Sabtu, 11 September 2010

Resensi : Reformasi Kedua

Timbangan Buku

Melanjutkan Estafet Reformasi Melalui Reformasi Kedua

Judul Buku : REFORMASI KEDUA : Melanjutkan Estafet Reformasi

Penulis : Eko Prasojo

Penerbit : Salemba Humanika, Jakarta.

Tahun terbit : 2009

Tebal : xxvi + 232 halaman

Reformasi yang diprakarsai oleh para mahasiswa pada tahun 1998 pada awalnya mampu memberikan harapan pada banyak orang. Namun setelah lebih dari sepuluh tahun reformasi berlangsung harapan ternyata tinggal harapan. Kalau kita bernostalgia pada saat ini, rasanya seperti mimpi saja. Bayangkan saja, kekuasaan yang solid dan kokoh selama lebih dari 30 tahun, langsung runtuh berkat kekuatan moral dari para mahasiswa. Mesin politik Orde Baru dengan komando Presiden Soeharto, siapa yang berani memperhitungkan akan runtuh. Birokrasi yang dibuat sangat kuat, militer yang memberikan dukungan tanpa reserve, akhirnya toh runtuh juga. Tokoh reformis saat itu, Amin Rais mampu berdiri dengan gagah, bargaining positioning yang sangat-sangat di atas angin, benar-benar mengagumkan saat itu. Tetapi kini yang terjadi, rakyat dibuat kecewa, harapan yang ada tinggal berapa persen lagi, mungkin sulit memprediksinya. Amin Rais yang saat itu menjadi idola dengan ketokohannya juga akhirnya tidak mampu memberikan janji, setelah masuk dalam “mesin birokrasi” sebagai Ketua DPR/MPR.

Kini rakyat kembali mempertanyakan, benarkah reformasi telah berlangsung di Indonesia. Yang dirasakan justru masyarakat kecil merasa telah terjadi kemunduran. Kini bahkan muncul suara-suara, lebih enak pada jaman Pak Harto, lebih tentram, lebih sejahtera. Sekarang rakyat merasa semakin tercekik saja. Sementara buah reformasi telah melahirkan para nara pidana baru. Gubernur, Bupati, Walikota, Anggota DPR, satu-persatu masuk bui. Sampai-sampai muncul joke, kalau pada jaman Soekarno-Hatta, harus jadi tahanan dulu, baru dinilai “lulus” untuk jadi pemimpin. Tetapi sekarang terbalik, jadi pemimpin dulu, baru kemudian menikmati hidup di bui jadi nara pidana. Dunia memang terbalik-balik, begitu kata orang bijak.

Menghadapi kegetiran tersebut, terbit buku baru yang ditulis oleh ahli kebijakan publik, Profesor Eko Prasojo. Judulnya, “REFORMASI KEDUA : Melanjutkan stafet Reformasi. Buku ini seolah menjadi kanal untuk kegundahan publik yang merasa bahwa reformasi pada tahun 1998 telah gagal. Maka untuk melanjutkan estafet reformasi perlu ada reformasi kedua. Kegundahan penulis juga nampak dalam ungkapan yang ditulis pada pengantar. “Lebih dari 100 tahun kebangkitan nasional berlalu, lebih dari 63 tahun Indonesia merdeka, serta lebih dari satu dekade upaya reformasi digulirkan di Indonesia, tetapi negeri ini masih belum mencapai yang dicita-citakannya sebagai bangsa dan negara yang adil dan makmur,” begitu kalimat awal pada pengantar buku yang ditulis oleh Eko Prasojo, Guru Besar Ilmu Administrasi Publik, Fisip Universitas Indonesia dengan spesialisasi bidang Pemerintahan Daerah dan Reformasi Administrasi.

Indentifikasi Detail

Buku ini dengan tajam melakukan identifikasi situasi problematik pada tataran makro pemerintahan pusat dari aspek politik, hukum, dan administrasi. Analisis berfokus pada arah pertumbuhan pembangunan administrasi di Indonesia, pengaturan administrasi pemerintahan, dan peningkatan profesionalisme aparatur pelayanan publik. Menurut penulis inilah jalan baru reformasi administrasi di Indonesia. Dengan detail buku ini menyoroti praktik pemerintahan daerah saat ini yang sarat dengan inkonsistensi Pusat dalam menyelenggarakan otonomi daerah; inkompetensi Daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik di tingkat lokal; pemekaran daerah yang tak terbendung tanpa evaluasi kemajuan daerah hasil pemekaran; penyelenggaraan pilkada yang terlampu mahal secara finansial dan sosial; penerbitan peraturan daerah (perda) yang masif tanpa sinkronisasi; serta kerusakan dan eksploitasi sumber daya akibat penyalahgunaan kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam transaksi ekonomi-politik dengan pemilik modal domestik dan asing.

Penulis dengan latar belakang keilmuannya bisa secara tegas mengingatkan pembaca, bahwa reformasi berbeda dengan perubahan. Perubahan tidak selamanya menghasilkan perbaikan-perbaikan. Karena perubahan akan tetap terjadi, dan bisa jadi sama sekali tanpa ada pemecahan persoalan. Namun reformasi adalah perubahan yang merujuk pada upaya perubahan yang dikehendaki (intended change) dalam suatu kerangka kerja yang jelas dan terarah. Oleh karena itu prasyarat keberhasilan reformasi adalah eksistensi peta jalan (road map) menuju kondisi, status, dan tujuan yang ditetapkan sejak awal beserta indokator keberhasilannya. (hal. xv)

Buku ini mengungkapkan secara jujur fakta di Indonesia dengan menunjukkan sejarah negeri ini, bahwa birokrasi di Indonesia adalah warisan kolonial yang sarat dengan kepentingan kekuasaan. Sehingga struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang ada sangat diwarnai oleh orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara. Karena itu, struktur dan proses yang dibangun selama ini merupakan instrumen untuk mengatur dab mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugas memberikan pelayanan pada masyarakat. Kondisi ini sudah mengakar, sehingga reformasi tahun 1998 sampai saat ini dirasakan tidak memenuhi harapan. Inilah yang banyak dibahas dalam buku ini melalui fakta-fakta di lapangan serta kajian dari teori-teori yang sekarang berkembang.

Penulis buku ini memberikan perbandingan keberhasilan Cina dan Korea Selatan, dua negara yang saat ini tidak saja menjadi pesaing Jepang di Asia, tetapi juga pesaing negara-negara industri maju di Eropa dan Amerika. Di Cina, Deng Xiaoping pada tahun 1982 memproklamirkan reformasi administrasi sebagai tulang punggung kemajuan bangsa. Deng bukan hanya pidato, tapi pada tahun 1983, jumlah kementerian, departemen dan lembaga lain dipangkas dari 100 menjadi 61. Selain itu sebanyak 30.000 kader yang aktif di birokrasi dipensiunkan. Sementara Korea Selatan mengawali reformasi pada tahun 1980 dengan meletakkan sejumlah pilar reformasi administrasi, seperti peningkatan pelayanan, penegakan etika, kontrol dan pengawasan jalannya pemerintahan yang sangat ketat. Reformasi administrasi tersebut dilanjutkan oleh Rho Tae Woo pada tahun 1998-1993 dengan melakukan deregulasi dan simplikasi, restrukturisasi pemerintahan pusat, serta memperkuat komisi reformasi administrasi dan keterbukaan informasi publik. Hal ini terus berlanjut sampai pemerintahan Rho Moo Hyun pada tahun 2003 yang memfokuskan pada participatory goverment. Intinya reformasi di Cina dan Korsel berhasil karena ada arah yang jelas, dan rezim yang berkuasa mengarahkan tujuan dengan dukungan dari setiap komponen, sehingga program bisa berjalan berkesinambungan.

Berbeda dengan di Indonesia. Buku ini menunjuk minimnya komitmen politik dan kompetensi menjadi penyebab gagalnya reformasi birokrasi. Gonjang-ganjing reshuffle kabinet pada setiap masa pemerintahan merupakan bukti adanya friksi kekuasaan dan kepentingan yang sulit dihindari. Dari pengalaman reformasi birokrasi di berbagai negara, tercatat sedikitnya ada dua hal yang selalui dilakukan. Yang pertama adalah komitmen untuk melakukan reformasi birokrasi, dan kedua adalah komitmen untuk menegakkan hukum bagi setiap pelanggaran birokratis, mulai dari maladministrasi dan KKN. Dari tesis ini saja kita bisa melihat bagaimana kenyataannya di Indonesia.

Maka, reformasi kedua yang menyambung reformasi sebelumnya oleh buku ini ditunjukkan sebagai jawaban untuk mengatasi kebuntuan yang ada. Disimpulkan, reformasi pada fase berikut ini harus dijalankan secara tertata, sistemik, dan mengandalkan sinergi lintas-aspek dan lintas-elemen bangsa. Inilah yang menjadi muara utama dari buku ini. Secara umum buku ini memberikan pencerahan atas kesalahan yang sekarang sedang dilakukan. Sebagai catatan penutup atas resensi ini, pertama dari sisi teknis, buku ini tampilannya bisa diperbaiki sehingga lebih menunjukkan pada buku yang “serius”. Dari sisi esensi, akan lebih baik baik jika alur penulisan lebih diarahkan sesuai dengan yang penulis buku kemukakan sejak awal, yaitu pengelompokan pembahasan pada kelemahan aspek politik, hukum, dan administrasi publik. Baru kemudian kajian untuk penyelesaian dalam konteks Indonesia. Tetapi apapun buku ini membuat kita semakin terbuka, bahwa yang kita lakukan saat ini adalah salah, jadi sebenarnya masih ada waktu untuk memperbaiki, dan itulah yang oleh penulis buku disebut sebagai Reformasi Kedua.

(A. Wahyurudhanto; Dosen PTIK, Mahasiswa S3 Ilmu Sosial Universitas Padjajaran)

n Tulisan ini telah dimuat dalam Jurnal Kepolisian, Edisi 073 (Juni-Sept 2010).

Tidak ada komentar: