Minggu, 09 Maret 2014

Timbangan Buku - Memahami Kearifan Lokal



Timbangan Buku

Memahami Kearifan Lokal sebagai Modal Utama

Judul Buku      : Memimpin dengan Nurani
Penulis             : Drs. Iskandar Hasan, SH, MH
ISBN               : 978-602-18291-0-3
Penerbit           : Lembaga Suar Galang Keadilan
Edisi                : Mei 2012
Tebal Buku      : xiii + 285 halaman.



Untuk menjamin terpeliharanya rasa aman, tertib dan tenteram dalam masyarakat, polisi dan warga masyarakat menggalang kemitraan untuk memelihara dan menumbuhkembangkan pengelolaan keamanan dan ketertiban lingkungan.  Kemitraan ini dilandasi norma-norma sosial dan/atau kesepakatan-kesepakatan lokal dengan tetap mengindahkan peraturan-peraturan hukum nasional yang berlaku dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kebebasan individu yang bertanggungjawab dalam kehidupan masyarakat yang demokratis.
Kemitraan, kesepakatan lokal, hukum  nasional, menjunjung tinggi HAM dalam kehidipan masyarakat yang demokratis, merupakan kata-kata kunci yang rasanya saat ini mutlak harus dijiwai oleh seluruh anggota Polri. Dalam pelaksanaan tugas, tak pelak lagi hal-hal tersebut menjadi menjadi modal dasar dalam penerapan tugas pokok dan fungsi Polri. Maka bagi anggota polisi bagaimana mengelola lokalitas dalam pelaksanaan tugas menjadi kunci keberhasilan, terutama bagi anggota Polri yang dipercaya oleh institusi ini untuk mengenman tugas sebagai penanggung jawab kewilayahan.
Hal itulah yang dilakukan Iskandar Hasan ketika mendapat kepercayaan untuk menjadi orang nomor satu di Polda Aceh. Pengalaman dan pemikirannya ketika menjabat sebagai Kapolda Aceh ternyata menyimpan banyak pelajaran. Masyarakat yang harus dilayani pada masa yang berbeda ternyata mempunyai karakter yang berbeda karena situasi politik. Membandingkan langsung Aceh yang saya kenal lima belas tahun lalu dengan kondisi saat ini ketika saya kembali ke Aceh sebagai Kapolda adalah seperti membandingkan bumi dan langit. Kelompok yang sebelumnya pada saat konflik ada pada sisi yang berlawanan dengan pemerintah, sekarang telah menjadi ‘sejalan’ paska berhembusnya angin perdamaian dengan ditandatanganinya MoU Helsinki di Finlandia tanggal 15 Agustus 2005. Suhu politik di Aceh berubah dan eskalasi terjadinya kekerasan akibat konflik bersenjatapun menurun drastis. (hal. 7)
Dokumentasi
Pengalaman selama bertugas yang didokumentasikan dalam buku berjudul “Memimpin dengan Nurani” ini merupakan karya tulis yang mempunyai manfaat sangat besar bagi publik maupun anggota Polri, terutama yang sedang atau akan bertugas di Aceh. Walau menceritakan pengalaman, Pak Is – demikian panggilan familiar terhadap Iskandar Hasan (sekarang, 2013, Kapolda Sumatera Selatan), menyebut buku ini bukan biografi. “Ini adalah sharing best practises,” tulisnya dalam pengantar. Maksud dari penulisan buku ini adalah untuk berbagi pengalaman dan pemikiran sebagai orang tua, pembina dan pembimbing banyak anggota polisi, serta anggota masyrarakat yang lainnya. Harapannya, dengan pengalaman-pengalaman yang terdokumentasi, bisa menjadi pembelajaran bagi generasi yang lebih muda. (hal. vii).
Dalam buku ini penulis yang pernah bertugas di Aceh pada tahun 1997-1999 mengemukakan, ada banyak pengalaman menarik yang bisa dipakai sebagai referensi bagi anggota Polri, bintara, para perwira calon pemimpin, dan bahkan seluruh komponen masyarakat Indonesia. (hal. i). Pertama kali bertugas di Aceh masih berpangkat Letnan Kolonel Polisi, saat itu Polri masih menjadi bagian dari ABRI. Suasananya berbeda dengan saat ini. Untuk bergerak dari Banda Aceh ke Lhokseumawe saja kira-kira 5 jam perjalanan dengan kecepatabn mobil sedang, kami harus beramai-ramai. Kami tidak berani bergerak tanpa convoy panjang. Waktu itu itu saya harus naik helikopter meskipun hanya pergi dari Banda Aceh ke Lhokseumawe. (hal. 7).
Kondisi tersebut berbeda dengan saat ini. Ketika saya berkeliling pada tahun 2011 lalu adalah Aceh yang damai. Masyarakatnya ramah dan santun kepada semua orang. Senyum menghiasi wajah setiap saat dan mereka terlihat santai berada di luar rumahnya dan berkumpul di keude-keude kupi. Konflik bersenjata dan tsunami seakan-akan tidak pernah terjadi. Saat ini bahkan di malam hari pun saya tidak pernah memakai pengawal lagi. (hal.8).
Kekhususan
Menjadi Kapolda Aceh memang memiliki kekhususan. Sebelum ditunjuk resmi sebagai Kapolda Aceh, setiap calon lebih dulu “dipermasalahkan”, dalam konotasi positif. (hal. 1). Jabatan Kapolda di Aceh unik karena keistimewaan daerah Aceh. Calon Kapolda selalu harus dinilai dahulu, apakah orang bersangkutan cocok atau tidak bertugas di Aceh, apakah masyarakat Aceh menerima calon yang diajukan Kapolri tersebut atau tidak. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Bab XXVI Pasal 205 yang mengatur tentang pengangkatan Kapolda Aceh menyatakan bahwa pengangkatan Kapolda Aceh dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur. Sehingga secara formal, penunjukkan Kapolda harus didasarkan pada rekomendasi dari Gubernur kepada Kapolri. UU Pemerintahan Aceh ini merupakan hasil MoU Helsinki antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka pada tahunh 2005.
Pengalaman menarik yang ditulis dalam buku ini, dirinci mulai dari permasalahan  dihadapi sebelum menentukan kebijakan. Pelanggaran yang dilakukan oleh oknum anggota Polri cukup tinggi, merupakan masalah internal Polda yang pertama harus diatasi. Penyalahgunaan narkoba, judi, pungutan liar, merupakan “penyakit” anggota Polda yang harus pertama dihadapi oleh Pak Is. Permasalahan lain adalah pelaksanaan Perpolisian Masyarakat yang kurang maksimal. Padahal dengan situasi Aceh seperti sekarang, Perpolisian Masyarakat atau Polmas merupakan modal yang sangat penting dalam mengendalikan Kamtibmas. Belum lagi akibat masa konflik yang panjang, wawasan kebangsaan anak-anak muda Aceh masih perlu ditingkatkan. Dampak konflik juga berimplikasi pada peran tokoh-tokoh masyarakat yang tidak maksimal. Kondisi ini masih ditambah dengan masalah sosial, yaitu tingginya angka kecelakaan lalu lintas yang didominasi anak-anak usia remaja.
Memimpin Polda Aceh dengan berbagai persoalan sosial baik di internal Polri maupun di Masyarakat merupakan seni tersendiri, yang dalam buku ini disebut oleh penulis sebagai best practise. Keterbukaan pada masyarakat merupakan salah satu kunci agar memperoleh simpati. Bulan Desember 2011, Kapolda dengan berani menyampaikan lewat media massa, bahwa sekitar 1000 anggota Polri di Aceh terlibat penyalahgunaan Narkoba, terutama ganja dan sabu. Sejak pertengahan tahun 2011 indikasi penyalahgunaan narkoba oleh anggota Polisi memang mulai tercium di kalangan internal Polda Aceh. Efek negatif narkoba sudah sedemikian rupa dan para pimpinan tidak tahu sejak kapan anggotanya memakai Narkoba. Wakapolda memberi contoh satu orang anggota polisi yang saat ini sedang daklam proses PTDH. Dia akan dipecat karena sudah 4 kali sidang disiplin. Tahun 2006 yang bersangkutan disidang karena absen selama 29 hari, tahun 2008 karena masalah asusila, tahun 2009 dan 2010 karena masalah lain. Setelah diteliti, si “polisi nakal” sudah memakai narkoba sejak tahun 2004. (hal. 34)
Belum selesai menangani persoalan internal, Pak Is harus juga mengatasi masalah-masalah sosial yang berkembang di masyarakat. Maka, dengan pertimbangan kearifan lokal, dibuatlah program Polisi Saewu Sikula, adalah bahasa Aceh yang berarti Polisi mengunjungi Sekolah. Melalui program ini Polda Aceh ingin menjamin kesinambungan kemitraan antara polisi dan masyarakat kepada generasi penerus, yaitu anak-anak Aceh di masa yang akan datang, agar pada masanya mereka akan menjadi masyarakat yang dekat dengan polisi dan bagi yang menjadi polisi, mereka akan menjadi polisi yang dekat dengan masyarakat. (hal. 47).
Kearifan Lokal
Program Perpolisian Masyarakat dengan memperkuat ketokohan  Tokoh Masyarakat juga dikembangkan. Program implementasi Polmas yang dimaksud adalah penitipan peran FKPM ke dalam Tuha Peuet. Melalui program ini peran tokoh masyarakat yang sebelum ini kurang maksimal akibat korban konflik bisa diberdayakan. Bhabinkanmtibmas yang berjumlah 1.750 orang, dibiuat efektif sehingga bisa melayani 6.423 gampong di seluruh wilayah Aceh. Pemberdayaan tokoh masyarakat juga dilakukan dengan pemberdayaan pemuka masyarakat seperti keujeren blang, panglima laot, panglima uten, dan haria peukan. (hal. 51) Memberdayakan kearifan lokal, Polda Aceh juga mengembangkan program Polisi Saweu Keudee Kupi. Program ini dipadu dengan MoU Polda Aceh dengan Tujuh Pilar Polmas Plus, yaitu Gubernur Aceh, Kapolda Aceh, DPRA, MAA, IAIN mewakili akademisi, PWI mewakili media, dan Balai Syura Ureung Inong acah mewakili LSM.
Intinya ternyata semua pendekatan yang diimplementasikan dalam program selalu bersandar pada nurani, yang dapat dirasakan dengan memahami kearifan lokal. Sehingga best practises yang dapat diperoleh dengan membaca buku ini, yaitu bahwa memahami kearifan lokal adalah modal utama bagi anggota Polri untuk bertugas, baik posisi sebagai pim[pinan maupun anggota. Buku ini juga dilengkapi dengan komentar dari berbagai kalangan mengenai program-program yang dijalankana oleh Polda Aceh. Model buku yang berisi pengalaman bertugas dengan mengungkap persoalan lokal dan solusi yang solutif seperti ini layak untuk dibudayakan di kalangan Polri. Indonesia yang sangat beragam dengan berbagai perbedaaan dan kekhasan lokal memerlukan ilmu pemolisian yang berbasis pada masalah-masalah lokal. Model-model yang merupakan program atas dasar pengatasan masalah lokal akan sangat bermanfaat bagi internal Polri maupun masyarakat luas ketika dipublikasikan dalam bentuk buku yang bisa dibaca dan dipelajari. (A. Wahyurudhanto, dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian – PTIK)

·           Tulisan ini sudah dimuat di Jurnal Studi Kepolisian, Edisi 078, Jan 2013.

Tidak ada komentar: