Pemolisian Demokratis
Polisi di negara
manapun berwajah ganda. Selain ancaman, juga dapat menjadi pengawal bagi proses
demokrasi dan demokratisasi. Polisi mengancam karena kewenangannya, ia dapat
melakukan kekerasan dan pemaksaan atas nama negara.
(Anneke Osse, 2007).
Polisi, dibenci tetapi juga dirindukan.
Suatu pernyataan yang sampai sekarang bisa kita rasakan kenyataannya. Kehadiran
polisi di satu sisi dibutuhkan, tetapi di sisi lain, kehadiran polisi justru
dianggap sebagai masalah. Akibatnya, kinerja polisi selalu dinilai dari sisi
masyarakat. Walau kondisi ini logis, tetapi dalam konteks masyarakat Indonesia
saat ini dengan frekuensi dinamika sosial politik yang intensitasnya sangat
tinggi, penilaian tersebut sering menimbulkan debat berkepanjangan. Pro dan
kontra adalah wajar terhadap suatu penilaian. Tetapi bagi polisi penilaian yang
selalu memberikan nilai terpuruk tentu menjadi persoalan tersendiri.
Oleh karena itu dalam Grand Strategy Polri yang didisain untuk
strategi kinerja tahun 2005 – 2015, membangun kepercayaan ditetapkan sebagai
strategi tahap pertama. Baru pada tahap kedua adalah membangun kemitraan, dan
menuju keunggulan merupakan strategi tahap ketiga. Menempatkan trust building atau membangun
kepercayaan pada strategi tahap pertama bukannya tanpa alasan. Dalam berbagai
kajian, keberhasilan polisi selalu diawali dengan fondasi yang kuat, yaitu
kepercayaan masyarakat yang dilayaninya.
Maka dalam implementasinya pun kemudian
selalu diupayakan untuk selalu diselaraskan program-program Polri agar
memberikan impact langsung terhadap
upaya membangun kepercayaan. Sampai pada tahun 2010-1014, saat ini, ketika
sudah memasuki tahap kedua yaitu membangun kemitraan, tetap saja membangun
kepercayaan diupayakan untuk selalu berjalan beriringan. Polmas sebagai community policing ala Indonesia pun
dibangun dengan pemahaman filosofi bahwa keberhasilan penyelenggaraan
pemolisian akan sangat tergantung pada bagaimana masyarakat memberikan respons
melalui pemberdayaan dan keterlibatannya, yang sering diidentifikasi sebagai
bentuk partisipasi masyarakat. Maka konsepnya adalah pemolisian akan lebih
efektif dengan mengalihkan pendekatan konvensional ke pendekatan modern. Penerapan
Polmas menekankan upaya pemecahan masalah yang terkait dengan kejahatan dan ketidaktertiban
secara proaktif bersama-sama dengan masyarakat.
Mengutip Teori Strain yang dilontarkan
oleh Robert Merton, yang mengajarkan pada kita bahwa kejahatan muncul dari
masyarakat dan bisa diatasi oleh masyarakat. Karena teori tersebut berpendapat
bahwa dalam masyarakat ada yang suka berbuat jahat dan ada yang tidak suka
berbuat jahat. Maka mereka yang tidak suka akan kejahatan bisa diberdayakan
untuk menekan kejahatan yang muncul di lingkungannya. Sekarang persoalan yang
muncul, lalu dimana peran polisi ketika masyarakat juga bisa bertindak namun
masyarakat juga butuh polisi sebagai agen negara yang bertugas menjadi penjaga
ketertiban dan keamanan.
Polri sebagai institusi kepolisian di
Indonesia mempunyai pengalaman sejarah panjang yang sangat dinamis. Pernah
menjadi bagian dari militer ketika Kapolri berada di bawah Panglima Angkatan
Bersenjata RI, beserta tiga kepala staf lainnya. Namun dengan diberlakukannya
UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, inilah momentum
penting bagi Polri untuk menentukan jatidiri sebenarnya sebagai polisi dengan
tupoksi yang khas polisi. Polri seolah telah menemukan rumahnya sendiri. Tetapi
apakah benar Polri lalu bisa mandiri dalam menjalankan tugasnya. Ternyata
faktanya tidak, justru dalam perkembangannya kepercayaan yang menjadi andalan
Polri seringkali melemah. Kondisi ini persis seperti dikemukakan oleh Jones dan
Newburn (2002), bahwa ketika pemolisian publik mencari identitasnya, sementara
pada saat yang bersamaan organisasi polisi mengalami transformasi. Bahkan Bayley
dan Shearing (1996) mengatakan, lembaga berbasis masyarakat banyak menciptakan
keruntuhan dari monopoli polisi.
Kondisi inilah yang sekarang dialami
oleh Polri. Krisis kepercayaan masyarakat kini sangat terasa menerpa tubuh
Polri. Walau jika dikaji secara statistik, keberhasilan Polri masih layak untuk
ditampilkan. Angka komplain jika dibandingkan dengan jumlah pelayanan akan
menunjukkan status yang sangat tidak signifikan. Artinya, secara umum posisi
Polri sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat masih dominan. Inilah
yang kemudian memunculkan pendapat agar ada penguataan atas democratic policing atau pemolisian
demokratis. Jika community policing
dipergunakan sebagai filosofi dari kinerja polisi, maka democratic policing lebih pada tataran manajemen atau pengelolaan
kinerja polisi.
UU Nomor 2 Tahun 2002 menegaskan bahwa
salah satu tugas polisi adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
maka adalah suatu konsekuensi logis bahwa polisi dalam kinerjannya harus berada
di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, jika mengambil logika ini ini,
pemolisian demokratis adalah bagaimana polisi dalam kinerjanya mampu
bertanggung-jawab atas kaidah-kaidah demokratis yang merupakan tututan dari
masyarakat. Sehingga tidak salah jika
Kompolnas dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 2008 sudah menyimpulkan
bahwa indikator pemolisian demokratis adalah : perlindungan kehidupan politik
demokratis, supremasi hukum dan pelayanan demokratis, akuntabilitas, Perlindungan
HAM, pemolisian masyarakat, serta organisasi dan manajemen kepolisian yang
mamadai. Hal ini didasari pada pemahaman bahwa demokratis adalah tuntutan universal proses politik yang
didasarkan pada prinsip-prinsip akuntabilitas publik sebagai bentuk pertanggungjawaban
kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
Pemolisian demokratis oleh Polri ujungnya
adalah kesiapan Polri dalam rangka memberikan rasa aman dan jaminan keamanan
bagi warga negara. Karena Polri adalah institusi agen negara. Sampai di sini
akan muncul perdebatan mengenai konteks memberikan rasa aman dan jaminan
keamanan. Harus diakui bahwa globalisasi
sebagai impuls utamanya, fenomena itu telah memporakporandakan kerangka lama
hubungan antar negara, dan secara berarti mengubah gravitasi politik domestik
negara-negara.
Bersama dengan kompleksitas politik
dalam negeri, semua itu mempengaruhi “keamanan nasional” (national security)
suatu negara. Sebab itu, masa transisi dari negara otoriter menuju negara demokrasi
memerlukan berbagai penataan ulang perundangan yang mengatur tentang
"keamanan nasional". Dalam konsep-konsep tradisional, para ilmuwan
biasanya menafsirkan keamanan - yang secara sederhana dapat dimengerti sebagai
suasana bebas dari segala bentuk ancaman bahaya, kecemasan, dan ketakutan -
sebagai kondisi tidak adanya ancaman fisik (militer) yang berasal dari luar.
Walter Lippmann (dalam Anggoro, 2003) merangkum kecenderungan ini dengan
pernyataannya yang terkenal yaitu, “suatu bangsa berada dalam keadaan aman
selama bangsa itu tidak dapat dipaksa untuk mengorbankan nilai-nilai yang
dianggapnya penting (vital).
Dalam konteks Indonesia, maka pemolisian
demokratis artinya juga harus diintepretasikan sebagai kemampuan polisi untuk
mampu menjaga kearifan lokal sebagai nilai penting yang dipunyai oleh
masyarakat Indonesia dengan segala keragamannya. Hal ini senada dengan yang
dikemukakan oleh David Bayley dalam bukunya Police
for The Future (1994). Dikemukakannya, agar dapat menjadi kepolisian demokratis,
tindakan polisi perlu mengacu pada empat norma, yakni: 1. memberi prioritas
pada pelayanan; 2. dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum; 3. melindungi HAM
terutama untuk jenis kegiatan politik; dan 4. transparan. Selain itu, kemampuan
memahami masyarakat dan dapat menahan diri atas sikap masyarakat yang
seringkali skeptis terhadap niat baik Polri adalah hal lain yang tidak kalah
pentingnya.
Kesimpulannya, dalam konteks Indonesia,
agar pemolisian demokratis mencapai hasil optimum, visi ke depan kemitraan
polisi dan komunitas perlu menggabungkan secara sinergis antara variabel
geografis, sosiokultural, dan bidang-bidang yang mengalami perubahan ekstrem di
tiap wilayah. Inilah yang merupakan pokok-pokok dari kearifan lokal, dimana
dalam kondisi ini dituntut penempatan personel yang mempunyai kemampuan dasar
dalam memahami koneksitas ketiga variabel tersebut. Untuk menciptakan
kepolisian yang cocok dengan masyarakatnya dan demokratis, polisi dapat
menunjukkan adanya kesetaraan antara masyarakat dengan kepolisian. Dengan
demikian maka prioritas pemolisian tidak hanya melihat dari sisi kepolisian
saja, melainkan juga melihat harapan dan keinginan masyarakat.
Gaya pemolisian tidak lagi hanya membawa
instruksi dari atasan yang bersifat reaktif atau menunggu laporan atau pengaduan
atau perintah, melainkan proaktif dan senantiasia menumbuhkan kreativitas, serta
mampu menciptakan inovasi – inovasi baru dalam menyelesaikan berbagai masalah
sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dalam bahasa populer sekarang ini disebut
terobosan kreatif atau creative
breakthrough. Jadi dalam rangka mendorong pemolisian demokratis, memang
dibutuhkan kecerdasan dalam mengelola kearifan lokal untuk melakukan praktik
pemolisian yang bisa diterima masyarakat, sehingga efek terbangunnya
kepercayaan masyarakat kepada polisi bisa terus bergulir tanpa henti. (A.
Wahyurudhanto, Redaktur Pelaksana
Jurnal Studi Kepolisian)
· Tulisan
ini sudah dimuat di Jurnal Studi Kepolisian, Edisi 078, Jan 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar