Satpol PP arogan, tidak professional, tidak berpihak kepada rakyat, hanya menjadi alat “Penguasa Daerah”.

Kondisi ini sangatlah tidak menguntungkan bagi citra birokrasi karena akan berdampak pada stigma buruk oleh masyarakat, yang pada akhirnya menimbulkan efek tidak produktifnya kinerja birokrasi dalam melayani masyarakat. Padahal jika melihat esensi pembentukan Satpol PP, kehadirannya sangatlah diperlukan oleh karena Satpol PP mempunyai peran untuk untuk membantu Kepala Daerah, dalam hal penegakan peraturan daerah dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban masyarakat.

Jika melihat peran ini, posisi Satpol PP adalah sangat strategis, karena kehadirannya akan menjadi bagian signifikan penentu keberhasilan Kepala Daerah menjalankan program-program pemerintahan. Dengan demikian, perlu dikaji kembali mengenai keberadaan Satpol PP, untuk melihat dimana letak kesalahannya serta dicarikan alternatif solusi pemecahan, agar pembentukan Satpol PP tidak menjadikan jalannya pemerintahan semakin buruk, tetapi justru memberikan kontribusi terbentuknya good governance, dan berjalannya program-program pembangunan, karena Peraturan Daerah bisa berjalan dengan baik dan masyarakat bisa mengalami kondisi tentram dan tertib.

Kebutuhan Pemda

Terganggunya ketentraman dan ketertiban umum di beberapa daerah di Indonesia telah mengakibatkan Indonesia dijuluki ”negara beresiko” (country risk) yang tinggi di antara negara Asean. Country Risk yang tinggi telah mengakibatkan hilangnya daya tarik bagi negara lain untuk menanamkan modalnya (investasi) di Indoensia, bahkan investasi di dalam negeri bisa beralih ke luar negeri mencari negara dengan country risk yang rendah. Larinya investasi yang sangat dibutuhkan berakibat pada rendahnya pertumbuhan ekonomi dan rendahnya pertumbuhan ekonomi akan berdampak pada meningkatnya pengangguran, rendahnya pendapatan, dan mendorong tindak kriminal. Dengan kata lain gangguan ketrentraman dan ketertiban akan menimbulkan gangguan ekonomi. Apabila kondisi ini dibiarkan secara terus menerus akan menimbulkan gangguan kehidupan generasi mendatang yang tidak bisa berperan optimal pada masanya.

Dengan berdasarkan pada pemahaman tersebut maka bisa ditarik suatu kesimpulan, bahwa masalah ketentraman dan ketertiban umum, sebenarnya merupakan salah satu kebutuhan dasar hidup yang harus terpenuhi dahulu, sebelum kebutuhan dasar yang lainnya. Masalah ketentraman dan ketertiban umum sudah menjadi amanat nasional yang tidak boleh dihindari, dimana tanggung jawab keamanan, ketentraman, dan ketertiban umum berada di bawah koordinasi pemerintah. Dalam ruang lingkup nasional, keamanan negara dari gangguan negara asing menjadi tanggung jawab dan berada di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sedangkan keamanan dan ketertiban umum / masyarakat (Kamtibmas) dalam lingkup nasional berada di bawah tanggung jawab Polri. Dalam pemahaman birokrasi pemerintahan, cakupan TNI dan Polri yang sangat luas tidaklah bisa mengakomodir seluruh renik kepentingan daerah. Karena itu tanggung jawab akan ketentraman dan ketertiban umum di daerah dalam pandangan birokrasi pemerintahan adalah tanggung jawab pemerintah daerah. Dalam hal ini salah satu lembaga yang diberi kewenangan untuk penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum adalah Polisi Pamong Praja.

Sesuai dengan isi Pasal 148 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan, bahwa Satuan Polisi Pamong Praja mempunyai tugas pokok membantu Kepala Daerah dalam penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum serta penegakan Peraturan Daerah. Sehingga semua permasalahan ketentraman dan ketertiban umum yang terkait langsung dengan Penegakan Peraturan Daerah yang diindikasikan belum bereskalasi luas menjadi tanggung jawab Polisi Pamong Praja.

Dalam melaksanakan kegiatannya untuk menjalankan perannya selaku aparat penegak hukum Peraturan Daerah serta menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, ternyata Satpol PP oleh sebagian besar masyarakat dinilai negatif. Tentu saja banyak faktor yang mempengaruhi mengapa kinerja Satpol PP justru memberikan citra yang buruk bagi birokrat dalam hal ini pegawai Pemerintah Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 secara tegas menyebutkan (dalam : pasal 7), bahwa dalam melaksanakan tugasnya, Polisi Pamong Praja wajib menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, hak asasi manusia dan norma-norma sosial lainnya yang hidup berkembang di masyarakat. Namun pada kenyataan di lapangan kewajiban tersebut tidak sepenuhnya dapat dilakukan, sehingga muncullah persepsi negatif dari masyarakat atas kehadiran Satpol PP.

Jika kita melihat sejarah pembentukan Satpol PP, tidak bisa dimungkiri bahwa watak kolonialisme dan militerisme yang menjangkiti tubuh Satpol PP menghasilkan tindakan-tindakan represif, koruptif, dan gila kuasa. Tindakan ini sebagai tren yang akan terus berlangsung jika sistem dan paradigma kelembagaannya tetap sama. Tindakan ini lebih banyak ditujukan kepada rakyat miskin yang selama ini menjadi sasaran utama keganasan Satpol PP, karena dianggap biang ketidaktertiban atau entitas yang paling dianggap menggaggu ketertiban umum. Masalah yang sebenarnya berakar pada pandangan tentang ”manisnya madu kota dari kacamata masyarakat pedesaan yang tidak terbangun secara simultan.

Dari temuan data oleh Institute for Ecosoc Rights, pada tahun 2006 terjadi 146 kasus penggusuran dengan korban 42.498 warga. Pada tahun 2007 terjadi 99 penggusuran dengan 45.345 korban. Hingga Februari 2008 terjadi 17 penggusuran dengan 5.704 korban. Karena itulah keberadaan institusi ini oleh sebagian masyarakat menilai telah melakukan tindakan yang meresahkan. Apalagi dalam setiap pelaksanaan tugas di lapangan Satpol PP sering dinilai melakukan kekerasan dan tindak arogansi. Hal yang lebih disebabkan oleh ketidak pahaman yang bergabung dengan kewajiban untuk melksanakan perintah dengan sukses.

Jika kita tarik dari temuan kasus-kasus yang ada, serta bagaimana masyarakat mempersepsikan Satpol PP, maka bisa dirumuskan bahwa persepsi masyarakat atas kehadiran Satpol PP dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Tindakan di lapangan terkesan arogan.

Rekrutmen anggota Satpol PP yang tidak mempunyai standarisasi pada masing-masing daerah menjadikan pola kinerjanya tidak seragam. Sehingga ketika mengimplementasikan kinerja yang seharusnya menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, hak asasi manusia dan norma-norma sosial lainnya akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, lingkungan, tingkat ekonomi, dan peran atasan. Karena mayoritas anggota Satpol PP dari tingkat ekonomi dan pendidikan lapis bawah maka yang muncul adalah kecenderungan semangat ”premanisme”. Kewenangan yang dipunyainya berubah menjadi aroganisme ketika tindakan yang dilakukan menjurus pada brutalistis karena merasa mempunyai kewenangan sebagai ”penguasa”.

2. Perannya untuk menciptakan ketentraman justru dinilai menyengsarakan rakyat kecil.

Tidak bisa dimungkiri bahwa hampir semua anggota Satpol PP berada pada tingkat ekonomi di lapis bawah. Hal ini didasarkan pada pangkat serta golongan dalam struktur kepegawaian mereka berada pada struktur tingkat kepegawaian golongan bawah, bahkan sebagian hanya berstatus karyawan kontrak dan atau honorer. Perannya sebagai penegak hukum yang mempunyai fungsi melakukan tindakan represif dan penggunaan kostum yang mirip militer, sebenarnya menunjukkan kesan yang meyakinkan bahwa Satpol PP adalah organisasi paramiliter.

Penggunaan kostum yang mirip militer, dan perlengkapan kerja yang mengacu pada doktrin militer dengan menempatkan masyarakat penganggu ketertiban adalah ”musuh” yang harus dilawan, menjadikan tindakan mereka di lapangan selalu berbenturan dengan komunitas miskin. Komunitas miskin di kota-kota pada hakekatnya adalah residu dari proses pengelolalan dan manajemen kota yang tidak tuntas; sedangkan di sisi lain sebagaian besar dari anggota Satpol PP juga tergolong dalam komunitas yang berpendapatan rendah.

Secara empiris kita bisa melihat pada kasus-kasus penggusuran, penertiban pedagang kaki lima, operasi KTP dan lain-lain, yang terjadi adalah Satpol PP sebagai ”barisan orang miskin” yang memukul komunitas miskin perkotaan. Banyak artikel yang mengutip wawancara dengan para anggota Satpol PP bahwa sebenarnya hati nurani mereka menjerit ketika melakukan tindakan yang menyebabkan ”benturan” dengan komunitas miskin. Tetapi karena perintah atasan dan mereka butuh pekerjaan maka yang terjadi adalah sikap melawan masyarakat yang mengesankan justru menyengsarakan lawan.

Kesan yang muncul pada masyarakat adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) menjadi aktor utama yang hadir menampilkan praktek-praktek kekerasan dalam keseharian kita. Di Perkotaan, ia menggantikan dominasi militer dan polisi yang selama ini akrab dengan tindak kekerasan. Berbagai kekerasan dalam operasi penggusuran, penggarukan, razia kaum papa, telah menjadikan Satpol PP musuh utama rakyat miskin.

Dalam pandangan yang muncul ke permukaan menunjukan, bagaimana produk hukum telah memberi peluang dan legitimasi bagi tindakan represif yang melanggar HAM juga berkaitan erat dengan tingginya angka tindak kekerasan yang dilakukan satpol PP. Alokasi anggaran sektor ketentraman dan ketertiban dalam APBD yang besar berikut tingkat kebocorannya, praktek pungli dan korupsi, menyertai tindakan penangkapan, penahanan secara sewenang-wenang, perusakan, penjarahan harta benda, penggarukan masyarakat miskin dan penggusuran rumah dan alat usaha/ mata pencaharian masyarakat miskin. Semuanya dibungkus dalam satu kebijakan untuk memerangi rakyat miskin kota.

3. Dalam menjalankan tugas di lapangan mengesankan menutup komunikasi dengan rakyat sehingga terkesan menjadi kelompok elitis yang menekan rakyat.

Dalam berbagai pemberitaan baik di media cetak maupun media elektronik, sering kali terlihat telah terjadi tindak kekerasan ketika Satpol PP melakukan penertiban. Tingkat pendidikan yang rendah serta pangkat dalam hirarki kepegawaian yang berada di lapis bawah, menjadikan mereka ketika bertindak memakai doktrin ”perintah atasan” dan ”kalau bersoal di kantor saja = dibawa/ ditangkap. Maka yang terjadi kecenderungannya adalah situasi yang tidak dialogis dalam setiap kinerja Satpol PP yang berhadapan dengan masyarakat. Oleh karena cenderung muncul kesan bahwa Satpol PP adalah kelompok barisan orang miskin yang terorganisir dalam bagian masyarakat yang didisain untuk menekan rakyat miskin lainnya. Citra ini akan terus melekat pada Satpol PP sepanjang tidak terjadi pembenahan keberadaan Satpol PP dalam hubungannya dengan pola perilaku tugas maupun statusnya, yang berkaitan dengan hubungan hukumnya dengan masyarakat dan instansi yang memiliki keterkaitan kewenangan. Bahkan dalam hubungan yang lebih luas berhubungan pula dengan materi Perda, yang pada kaitannya selanjutnya berhubungan pula dengan kualitas pemegang otoritas pembuat Perda.

Bentuk tugas/ penugasan Satpol PP juga membutuhkan ’Petunjuk teknis dan Petunjuk Lapangan’ yang terukur dan sesuai atau tidak bertentangan dengan berbagai Undang-undang yang berlaku maupun nilai-nilai yang dianut dalam sebuah negara demokrasi. Hal itu sangat dibutuhkan agar keberadaan sebuah lembaga yang menjadi bagian dari birokrasi yang dibayar dengan uang pajak rakyat justru tidak berbalik melanggar hak-hak rakyat itu sendiri.

Benturan Tugas Satpol PP dengan Tugas Polri

Jika kita melihat mengapa tumpang tindih tersebut terjadi, hal ini dikarenakan adanya benturan mengenai ’siapa’ yang mempunyai kewenangan dalam menjalankan peran dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam pasal 27 huruf c UU Nomor 32/2004 dirumuskan salah satu kewajiban Kepala Daerah adalah memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat. Di sisi lain Polri memiliki tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat sesuai dengan rumusan pada pasal 13 UU Nomor 2/2002. Dengan demikian dapat dipahami apa yang menjadi tugas pokok kepolisian di daerah tersebut juga menjadi kewajiban kepala daerah untuk menjalankannya. Di sinilah letak persinggungannya.

Sepanjang konsep menjaga keamanan dan ketertiban yang dipunyai kepala daerah tidak satu visi dengan Polri maka benturan di lapangan akan memiliki probabilitas besar akan terus terjadi. Satpol PP sebagai aparat Pemda sering melakukan tugasnya secara tumpang tindih dengan Aparat Polisi yang mendasarkan diri pula pada payung hukum yang menaunginya. Kondisi ini menghasilkan friksi antara kewenangan Polisi sebagai aparat sentralistik dengan Satpol PP yang merupakan aparat Pemda yang otonom.

Adalah hal yang tidak bisa dimungkiri, keberadaan Satpol PP yang seharusnya bisa melindungi masyarakat karena fungsinya sebagai penyelenggara ketentraman dan ketertiban umum, karena tampilan arogansi yang sering ditunjukkan justru menimbulkan kekhawatiran publik. Kekhawatiran tersebut berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia, wanita dan kaum miskin, serta semangat untuk tidak mau mengikuti kecenderungan dunia yang sudah menjunjung tinggi demokratisasi.

Temuan dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Jakarta menyatakan, petugas Satpol PP paling banyak melanggar hak asasi manusia (HAM), kemudian diikuti kepolisian dan TNI. Dalam siaran pers yang dilansir berbagai media, Ketua Badan Pengurus PBHI Jakarta, Dedi Ali Ahmad mengatakan, pada kasus penggusuran, satpol PP menduduki peringkat pertama dalam hal pelanggaran seperti kekerasan fisik dan nonfisik. Berdasarkan data yang dimiliki, dari 70 kasus penggusuran seperti penggusuran PKL, permukiman liar dan pasar, sebagian besar pelanggaran dilakukan Satpol PP. Dari jumlah kasus penggusuran yang terjadi, tindakan kekerasan dan pemaksaan adalah yang paling banyak dilakukan. Menurutnya fungsi petugas satpol PP hanya sebatas mengawal kebijakan pemerintah, apakah berjalan atau tidak sesuai dengan UU No 32/2004 tentang Pamong Praja. Dalam pandangan PBHI tugas Satpol PP hanya mengawal bukan melakukan tindak kekerasan.

Dalam temuan kasus di Semarang, perlakuan petugas Satpol PP terhadap kaum wanita jalanan ternyata sering menempatkan mereka pada pihak yang dilecehkan. Pada penertiban umum yang dilakukan terhadap penyakit masyarakat (Pekat), selain anak jalanan, pelacur jalanan adalah sasaran yang sering ditangani. Perlakuan terhadap kaum wanita jelanan yang oleh Satpol PP dikategorikan pelacur sering tidak etis. Mereka memperlakukan wanita jalanan dengan tidak sopan dan cenderung melecehkan, dengan adanya bukti-bukti pelecehan seksual, seperti memaki dengan kasar, memegang ”alat vital/ buah-dada” pelacur. Bahkan di tahanan perilaku dalam ucapan dan sikap ringan tangan sering mereka lakukan. Tidak ada perlawanan oleh para pelacur jalanan, baik karena mereka merasa sebagai pelaku pelanggaran Perda tentang ketertiban umum maupun ketidak tahuan haknya serta rasa tidak berdaya. Sehingga tidak pernah ada protes melalui media atas perlakuan ini.

Kondisi ini juga terjadi di Yogyakarta atas pengakuan PKBI (Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia) yang sering melakukan pendampingan atas korban-korban terhadap wanita dan anak-anak. Pada kasus di Yogyakarta yang sering memperoleh perlakukan pelecehan seksual adalah para ”waria” yang terjaring operasi penyakit masyarakat. Perlakuan terhadap waria oleh petugas Satpol PP seringkali tidak manusiawi dan menempatkan waria sebagai pihak yang dengan mudah dilecehkan. Yang dilakukan oleh para waria hanya menahan perasaan, sampai akhirnyha menganggap perilaku petugas Satpol PP adalah hal yang biasa. Sehingga ketika kemudian terjaring lagi dan diperlakukan tidak senonoh karena cenderung sering terjadi pelecehan seksual, mereka mendiamkan saja dan menjadikan sebagai resiko dari ”profesi”-nya sebagai waria, yang berkeliaran di jalan karena mencari nafkah dengan ”menjajakan diri”.

Kekhawatiran atas perkembangan kebijakan Pemda terhadap Satpol PP juga muncul di Semarang atas rencana Pemerintah Kota untuk mempersenjatai Satpol PP. Dalam pandangan LSM Pattiro, Satpol PP bukanlah aparat seperti kepolisian yang akan sering berhadapan dengan pelaku tindak kriminal atau penjahat. Satpol PP adalah aparat yang salah satu kewenangannya lebih pada menegakkan Perda dan berbagai bentuk kebijakan publik di Kota Semarang serta menjaga ketertiban umum. Karena kebijakan publik mengatur hak dan kewajiban pemerintah dengan warga, maka pada penegakan kebijakan publik Satpol PP akan banyak berhadapan dengan warga sipil yang bukan penjahat.

Berdasarkan fakta selama ini, yang paling sering berhadapan dengan Satpol PP adalah masyarakat marginal. Masyarakat yang di lapangan sering berhadapan dengan Satpol PP adalah mereka yang berprofesi sebagai pedagang kaki lima (PKL), pekerja seks komersial (PSK), tukang becak, gelandangan, pengemis, anak jalanan, dan juga warga yang tinggal di bantaran sungai. Artinya keseharian Satpol PP tidak berhadapan dengan para penjahat atau pelaku tindakan kriminal, tetapi justru dengan warga sipil khususnya masyarakat marginal.

Dalam pandangan LSM Pattiro, seharusnya Pemda lebih mengedepankan pendekatan persuasif daripada pendekatan represif. Meskipun dalam Permendagri Nomor 35 Tahun 2005 pasal 33 dinyatakan, Satpol PP juga dapat dipersenjatai dengan senpi genggam maupun laras panjang dengan amunisi peluru tajam, gas air mata, peluru hampa, atau peluru karet, namun mustinya pemerintah Kota Semarang lebih arif dan bijak. Kata-kata ”dapat” artinya bisa diadakan dan bisa pula tidak, yang berarti sangat berkaitan dengan kebutuhan akan kegunaannya, sehingga melihat situasi daerah seharusnya langkah preventif lebih bijak dibanding dengan mempersenjatai dalam rangka tindakan represif.

Bukti tindakan Satpol PP yang dinilai bertindak ”kejam” juga ditunjukkan dalam kasus di Jakarta, yaitu pada tanggal 8 Januari 2007. Seperti diungkapkan oleh Heru Suprapto yang merupakan aktivis pada Jakarta Centre for Street Children (JCSC) dan Aliansi Rakyat Miskin (ARM). Kematian tragis dialami seorang anak yang coba mendapatkan uang di jalan di hari itu. Tidak seperti anak-anak yang tercukupi kebutuhan ekonominya, menadahkan tangannya kepada orang tua mereka untuk mendapatkan uang. Anak ini, alm. Irfan Maulana (14), berada di jalan untuk menjual jasa sebagai “joki three in one” kepada pengendara yang melintasi jalan di wilayah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dia mencari uang untuk biaya menonton tim bola kesayangannya, Jak Mania, Persija.

Satpol PP dan Masalahnya

Jika kita menyimak landasan hukum bagi Satpol PP tidak ada yang krusial untuk dipersoalkan. Karena memang dari sejarah berdirinya negeri ini, kehadiran Satpol PP selalu memberikan warna pada bagaimana birokrat menjalankan roda pemerintahan. Kehadiran Satpol PP jelas-jelas ditegaskan dengan didasarkan pada UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 148 UU 32/2004 disebutkan, Polisi Pamong Praja adalah perangkat pemerintah daerah dengan tugas pokok menegakkan Perda, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat sebagai pelaksanaan tugas desentralisasi.

Satpol PP juga bisa menjalankan fungsi yudisial, karena pada pasal 149 UU Nomor 32/2004 ayat (1) dinyatakan, anggota Satuan Polisi Pamong Praja dapat diangkat sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya ketentuan ini, maka sebagian anggota Satpol PP adalah bagian dari Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) karena mempunyai kewenangan penyidikan.

Merujuk pada UU Nomor 32/2004 dalam rangka operasionalisasi kegiatan Satpol PP telah diterbitkan Peraturan Pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pada pasal 5, bahwa kewenangan Polisi Pamong Praja adalah : a) menertibkan dan menindak warga masyarakat atau badan hukum yang mengganggu ketentraman dan ketertiban umum; b) melakukan pemeriksaan terhadap warga atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah; c) melakukan tindakan represif non yustisial terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.

Adapun kewajibannya: a) menjunjung tinggi norma hukum/norma agama, HAM dan norma sosial lain yang ada di masyarakat, b) membantu menyelesaikan perselisihan warga yang bisa mengganggu ketenteraman dan ketertiban (tramtib), c) melaporkan kepada Kepolisian atas ditemukannya / patut diduga adanya tindak pidana, (d) menyerahkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) atas ditemukannya / patut diduga adanya pelanggaran terhadap perda dan kepda (Pasal 7 huruf a, b, c, dan d).

Yang menjadi masalah, sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah Satpol PP adalah bagian dari Pemerintah Daerah, sehingga dalam menjalankan tugasnya anggota Satpol PP bertanggung jawab langsung dengan Kepala Daerah dalam hal ini Bupati, Walikota atau Gubernur. Dengan kondisi ini, maka tidak ada hubungan hirarki maupun struktur antara Satpol PP Provinsi dengan Satpol PP Kabupaten ataupun Kota. Selain itu karena dasar pembentukan Satpol PP adalah Peraturan Daerah, sangat dimungkinkan antara kabupaten atau kota satu dengan lainnya terdapat spesifikasi dalam organisasi yang menyesuaikan dengan karakter daerah setempat.

Dari sisi yuridis, keberadaan Satpol PP dilandasi oleh Undang-undang, PP, maupun Perda untuk masing-masing daerah, tetapi dalam pelaksanaan tugas bisa jadi muncul benturan karena perbedaan karakteristik daerah yang tajam. Ganjalan lain dari sisi yuridis, walau sama-sama bernama Satpol PP dan mempunyai seragam yang sama, tidak ada kewenangan dari Satpol PP Provinsi untuk melakukan intervensi ke Satpol PP Kabupaten atau Kota. Hal ini akan memunculkan persoalan ketika anggota Satpol PP yang juga PPNS menangani suatu kasus pelanggaran Perda yang harus melakukan konsultasi dengan pemerintah provinsi. Sesuai dengan ketentuan bisa saja hal itu tidak dilakukan, ketika ada kepentingan lain yang lebih cenderung/berpihak pada kepentingan daerah bersangkutan. Sehingga persoalan menegakkan Perda bisa menjadi gangguan dalam administrasi pemerintahan, ketika terjadi persinggungan kepentingan dari masing-masing daerah atau dengan pemerintah provinsi.

Rekrutmen dan pembinaan personel satpol PP merupakan masalah yang paling serius dalam temuan di lapangan. Pembinaan personel di sini termasuk dalam hal pendidikan dan pelatihan bagi anggota Satpol PP. Dalam kaitan dengan Diklat Satpol PP, Kapolri melalui Surat Keputusan No. Pol: Skep/362/VI/2003 tanggal 16 Juni 2003 telah membuat Naskah Sementara Perangkat Kendali Pendidikan dan Latihan Satuan Polisi Pamong Praja Tingkat Dasar. Namun acuan ini pun tidak dilaksanakan dengan memadai oleh kesatuan Polisi Pamong Praja. Temiuan di Pemerintah Kota Semarang, latihan didisain sendiri dengan menyesuaikan anggaran yang ada dan hanya dengan menggunakan waktu selama satu minggu saja. Itu pun dilakukan pada anggota yang sudah tercatat sebagai anggota Satpol PP. Ini berarti proses rekrutmen tidak dilakukan dengan dasar ketentuan pada PP Nomor 32/2004.

Dengan model pemerintahan desentralisasi dan pembentukan Satpol PP berdasarkan Peraturan Daerah, maka kepentingan politis dalam penyusunannya tidak bisa dihindarkan. Sebagai sebuah Perda, maka prosesnya selalu melalui proses politik karena diputuskan oleh DPRD dan Eksekutif. Dengan demikian tidak bisa dihindari adanya konflik kepentingan dalam proses penyusunan Perda. Berkaitan dengan penyusunan SOTK (Susunan Organisasi dan Tata Kerja) dalam struktur organisasi pemerintah daerah, maka walau sudah ada ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004, namun dalam kenyataannya masing-masing Pemda membuat struktur organisasi yang berbeda-beda, termasuk di sini dalam hal eselonisasi pejabat Kepala Satpol PP.

Penutup

Dalam konteks reformasi Sektor Keamanan dan Otonomi Daerah di Indonesia, posisi Satpol PP menjadi sangatlah penting, terutama jika kita melihat perkembangan peran Satpol PP, yang pada beberapa kasus semakin meluas pada wilayah yang seharusnya tidak ditangani oleh Satpol PP. Mengutip hasil kajian yang dilakukan oleh IRE, ternyata efek dari “Otonomi Daerah” tidak hanya memperebutkan soal hak kewenangan daerah dalam memperoleh akses ekonomi dari pemerintah pusat. Namun pada sektor “Keamanan” juga menjadi menarik dikupas ketika muncul rebutan “kewenangan” dalam memperebutkan arena pengelolaannya.

Dalam temuan yang bisa diungkap adalah munculnya wacana Satpol PP yang menginginkan agar lembaga ini mempunyai kedudukan, peran, dan fungsi yang tegas (tidak banci), karena selama ini dianggap sebagai “adik” dari Polisi. Satpol PP yang sebenarnya mempunyai fungsi menjaga ketentraman dan ketertiban (tramtib), ternyata dalam menjalankan tugasnya untuk menegakkan Perda mulai menggagas perluasan “kewenangannya” secara nyata, seperti fungsi yang tertuang pada UU 32 Tahun 2004. Dalam prakteknya yang dilakukan oleh Satpol PP bersinggungan dengan tugas dan kewenangan yang dipunyai oleh Polisi.

Dari fakta yang ada, sebenarnya yang paling krusial menyebabkan kekisruhan koordinasi dalam menjalankan tugas keamanan, adalah tidak tegasnya peraturan perundangan yang mengatur fungsi keamanan masyarakat. Seharusnya polisi adalah yang mempunyai tugas utama seperti yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, namun ternyata juga dalam UU 32 Tahun 2004, Satpol PP dibawah koordinasi Depdagri secara eksplisit mempunyai fungsi keamanan dalam menegakkan Perda”. Konteks siapa yang mengelola keamanan kemudian menjadi wilayah yang “tumpang-tindih atau abu – abu”.

Sehingga di lapangan terungkap seringnya timbul pola relasi antara polisi dan Pemda yang sering “mis-koordinasi” dalam mengambil keputusan soal pengelolaan keamanan, dimana berbagai institusi yang mempunyai fungsi pemolisian, telah mengambil kewenangan polisi dalam menjalankan fungsi keamanan. Perkembangan fungsi Satpol PP yang telah melakukan fungsi intelijen dengan dasar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2005 tentang Komunitas Intelijen Daerah (Kominda) menunjukkan bahwa peran Satpol PP dalam fungsi keamanan dan intelijen sudah seperti layaknya tugas polisi. Usulan agar Satpol PP dipersenjatai, juga menjadi wacana sebagai perangkat kelengkapan kerja dalam menjalankan fungsi ketentraman dan ketertiban.

Ternyata “kue keamanan” di era otonomi daerah, menjadi menarik dikupas, ketika berbagai institusi pengelola keamanan seperti polisi dan intsitusi yang mempunyai tugas pemolisian mulai merasakan enaknya mengelola sektor keamanan pasca pemisahan TNI dan Polri. Muncul pula statemen, bisa – bisa institusi keamanan di luar polisi yang mempunyai tugas pemolisian ini “lebih polisi” dari pada institusi polisi itu sendiri, bila secara tegas peraturan perundangan yang mengaturnya memberikan kewenangan “yang lebih” dalam menjalankan fungsi keamanan.

Dalam konteks reformasi sektor keamanan, maka yang terpenting adalah bagaimana mendudukkan secara proporsional masing-masing institusi tersebut, tanpa adanya kepentingan terselubung. Namun, justru hal inilah yang sulit dilakukan karena kepentingan terselubung tersebut justru seringkali menjadi dasar untuk melakukan strategi demi kepentingan politis atau ekonomis. (*)


[1] Tulisan ini diadaptasi dari hasil penelitian tentang Satpol PP yang dilakukan oleh Zakarias Poerba dan A. Wahyurudhanto atas sponsor GTZ untuk Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia.

[2] Dr. Zakarias Poerba,SH, M.Si, Dosen PTIK, Konsultan pada beberapa lembaga penelitian.

[3] Drs. A. Wahyurudhanto, M.Si, Dosen PTIK, Mahasiswa Program S3 Ilmu Sosial Universitas Padjajaran

-- Tulisan ini telah dimuat dalam Jurnal Kepolisian, Edisi 073 (Juni-Sept 2010).

Tidak ada komentar: