Timbangan
Buku
Memahami Kearifan Lokal sebagai
Modal Utama
Judul
Buku : Memimpin dengan Nurani
Penulis : Drs. Iskandar Hasan, SH, MH
ISBN : 978-602-18291-0-3
Penerbit : Lembaga Suar Galang Keadilan
Edisi
: Mei 2012
Tebal
Buku : xiii + 285 halaman.
Untuk menjamin terpeliharanya rasa aman, tertib dan
tenteram dalam masyarakat, polisi dan warga masyarakat menggalang kemitraan
untuk memelihara dan menumbuhkembangkan pengelolaan keamanan dan ketertiban
lingkungan. Kemitraan ini dilandasi
norma-norma sosial dan/atau kesepakatan-kesepakatan lokal dengan tetap
mengindahkan peraturan-peraturan hukum nasional yang berlaku dan menjunjung
tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kebebasan individu yang
bertanggungjawab dalam kehidupan masyarakat yang demokratis.
Kemitraan,
kesepakatan lokal, hukum nasional,
menjunjung tinggi HAM dalam kehidipan masyarakat yang demokratis, merupakan
kata-kata kunci yang rasanya saat ini mutlak harus dijiwai oleh seluruh anggota
Polri. Dalam pelaksanaan tugas, tak pelak lagi hal-hal tersebut menjadi menjadi
modal dasar dalam penerapan tugas pokok dan fungsi Polri. Maka bagi anggota
polisi bagaimana mengelola lokalitas dalam pelaksanaan tugas menjadi kunci
keberhasilan, terutama bagi anggota Polri yang dipercaya oleh institusi ini
untuk mengenman tugas sebagai penanggung jawab kewilayahan.
Hal
itulah yang dilakukan Iskandar Hasan ketika mendapat kepercayaan untuk menjadi
orang nomor satu di Polda Aceh. Pengalaman dan pemikirannya ketika menjabat
sebagai Kapolda Aceh ternyata menyimpan banyak pelajaran. Masyarakat yang harus
dilayani pada masa yang berbeda ternyata mempunyai karakter yang berbeda karena
situasi politik. Membandingkan langsung Aceh yang saya kenal lima belas tahun
lalu dengan kondisi saat ini ketika saya kembali ke Aceh sebagai Kapolda adalah
seperti membandingkan bumi dan langit. Kelompok yang sebelumnya pada saat
konflik ada pada sisi yang berlawanan dengan pemerintah, sekarang telah menjadi
‘sejalan’ paska berhembusnya angin perdamaian dengan ditandatanganinya MoU
Helsinki di Finlandia tanggal 15 Agustus 2005. Suhu politik di Aceh berubah dan
eskalasi terjadinya kekerasan akibat konflik bersenjatapun menurun drastis.
(hal. 7)
Dokumentasi
Pengalaman
selama bertugas yang didokumentasikan dalam buku berjudul “Memimpin dengan Nurani”
ini merupakan karya tulis yang mempunyai manfaat sangat besar bagi publik
maupun anggota Polri, terutama yang sedang atau akan bertugas di Aceh. Walau
menceritakan pengalaman, Pak Is – demikian panggilan familiar terhadap Iskandar
Hasan (sekarang, 2013, Kapolda Sumatera Selatan), menyebut buku ini bukan
biografi. “Ini adalah sharing best
practises,” tulisnya dalam pengantar. Maksud dari penulisan buku ini adalah
untuk berbagi pengalaman dan pemikiran sebagai orang tua, pembina dan pembimbing
banyak anggota polisi, serta anggota masyrarakat yang lainnya. Harapannya,
dengan pengalaman-pengalaman yang terdokumentasi, bisa menjadi pembelajaran
bagi generasi yang lebih muda. (hal. vii).
Dalam
buku ini penulis yang pernah bertugas di Aceh pada tahun 1997-1999
mengemukakan, ada banyak pengalaman menarik yang bisa dipakai sebagai referensi
bagi anggota Polri, bintara, para perwira calon pemimpin, dan bahkan seluruh
komponen masyarakat Indonesia. (hal. i). Pertama kali bertugas di Aceh masih berpangkat
Letnan Kolonel Polisi, saat itu Polri masih menjadi bagian dari ABRI.
Suasananya berbeda dengan saat ini. Untuk bergerak dari Banda Aceh ke
Lhokseumawe saja kira-kira 5 jam perjalanan dengan kecepatabn mobil sedang,
kami harus beramai-ramai. Kami tidak berani bergerak tanpa convoy panjang.
Waktu itu itu saya harus naik helikopter meskipun hanya pergi dari Banda Aceh
ke Lhokseumawe. (hal. 7).
Kondisi
tersebut berbeda dengan saat ini. Ketika saya berkeliling pada tahun 2011 lalu
adalah Aceh yang damai. Masyarakatnya ramah dan santun kepada semua orang.
Senyum menghiasi wajah setiap saat dan mereka terlihat santai berada di luar
rumahnya dan berkumpul di keude-keude kupi. Konflik bersenjata dan tsunami
seakan-akan tidak pernah terjadi. Saat ini bahkan di malam hari pun saya tidak
pernah memakai pengawal lagi. (hal.8).
Kekhususan
Menjadi
Kapolda Aceh memang memiliki kekhususan. Sebelum ditunjuk resmi sebagai Kapolda
Aceh, setiap calon lebih dulu “dipermasalahkan”, dalam konotasi positif. (hal.
1). Jabatan Kapolda di Aceh unik karena keistimewaan daerah Aceh. Calon Kapolda
selalu harus dinilai dahulu, apakah orang bersangkutan cocok atau tidak
bertugas di Aceh, apakah masyarakat Aceh menerima calon yang diajukan Kapolri
tersebut atau tidak. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh, Bab XXVI Pasal 205 yang mengatur tentang pengangkatan Kapolda Aceh
menyatakan bahwa pengangkatan Kapolda Aceh dilakukan oleh Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur. Sehingga secara formal,
penunjukkan Kapolda harus didasarkan pada rekomendasi dari Gubernur kepada
Kapolri. UU Pemerintahan Aceh ini merupakan hasil MoU Helsinki antara
pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka pada tahunh 2005.
Pengalaman
menarik yang ditulis dalam buku ini, dirinci mulai dari permasalahan dihadapi sebelum menentukan kebijakan.
Pelanggaran yang dilakukan oleh oknum anggota Polri cukup tinggi, merupakan
masalah internal Polda yang pertama harus diatasi. Penyalahgunaan narkoba,
judi, pungutan liar, merupakan “penyakit” anggota Polda yang harus pertama dihadapi
oleh Pak Is. Permasalahan lain adalah pelaksanaan Perpolisian Masyarakat yang
kurang maksimal. Padahal dengan situasi Aceh seperti sekarang, Perpolisian
Masyarakat atau Polmas merupakan modal yang sangat penting dalam mengendalikan
Kamtibmas. Belum lagi akibat masa konflik yang panjang, wawasan kebangsaan
anak-anak muda Aceh masih perlu ditingkatkan. Dampak konflik juga berimplikasi
pada peran tokoh-tokoh masyarakat yang tidak maksimal. Kondisi ini masih
ditambah dengan masalah sosial, yaitu tingginya angka kecelakaan lalu lintas
yang didominasi anak-anak usia remaja.
Memimpin
Polda Aceh dengan berbagai persoalan sosial baik di internal Polri maupun di
Masyarakat merupakan seni tersendiri, yang dalam buku ini disebut oleh penulis
sebagai best practise. Keterbukaan
pada masyarakat merupakan salah satu kunci agar memperoleh simpati. Bulan
Desember 2011, Kapolda dengan berani menyampaikan lewat media massa, bahwa
sekitar 1000 anggota Polri di Aceh terlibat penyalahgunaan Narkoba, terutama
ganja dan sabu. Sejak pertengahan tahun 2011 indikasi penyalahgunaan narkoba
oleh anggota Polisi memang mulai tercium di kalangan internal Polda Aceh. Efek
negatif narkoba sudah sedemikian rupa dan para pimpinan tidak tahu sejak kapan
anggotanya memakai Narkoba. Wakapolda memberi contoh satu orang anggota polisi
yang saat ini sedang daklam proses PTDH. Dia akan dipecat karena sudah 4 kali
sidang disiplin. Tahun 2006 yang bersangkutan disidang karena absen selama 29
hari, tahun 2008 karena masalah asusila, tahun 2009 dan 2010 karena masalah
lain. Setelah diteliti, si “polisi nakal” sudah memakai narkoba sejak tahun
2004. (hal. 34)
Belum
selesai menangani persoalan internal, Pak Is harus juga mengatasi masalah-masalah
sosial yang berkembang di masyarakat. Maka, dengan pertimbangan kearifan lokal,
dibuatlah program Polisi Saewu Sikula,
adalah bahasa Aceh yang berarti Polisi mengunjungi Sekolah. Melalui program ini
Polda Aceh ingin menjamin kesinambungan kemitraan antara polisi dan masyarakat
kepada generasi penerus, yaitu anak-anak Aceh di masa yang akan datang, agar
pada masanya mereka akan menjadi masyarakat yang dekat dengan polisi dan bagi
yang menjadi polisi, mereka akan menjadi polisi yang dekat dengan masyarakat.
(hal. 47).
Kearifan Lokal
Program
Perpolisian Masyarakat dengan memperkuat ketokohan Tokoh Masyarakat juga dikembangkan. Program
implementasi Polmas yang dimaksud adalah penitipan peran FKPM ke dalam Tuha Peuet. Melalui program ini peran
tokoh masyarakat yang sebelum ini kurang maksimal akibat korban konflik bisa
diberdayakan. Bhabinkanmtibmas yang berjumlah 1.750 orang, dibiuat efektif
sehingga bisa melayani 6.423 gampong
di seluruh wilayah Aceh. Pemberdayaan tokoh masyarakat juga dilakukan dengan
pemberdayaan pemuka masyarakat seperti keujeren
blang, panglima laot, panglima uten, dan haria peukan. (hal. 51) Memberdayakan kearifan lokal, Polda Aceh
juga mengembangkan program Polisi Saweu
Keudee Kupi. Program ini dipadu dengan MoU Polda Aceh dengan Tujuh Pilar
Polmas Plus, yaitu Gubernur Aceh, Kapolda Aceh, DPRA, MAA, IAIN mewakili
akademisi, PWI mewakili media, dan Balai Syura Ureung Inong acah mewakili LSM.
Intinya
ternyata semua pendekatan yang diimplementasikan dalam program selalu bersandar
pada nurani, yang dapat dirasakan dengan memahami kearifan lokal. Sehingga best practises yang dapat diperoleh
dengan membaca buku ini, yaitu bahwa memahami kearifan lokal adalah modal utama
bagi anggota Polri untuk bertugas, baik posisi sebagai pim[pinan maupun
anggota. Buku ini juga dilengkapi dengan komentar dari berbagai kalangan
mengenai program-program yang dijalankana oleh Polda Aceh. Model buku yang
berisi pengalaman bertugas dengan mengungkap persoalan lokal dan solusi yang
solutif seperti ini layak untuk dibudayakan di kalangan Polri. Indonesia yang
sangat beragam dengan berbagai perbedaaan dan kekhasan lokal memerlukan ilmu
pemolisian yang berbasis pada masalah-masalah lokal. Model-model yang merupakan
program atas dasar pengatasan masalah lokal akan sangat bermanfaat bagi
internal Polri maupun masyarakat luas ketika dipublikasikan dalam bentuk buku
yang bisa dibaca dan dipelajari. (A. Wahyurudhanto, dosen pada Sekolah
Tinggi Ilmu Kepolisian – PTIK)
·
Tulisan ini sudah dimuat di Jurnal
Studi Kepolisian, Edisi 078, Jan 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar