Timbangan Buku :
Belajar Dasar-dasar Polisi Modern dari Sejarah Polisi Zaman Kolonial
Judul
: Polisi Zaman Hindia
Belanda. Dari Kepedulian dan Ketakutan
Judul asli : De Geschiedenis van de politie in Nederlands-Indië: Uit zorg en angst
Penulis : Marieke Bloembergen
Penerjemah : Tristam P. Moeliono (penyelia)
Penerbit : Penerbit Buku Kompas dan KITLV-Jakarta
Cetakan : I, Januari 2011
Tebal : xliv + 539 hlm
ISBN : 978-979-709-544-4
Judul asli : De Geschiedenis van de politie in Nederlands-Indië: Uit zorg en angst
Penulis : Marieke Bloembergen
Penerjemah : Tristam P. Moeliono (penyelia)
Penerbit : Penerbit Buku Kompas dan KITLV-Jakarta
Cetakan : I, Januari 2011
Tebal : xliv + 539 hlm
ISBN : 978-979-709-544-4
Setiap tanggal 1 Juli keluarga besar Polri selalu
memperingati Hari Bhayangkara. Banyak yang tidak tahu persis mengapa
tanggal 1 Juli yang ditetapkan sebagai
Hari Bhayangkara. Penulis yang mengajar di perguruan tinggi yang semua
mahasiswanya adalah polisi saja masih menemukan ada mahasiswa yang tidak bisa
menjawab pertanyaaan mengapa hari Bhayangkara diperingati pada tanggal 1 Juli.
Padahal ketika masih menjadi taruna di Akademi Kepolisian, sudah pasti sejarah
berdirinya polisi Indonesia dipelajari.
Mengapa justru tidak
pada tanggal 17 Agustus 1945, dimana bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan
negara Republik Indonesia, pada hari itulah sebenarnya eksistensi polisi ada di
negara ini. Karena, tidak lama setelah Jepang menyerah
tanpa syarat kepada Sekutu,
pemerintah militer Jepang membubarkan Peta dan Gyu-Gun, sedangkan polisi tetap
bertugas, termasuk waktu Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945. Jadi memang pada tanggal tersebut secara resmi kepolisian menjadi
kepolisian Indonesia yang merdeka.
Jawaban mengapa tanggal 1 Juli, karena pada tanggal itulah ditetapkannya
PenPres No. 11/SD tahun 1946
yang mengatur posisi Jawatan
Kepolisian Negara RI berdiri sendiri langsung di bawah Perdana Menteri,
di mana RS. Soekanto tetap
menjabat Pimpinan Polri yang saat itu disebut Kepala Kepolisian Negara. Tanggal
inilah yang kemudian ditetapkan dengan resmi sebagai hari kelahiran Kepolisian
Negara Republik Indonesia, sebagai Hari Bhayangkara sesuai dengan pidato
Kapolri dalam pidatonya tanggal 1 Juli 1979, sebagai tanda berdirinya
kepolisian nasional.
Wikimedia menulis, sejarah nama Bhayangkara dan kelahiran
polisi Indonesia diawali pada zaman Kerajaan Majapahit patih Gajah Mada
membentuk pasukan pengamanan yang disebut dengan Bhayangkara yang
bertugas melindungi raja
dan kerajaan.
Pada masa kolonial Belanda, pembentukan pasukan keamanan diawali oleh
pembentukan pasukan-pasukan jaga yang diambil dari orang-orang pribumi untuk
menjaga aset dan kekayaan orang-orang Eropa di Hindia
Belanda pada waktu itu. Pada tahun 1867 sejumlah warga Eropa di Semarang,
merekrut 78 orang pribumi untuk menjaga keamanan mereka. Wewenang operasional
kepolisian ada pada residen yang dibantu asisten residen. Rechts politie dipertanggungjawabkan pada procureur generaal (jaksa agung). Pada masa Hindia
Belanda terdapat bermacam-macam bentuk kepolisian, seperti veld politie (polisi
lapangan) , stands politie (polisi
kota), cultur politie (polisi pertanian), bestuurs
politie (polisi pamong praja), dan lain-lain.
Sejalan dengan administrasi negara waktu itu, pada kepolisian
juga diterapkan pembedaan jabatan bagi bangsa Belanda dan pribumi. Pada
dasarnya pribumi tidak diperkenankan menjabat hood agent (bintara), inspekteur
van politie, dan commisaris van
politie. Untuk pribumi selama menjadi agen polisi diciptakan jabatan
seperti mantri polisi, asisten wedana, dan wedana polisi. Kepolisian modern Hindia
Belanda yang dibentuk antara tahun 1897-1920 adalah merupakan cikal bakal
dari terbentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia saat ini.
Untuk mengetahui mengenai sejarah kepolisian Indonesia, buku
karangan Marieke Bloembergen yang berjudul : Polisi Zaman Hindia Belanda. Dari
Kepedulian dan Ketakutan merupakan referensi yang sangat tepat. Marieke
Bloembergen adalah sejarawan yang bekerja sebagai peneliti di Lembaga Kajian
Asia Tenggara dan Karibia (KITLV) di Leiden, Belanda. Dalam buku terjemahan dari bahasa Belanda
setebal 500 halaman lebih itu Marieke membeberkan tentang rekam jejak polisi di
Hindia Belanda sejak awal pembentukannya pada 1897 sampai keruntuhan negara
kolonial pada 1942. Menurutnya, polisi di Hindia Belanda merupakan produk
langsung dari ketakutan dan kepedulian. Sejak 1870 masyarakat Eropa mulai
membanjiri dan menetap di Hindia Belanda. Mereka merasa was-was karena
bagaimana pun mereka tinggal di sebuah negeri asing di mana masyarakat di
sekeliling mereka punya budaya dan pemahaman lain atas komunitas kulit putih.
Ketakutan
Dalam kesimpulannya, penulis buku menyebutkan bahwa
kepolisian kolonial modern terbentuk dan berkembang dilatarbelakangi ketakutan
– kecemasan dan perhatian ataupun kepedulian pemerintah akan tugasnya mengayomi
rakyat. Ketakutan – kecemasan, terutama dari bangsa Eropa, menjadi benang merah
diskusi berkelanjutan yang muncul dan tenggelam di lingkungan pemerintahan dan
rakyat banyak sejak 1870. Ketakutan tersebut dipicu oleh gejolak sosial –
politik atau pemberontakan lokal yang bernuansa religius. Disebutnya sebagai
contoh, pemberontakan rasial di Banten pada tahun 1988 dan di Gedangan pada
tahun 1904. Kemudian pemberontakan nasionalisme Tionghoa dan pergerakan setelah
1900, kemudian munculnya revolusi tahun 1918 dan pemberontakan komunisme tahun
1926.
Jadi sebenarnya persoalan masa lalu yang dihadapi oleh
polisi, relatif sama dengan yang dihadapi sekarang ini. Konflik yang selalu
terjadi dengan latar belakang agama, ras, ideologi, maupun ekonomi, itulah yang
terjadi sekarang. Hanya bedanya pada masa lalu polisi punya peran sentral dalam
mengatasi hal ini, tetapi sekarang seolah-olah polisi dinilai tidak mampu,
sehingga perlu bantuan dari militer. Pertanyaannya, apakah memang tidak mampu atau
memang dibuat tidak mampu. Dengan membaca buku ini kita bisa merasakan
bagaimana eksistensi polisi secara gradual terus-menerus dibuat menurun.
Marieke secara cerdas menulis, perlawanan kaum pribumi
terhadap otoritas kolonial sebagaimana terjadi pada 1888 di Banten dan
sebelumnya pada 1854 menjadi catatan tersendiri buat pemerintah kolonial untuk
mendirikan sebuah organisasi kepolisian modern untuk menjaga kepentingan dan
keberadaan mereka di Hindia Belanda. Kemunculan politik etis dan terciptanya
golongan elit pribumi yang menginisiasi gerakan nasionalisme di Hindia Belanda
mendorong pemerintah kolonial lebih aktif memodernisasi kepolisiannya. Selain
sebagai penjaga keamanan juga untuk “mewujudkan gagasan bahwa urusan keamanan
adalah bagian penting dari kewajiban (penyelenggaraan) negara sekalipun dengan
segala cara tetap ingin mempertahankan status quo kolonial.”
Hal ini jika kita kaitkan dengan konteks sekarang sangatlah
aktual. Kritik terhadap negara saat ini adalah perasaan masyarakat yang tidak
bisa dibohongi telah mengalami keadaaan negara kurang memberikan akan rasa aman
dan keamanan. Kritik yang walau kesannya dibesar-besarkan oleh media, menyatakan
negara seolah-olah melakukan pembiaran. Kritik ini sebenarnya menyadarkan kita
akan peran negara sebagai penjaga keamanan. Polisi sebagai aparat negara
bertugas untuk urusan ini. Itulah posisi sebenarnya, yang sekarang terasa
seolah-oleh menjadi “rebutan” banyak pihak. Pemisahan Polri dan TNI pada era
reformasi sebenarnya adalah langkah untuk menerapkan sesuatu seuai proporsinya.
Tetapi ketika Polres OKU di Sumatera Selatan beberapa waktu lalu diserbu oleh
militer, opini yang dimunculkan adanya karena keirian penghasilan. Mengapa isu
ini muncul, karena politisasi kinerja polisi sampai sekarang tak pernah
berhenti.
Perseteruan antara polisi dan tentara juga pernah terjadi
pada masa kolonial. Kisah keributan antara polisi (dalam hal ini polisi lalu lintas)
dengan para prajurit di Surabaya pada bulan Oktober 1919. Masalah berawal pada
Sabtu malam, 13 Oktober 1919. Ketika dua puluh prajurit meninggalkan
rumah judi Tionghoa di sebuah pasar malam, mereka ’bersenggolan’ dengan polisi
lalu lintas di Boengoenan. Para anggota polisi itu terdiri dari seorang hoofdagent
(bintara) Eropa dan empat agent Jawa. Kemungkinan para polisi itu tidak hanya
mengawasi lalu lintas tapi juga keramaian tersebut. Namun, penyebab
perselisihan mereka tidak jelas. Bisa saja karena persaingan antara polisi dan
tentara. Buntut peristiwa itu mereka pun saling serang. Klewang, bayonet,
revolver hingga batu jadi senjata (hal.165). Peristiwa keributan antara polisi
dan tentara ini tidak hanya terjadi di Surabaya, di kota lain seperti Batavia
dan Semarang juga terjadi (hal.166)
Dalam buku ini, Marieke menulis pemerintah kolonial pun
memikirkan fungsi sosial lain dari kepolisian. Ia harusnya mampu menjaga
ketertiban masyarakat; memastikan masyarakat tetap patuh pada peraturan
pemerintah; dan memuaskan kebutuhan masyarakat akan rasa aman. Kepolisian di
Hindia Belanda dibentuk sebagai tanggapan dari negeri induk terhadap persoalan
bagaimana memelihara dan menjaga keamanan di negara koloni. Ironisnya, ketika
lembaga kepolisian ini dibentuk, tak ada seorang pribumi pun yang dimintai
masukan tentang bagaimana seharusnya kepolisian bekerja. Menurut Marieke,
ketika 1930 anggota kepolisian mencapai jumlah terbesarnya, yakni 54 ribu
personel, 96 persen di antaranya justru berasal dari golongan pribumi. Sebagian
besar dari mereka, kecuali anak bupati yang diberi previlese sebagai petinggi
polisi, menempati posisi sebagai anggota terendah dalam struktur kepolisian
yang hierarkis.
Pada 1860, pejabat tinggi kolonial di Hindia Belanda
melontarkan kritik pedas pada kinerja kepolisian yang tak sanggup memelihara
keamanan dan ketertiban di kalangan masyarakat. Menanggapi kritik demikian
pemerintah kolonial pun mendirikan sebuah komisi kepolisian yang memiliki tugas
menelaah dan mencari jalan keluar agar ada perbaikan pada mutu kerja
kepolisian. Apa yang terjadi pada zaman itu mengingatkan kita pada pembentukan
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang didirikan pada 1 Juni 2006. Tugas
Kompolnas pun mirip-mirip dengan komisi kepolisian yang dibentuk pada zaman kolonial,
yakni berupaya meningkatkan kinerja kepolisian Indonesia melalui masukan dan
saran kepada Presiden RI.
Pada zaman kolonial, sebagaimana temuan Marieke, ternyata
polisi pun ambil urusan menangani soal-soal akhlak. Pada 1937, atas permintaan
dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda A.W.L. Tjarda van Starkenborgh
Stachouwer, polisi mengadakan penyelidikan perkara homoseksualitas yang marak
terjadi di kalangan pejabat tinggi pemerintah. Perintah gubernur kepada polisi
itu didahului oleh sebuah surat dari Christelijke Staaprtij (CSP) yang melihat
telah banyak dosa yang dibuat para pejabat tinggi karena menjalankan aktivitas
homoseksual. Kepolisian kolonial pun menebar agen reserse untuk menangkap
homoseksual dan memenjarakan mereka.
Reorganisasi
Dalam perkembangannya, seperti diuraikan dalam buku yang
tersusun dari sepuluh bagian secara kronologis ini, terbukti korps polisi masa
kolonial memiliki sejarah yang panjang dan menarik. Misalnya dalam perekrutan
anggota korps gewapende politie (polisi bersenjata) tahun 1890-an
berdasarkan pada ras, agama dan asal-usul. Di mata pemerintah, orang-orang dari
Ambon dan Menado adalah calon ideal dibandingkan suku lain (hal.81) Ironisnya,
para anggota polisi bersenjata ini memiliki citra negatif di mata rakyat karena
kerap melakukan teror. Dengan kata lain lebih banyak unsur represifnya
dibandingkan preventif (hal.83)
Pada 1911 diadakan reorganisasi kepolisian di beberapa kota
besar seperti Batavia, Semarang dan Surabaya. Tujuannya merapikan organisasi
kepolisian dengan membuat struktur komando dan kepangkatan yang sistematis
(hal.100). Ini seperti dilakukan pada saat ini melalui Perpres Nomor 52 Tahun
2010, dimana pada masa tertentu memang diperlukan reorganisasi ketika tantangan
tugas telah secara dinamis berubah. Hanya pada saat ini yang dirasakan, belum
lama dilakukan reorganisasi sudah muncul wacana ada yang kurang tepat, sehingga
muncul upaya untuk ada perbaikan lagi. Jadi kesannya reorganisasi seperti
tambal sulam saja.
Dibentuknya korps kepolisian pada masa kolonial itu juga
merupakan jawaban atas ciri masalah kolonial: pergulatan sebuah negeri kolonial
yang ingin beradab tapi legitimasinya terkikis dan untuk tetap
mempertahankannya terpaksa harus bersandar pada kekerasan. Penelitian sejarawan
alumnus Universiteit van Amsterdam itu berhasil memberikan gambaran yang jelas
tentang asal-usul lembaga kepolisian modern di Hindia Belanda sekaligus
memberikan dasar pengetahuan holistik untuk memahami bentuk dan kinerja
kepolisian Indonesia di masa sekarang.
Dengan membaca buku ini kita disadarkan bahwa keinginan
membangun polisi modern sebenarnya sudah berlangsung sejak zaman kolonial.
Gagasan membentuk kepolisian modern, yaitu kepolisian yang beradab, efektif,
serta profesional, sejak masa itu sudah dianggap sebagai solusi untuk mengatasi
permasalahan keamanan. Dalam masa sekarang semangat itu disebut sebagai
pemolisian demokratiss. Jadi dari buku ini kita bisa banyak belajar mengenai
pemikiran-penikiran yang sekarang sedang gencar-cencarnya diwacanakan. Kesimpulannya,
sejak zaman kolonial posisi polisi sebagai pengayom memang sudah kental, dan
itulah dasar bagi pemolisian modern. (A.Wahyurudhanto,
dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian
– PTIK.)
· Tulisan
ini sudah dimuat di Jurnal Studi Kepolisian, Edisi 079, April 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar