Sabtu, 11 September 2010

Teorisme dan Deradikalisasi

Terorisme dan Deradikalisasi

The terrorists may be killed, But the void of the lost loved one is never filled.

Lavanya, nama seorang gadis dari Banglore, India yang baru berusia 12 tahun. Dia begitu terhentak perasaannya setelah melihat berita tragis di televisi atas aksi teroris di Kota Mumbay. Duka yang menyelimuti pikirannya itu kemudian ditorehkan dalam puisi ciptaannya yang berjudul “The city that never slept, slept” (Kota yang tak pernah tertidur, tertidur). Terorisme yang selalu menghantui membuat warga tak bisa menikmati tidurnya dengan nyenyak, itulah yang dalam pandangannya menjadikan kota juga tidak bisa memberikan kedamaian, selalu membuat orang terbangun, tak pernah tidur, begitu komentarnya. Dan dalam satu bait puisinya, dia menulis, “teroris mungkin terbunuh, namun kehilangan nyawa yang terkasihi takkan terganti”.

Suasana batin Lavanya kiranya juga terjadi pada masyarakat kita yang belakangan ini juga tidak bisa tidur karena ancaman teroris yang bertubi-tubi terjadi. Memasuki tahun 2000, aksi teror bom melanda bumi pertiwi. Dalam buku “Membongkar Jaringan Teroris” (Abdurrahman Pribadi dan Abun Rayyan, 2009), secara berani dinyatakan bahwa kran reformasi yang terbuka lebar telah meniscayakan segala bentuk gerakan, termasuk gerakan radikal dan fundamentalis yang dengan lugas telah mengepakkan sayapnya mencari pengaruh dan beraksi. Sejak teror bom Bali I tahun 2002, kemudian menyusul lahirlah berbagai aksi teror bom lainnya. Bom Bali II tahun 2004, kemudian bom Hotel JW Marriott I (2005), bom Kuningan di Kedubes Australia (2004), hingga bom Marriott II dan Ritz-Carlton (2005).

Polisi Indonesis tentu saja tertantang dengan situasi ini. Tindakan pada pelaku bom yang sudah di luar akal sehat bagaimanapun harus dibendung. Tugas pokok Polri yang menjadi tanggung jawab abdi Bhayangkara menjadi beban yang tidak ringan. Memelihara kamtibmas, menegakkan hukum, serta menjadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat menjadi motivasi utama anggota Polri untuk bertindak agar rasa aman yang didambakan masyarakat dapat terwujud. Kerja keras yang dilandasi dengan dedikasi, motivasi tinggi dan profesionalisme akhirnya membuahkan hasil. Dalam waktu yang relatif singkat pelaku peledakan bom di Hotel Marriott dan Ritz-Carlton dapat diketahui. Melalui serangkaian pelacakan, akhirnya pelakunya bisa dilumpuhkan, kendati harus dalam keadaan sudah tewas tertembak. Bahkan gembong teroris yang selama ini selalu dicari-cari, Noordin M Top berhasil pula tertembak mati dalam suatu penggerebekkan di Solo. Inilah prestasi Polri yang harus diberi acungan jempol. Masyarakat pun memberikan apresiasi dengan sangat antusias.

Namun, persis seperti yang ada dalam pikiran Lavanya, teroris mungkin terbunuh, namun kehilangan nyawa yang terkasihi takkan terganti. Inilah kegusaran hati banyak orang yang sulit dihilangkan. Pelaku teroris bom tak ubahnya sosok manusia yang telah mengalami kehilangan nurani. Karena ketidakpunyaan nurani tersebut, maka para teroris tega berbuat biadab dan menjadi predator bagi sesamanya. Mereka telah kehilangan akal sehat. Yang dilakukannya adalah tindakan yang hanya menuruti naluri agresivitas, tanpa memperhitungkan perasaan orang lain. Menciptakan suasana publik yang ketakutan justru menjadi bentuk kepuasannya.

Maka jika sekarang ini pemerintah menggalakkan deradikalisasi atau pelemahan terorisme, rasanya adalah hal yang masuk akal. Upaya ini merupakan cara untuk mencari solusi menangani pemberantasan terorisme melalui cara konvensional yang banyak menimbulkan kesan negatif oleh masyarakat, misalnya penggerebekan, penangkapan, sampai dengan penghentian aksi teror. Deradikalisasi terorisme merupakan upaya pencegahan dini, sehingga mematahkan potensi berkembangnya gerakan terorisme. Informasi yang jelas dan tepat pada masyarakat dipandang penting dalam rangka penguatan masyarakat, sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dalam pencegahan terorisme. Deradikalisasi terorisme merupakan upaya persuasif kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak tersesat dalam pemahaman yang salah, apalagi sampai berpartisipasi dalam kelompok teroris.

Namun, agaknya tidak cukup menyerahkan semua persoalan yang rumit dan kompleks ini kepada aparat keamanan semata. Dibutuhkan kesadaran kolektif semua komponen dan elemen masyarakat untuk menjadikan gerakan teror bom dan sejenisnya sebagai “musuh bersama”. Dengan cara semacam ini, ruang gerak kaum teroris kian menyempit hingga akhirnya mereka tak punya kekuatan untuk menjalankan skenario dan aksi-aksi brutalnya. Para teroris mungkin telah terbunuh, tetapi jangan lupa bahwa kader teroris masih akan terus ingin menunjukkan eksistensinya. Kewaspadaan haruslah terus dijaga, agar jangan sampai aksi teroris tetap berkembang. Kehilangan nyawa yang terkasihi tak akan terganti, ketakutan masyarakat harus dihilangkan. Ini menjadi tugas kita semua. (Drs. A. Wahyurudhanto, M.Si)

n Tulisan ini sudah dimuat dalam Jurnal Kepolisian Edisi 072 (Oktober 2009).

Tidak ada komentar: