Minggu, 09 Maret 2014

File Artikel : Kamdagri



KAMDAGRI

“Gajah Mada patut menjadi panutan Kepolisian Negara. Pemberontakan demi pemberontakan dia tumpas, mengawal raja dengan kesungguhan. Dia menyerukan kepada anak buahnya kewajiban seorang Bhayangkara adalah ‘Satya Haprabhu’ setia kepada Negara dan pimpinannya, ‘Hanayaken Musuh’ mengenyahkan musuh Negara dan musuh masyarakat, ‘Gineung Pratidina’ kerja keras, rame ing gawe, ‘tan Satrisna’ tidak terikat kepada sesuatu, sepi ing pamrih. Itulah Catur Prasatya”
(Pidato Presiden Soekarno pada Dies Natalis PTIK ke X tanggal 17 Juni 1956)

Kata-kata yang diucapkan oleh Presiden Soekarno saat Dies Natalis PTIK, 57 tahun yang lalu benar-benar ucapan yang legendaris. Dalam acara Dies Natalis yang diselenggarakan di Kampus Jalan Tambak, Jakarta Pusat, antara lain dihadiri oleh Perdana Menteri Juanda, Kepala Kepolisian Negara yang saat itu dijabat oleh R.S. Sukanto Tjokrodiatmodjo, Ketua Dewan Guru Besar Profesor Djokosutono dan Ketua Dewan Kurator Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Saat itu, kebetulan Wik Djatmika, yang setia sebagai staf pengajar di PTIK sampai akhir hayatnya, bulan April 2013 lalu, berdiri persis di belakang Presiden bersama ajudan Presiden, Letkol Sugandi dan mencatat semua yang dikatakan oleh Presiden Soekarno.
Jika kita simak apa yang disimpulkan tentang Gajahmada oleh Bung Karno, sebenarnya itulah semangat yang diharapkan sampai saat ini melekat pada seluruh anggota Polri. Setia kepada Negara dan pimpinannya, bukan berarti kepada individu pimpinan negara, tetapi kepada Presiden sebagai Kepala Negara yang secara konstitusional diberi mandat untuk memimpin negara ini menuju cita-cita pendiri bangsa, mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Mengenyahkan musuh negara dan musuh masyarakat, artinya mampu mewujudkan keamanan dan memberikan rasa aman bagi masyarakat. Kerja keras, rame ing gawe, inilah kinerja yang diharapkan oleh masyarakat, sesuai tugas pokok Polri, sebagai pemelihara keamanan, penegak hukum, serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Serta sepi in pamrih, Polri memang harus independen, tidak memihak pada kepentingan atau kelompok tertentu, karena yang harus diutamakan adalah kepentingan masyarakat.
Harapan tersebut, secara formal telah dinyatakan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Pada pasal 4 telah ditegaskan, bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Keamanan dalam negeri atau yang biasa disebut dengan akronim Kamdagri merupakan tujuan dari dibentuknya Polri. Persis dengan ucapan Bung Karno ketika mempresentasikan karakter dari Gajahmada, Hanayaken Musuh, mengenyahkan musuh Negara dan musuh masyarakat.
***

Makna dari mewujudkan Kamdagri adalah ukuran yang dijadikan patokan masyarakat untuk menilai apakah Polri berhasil atau tidak. Bagi masyarakat ukuran keamanan dalam negeri adalah jika kemana-mana merasa aman, tidak ada konflik, bisa beraktivitas dengan normal, serta secara psikologis jikia bertemu dengan polisi merasa terayomi. Ukuran ini tentu saja berbeda dengan ukuran internal Polri, yang menjadikan indikator keberhasilan dari sini tercapainya target-target yang sudah dicanangkan. Lain lagi penilaian yang dilakukan oleh Pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB). Kementerian ini melihat keberhasilan dari kaca-mata good governance yang sarat dengan indikator administratif. Lembaga Swadaya Masyarakat lain lagi menilainya, karena latar belakang kepentingan akan mempengaruhi cara menentukan ukuran keberhasilan.
Alhasil keberhasilan Polri dalam mewujudkan Kamdagri selalu menjadi polemik yang tidak pernah akan habis. Beberapa lembaga survei secara rutin melakukan penilaian terhadap Polri. Salah satunya adalah Harian Kompas. Jajak pendapat yang dilakukan oleh Harian Kompas, selama satu dasawarsa menunjukkan penilaian publik terhadap citra positif kepolisian terus berubah. Jajak pendapat Kompas merekam penilaian terburuk terhadap citra Polri diberikan publik pada masa-masa awal kemandirian Polri. Saat itu hanya 26,6 persen responden yang memberi penilaian positif terhadap citra Polri. Tahun 2009, proporsi publik yang menilai positif meningkat dan mencapai titik tertinggi. Ketika itu 57,1 persen responden menyatakan citra Polri positif. Berbagai prestasi diukir terutama perannya dalam mengungkap kasus terorisme. Jajak pendapat oleh Harian Kompas juga menyebutkan, pada Tahun 2012, ketika usia Polri mencapai 66 tahun dan saat pengungkapan kasus terorisme juga mulai berkurang, penilaian terhadap citra positif Polri semakin turun. Hanya 46,1 persen responden jajak pendapat ini memberi nilai positif terhadap citra Polri. Proporsi yang lebih besar, yakni 49,3 persen, menyatakan citra Polri buruk. Masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian yang dilakukan oleh Harian Kompas menilai, tubuh Polri telah dikotori oleh sikap dan perilaku aparat Polri yang mengingkari pedoman dasar pelaksanaan profesi polisi yang tercantum di dalam Tribrata Polri.
Ini artinya ketika Polri ingin menunjukkan keberhasilan akan tugasnya, yaitu dalam mewujudkan Kamdagri, akan banyak cermin yang bisa dicapai. Mana yang paling obyektif ? Menjadi sulit untuk menyimpulkan karena banyaknya latar belakang dari para “juri” untuk menentukan patokan ukuran keberhasilan. Maka yang dilakukan Polri adalah selalu nmeraba-raba, apa yang dimaui masyarakat. Sementara karena banyaknya pengaruh atas indikator tersebut, kesannya menjadi Polri selalu buruk nilainya. Tentu saja situasi ini tidak menguntungkan bagi Polri yang sudah bekerja keras untuk memenuhi harapan masyarakat mewujudkan Kamdagri. Seolah yang dilakukan oleh anggota Polri yang berjumlah hampir 400 ribu anggota sia-sia. Padahal, jujur saja, sebenarnya masyarakat sangat bergantung pada kinerja Polri yang tak kenal lelah untuk selalu menciptakan keamanan dan memberikan rasa aman.

***
Secara normatif, keberhasilan kinerja Polri di bidang pemeliharaan Kamtibmas, dilihat dari upaya Polri mewujudkan suatu kondisi dinamis masyarakat sehingga terselenggaranya proses pembangunan nasional yang ditandai dengan terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.
Tetapi secara praktis, keberhasilan tersebut akan sangat tergantung dari apa yang dirasakan oleh masyarakat. Baik-buruknya Polri memang pada akhirnya sangat tergantung dari bagaimana masyarakat memberikan penilaian. Maka ketika Kamdagri menjadi ukuran keberhasilan Polri, mau tak mau ukuran relatif harus dikedepankan agar penilaian menjadi obyektif. Keamanan dalam negeri disebut sebagai situasi wilayah yang relatif kondusif, gangguan kamtibmas terkendali, serta tercegah dan tertanggulanginya berbagai konflik. Dengan melihat pada pemahaman ini, maka keberhasilan Polri akan juga sangat tergantung dari kontribusi instansi lain dan masyarakat. Sehingga sangat masuk akal ketika program revitalisasi Polri dicanangkan, sinergi polisional menjadi salah satu andalan untuk pencapaian kinerja Polri yang diharapkan oleh masyarakat. Sinergi Polisional adalah kebersamaan antar unsur dan komponen negara dan masyarakat dalam mengambil langkah mengatasi potensi gangguan keamanan.
Dengan demikian pada akhirnya harus disadari bahwa Kamdagri akan sangat ditentukan oleh partisipasi aktif dari segenap komponan, termasuk partisipasi masyarakat. Agar partisipasi tersebut bisa secara tulus diberikan oleh masyarakat, tentu saja harus diawali oleh Polri dengan sikap yang transparan dan akuntabel, karena inilah modal utama agar dapat dipercaya masyarakat. Syarat untuk bisa transparan dan akuntabel adalah mau kerja keras dan tidak memihak. Senada dengan yang diucapkan oleh Presiden Soekarno tentang Mahapatih Gajadmada, yaitu rame ing gawe serta semi ing pamrih. Jadi kesimpulannya, dalam rangka mewujudkan Kamdagri yaitu menciptakan keamanan dan rasa aman, dilakukan dengan mengeyahkan musuh negara musuh masyarakat, namun usaha ini akan dapat dirasakan apabila Polri juga dicintai dan dipercaya oleh rakyatnya. Polri yang dicintai dan dipercaya adalah bukti bahwa Kamdagri dirasakan oleh masyarakat. (A. Wahyurudhanto, redaktur pelaksana Jurnal Studi Kepolisian)

·      Tulisan ini sudah dimuat di Jurnal Studi Kepolisian, Edisi 080, Juni 2013.

Tidak ada komentar: