Minggu, 09 Maret 2014

File Artikel : Pemolisian Demokratis



 Pemolisian Demokratis

Polisi di negara manapun berwajah ganda. Selain ancaman, juga dapat menjadi pengawal bagi proses demokrasi dan demokratisasi. Polisi mengancam karena kewenangannya, ia dapat melakukan kekerasan dan pemaksaan atas nama negara.
(Anneke Osse, 2007).

Polisi, dibenci tetapi juga dirindukan. Suatu pernyataan yang sampai sekarang bisa kita rasakan kenyataannya. Kehadiran polisi di satu sisi dibutuhkan, tetapi di sisi lain, kehadiran polisi justru dianggap sebagai masalah. Akibatnya, kinerja polisi selalu dinilai dari sisi masyarakat. Walau kondisi ini logis, tetapi dalam konteks masyarakat Indonesia saat ini dengan frekuensi dinamika sosial politik yang intensitasnya sangat tinggi, penilaian tersebut sering menimbulkan debat berkepanjangan. Pro dan kontra adalah wajar terhadap suatu penilaian. Tetapi bagi polisi penilaian yang selalu memberikan nilai terpuruk tentu menjadi persoalan tersendiri.
Oleh karena itu dalam Grand Strategy Polri yang didisain untuk strategi kinerja tahun 2005 – 2015, membangun kepercayaan ditetapkan sebagai strategi tahap pertama. Baru pada tahap kedua adalah membangun kemitraan, dan menuju keunggulan merupakan strategi tahap ketiga. Menempatkan trust building atau membangun kepercayaan pada strategi tahap pertama bukannya tanpa alasan. Dalam berbagai kajian, keberhasilan polisi selalu diawali dengan fondasi yang kuat, yaitu kepercayaan masyarakat yang dilayaninya.
Maka dalam implementasinya pun kemudian selalu diupayakan untuk selalu diselaraskan program-program Polri agar memberikan impact langsung terhadap upaya membangun kepercayaan. Sampai pada tahun 2010-1014, saat ini, ketika sudah memasuki tahap kedua yaitu membangun kemitraan, tetap saja membangun kepercayaan diupayakan untuk selalu berjalan beriringan. Polmas sebagai community policing ala Indonesia pun dibangun dengan pemahaman filosofi bahwa keberhasilan penyelenggaraan pemolisian akan sangat tergantung pada bagaimana masyarakat memberikan respons melalui pemberdayaan dan keterlibatannya, yang sering diidentifikasi sebagai bentuk partisipasi masyarakat. Maka konsepnya adalah pemolisian akan lebih efektif dengan mengalihkan pendekatan konvensional ke pendekatan modern. Penerapan Polmas menekankan upaya pemecahan masalah yang terkait dengan kejahatan dan ketidaktertiban secara proaktif bersama-sama dengan masyarakat.
Mengutip Teori Strain yang dilontarkan oleh Robert Merton, yang mengajarkan pada kita bahwa kejahatan muncul dari masyarakat dan bisa diatasi oleh masyarakat. Karena teori tersebut berpendapat bahwa dalam masyarakat ada yang suka berbuat jahat dan ada yang tidak suka berbuat jahat. Maka mereka yang tidak suka akan kejahatan bisa diberdayakan untuk menekan kejahatan yang muncul di lingkungannya. Sekarang persoalan yang muncul, lalu dimana peran polisi ketika masyarakat juga bisa bertindak namun masyarakat juga butuh polisi sebagai agen negara yang bertugas menjadi penjaga ketertiban dan keamanan.
Polri sebagai institusi kepolisian di Indonesia mempunyai pengalaman sejarah panjang yang sangat dinamis. Pernah menjadi bagian dari militer ketika Kapolri berada di bawah Panglima Angkatan Bersenjata RI, beserta tiga kepala staf lainnya. Namun dengan diberlakukannya UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, inilah momentum penting bagi Polri untuk menentukan jatidiri sebenarnya sebagai polisi dengan tupoksi yang khas polisi. Polri seolah telah menemukan rumahnya sendiri. Tetapi apakah benar Polri lalu bisa mandiri dalam menjalankan tugasnya. Ternyata faktanya tidak, justru dalam perkembangannya kepercayaan yang menjadi andalan Polri seringkali melemah. Kondisi ini persis seperti dikemukakan oleh Jones dan Newburn (2002), bahwa ketika pemolisian publik mencari identitasnya, sementara pada saat yang bersamaan organisasi polisi mengalami transformasi. Bahkan Bayley dan Shearing (1996) mengatakan, lembaga berbasis masyarakat banyak menciptakan keruntuhan dari monopoli polisi.
Kondisi inilah yang sekarang dialami oleh Polri. Krisis kepercayaan masyarakat kini sangat terasa menerpa tubuh Polri. Walau jika dikaji secara statistik, keberhasilan Polri masih layak untuk ditampilkan. Angka komplain jika dibandingkan dengan jumlah pelayanan akan menunjukkan status yang sangat tidak signifikan. Artinya, secara umum posisi Polri sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat masih dominan. Inilah yang kemudian memunculkan pendapat agar ada penguataan atas democratic policing atau pemolisian demokratis. Jika community policing dipergunakan sebagai filosofi dari kinerja polisi, maka democratic policing lebih pada tataran manajemen atau pengelolaan kinerja polisi.
UU Nomor 2 Tahun 2002 menegaskan bahwa salah satu tugas polisi adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, maka adalah suatu konsekuensi logis bahwa polisi dalam kinerjannya harus berada di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, jika mengambil logika ini ini, pemolisian demokratis adalah bagaimana polisi dalam kinerjanya mampu bertanggung-jawab atas kaidah-kaidah demokratis yang merupakan tututan dari masyarakat.  Sehingga tidak salah jika Kompolnas dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 2008 sudah menyimpulkan bahwa indikator pemolisian demokratis adalah : perlindungan kehidupan politik demokratis, supremasi hukum dan pelayanan demokratis, akuntabilitas, Perlindungan HAM, pemolisian masyarakat, serta organisasi dan manajemen kepolisian yang mamadai. Hal ini didasari pada pemahaman bahwa demokratis adalah  tuntutan universal proses politik yang didasarkan pada prinsip-prinsip akuntabilitas publik sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
Pemolisian demokratis oleh Polri ujungnya adalah kesiapan Polri dalam rangka memberikan rasa aman dan jaminan keamanan bagi warga negara. Karena Polri adalah institusi agen negara. Sampai di sini akan muncul perdebatan mengenai konteks memberikan rasa aman dan jaminan keamanan. Harus diakui bahwa  globalisasi sebagai impuls utamanya, fenomena itu telah memporakporandakan kerangka lama hubungan antar negara, dan secara berarti mengubah gravitasi politik domestik negara-negara.
Bersama dengan kompleksitas politik dalam negeri, semua itu mempengaruhi “keamanan nasional” (national security) suatu negara. Sebab itu, masa transisi dari negara otoriter menuju negara demokrasi memerlukan berbagai penataan ulang perundangan yang mengatur tentang "keamanan nasional". Dalam konsep-konsep tradisional, para ilmuwan biasanya menafsirkan keamanan - yang secara sederhana dapat dimengerti sebagai suasana bebas dari segala bentuk ancaman bahaya, kecemasan, dan ketakutan - sebagai kondisi tidak adanya ancaman fisik (militer) yang berasal dari luar. Walter Lippmann (dalam Anggoro, 2003) merangkum kecenderungan ini dengan pernyataannya yang terkenal yaitu, “suatu bangsa berada dalam keadaan aman selama bangsa itu tidak dapat dipaksa untuk mengorbankan nilai-nilai yang dianggapnya penting (vital).
Dalam konteks Indonesia, maka pemolisian demokratis artinya juga harus diintepretasikan sebagai kemampuan polisi untuk mampu menjaga kearifan lokal sebagai nilai penting yang dipunyai oleh masyarakat Indonesia dengan segala keragamannya. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh David Bayley dalam bukunya Police for The Future (1994). Dikemukakannya, agar dapat menjadi kepolisian demokratis, tindakan polisi perlu mengacu pada empat norma, yakni: 1. memberi prioritas pada pelayanan; 2. dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum; 3. melindungi HAM terutama untuk jenis kegiatan politik; dan 4. transparan. Selain itu, kemampuan memahami masyarakat dan dapat menahan diri atas sikap masyarakat yang seringkali skeptis terhadap niat baik Polri adalah hal lain yang tidak kalah pentingnya.  
Kesimpulannya, dalam konteks Indonesia, agar pemolisian demokratis mencapai hasil optimum, visi ke depan kemitraan polisi dan komunitas perlu menggabungkan secara sinergis antara variabel geografis, sosiokultural, dan bidang-bidang yang mengalami perubahan ekstrem di tiap wilayah. Inilah yang merupakan pokok-pokok dari kearifan lokal, dimana dalam kondisi ini dituntut penempatan personel yang mempunyai kemampuan dasar dalam memahami koneksitas ketiga variabel tersebut. Untuk menciptakan kepolisian yang cocok dengan masyarakatnya dan demokratis, polisi dapat menunjukkan adanya kesetaraan antara masyarakat dengan kepolisian. Dengan demikian maka prioritas pemolisian tidak hanya melihat dari sisi kepolisian saja, melainkan juga melihat harapan dan keinginan masyarakat.
Gaya pemolisian tidak lagi hanya membawa instruksi dari atasan yang bersifat reaktif atau menunggu laporan atau pengaduan atau perintah, melainkan proaktif dan senantiasia menumbuhkan kreativitas, serta mampu menciptakan inovasi – inovasi baru dalam menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dalam bahasa populer sekarang ini disebut terobosan kreatif atau creative breakthrough. Jadi dalam rangka mendorong pemolisian demokratis, memang dibutuhkan kecerdasan dalam mengelola kearifan lokal untuk melakukan praktik pemolisian yang bisa diterima masyarakat, sehingga efek terbangunnya kepercayaan masyarakat kepada polisi bisa terus bergulir tanpa henti. (A. Wahyurudhanto, Redaktur Pelaksana Jurnal Studi Kepolisian)

·      Tulisan ini sudah dimuat di Jurnal Studi Kepolisian, Edisi 078, Jan 2013.

Tidak ada komentar: