Restorative Justice
Ubi societas ibi ius
(di mana ada
masyarakat, di situ ada hukum)
--- Cicero,
Filsuf Romawi Kuno (106-43 SM)
Sebelum tahun Masehi bergulir, seorang filsuf Romawi
Kuno sudah menyampaikan hal yang sampai kini masih aktual. Ubi societas ibi ius, demikian ucapannya yang sangat terkenal. Ucapannya
tersebut berarti bahwa setiap manusia, dimana pun berada akan selalu terikat
dengan aturan dan norma kehidupan. Dalam perkembangannya, hampir setiap negara
memberlakukan aturan untuk mengatur warga negaranya, termasuk Indonesia. Dalam
naskah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, pasal 1 ayat (3), dengan tegas
disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Artinya segala kegiatan
atau tindakan pemerintah ataupun rakyatnya didasarkan pada hukum untuk mencegah
adanya tindakan sewenang-wenang dari pemerintah (penguasa) dan untuk mengatur
kehidupan masyarakat. Demikian juga rakyat harus tunduk kepada hukum. Apabila
tindakannya melanggar hukum rakyat dapat diminta pertanggungjawaban secara
hukum.
Namun, seiring dengan perkembangan dinamika masyarakat
persoalan hukum telah menjadi bahasan yang sangat kompleks. Polri sebagai salah
satu penegak hukum, saat ini sarat dengan berbagai kritik. Banyak kasus yang
sering menjadi konsumsi media untuk menunjukkan langkah polisi yang dinilai
tidak bijak. Setidaknya, ada beberapa kasus yang berulang-ulang dijadikan
contoh, bagaimana kerja polisi yang “tidak pas”. Antara lain kasus Deli,
seorang pelajar SMP yang dituduh mencuri voucher sehingga harus menjalani
proses formil pidana sampai ke pengadilan. Kemudian kasus nenek Minah yang
dituduh mencuri dua biji kakao sehingga harus duduk di kursi
pesakitan dalam menjalani persidangan. Juga dalam beberapa kali pemberitaan
selalu menjadi contoh potret polisi dalam mengambil keputusan, yaitu kasus
nenek Rasmiah yang dituduh mencuri sop buntut dan piring majikannya yang
kemudian harus berujung di meja hijau.
Dari berbagai kejadian inilah, maka kini terus
diwacanakan untuk dikembangkan pendekatan restorative
justice. Konsep pendekatan restorative
justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada
kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta
korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada
pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan
kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi
pihak korban dan pelaku.
***
Dalam implementasinya, restorative justice selalu
menjadi perdebatan antara ahli hukum yang berperspektif legal-konvensional dan
yang berperspektif legal-sosiologis. Profesor Satjipto Rahardjo almarhum
sebagai tokoh yang getol mempopulerkan hukum dengan prespektif legal-sosiologis
mengenalkan hukum progresif, yaitu tidak
menerima hukum sebagai institusi yang mutlak dan final, melainkan sangat
ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Hukum progresif
merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum modern yang sarat dengan
birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi suatu tipe hukum liberal.
Progresivisme (aliran hukum progresif) mengajarkan hukum bukan raja, tetapi
alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat
kepada dunia dan manusia. Progresivisme tidak ingin menjadikan hukum sebagai
teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral
kemanusiaan.
Esensi dari pemikiran Satjipto Rahardjpo sebenarnya
adalah hukum yang berkeadilan. Artinya tujuan hukum bukan semata-mata kepastian
hukum, tetapi bagaimana hukum bisa menjadi sarana untuk memberikan rasa
keadilan. Persoalan rasa tentu saja akan menyentuh kepada subyektifitas. Tetapi
bentuk subyektifitas yang bisa dirasakan oleh masyarakat sehingga kehadiran
para penegak hukum menjadikan masyarakat terasa terayomi, bukankah akan menjadi
tetesan embun yang akan membuat hati menjadi dingin. Polri sendiri secara tegas
dalam tugas pokoknya menekankan peran sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.
Perdebatan antara legalistik-formal dengan
legalistik-sosiologis tentu saja akan terus berlanjut, tetapi menyikjapi
berbagai persoalan di Indonesia, rasanya harus mulai dipikirkan mengenai
efektifitas restorative justice
sebagai solusi untuk membangun “short cut”
dalam rangka memberikan efek rasa keadilan pada masyarakat. Sehingga, seperti
dikemukakan oleh para pemerhati konsep ini, yaitu agar hukum tidak menjadi
barang mati yang menunjukkan seorang benar atau salah, tetapi dapat memberikan
solusi agar melalui hukum orang dapat memperoleh keadilan, sehingga muncul
ketentraman hidup, dan sejatinya inilah landasan bagi terwujudnya keamanan dan
ketertiban masyarakat. Kalau kehidupan terasa tentram, maka dalam menjalani
dinamika kehidupan yang dirasakan adalah suasana aman. Inilah modal utama untuk
hadirnya ketertiban masyarakat,.
***
Dalam strategi kinerja kepolisian, sebenarnya Polri
telah menangkap adanya realitas kemampuan masyarakat untuk melakukan imunisasi
terhadap permasalahan sosial atau konflik yang timbul di lingkungannya. Masyarakat
(khususnya tingkat lokal) sebenarnya memiliki kapasitas tersendiri untuk
menyelesaikan permasalahan perilaku seseorang atau beberapa orang warganya yang
dianggap menyimpang atau melanggar pidana. Kapasitas itulah yang kita kenal
dengan sebutan ”peradilan adat” atau village justice (dorpsrechtspraak)
yang pada dasarnya merupakan upaya penduduk secara sukarela untuk menyelesaikan
permasalahannya kepada suatu badan yang diketuai oleh kepala desa, tetua atau
badan lain yang diakui dalam masyarakat.
Teer Haar (1948) menyebut setiap masyarakat lokal memiliki
kemampuan alami untuk menyelesaikan konflik atau sengketa yang mereka hadapi.
Namun sayang, kekayaan sosial ini dalam beberapa waktu terakhir ini jarang
dioptimalkan. Akibatnya seperti kita saksikan, konflik komunal dengan penyebab
masalah ideologi, agama, ras, maupun kepentingan ekonomi masih sering kita
jumpai, dan polisi pada akhirnya kewalahan sendiri untuk mengatasinya. Dan
korban sudah berjatuhan, maupun kerugian fisik yang jelas akan memakan biaya
untuk rehabilitasnya. Bahkan, yang belakangan ini terjadi, justru kantor polisi
yang jadi sasaran.
Dari sisi konsep, Polri sudah menerapkan apa yang
disebut Polmas atau Perpolisian Masyarakat. Dalam konteks pelaksanaan tugas Polri
telah dikembangkan dengan dua elemen minimal (dari berbagai elemen yang secara
teoritik dianjurkan oleh community policing) saja yakni kemitraan (partnership)
dan pemecahan masalah (problem solving). Bagi Polri, implementasi Polmas
bukan hal baru. Dalam Perkap Nomor 7 Tahun 2008 disebutkan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Polmas pada hakekatnya telah
diimplementasikan Polri berdasarkan konsep Sistem Keamanan Swakarsa dan
pembinaan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa melalui program-program fungsi
Bimmas yang sesuai dengan kondisi di Indonesia baik di masa lalu maupun di Era
Reformasi (demokrasi dan perlindungan HAM).
Pola-pola penyelesaian masalah masyarakat melalui adat
kebiasaan sudah umum diterapkan di dalam masyarakat tradisional, yang
kesemuanya merupakan pola-pola pemecahan masalah dan pencegahan serta pembinaan
ketentraman dan kerukunan masyarakat yang mendasarkan pada asas kemitraan,
kebersamaan dan keharmonisan di dalam masyarakat. Penerapan strategi Polmas
bagi Indonesia sangat tepat/cocok dengan budaya masyarakat Indonesia yang
mengedepankan kehidupan berkomunitas, gotong royong, keseimbangan (harmonis),
dan kepedulian serta mendahulukan kepentingan umum.
Dalam pola operasionalisasi Polmas, seperti disebutkan
dalam Perkap Nomor 7 Tahun 2008, adanya penegasan bahwa upaya penegakan hukum
lebih diutamakan kepada sasaran peningkatan kesadaran hukum daripada penindakan
hukum. Sedangka upaya penindakan hukum merupakan alternatif tindakan yang
paling akhir, bila cara-cara pemulihan masalah atau cara-cara pemecahan masalah
yang bersifat persuasif tidak berhasil. Konsep ini selaras dengan gagasan restorative justice dimana lebih
menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku
tindak pidana serta korbannya sendiri. Dengan demikian, implementasi Polmas
dalam rangka mewujudkan harkamtibmas sejatinya juga mendorong agar gagasan restorative justice bisa semakin menjadi
salah satu solusi untuk menjadikan Polri sebagai intitusi yang bermoral
kemanusiaan. (A. Wahyurudhanto)
· Tulisan
ini sudah dimuat di Jurnal Studi Kepolisian, Edisi 079, April 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar