KAMDAGRI
“Gajah Mada patut
menjadi panutan Kepolisian Negara. Pemberontakan demi pemberontakan dia tumpas,
mengawal raja dengan kesungguhan. Dia menyerukan kepada anak buahnya kewajiban
seorang Bhayangkara adalah ‘Satya Haprabhu’ setia kepada Negara dan pimpinannya,
‘Hanayaken Musuh’ mengenyahkan musuh Negara dan musuh masyarakat, ‘Gineung
Pratidina’ kerja keras, rame ing gawe, ‘tan Satrisna’ tidak terikat kepada
sesuatu, sepi ing pamrih. Itulah Catur Prasatya”
(Pidato Presiden
Soekarno pada
Dies
Natalis PTIK ke X tanggal 17 Juni 1956)
Kata-kata
yang diucapkan oleh Presiden Soekarno saat Dies Natalis PTIK, 57 tahun yang
lalu benar-benar ucapan yang legendaris. Dalam acara Dies Natalis yang
diselenggarakan di Kampus Jalan Tambak, Jakarta Pusat, antara lain dihadiri
oleh Perdana Menteri Juanda, Kepala Kepolisian Negara yang saat itu dijabat
oleh R.S. Sukanto Tjokrodiatmodjo, Ketua Dewan Guru Besar Profesor Djokosutono
dan Ketua Dewan Kurator Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Saat itu, kebetulan Wik
Djatmika, yang setia sebagai staf pengajar di PTIK sampai akhir hayatnya, bulan
April 2013 lalu, berdiri persis di belakang
Presiden bersama ajudan Presiden, Letkol Sugandi dan mencatat semua yang
dikatakan oleh Presiden Soekarno.
Jika
kita simak apa yang disimpulkan tentang Gajahmada oleh Bung Karno, sebenarnya
itulah semangat yang diharapkan sampai saat ini melekat pada seluruh anggota
Polri. Setia kepada Negara dan pimpinannya, bukan berarti kepada individu
pimpinan negara, tetapi kepada Presiden sebagai Kepala Negara yang secara
konstitusional diberi mandat untuk memimpin negara ini menuju cita-cita pendiri
bangsa, mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Mengenyahkan
musuh negara dan musuh masyarakat, artinya mampu mewujudkan keamanan dan
memberikan rasa aman bagi masyarakat. Kerja keras, rame ing gawe, inilah kinerja yang diharapkan oleh masyarakat,
sesuai tugas pokok Polri, sebagai pemelihara keamanan, penegak hukum, serta
pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Serta sepi in pamrih, Polri memang harus independen, tidak memihak pada
kepentingan atau kelompok tertentu, karena yang harus diutamakan adalah
kepentingan masyarakat.
Harapan
tersebut, secara formal telah dinyatakan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara RI. Pada pasal 4 telah ditegaskan, bahwa Kepolisian
Negara Republik Indonesia bertujuan untuk
mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan
ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya
ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Keamanan
dalam negeri atau yang biasa disebut dengan akronim Kamdagri merupakan tujuan
dari dibentuknya Polri. Persis dengan ucapan Bung Karno ketika mempresentasikan
karakter dari Gajahmada, Hanayaken Musuh, mengenyahkan musuh Negara dan musuh masyarakat.
***
Makna dari mewujudkan
Kamdagri adalah ukuran yang dijadikan patokan masyarakat untuk menilai apakah
Polri berhasil atau tidak. Bagi masyarakat ukuran keamanan dalam negeri adalah
jika kemana-mana merasa aman, tidak ada konflik, bisa beraktivitas dengan
normal, serta secara psikologis jikia bertemu dengan polisi merasa terayomi.
Ukuran ini tentu saja berbeda dengan ukuran internal Polri, yang menjadikan
indikator keberhasilan dari sini tercapainya target-target yang sudah
dicanangkan. Lain lagi penilaian yang dilakukan oleh Pemerintah melalui
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB).
Kementerian ini melihat keberhasilan dari kaca-mata good governance yang sarat dengan indikator administratif. Lembaga
Swadaya Masyarakat lain lagi menilainya, karena latar belakang kepentingan akan
mempengaruhi cara menentukan ukuran keberhasilan.
Alhasil keberhasilan
Polri dalam mewujudkan Kamdagri selalu menjadi polemik yang tidak pernah akan
habis. Beberapa lembaga survei secara rutin melakukan penilaian terhadap Polri.
Salah satunya adalah Harian Kompas. Jajak pendapat yang dilakukan oleh Harian
Kompas, selama satu dasawarsa menunjukkan penilaian publik terhadap citra
positif kepolisian terus berubah. Jajak pendapat Kompas merekam penilaian
terburuk terhadap citra Polri diberikan publik pada masa-masa awal kemandirian
Polri. Saat itu hanya 26,6 persen responden yang memberi penilaian positif
terhadap citra Polri. Tahun 2009, proporsi publik yang menilai positif
meningkat dan mencapai titik tertinggi. Ketika itu 57,1 persen responden
menyatakan citra Polri positif. Berbagai prestasi diukir terutama perannya
dalam mengungkap kasus terorisme. Jajak pendapat oleh Harian Kompas juga
menyebutkan, pada Tahun 2012, ketika usia Polri mencapai 66 tahun dan saat
pengungkapan kasus terorisme juga mulai berkurang, penilaian terhadap citra
positif Polri semakin turun. Hanya 46,1 persen responden jajak pendapat ini
memberi nilai positif terhadap citra Polri. Proporsi yang lebih besar, yakni
49,3 persen, menyatakan citra Polri buruk. Masyarakat yang menjadi responden
dalam penelitian yang dilakukan oleh Harian Kompas menilai, tubuh Polri telah
dikotori oleh sikap dan perilaku aparat Polri yang mengingkari pedoman dasar
pelaksanaan profesi polisi yang tercantum di dalam Tribrata Polri.
Ini artinya ketika
Polri ingin menunjukkan keberhasilan akan tugasnya, yaitu dalam mewujudkan
Kamdagri, akan banyak cermin yang bisa dicapai. Mana yang paling obyektif ?
Menjadi sulit untuk menyimpulkan karena banyaknya latar belakang dari para
“juri” untuk menentukan patokan ukuran keberhasilan. Maka yang dilakukan Polri
adalah selalu nmeraba-raba, apa yang dimaui masyarakat. Sementara karena
banyaknya pengaruh atas indikator tersebut, kesannya menjadi Polri selalu buruk
nilainya. Tentu saja situasi ini tidak menguntungkan bagi Polri yang sudah
bekerja keras untuk memenuhi harapan masyarakat mewujudkan Kamdagri. Seolah
yang dilakukan oleh anggota Polri yang berjumlah hampir 400 ribu anggota
sia-sia. Padahal, jujur saja, sebenarnya masyarakat sangat bergantung pada
kinerja Polri yang tak kenal lelah untuk selalu menciptakan keamanan dan
memberikan rasa aman.
***
Secara
normatif, keberhasilan
kinerja Polri
di bidang pemeliharaan
Kamtibmas, dilihat dari upaya Polri mewujudkan suatu kondisi
dinamis masyarakat sehingga terselenggaranya proses pembangunan nasional yang
ditandai dengan terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta
terbinanya ketentraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan
potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi
segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat
meresahkan masyarakat.
Tetapi
secara praktis, keberhasilan tersebut akan sangat tergantung dari apa yang
dirasakan oleh masyarakat. Baik-buruknya Polri memang pada akhirnya sangat
tergantung dari bagaimana masyarakat memberikan penilaian. Maka ketika Kamdagri
menjadi ukuran keberhasilan Polri, mau tak mau ukuran relatif harus
dikedepankan agar penilaian menjadi obyektif. Keamanan dalam negeri disebut
sebagai situasi wilayah yang relatif
kondusif, gangguan kamtibmas terkendali, serta tercegah dan tertanggulanginya
berbagai konflik. Dengan melihat pada pemahaman ini, maka keberhasilan Polri
akan juga sangat tergantung dari kontribusi instansi lain dan masyarakat.
Sehingga sangat masuk akal ketika program revitalisasi Polri dicanangkan,
sinergi polisional menjadi salah satu andalan untuk pencapaian kinerja Polri
yang diharapkan oleh masyarakat. Sinergi Polisional adalah kebersamaan antar unsur
dan komponen negara dan masyarakat dalam mengambil langkah mengatasi potensi
gangguan keamanan.
Dengan demikian pada akhirnya harus disadari bahwa
Kamdagri akan sangat ditentukan oleh partisipasi aktif dari segenap komponan,
termasuk partisipasi masyarakat. Agar partisipasi tersebut bisa secara tulus
diberikan oleh masyarakat, tentu saja harus diawali oleh Polri dengan sikap
yang transparan dan akuntabel, karena inilah modal utama agar dapat dipercaya
masyarakat. Syarat untuk bisa transparan dan akuntabel adalah mau kerja keras
dan tidak memihak. Senada dengan yang diucapkan oleh Presiden Soekarno tentang
Mahapatih Gajadmada, yaitu rame ing gawe
serta semi ing pamrih. Jadi
kesimpulannya, dalam rangka mewujudkan Kamdagri yaitu menciptakan keamanan dan
rasa aman, dilakukan dengan mengeyahkan musuh negara musuh masyarakat, namun
usaha ini akan dapat dirasakan apabila Polri juga dicintai dan dipercaya oleh
rakyatnya. Polri yang dicintai dan dipercaya adalah bukti bahwa Kamdagri
dirasakan oleh masyarakat. (A. Wahyurudhanto, redaktur pelaksana Jurnal Studi Kepolisian)
· Tulisan
ini sudah dimuat di Jurnal Studi Kepolisian, Edisi 080, Juni 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar