Selasa, 11 Maret 2014

File artikel : Polisi dan Politik



Polisi dan Politik

Rambu agar profesi kepolisian tidak terpengaruh oleh kekuatan politik tertentu secara tegas dinyatakan pada Pasal 28 Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI. Pada pasal (1) disebutkan, Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap Netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Pasal (2) menyatakan, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih. Sementara pasal (3) menyatakan, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Jika kita menyimak ketentuan dalam pasal 28 ayat (1), (2), dan (3), sangatlah jelas bahwa substansinya mengambil dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No: VII/MPR/2000 Pasal 10.  Ketentuan tersebut dimaksudkan dalam rangka menjamin obyektivitas tindakan kepolisian dan pemuliaan profesi kepolisian agar dalam kinerjanya tidak menengok kanan-kiri pada kekuatan politik yang ada. Isi pasal tersebut secara tegas menunjukkan bahwa anggota Polri dijamin tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
Mengapa polisi harus bebas dari politik, bahkan sampai menggunakan hak pilihnya pun tidak diperkenankan. Pengalaman masa lalu rupanya telah menjadi kejadian yang traumatis, bahwa ketika polisi sudah menjadi alat politik bagi kekuasaan, maka yang dilakukan tidak bisa netral. Jaringan organisasi polisi yang sampai ke pelosok-pelosok daerah merupakan sarana yang ampuh jika bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Maka tidaklah mengherankan ketika menjadi bagian dari ABRI dan sekaligus menjadi bagian dari alat kekuasaan pada masa Orde Baru, manfaat peran polisi untuk ikut memberikan dorongan bagi mesin kekuasaan sangatlah efektif.
Merujuk pada tesis yang dikemukakan oleh Pareto (1848-1923), bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas-kualitas yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasaan sosial dan politik yang penuh. Mereka yang bisa menjangkau kekuasaan adalah selalu merupakan yang terbaik. Merekalah yang dikenal sebagai elite. (dalam Parma, 1987, h. 202). Posisi Polri dengan organisasi yang tersentral menyeluruh ke seluruh Indonesia tentu saja akan mempermudah ketika melakukan “produksi” bagi lahirnya elite tersebut. Menjadi sangat mungkin jika teori ini juga menjadi dasar ketika rambu-rambu disusun yang kemudian ditegaskan dalam UU Nomor 2/2002.
Tetapi apakah dengan ketentuan tersebut polisi akan terbebas dari politik. Tentu jawabannya akan sulit jika dipaksa harus menjawab benar. Karena hubungan emosional yang terbentuk pada para angota polisi sebenarnya merupakan bangunan dari relasi sosial yang mempunyai ikatan sangat kuat. Maka ketika mereka yang sudah menjadi elite kemudian mengundurkan diri dan sudah pensiun, sejatinya relasi sosial tersebut tidaklah hilang.
Inilah fenomena yang saat ini sedang menjadi perdebatan publik. Dalam rangka pemilihan presiden dan wakil presiden Juli 2009, tim kampanye para Capres dan Cawapres banyak dari para purnawirawan, termasuk purnawirawan polisi. Bahkan mantan Kapolri Jenderal Sutanto secara resmi menyatakan sebagai tim inti salah satu Capres, berikutnya para pensiunan jenderal polisi lainnya secara terang-terangan memberikan dukungan pada calon lain. Hal yang sama juga dilakukan oleh para purnawirawan TNI. Ini tentu saja merupakan fenomena yang menarik. Secara yuridis tindakan tersebut tidaklah salah, karena sesuai ketentuan perundang-undangan mereka yang sudah pensiun dari dinas kepolisian tidaklah terikat dengan keharusan bebas politik.
Yang sekarang menjadi persoalan, apakah ikatan emosional dengan para yuniornya, dengan pada para mantan anggotanya tidak akan berpengaruh pada sikap netral mereka yang masih aktif. Tentu akan sulit menjawabnya. Karena keterpengaruhan tersebut, yang bisa berimbas pada keluarga dari polisi yang masih aktif tidak bisa dibuktikan secara kasat mata. “Permainan emosi” ini yang rupanya sekarang diperankan oleh para jenderal, termasuk jenderal polisi dalam rangka upaya menggalang kekuatan politik.
Sehingga pada dasarnya sulit membebaskan diri dari pengaruh elite bagi polisi – dalam hal ini Polri – yang secara organisatoris merupakan bagian dari sistem pemerintahan yang merupakan representasi dari kekuatan riil politik melalui proses pemilihan umum. Maka yang penting bagi polisi sebenarnya adalah pada bagaimana kinerjanya menunjukkan keberpihakan pada kepentingan publik. Hasil pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden/wakil presiden pada intinya adalah hasil dari keputusan rakyat untuk memilih siapa yang akan mengambil keputusan untuk kepentingan rakyat.
Merujuk pemikiran Joseph Schumpeter (1883-1950), seorang sosiolog politik, yang menyatakan bahwa demokrasi secara sederhana adalah suatu mekanisme  untuk pemilihan dan memberi kekuasaan pada pemerintah. Peran para pemilih, menurut tesis Schumpeter, adalah bukan untuk memutuskan masalah-masalah politik dan memilih wakil-wakil yang akan melaksanakan keputusan-keputusan tersebut, melainkan lebih pada memilih orang-orang yang akan membuat keputusan-keputusan bagi mereka.
Oleh karena itu, bisa jadi orang yang dipilih tidak menjalankan keputusan yang berpihak pada rakyat. Maka peran polisi dalam konteks politik di Indonesia adalah pada bagaimana mengawal demokratisasi, sehingga rakyat bisa berpolitik dengan baik, santun, dan produktif. Fungsi-fungsi polisional akan sangat berperan dalam menjaga kondisi berlangsungnya proses demokratisasi, termasuk membuat pemilu berjalan lancar, dan mereka yang terpilih tetap terjaga untuk bekerja bagi kepentingan publik. (Drs. A. Wahyurudhanto, M.Si, redaktur pelaksana Jurnal Studi Kepolisian)

Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Studi Kepolisian, Edisi 071, Juni 2009.


Tidak ada komentar: